Sabtu, 21 Desember 2013

Kajian Ilmu Laduni dalam Teori Belajar Modern

"+"


KAJIAN ILMU LADUNI
DALAM PERSPEKTIF TEORI BELAJAR MODERN



A.    Konsep Ilmu Laduni
Dalam Al Qur’an, hanya ada satu tempat yang menyebutkan “ilmu Laduni” secara jelas, yaitu dalam surat Al Kahfi ayat 65.

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
Artinya:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami .
Ayat diatas menyebutkan lafadh “Ladunna“ (huruf akhir adalah “ a”) , yang berarti : “ dari sisi Kami (Allah ) “ , Ilmu Ladunna berarti ilmu dari sisi Allah. Yang kemudian berkembang dan menjadi ilmu Ladunni ( pakai huruf “i“). Dalam beberapa tafsir disebutkan, yang dimaksud dengan “min ladunna ‘ilman” adalah ilmu gaib. Menurut kalangan tasawuf, untuk membenarkan mazhab mereka, ilmu laduni ialah ilmu yang datang dengan sendirinya tanpa ada perantara. Memang secara pasti kita belum mengetahui, mulai kapan istilah ilmu laduni itu muncul, (walaupun sebenarnya bisa diprediksikan muncul setelah abad ke 3 hijriah, bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok sempalan dalam Islam). Tapi yang jelas, ilmu laduni dinisbatkan pertama kalinya kepada Nabi Khidhhir as. Karena memang teks ayat diatas berkenan dengan cerita Nabi Khidhir as.[1]
Ilmu laduni-nya Nabi Khidhir menurut surat Al Kahfi – difokuskan pada satu masalah saja, yaitu pengetahuan tentang masa depan, walau secara rinci digambarkan dalam tiga peristiwa, yaitu merusak kapal yang sedang berlabuh di pinggir pantai, membunuh anak kecil yang ditemukan di tengah jalan, dan memperbaiki dinding yang mau roboh.
Kalau kita padukan antara ilmu laduni dengan ketiga peritiswa di atas, akan kita dapati benang merah yang menghubungkan antara keduanya, yang konklusinya sebagai berikut : Ilmu laduni adalah ilmu yang bersumber dari Allah swt (dan Allah sajalah Yang memegang kunci-kunci alam ghoib ), sedang inti dari ilmu laduni yang dimiliki Nabi Khidhir as adalah pengetahuan tentang masa depan yang nota benenya adalah ilmu ghoib , berarti ilmu laduni yang diajarkan kepada nabi Khidhir adalah ilmu ghoib.
Oleh karenanya, kalau kita katakan bahwa Khidhir as adalah seorang Nabi, maka Allah telah mengajarkan kepada Nabi Khidhir sebagian ilmu ghoib, dan ini tentunya sesuatu yang wajar-wajar saja, karena salah satu ciri khas wahyu adalah pengetahuan tentang sebagian ilmu ghoib. Dan hal ini hanya dimiliki oleh para nabi dan utusan Allah atau orang-orang yang dikehendaki Allah swt, sebagaimana yang termaktub di dalam firman-Nya :

(26).عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
Artinya:
“ Dia-lah Allah ) Yang mengetahui ghoib dan Dia tidak memperlihatkan tentang yang ghoib tersebut kepada siapapun juga. Kecuali kepada para Rosul yang diridhoi-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga ( Malaikat ) di muka dan di belakangnya “ ( QS. Jin : 26-27)

Secara dzahir mengenai keilmuan yang mengacu pada kata ta’lim atau pengajaran. Kecuali pengajaran pertama yang diterima Nabi Adam di Surga. Memang ilmu tersebut dikategorikan “daf’atan wahidah” terjadi sekali saja dan pada waktu tertentu terjadi atas kekuasaan Allah. Hal itu sebagaimana yang tertuang dalam beberapa ayat di Al Qur’an, diantaranya; Surat Al Baqarah: 151, Surat Ali Imran: 48, dan Surat An Nisa: 113.

وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ....
Artinya:
…… dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al Baqarah: 151).


وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ
Artinya:
Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab , Hikmah, Taurat dan Injil. (QS. Ali Imran: 48).

وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا….
Artinya:
……. dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

Berdasarkan kesimpulan atas beberapa kajian tafsir tersebut, persoalan ilmu laduni umumnya dikaitkan dengan ilmu gaib yang datang secara langsung dari Allah tanpa melalui proses belajar mengajar (ilhamiyah).  Kenyataan ini akan lebih transparan manakala dihubungkan dengan laku-laku tertentu dalam proses untuk memperoleh ilmu laduni.

B.     Perspektif Ilmu Laduni dalam Pendidikan Islam
Berdasarkan kajian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, apabila disimak secara mendalam bahwa ilmu laduni sangat berkaitan dengan aktivitas proses pendidikan. Sebab apabila ditelaah lebih lanjut bahwa pendidikan telah menjadi aktivitas rutin manusia, apakah itu disengaja atau tidak disengaja. Pendidikan telah dilakukan seumur hidup manusia.
Dalam pandangan psikologi, pendidikan selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang melakukan aktivitas pendidikan. Hal lain yang juga selalu terkait dalam proses pendidikan adalah mendapatkan berbagai pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.
Dalam konteks pendidikan, seseorang akan memperoleh ilmu pengetahuan dari proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Semua itu dilakukan dengan cara menelaah, memahami dan selanjutnya diimplementasikan atau dilaksanakan dalam kehidupannya atas ilmu yang ia ketahui. Secara normatif, proses pengajaran selalu terkait dengan perubahan tingkah laku manusia, meskipun secara teologis juga dimungkinkan berlakunya nuansa spiritual yang mengiringi perjalanan perubahan tersebut.
Pada ranah pendidikan terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi perhatian, yaitu pada ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomorik. Perjalanan ranah kognitif melahirkan perilaku yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis dan evaluasi. Ranah afektif mencakup kepekaan terhadap hal tertentu. Hal ini berangkat dari pemahaman seseorang atas pengetahuan yang dimilikinya. Sementara psikomotorik menyangkut aktivitas atas pengetahuan yang dimilikinya. Apabila di telaah lebih lanjut, pendidikan yang dilakukan oleh seseorang meliputi tiga fase, yaitu; pertama fase eksplorasi, kedua fase pengenalan konsep, dan ketiga fase aplikasi konsep. Pada fase pertama, seseorang mempelajari gejala dengan bimbngan. Kemudian di fase kedua, mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala, pada fase yang ketiga seseorang bisa menggunakan atau mengaplikasikan konsep yang dipelajarinya.
Pandangan atas pelaksanaan pendidikan yang demikian tersebut, identik dengan ilmu laduni yang diberikan Allah kepada Nabi Nuh as ketika membuat perahu di atas permukaan gunung. Allah berfirman yang artinya: Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami  mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek . (QS. Hud: 37-38)
Ayat tersebut bila dikaitkan dengan teori pendidikan di atas dapat dijelaskan bahwa Nabi Nuh as telah mengalami proses belajar tentang fenomena perahu melalui bimbingan Allah SWT berupa wahyu atau ilham. Proses pendidikan yang berlangsung itu menyangkut bagaimana cara membuat perahu. Setelah itu baru ada gambaran dan pengenalan konsep tentang bentuk fisik sebuah perahu (bahtera) itu, yang pada akhirnya Nabi Nuh as beserta para pengikutnya membuat dan menggunakan bahtera tersebut sebagai sarana transportasi menuju kedamaian dan keselamatan.
Berdasar pada kajian sebelumnya, bila di telaah pada konteks ini, ilmu laduni memiliki kesamaan proses dengan proses pendidikan. Kesamaan prose situ dapat dilihat dengan fungsi pendidikan itu sendiri yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumberdaya manusia menuju terbentuknya manusia yang paripurna/ insan kamil dengan kata lain yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam. Dalam mengembangkan dan memberdayakan potensi manusia (insan), fungsi pendidikan pada hakekatnya mempunyai tiga peran yang prosesnya berjalan secara stimultan yaitu sebagai proses belajar, proses ekonomi dan proses sosial buadaya.[2] Pendidikan sebagai proses belajar, harus mampu menghasilkan individu dan masyarakat religius secara personal memiliki integritas dan kecerdasan. Sementara pendidikan sebagai proses ekonomi merupakan suatu investasi, oleh karena itu pada tingkat tertentu pendidikan harus memberikan keuntungan bagi segi sumber daya manusia. Dan pendidikan sebagai proses sosial budaya, pendidikan merupakan suatu bagian integral dari proses sosial budaya yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam diharapkan mampu menghasilkan manusia religius, memiliki integritas, kecerdasan, dan memberikan keuntungan bagi sumber daya manusia.
Ilmu laduni dalam perspektif pendidikan diasumsikan sebagai pertama dipahami sebagai realitas mitologi dalam bingkai pemahaman klasik. Artinya kepercayaan dan kebenaran terhadap eksistensi laduni tidak didasarkan pada struktur dan metodologi keilmuan. Kedua ilmu laduni diasumsikan dengan kesucian diri seseorang, ini biasanya dikaitkan dengan laku-laku tertentu yang puncaknya melahirkan tingkah laku irrasional. Ketiga laduni dianggap sebuah proses belajar yang metafisis dan trasendental. Maksudnya secara intuitif semua jenis ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar dibarengi dengan bimbingan ilahi. Keempat ilmu laduni dapat diperoleh setiap orang yang disertai dengan mensucikan diri dari perbuatan tercela[3].
Dalam prosesnya, untuk memperoleh ilmu laduni seseorang perlu melakukan ritual atau lelaku yang menjadi kenyakinan dalam setiap hati seseorang. Kenyakinan dalam hati ini menjadi modal utama seseorang untuk mencapai ilmu laduni atau dalam pandangan kalangan ahli makrifat di sebut makrifat. Menurut Al Ghozali, pengertian hati dapat di lihat dari dua makna; pertama hati adalah sepotong “daging” berbentuk buah sanubari yang terletak di bagian kiri dada, yang didalamnya berisi darah hitam. Makna kedua, hati adalah sebuah lathifah (sesuatu yang sangat halus dan lembut, tidak kasat mata, tidak berupa, dan tidak dapat di raba), yang bersifat rabbani ruhani. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau hakekatnya.[4]
Komponen tersebut, menjadi bagian utama manusia yang berpotensi menyerap (memiliki daya tanggap dan persepsi), yang mengetahui dan mengenal. Hati yang seperti itu lebih dikenal dengan istilah qalb.[5] Penyebutan kata “hati” begitu saja akan mengurangi makna dari kandungan lathifah yang dimaksudkan. Hati juga berfungsi sebagai wadah bagi iman/kenyakinan yang tumbuh didalamnya. Yang terpenting bahwa hati adalah pelantara yang menyebabkan pemahaman terhadap sesuatu yang dinyakini. Untuk itu, hati merupakan pusat pandangan, pemahaman, dan fokus ingatan kepada Allah.
Cahaya hati (qalb) akan bersinar apabila Allah memberikan belas kasih, dengan menurunkan pengetahuan. Ini bisa di peroleh dengan mensucikan qalb. Pensucian qalb dilakukan dengan bermujahadah kepada Allah dengan melepaskan selubung pikiran yang mampu menghalangi “pandangan” kepada Allah. Itu dilakukan dengan mengendalikan kecenderungan hawa nafsu dan syahwat secara proporsional.[6]
Yang demikian itu juga sepadan dengan pandangan Imam Al Ghazali bahwa ilmu laduni adalah rahasia-rahasia cahaya ilham yang trjadi setelah penyucian jiwa. Cirinya, ia dapat meraih pengetahuan yang banyak meskipun belajarnya hanya sebentar, lelahnya sedikit, senangnya lama. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 269, yang artinya: “Allah memberi hikmah kepada orang yang Dia kehendaki, dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak dan tidaklah berdzikir kecuali orang-orang yang memiliki pikiran.
Ilmu laduni yang demikian itu merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu tahapan pendidikan tertentu. Karena itu pula, ilmu laduni adalah bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah. Ilmu laduni adalah Indra keenam yang diwujudkan melalui perjalanan intuisi[7]. Pengetahuan intuisi sejenis pengetahuan yang dikaruniakan Allah kepada seseorang yang dipatrikan kepada kalbunya, sehingga tersikap sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagai realitas. Laduni dalam proses pendidikan identik dengan intuitive learning. Proses pendidikan yang dilakukan berdasarkan intuisi adalah belajar dengan tepat, cepat, dan mudah, kesulitannya sedikit sedang hasilnya sangat banyak dan mampu menyelesaikan berbagai problem[8].
Sementara itu dalam pendidikan setiap orang diwajibkan untuk melakukan proses atau dengan kata lain adalah melakukan usaha. Usaha yang dilakukan secara “konvensional” (proses belajar pada umumnya). Pada usaha yang demikian, sama halnya seseorang melakukan riadhoh untuk memperoleh ilmu laduni. Sebab untuk mencapai pada tingkat makrifat --dalam ajaran tasawuf guna memperoleh ilmu laduni-- ada tahap yang harus dilakukan. Secara konvensional, ajaran tasawuf telah dibakukan dalam jenjang-jenjang spiritual berupa maqamat, sebagai fase-fase menuju kesempurnaan spiritual yang harus dilalui dengan tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli. Untuk itu dalam pandangan tasawuf, ilmu laduni dianggap ilmu yang paling tinggi dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu laduni merupakan ilmu yang dikaruniakan Allah kepada seseorang secara tiba-tiba tanpa diketahui bagaimana proses awalnya, sehingga orang yang menerimanya dapat langsung menerima ilmu tersebut tanpa belajar. Alasan yang sering diungkapkan atas keunggulan ilmu ini adalah perolehannya melalui intuisi, kontemplasi atau ilham.  
Dalam pandangan para ahli sufi, qalb diumpamakan sebagai cermin, ia bisa menangkap gambar didepannya dengan sempurna apabila ia terbebas dari hijab. Ini yang kemudian perlu diupayakan melalui mujahadah atau riyadlah.[9] Meskipun pengetahuan intuitif dikatakan tidak menggunakan rasio, tetapi pada hakekatnya antara keduanya mempunyai hubungan interaktif. Oleh karenanya pengetahuan intuitif sama dengan pengetahuan imajinatif.
Perbedaan antara ilmu laduni dengan pendidikan pada umumnya hanya dalam metodologi dan sistematikanya, sebab bagaimanapun keduanya ikut membentuk bangunan pengetahuan. Pengetahuan intuitif dapat membuka pemahaman tanpa ada suatu metodik yang terarah, dan sistematikanya yang tidak runtut sebagaimana lazimnya dalam pengetahuan rasional. Sedangkan akal dalam menangkap pengetahuan melalui pemahaman yang sistematis dan metodis.






[1] http://www.indogamers.com/f176/islam_ilmu_laduni-160272/
[2] Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003, Hal. 133
[3] Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta,Ibid, Hal. 32
[4] Al Ghazali, Keajaiban-Keajaiban Hati, Bandung: Karisma, 2000, Hal. 26
[5] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, Jakarta: Patrap Thursina Sejati, 2006, Hal. 63
[6] Muhtar Sholikhin dan Rosihon Anwar, Hakekat Manusia; Mengenali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, Ibid, Hal. 70
[7] Intuisi adalah bisikan kalbu atau kesanggupan dalam mencapai pengetahuan dengan pemahaman secara langsung tanpa melalui proses berfikir
[8] Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta,Ibid, Hal. 32
[9] Syukur, Amin dan Masharudin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 6. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar