Kamis, 12 Desember 2013

Eksistensi Madrasah

"+"

Eksistensi Masa Depan Madrasah



A. Pendahuluan

Tugas yang diemban madrasah di era kesejagatan ini semakin berat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis nilai-nilai keagamaan, madrasah tidak hanya dituntut untuk melakukan transfer of knowledge, tetapi juga transfer of Islamic values. Padahal, lembaga madrasah sendiri saat ini masih bergelut dengan sekian permasalahan yang tidak kunjung selesai (intellectual deadlock).

Sekurang-kurangnya ada empat persoalan penting yang dihadapi madrasah saat ini. Pertama, orientasi madrasah pada prakteknya cenderung mengutamakan pembentukan ‘abd daripada keseimbangan antara ‘abd dan khalīfatullāh fi al-ardl Kedua, sebagian besar madrasah kurang peka terhadap ilmu-ilmu modern, bahkan ada yang apatis sama sekali. Ketiga, model pembelajaran madrasah masih bersifat banking education (pendidikan gaya bank), di mana pendidik mendepositokan berbagai macam pengetahuan kepada peserta didik. Keempat, minimnya upaya pembaharuan, dan kalaupun toh ada masih kalah cepat dengan perubahan sosial, politik, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karenanya, perubahan di tubuh madrasah merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda. Apalagi madrasah saat ini tidak hanya bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan umum, tetapi juga harus berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan manca negara yang membuka cabangnya di Indonesia. Realitas itu harus direspons dengan serius, terutama oleh pemikir dan praktisi pendidikan madrasah sendiri. Jika tidak, madrasah tidak saja akan semakin ditinggalkan “nasabahnya”, tetapi lambat laun ia akan gulung tikar dan segera memfosil.

 

B. Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah

Kata “madrasah” merupakan isim makan dari kata “darasa” yang berarti tempat duduk untuk belajar. Istilah madrasah sekarang ini telah menyatu dengan istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan Islam). Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam mulai didirikan dan berkembang di dunia Islam sekitar abad ke-5 H atau abad ke-10 hingga ke-11 M ketika penduduk Naisabur mendirikan lembaga pendidikan Islam model madrasah tersebut untuk pertama kalinya. Tetapi, tersiarnya madrasah justru melalui Menteri dari Kerajaan Bani Saljuk, Nizham al-Mulk, yang mendirikan madrasah Nizhamiyah pada 1065 M (Hasbullah, 1999: 160). 
Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di dunia Islam baru muncul sekitar abad ke-10 M, ini tidak berarti bahwa sejak awal perkembangannya Islam tidak mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran. A. Shalaby (1954: 21), dalam History of Muslim Education, menyebutkan bahwa jauh sebelum era khalifah bani Umayyah, umat Islam sudah mempunyai semacam lembaga pendidikan Islam yang disebut kuttab. Guru-guru yang mengajar di kuttab ini kebanyakan orang-orang non-Muslim, terutama dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
Fakta ini bisa diamati setelah kemenangan kaum Muslim pada perang Badar tahun 624 M, ketika Nabi Muhammad saw. meminta beberapa tawanan yang terdidik (dari kaum Yahudi atau Nasrani) untuk mengajar anak-anak Madinah untuk membaca dan menulis (Mas’ud, 2002: 186-208). Karenanya, pengajaran di kuttab tersebut hanya difokuskan pada keterampilan membaca dan menulis saja, sedangkan untuk pengajaran Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam diberikan dan diajarkan di masjid-masjid oleh para guru khusus. Berikutnya, untuk kepentingan menulis dan membaca bagi anak-anak, yang sekaligus juga memberikan pelajaran Al-Qur’an dan dasar-dasar pengetahuan agama Islam, diadakanlah kuttab-kuttab yang terpisah dari masjid agar tidak mengganggu ketenangan dan kebersihan masjid (Shalaby, 1954: 21).   
Selain kuttab, ada juga institusi pendidikan Islam yang disebut suffah. Menurut Ahmad D. Munir, suffah adalah satu bagian dari masjid yang dibangun oleh Nabi di Madinah dan disediakan sebagai tempat pendidikan, khususnya untuk belajar membaca, menulis, menghafal Al-Qur’an dan tajwid. M. Hamidullah menyebut suffah sebagai “universitas” Islam pertama (Mas’ud, 2003: 189).
Tempat ini juga dirancang sebagai pondok bagi para pendatang baru dan penduduk setempat yang tidak memiliki rumah sendiri. Suffah memberikan pendidikan tidak hanya bagi para pemondok tetapi juga bagi pengunjung yang diselenggarakan dalam jumlah besar. 
Jumlah pemondok di suffah berubah dari waktu ke waktu. Catatan Ibn Hanbal menunjukkan bahwa pada suatu saat terdapat tujuh puluh orang yang tinggal di suffah dengan bekerja pada waktu-waktu luang mereka (Mas’ud, 2003: 189). Ini mengindikasikan bahwa tradisi belajar ala madrasah sudah ada sejak zaman Nabi —sekalipun di zaman Nabi belum bernama madrasah— dan terus berkembang hingga saat ini.
Jika melacak sejarah pendidikan Islam di Indonesia, kita akan ditemukan bahwa nama “madrasah” sebetulnya muncul belakangan. Ada beberapa tempat yang diduga lebih dahulu digunakan masyarakat Muslim nusantara sebagai tempat belajar, misalnya masjid. Masjid saat itu mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai tempat ibadah dan aktivitas sosial keagamaan lainnya, termasuk pendidikan. Selain itu, rumah-rumah tokoh masyarakat, ulama, kiai, dan guru ngaji juga dijadikan sebagai tempat pengajaran agama Islam. Tempat semacam ini jumlahnya sangat banyak, khususnya di daerah pedesaan.
Bagi Hasbullah, kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya mempunyai empat latar belakang, yaitu: pertama, sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam; kedua, usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan untuk memperoleh ijazah dan kesempatan kerja; ketiga, adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem mereka; dan keempat, sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang diselenggarakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi (Hasbullah, 1999: 163).   
Proses perpaduan tersebut, kata Hasbullah, berlangsung secara berangsur-angsur. Sistem pengajian kitab kuning yang selama ini dilakukan diganti dengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Sementara itu, kenaikan kelas pun ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang pelajaran (Hasbullah, 1999: 170).      
Akibat pengaruh ide-ide pembaruan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan bangsa Indonesia, pelajaran umum sedikit demi sedikit masuk ke dalam kurikulum madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Perubahan-perubahan ini kemudian melahirkan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), di mana sistem pendidikan dan pengelolaannya sama dengan sekolah-sekolah modern pada umumnya.
Adanya MI, MTs, dan MA ternyata memunculkan persoalan baru, yaitu rendahnya mutu pendidikan lembaga-lembaga itu dibanding sekolah-sekolah pada umumnya. Karenanya, pada 1974, muncul gagasan untuk membangun pendidikan satu atap, di mana madrasah akan dilebur menjadi satu dengan sekolah-sekolah yang ada. Gagasan semacam ini tentu ditolak oleh umat Islam. Alasannya, kalau mutu pendidikan madrasah kurang berkualitas, langkah yang paling arif bukan meleburnya dengan sekolah-sekolah umum, tetapi memperbaiki mutu pendidikan madrasah tersebut.
Untuk menjembatani tarik-menarik dua gagasan tersebut, pada 1975, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah (Nata, 2005: 203). Menurut SKB itu, yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30 persen di samping mata pelajaran umum. Artinya, perbandingan antara pendidikan agama dan pendidikan umum dalam kurikulum madrasah adalah 30:70.      
Guna merealisasikan SKB tiga menteri tersebut, pada 1976, Departemen Agama mengeluarkan sebuah kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun MA. Kurikulum itu juga dilengkapi dengan: (1) pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada madrasah sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di sekolah-sekolah umum, dan (2) deskripsi berbagai kegiatan dan metode penyampaian program untuk setiap bidang studi, baik untuk bidang studi agama maupun bidang studi pengetahuan umum (Hasbullah, 199: 182).       
Hal terpenting dari SKB tiga menteri itu adalah adanya ketetapan bahwa: (1) ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, (2) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum setingkat lebih atas, dan (3) siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

C. Paradigma Qur’ani; Paradigma Alternatif Pengembangan Madrasah

Paradigma secara etimologi berasal dari bahasa Inggris paradigm, yang berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model, pola). Secara terminologi, sebagaimana dikemukakan Robert Friedrichs, paradigma adalah sebuah pandangan dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya, paradigm is a fundamental image a discipline has of its subject matter (Ritzer, 202: 6). Sementara itu, Thomas Kuhn mengartikan paradigma sebagai serangkaian konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dan menafsirkan realitas sosial tersebut (Haramain, 2003: 43). 
Berdasarkan rumusan di atas, dalam konteks pendidikan, paradigma bisa diartikan sebagai serangkaian konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka membangun suatu sistem pendidikan yang ideal.
Mengingat umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber kegiatan umat Islam (the prime source of Muslim activities) dan manusia pada umumnya, maka paradigma madrasah yang paling ideal adalah paradigma Qur’ani. artinya, semua kegiatan pendidikan madrasah didasarkan atas Al-Qur’an (dan Hadits), bukan paradigma Barat yang belum tentu relevan dengan nilai-nilai Islam dan lokalitas setempat.      
Al-Qur’an, kata Al-Ghazali, adalah tali-kokoh Allah, cahaya yang terang, obat yang bermanfaat. Terpeliharalah orang yang berpegang kepadanya dan selamatlah orang yang mengakuinya. Pandangan Al-Ghazali ini berpijak pada sabda Nabi Muhammad saw., di mana suatu ketika Huzaifah bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah, apa yang kau perintahkan kepadaku jika kami mengalami hal itu (perbedaan).” Rasul berkata: “Pelajarilah Kitab Allah, dan amalkanlah apa yang ada di dalamnya. Di situ, ada jalan keluarnya.” Menurut Huzaifah, “Aku ulangi pertanyaan itu tiga kali, dan Rasul menjawabnya tiga kali juga: ‘Pelajarilah Kitab Allah, dan amalkan apa yang ada di dalamnya, karena di situ ada keselamatan.” (Rahmat, 1998: 194).
Bagi Ziauddin Sardar (1998: 9), Al-Qur’an secara esensial merupakan prinsip-prinsip dan sebuah matriks mengenai konsep-konsep pandangan dunia Islam. Prinsip-prinsip itu mengikhtisarkan ketentuan-ketentuan umum mengenai perilaku dan perkembangan, serta menentukan batasan-batasan umum di dalam mana peradaban Muslim harus tumbuh dan berkembang. Matriks konseptual tersebut memainkan dua fungsi dasar: (1) sebagai standar barometer mengenai keislaman dari suatu perkembangan institusi tertentu; dan (2) sebagai basis elaborasi pandangan dunia Islam.   
Senada dengan Al-Ghazali dan Sardar, seorang intelektual Muslim  (asal) Pakistan, Fazlur Rahman (1996: 1), menulis bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah dokumen yang menamakan dirinya sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan lin-nas). Menurut Wahbah Az-Zuhaili (1996: 10), Al-Qur’an merupakan way of life bagi umat manusia, bukan hanya umat Muslim, yang berisi cara-cara bermasyarakat yang humanis dan bisa dipergunakan di mana dan kapan saja.
Az-Zuhaili menambahkan, Al-Qur’an diturunkan untuk memakmurkan, memajukan, dan meningkatkan derajat dan martabat kehidupan umat manusia di dunia dan juga memberikan keuntungan dan kejayaan di akhirat. Ia merupakan satu-satunya kitab yang membangun, membina, dan memajukan secara komprehensif seluruh cita-cita manusia.
Lihat saja apa yang telah ditemukan oleh Dr. Maurice Bucaille. Ia adalah dokter bedah Perancis yang tiba-tiba terkenal sebagai mufassir Al-Qur’an melalui karyanya yang berjudul La Bible, la Coran. et la Science yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab, Turki, Serbo-Croat, Persia, Gujarati dan Indonesia (Rahmat, 1998: 181).
Bucaille bukan sekedar memberikan penafsiran baru, ia juga mengkritik penerjemah-penerjemah Al-Qur’an yang berbuat kesalahan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. “Mereka umumnya sastrawan,” kata Bucaille. Dari situ, banyak orang Islam merasa terhibur dengan buku Bucaille dan menerima penafsiran ilmiah yang dikemukakannya. Ayat-ayat Al-Qur’an seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern.
Sayangnya, apa yang dikemukakan Bucaille di atas masih belum menjadi kesadaran kolektif umat Muslim bahwa Al-Qur’an telah menyediakan “segalanya” untuk kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bidang-bidang lainnya.
Karena itu, ketika diajukan pertanyaan limādzā taakhkhar al-Muslimūn wa tawqaddama ghyaryhum? Jawabannya bisa ditemukan dalam pandangan Tanthawi Jauhari. Menurutnya, keterbelakangan umat Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi karena umat Muslim yang tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pendorong pengembangannya. Ia yakin betul bahwa hanya dengan kembali kepada Al-Qur’an-lah umat Muslim —yang sekarang termasuk golongan “mustadh’afīn” di bumi ini— akan dapat memperbaiki nasibnya. Ia menyebutkan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, dan hanya 150 ayat tentang ilmu fiqh. Anehnya, mengapa para ulama Muslim menyusun puluhan ribu kitab fiqh? Menurutnya, ini jelas tidak rasional (Rahmat, 1998: 196-7). 
Apa yang dikemukakan Jauhari tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi kita mengenai keterbelakangan umat Muslim dalam berbagai aspeknya. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa cara yang terbaik untuk mendobrak stagnasi peradaban Muslim (Moslem civilization) harus dimulai dari penyusunan konsep sistem pengetahuan yang dinamis. Melalui sistem pengetahuan yang dinamis, pendidikan Islam juga akan dinamis. Kalau pendidikan Islam maju, dengan sendirinya peradaban Islam juga akan mengalami kemajuan. Itu semua akan bisa dicapai apabila sistem pendidikan Islam, seperti madrasah, didasarkan kepada Al-Qur’an.
Dalam penelusurannya mengenai worldview dan élan Al-Qur’an, Fazlur Rahman menemukan tiga kata kunci etika Al-Qur’an, yaitu iman, Islam dan taqwa. Ketiga kata kunci ini mengandung maksud yang sama, yaitu percaya, menyerahkan diri, dengan mentaati segala yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya (Sutrisno, 2006: 181).
Berangkat dari ketiga kata kunci tersebut, Rahman menyatakan bahwa pangkal pendidikan Islam adalah mengerahkan peserta didik untuk memiliki etika Al-Qur’an. Dengan didasari oleh Al-Qur’an, peserta didik dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya dengan kemampuan untuk mengatur segala yang ada di alam ini untuk kemaslahatan kehidupan seluruh umat manusia (Sutrisno, 2006: 181). 
Paradigma Qur’ani ini sangat penting dalam konteks kekinian di mana umat Islam menghadapi arus globalisasi yang digulirkan oleh Barat. Globalisasi cenderung menjebak manusia dalam kubangan materialisme dan mengesampingkan moralitas dan keadilan. Moralitas dan keadilan versi globalisasi ditimbang dengan neraca kapitalisme yang menjadikan kebebasan pasar sebagai pujaannya. Tidak mengherankan apabila manusia masa kini lebih bersikap individualistik, acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain, dan bahkan melupakan kehidupan akhirat sebagai kehidupan yang abadi.
Karenanya, paradigma Qur’ani ini merupakan paradigma alternatif bagi umat Islam yang saat ini mengalami keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagaimana disebutkan di atas, Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan umat Islam, termasuk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui sistem pendidikannya. Jika Al-Qur’an sudah menyediakan semuanya, mengapa umat Islam merasa silau dengan paradigma yang dikembangkan Barat. Bukankah akan lebih “terhormat” apabila umat Islam bisa menampilkan paradigmanya sendiri di dalam kegiatan pendidikannya.   
Melalui paradigma Qur’ani ini, saya yakin madrasah akan mampu melahirkan sosok generasi Muslim yang kreatif dan berbudi luhur yang menjadikannya bisa memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Jika paradigma Qur’ani ini terus diterapkan dan dikembangkan secara konsisten, maka tidak mustahil di masa mendatang umat Islam mampu menciptakan “peradaban Qur’ani”.

D. Ijtihad Pengembangan Madrasah di Era Globalisasi
Seorang kolega berkata kepada saya, “Jika kita datang ke sebuah rumah sakit, dan kemudian kita datang lagi sepuluh tahun kemudian, maka kita akan merasa asing, sebab telah terjadi berbagai perubahan dalam rumah sakit itu. Tetapi berbeda kalau kita datang ke sebuah institusi pendidikan, lalu kita kembali lagi sepuluh tahun kemudian, maka kita tidak akan menemui perubahan yang berarti dalam institusi tersebut.”  
Stagnasi institusi pendidikan sebagaimana dikemukakan kolega tadi merupakan realitas yang kita dapati di sekeliling kita. Dalam konteks ini saya akan menguraikan tentang perjalanan salah satu institusi pendidikan Islam yang bernama madrasah. Selama beberapa tahun, praktis tidak ada perubahan signifikan dalam lembaga pendidikan ini. Madrasah semakin lama cenderung semakin menurun. Ia seakan-akan berjalan di tempat di saat perubahan zaman berubah dengan cepatnya.
Barangkali kita bertanya, ada apa dengan madrasah? Mengapa lembaga ini tidak memiliki kemajuan berarti, padahal umat Islam menaruh harapan besar di pundaknya? Apa ada yang salah dengan pengelolaannya, sehingga madrasah tampak statis? Lantas apa yang harus dilakukan madrasah dalam menghadapi era kesejagatan ini? Inilah serangkaian pertanyaan yang coba diuraiakan dalam bagian ini.
KH. M. Sahal Mahfudh, yang akrab dipanggil Mbah Sahal, menyebutkan bahwa sedikitnya ada tiga masalah penting yang saat ini dihadapi madrasah. Pertama, masalah identitas diri madrasah dalam hubungannya dengan karakteristik dan independensinya terhadap lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat. Kedua, masalah jenis pendidikan yang dipilih sebagai alternatif dasar yang dikelola untuk menciptakan satu sistem pendidikan yang masih memiliki titik tekan keagamaan, tetapi pengetahuan umum tetap diberi porsi yang cukup sebagai basis mengantisipasi perkembangan masyarakat. Ketiga, masalah sumber daya dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa mendatang (Syukur, 2002: 256).  
Ada dua hal yang menarik dari pandangan Mbah Sahal di atas, yaitu mengenai keseimbangan kurikulum masyarakat dan responnya terhadap dinamika zaman. Tokoh NU asal Pati ini sebetulnya hendak menyatakan bahwa saat ini kurikulum madrasah masih kental dengan nuansa akhirat, sekalipun sudah ada pelajaran-pelajaran umum di dalamnya. Pembelajaran madrasah saat ini masih lebih memfokuskan pada masalah-masalah keagamaan, sehingga unsur pengembangan IPTEK cenderung kurang mendapat porsi yang seimbang.
Hal ini sekaligus berdampak pada kurangnya kepekaan madrasah terhadap dinamika zaman dan kebutuhan masyarakat. Sistem pendidikan madrasah yang ada saat ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diterapkannya dalam satu dasawarsa sebelumnya. Padahal, perubahan zaman berikut budayanya terus berkembang silih berganti, dan kini masyarakat dunia tengah berada di sebuah zaman yang dikenal dengan sebutan globalisasi.
Menurut William Montgomery Watt (2002: 169), globalisasi ini merupakan konsekuensi kemajuan yang dicapai dunia Barat sejak dua abad silam. Kereta uap, kapal uap, mobil, dan pesawat mempercepat transportasi baik barang maupun orang. Telepon, radio, internet, pertelevisian dan media cetak lainnya menyebabkan suatu berita dapat menyebar kepada setiap orang dalam waktu sekejap di hampir setiap penjuru dunia.
Parahnya, globalisasi mengakibatkan ketergantungan Dunia Ketiga terhadap negara-negara kuat. Ketergantungan ini, kata Abdurrahman Mas’ud, merupakan sebuah kenyataan yang merisaukan. Arus informasi globalisasi yang ada ternyata tidak seimbang dengan dominasi informasi dan kultur Barat. Keadaan ini menimbulkan dominasi kultural atau imperialisme budaya. Globalisasi, lanjut Rahman, berimplikasi pada westernisasi yang berakibat pada tergilasnya budaya lain (Mas’ud, 2003: 198). Kondisi ini sekaligus menuntut institusi pendidikan seperti madrasah, untuk dapat berperan besar dalam mengatur irama perubahan tersebut (Shaleh, 2004: 79-80).
Karenanya, kita membutuhkan madrasah yang peka zaman, bukan madrasah yang ketinggalan zaman. Artinya, madrasah di tuntut untuk menjadikan dirinya sebagai pelayan pendidikan yang memuaskan umat Muslim. Hal ini tentunya dilakukan dengan tanpa melacurkan identitas dan ciri khas madrasah sebagai institusi pendidikan Islam yang bernuansa religius.
Justru di era globalisasi seperti sekarang ini, di mana masyarakat mulai kering dengan hal-hal yang berbau keagamaan, eksistensi madrasah sebagai lembaga bernuansa keagamaan mutlak dipertahankan. Hal ini tidak cukup apabila tidak diiringi dengan ijtihad pengembangan masyarakat sebagai bentuk respons dirinya atas perkembangan dan kebutuhan masyarakat global. 
Ada lima hal penting yang perlu dilakukan madrasah agar menjadi lembaga pendidikan Islam yang peka zaman, antara lain:
1. Reorientasi Pendidikan Madrasah
Kata reorientasi mengandaikan bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam pendidikan madrasah sehingga ia perlu diorientasikan kembali. Ketidakberesan itu terletak pada ketidakseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi. Madrasah tampaknya terlalu memprioritaskan orientasi ukhrawi daripada keseimbangan antara keduanya. Bagi penulis, madrasah saat ini seyogyanya berorientasi pada humanisme-transendental, sehingga ia bersifat kekinian dan kedisinian, sekaligus tetap mempertahankan spirit ketuhanannya.
Masalah humanisasi memang merupakan sesuatu yang penting untuk diperhatikan secara serius. Pasalnya, eksploitasi ekonomi, represi politik, dan hegemoni budaya di era globalisasi ini tampaknya semakin menegasikan fitrah kemanusiaan kita. Melalui mantra globalisasi dan jurus pasar bebas, saat ini terdapat gap yang begitu lebar antara konglomerat dan si melarat; antara aghniya’ dan fuqara’. Kekacauan ini seakan semakin lengkap dengan menjamurnya pemimpin-pemimpin korup, baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional.
Ini tentu saja berseberangan dengan élan vital Islam yang menurut Fazlur Rahman menekankan pada keadilan sosial-ekonomi dan persamaan esensial manusia. Bahkan, lima rukun Islam yang dipandang sebagai ajaran Islam par excellence juga mempunyai tujuan keadilan sosial dan pembangunan masyarakat egalitarian. Sayangnya, sebagian umat Muslim tampak kurang peduli terhadap dehumanisasi yang menimpa umat Muslim yang lain dan manusia pada umumnya.
Betul apa yang dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat bahwa umat Muslim selama ini cenderung mengartikan ibadah dengan membatasinya pada ibadah-ibadah ritual saja. Betapa banyak untuk Muslim yang disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah, tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, kesehatan, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang Muslim kaya yang dengan khusyu’ meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu yang digerogoti gizi buruk dan kelaparan semakin lama semakin meningkat. Betapa mudahnya uang jutaan atau bahkan miliaran rupiah dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak tidak melanjutkan sekolah, ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi yang tidak tahu akan diperoleh di mana, ribuan orang sakit menggelepar menunggu jemputan maut karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit yang luar biasa mahalnya, dan bahkan ribuan umat Muslim terpaksa jual iman dan keyakinannya kepada tangan-tangan kaum lain yang “penuh kasih” (Ramhat, 1998: 57). 
Karenanya, output yang harus dilahirkan dari rahim madrasah bukan sosok manusia yang hanya mementingkan kesejahteraan dan kebahagiaannya pribadi, tetapi manusia yang peka terhadap penderitaan, ketimpangan terstuktur, dan kebutuhan masyarakat. Sosok manusia seperti inilah yang akan menjadi pelita zaman dan selalu membawa obor pencerahan kepada masyarakat, terutama kaum mustadl’afīn.
Hal ini tentu saja bukan perkara gampang mengingat institusi pendidikan madrasah selama ini cenderung mempertahankan kultur feodalistik, di mana peserta didik hanya disuruh menghafal dan memahami seonggok mata pelajaran yang disampaikan oleh para guru. Sementara kritisitas mereka, sengaja atau tidak, tidak pernah dimunculkan.
Artinya, reorientasi pendidikan madrasah ke arah humanisme-transendental membutuhkan keberanian untuk merombak kejumudan sistem feodalistik yang telah mengakar dalam madrasah. Ia harus digantikan dengan sistem yang humanis pula, di mana terdapat ruang yang luas bagi siswa untuk berpikir secara bebas dan kritis. Bagaimana mungkin madrasah mampu melahirkan sosok manusia yang humanis, sementara sistem pendidikannya sendiri masih jauh dari nilai-nilai humanis. Bila hal itu telah dilakukan dengan baik, kita dapat optimis bahwa madrasah akan menjadi ujung tombak humanisasi dalam masyarakat global ini.
2. Pengembangan Kurikulum Madrasah
Sebelum masuk pada perbincangan pengembangan kurikulum madrasah di era globalisasi, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu mengenai pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum tersebut. Setidak-tidaknya ada enam pendekatan yang dapat ditawarkan terhadap pengembangan kurikulum, yaitu:
Pertama, pendekatan rasionalisme akademik. Ini merupakan pendekatan yang paling rasional di antara pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan ini menganut suatu asumsi bahwa kurikulum merupakan transmisi budaya dalam arti spesifik. Kecerdasan peserta didik akan terpupuk dalam pengembangannya jika ia diberikan atau dibekali kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan the most powerful product of man’s intelligence yang terhimpun dalam disiplin-disiplin ilmu. Kurikulum tidak diorientasikan pada mata pelajaran yang bersifat praktis, tetapi bersifat liberal yang menggunakan latihan dan pengasahan intelektualitas. Kurikulum harus mampu membuat peserta didik menggunakan kaidah-kaidah berpikir yang ketat dan terkendali dalam menguasai disiplin ilmu yang diajarkan. 
Kedua, pendekatan pengembangan proses kognitif, yaitu pendekatan yang tidak hanya mengutamakan muatan pendidikan tetapi juga bagaimana mengolah muatan tersebut. Setiap aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa dan proses yang terjadi di ruang kelas. Dasar pikiran yang digunakan adalah bahwa peserta didik harus dilihat sebagai unsur yang interaktif dan adaptif dalam sistem. Jika peserta didik diberi alat intelektual yang benar, perkembangan berpikirnya akan berkelanjutan, dan yang kelak akan memampukannya untuk menafsirkan situasi yang dihadapi diluar konteks persekolahan.
Ketiga, pendekatan struktur pengetahuan. Asumsinya, penekanan yang benar dalam proses pembelajaran akan membuka wawasan peserta didik terhadap struktur pengetahuan. Peserta didik harus memahami ide-ide yang fundamental, konsep-konsep dasar, dan mampu menggunakan cara-cara para ahli dalam menganalisis dan menata data. Materi yang diajarkan (informasi, konsep, fakta, atau prinsip) diorganisasikan dalam pola hubungan satu sama lain, baik hubungan di dalam disiplin ilmu maupun interdisipliner.
Keempat, pendekatan teknologis, yaitu pendekatan yang menekankan pada teknologi bagaimana ilmu pengetahuan itu ditransfer dan bagaimana memberi kemudahan-kemudahan dalam proses pembelajaran.
Kelima, pendekatan aktualisasi diri. Kurikulum diasumsikan sebagai alat untuk memperoleh pengalaman yang terbaik dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis secara keseluruhan. Sebagai alat, kurikulum harus mempunyai daya pembebas untuk pembentukan integritas personal peserta didik. Dilihat dari sudut muatan. kurikulum adalah tujuan itu sendiri, tahap dari proses kehidupan dan alat untuk pemenuhan diri.
Keenam, pendekatan relevansi rekonstruksi sosial. Pendekatan ini mengupayakan tumbuhnya reformasi dalam pendidikan, yaitu mendudukkan pendidikan sebagai alat yang mamampukan individu untuk berperan sebagai reformis sosial yang bertanggungjawab terhadap masa depan. Pendidikan juga sebagai alat untuk memampukan individu untuk beradaptasi dalam perubahan sosial budaya itu sendiri dan mampu melakukan intervensi secara aktif membangun perubahan-perubahan. Menurut pendekatan ini, kurikulum harus mencerminkan hubungan-hubungan permasalahan sosial masa kini dan masa depan dengan perkembangan peserta didik. Perkembangan, perubahan sosial, dan pengaruh timbal balik terhadap kualitas mentalitas dan kualifikasi diri peserta didik harus dijadikan dasar pemikiran dalam pengembangan kurikulum.  
Berpijak kepada pendekatan-pendekatan pengembangan kurikulum di atas, gagasan mengenai kurikulum madrasah yang peka zaman harus dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Harus jujur kita akui bahwa umat Islam Indonesia, dan umat Islam pada umumnya, sangat ketinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, masyarakat Muslim secara tidak langsung masih tetap dijajah oleh Barat yang saat ini berbentuk globalisasi.
Sebetulnya, pengembangan IPTEK dalam madrasah sudah digagas sejak diturunkannya SKB tiga Menteri pada tahun 1974, di mana komposisi pendidikan umum dan pendidikan agama adalah 70:30. Hanya saja, implementasi kurikulum tersebut tidak seperti yang telah digariskan. Terbukti, banyak madrasah yang masih mendominankan pendidikan umum. Karenanya, hal semacam ini harus diperbaiki agar kurikulum madrasah lebih adaptif terhadap dinamika zaman dan kebutuhan riil masyarakat. 
3. Perbaikan Manajemen Madrasah
Mengelola suatu lembaga pendidikan, seperti madrasah, kata A. Malik Fadjar, bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi yang dimaksud mengelola tidak sekedar dalam pengertian “mempertahankan” yang sudah ada, tetapi melakukan pengembangan secara sistematik dan sistemik. Sekedar mempertahankan mungkin relatif lebih mudah untuk dilakukan, tetapi hal ini akan segera mendatangkan petaka bagai sebuah lembaga madrasah. Secara perlahan tapi pasti, madrasah semacam ini akan tertinggal dalam buritan sejarah akibat ketidakmampuannya mengadakan hubungan dialektis dengan zaman dan realitas yang selalu menuntut sikap transformatif (Fadjar, 1998: 91). 
Karenanya, dalam rangka mewujudkan madrasah yang peka zaman perlu ditetapkan program manajemen madrasah yang meliputi empat unsur. Pertama, school review, yaitu suatu proses yang di dalamnya seluruh pihak madrasah bekerja sama dengan pihak-pihak yang relevan untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas kebijaksanaan madrasah, program, pelaksanaan, dan mutu lulusannya. School review ini diharapkan dapat menghasilkan suatu laporan yang membeberkan kelemahan-kelemahan, kekuatan-kekuatan, dan prestasi madrasah serta memberikan rekomendasi untuk menyusun perencanaan strategis pengembangan madrasah pada masa-masa mendatang, tiga atau lima tahun berikutnya.  
Kedua, quality assurance, yaitu sebagai jaminan bahwa proses yang berlangsung telah dilaksanakan sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan. Proses diharapkan bisa menghasilkan output yang memenuhi standar pula. Untuk itu, kita perlu mekanisme kontrol agar semua kegiatan yang dilaksanakan di madrasah terkondisi dalam standar proses yang ideal. Melalui quality insurance ini, pihak sekolah dapat meyakinkan masyarakat bahwa madrasah senantiasa memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh murid-muridnya.  
Ketiga, quality control, yaitu suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Standar kualitas ini dapat dipergunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahui maju mundurnya madrasah. Semua madrasah baik yang tergolong excellence, normal, maupun rendah dapat melakukan quality control, antara lain dengan jalan membandingkan nilai Ujian Nasional (UN) murni ketika masuk madrasah tersebut dengan rata-rata UN sesudah lulus dari madrasah itu. 
Ketiga, bench marking, yaitu kegiatan untuk menetapkan suatu standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai pada periode tertentu. Standar ini direfleksikan dari realitas yang ada. Misalnya, untuk mengetahui perilaku mengajar guru, maka standar yang ditetapkan adalah dengan merefleksikan salah seorang guru yang dikenal baik dalam mengajarnya (internal bench marking). Demikian halnya dengan standar kualitas pendidikan, ia direfleksikan dari suatu madrasah atau sekolah yang baik (external bench marking).
4.    Perbaikan Kepemimpinan Madrasah
Peran pemimpin dalam setiap organisasi sangatlah vital. Pemimpin ibarat lokomotif yang akan menarik gerbong di belakangnya. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi orang lain. Inilah definisi yang umum digunakan. Dalam sebuah organisasi seperti madrasah, seni tersebut digunakan untuk mempengaruhi individu dan kelompok guna mencapai tujuan organisasi secara optimal. Supaya kepemimpinan bisa efektif, maka dituntut kemampuan seorang pemimpin untuk secara terus-menerus mempengaruhi perilaku bawahan untuk mencapai tujuan organisasi secara optimal.
Jika paradigma kepemimpinan lama bisa diibaratkan dengan perahu yang meluncur di sungai yang tenang, di mana tugas kepemimpinan bisa relatif lebih stabil dan linear, maka kepemimpinan di era kesejagatan ini bisa diibaratkan seperti perahu yang mengarungi jeram, di mana situasi bisa berubah setiap saat. Untuk model yang kedua ini, setiap unsur yang ada di dalam perahu tersebut harus mampu bertindak sebagai pemimpin. Artinya, mereka tidak selalu menunggu perintah dari atasan.
Membangun peranan baru kepala madrasah adalah persyaratan penting untuk membangun madrasah yang peka zaman. Kepala madrasah dan ketua Yayasan (jika ada) merupakan top leader di madrasah, yang diharapkan mampu menjadi lokomotif dalam upaya mewujudkan tujuan madrasah. Manajemen madrasah dapat berjalan dengan baik manakala kepala madrasah mampu mengelola segenap sumber daya yang dimiliki madrasah tersebut secara profesional dan proporsional. Karena itu, mereka harus memiliki wawasan jauh ke depan dan keberanian untuk menentukan sikap.
Dalam mengorganisasikan madrasah, kepala madrasah harus memiliki keterampilan yang memadai. Pertama, keterampilan mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan dengan melibatkan seluruh komponen madrasah. Kedua, keterampilan memanfaatkan daya dan dana untuk menghasilkan keputusan yang berkualitas dalam mencapai target yang optimal. Ketiga, keterampilan mengelola dan menyajikan informasi dengan\secara akurat, cepat dan mudah dicerna oleh para pelaksana. Keempat, keterampilan berkomunikasi dengan berbagai pihak. Kelima, keterampilan mengoptimalkan partisipasi seluruh komponen madrasah maupun pihak lain untuk ikut memikirkan madrasah.
Adapun karakteristik kepemimpinan madrasah yang peka zaman, antara lain: pertama, memiliki kredibilitas dan dapat dipercaya oleh pengikutnya; kedua, memiliki integritas tinggi terhadap pekerjaannya; ketiga, kompeten di bidangnya dalam mampu membangun komunikasi yang baik; keempat, konsisten dan loyal, yakni memiliki ketaatan pada visi dan misi organisasi; dan kelima. inklusif, yakni tidak menutup diri dari input atau kritik membangun yang berasal dari luar.
Menurut Tri Darmayanti (2001: 203-13), setidaknya ada lima peran yang bisa dimainkan oleh kepala madrasah dalam menetapkan kepemimpinan yang peka zaman. Pertama, merumuskan visi (the vision role). Peran ini dimaksudkan untuk memberi kejelasan arah organisasi madrasah. Meski gagasan datang dari kepala madrasah, namun peran ini tidak dilakukan sendiri, melainkan bisa melibatkan atau membentuk tim untuk merumuskannya.
Kedua, menjalin relasi (the relationship role). Sebagai seorang kepala madrasah atau ketua yayasan tentu tidak dapat mengabaikan arti penting menjalin hubungan dengan siapa saja dalam rangka mengembangkan madrasah, sebab eksistensi madrasah akan sangat ditentukan oleh bagaimana kepiawaian mereka menjalin hubungan dengan semua pihak.
Dalam konteks internal madrasah, kepala madrasah harus mampu membangun team work (kerja tim) yang solid, dengan individu-individu yang memiliki kemampuan komplementer. Di samping itu, ia juga perlu menyusun struktur personal yang mendeskripsikan pola hubungan kerja antar mereka. Sementara itu, untuk lingkup eksternal madrasah, kepala madrasah maupun ketua yayasan harus mampu membangun jaringan dengan berbagai pihak terkait.
Ketiga, mengendalikan (the control role). Kepala madrasah harus mampu berperan sebagai konsultan bagi bawahannya. Fungsi konsultasi ini akan berjalan efektif jika kepala madrasah mampu menjabarkan tujuan yang hendak dicapai oleh madrasah. Fungsi ini bisa dilakukan dengan mendefinisikan masalah dan jalan keluarnya, pembuatan keputusan, mendelegasikan, deskripsi kerja yang jelas, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mengelola konflik yang lazim disebut manajemen konflik.
Keempat, memberi motivasi (the encourage role). Peran ini bisa dilakukan dengan beberapa variasi teknik seperti sistem penggajian yang adil, pengakuan prestasi kerja, dan penerapan reward and punishment). Pastinya, peran ini diarahkan untuk memacu dan menggairahkan iklim kerja yang produktif dalam madrasah.
Kelima, pemberi informasi (the information role). Dalam memainkan peran ini, kepala madrasah harus memiliki akses yang luas baik ke dalam maupun ke luar madrasah. Artinya, ia harus mampu membangun dan memelihara jaringan informasi yang dapat dijadikan saluran komunikasi internal maupun eksternal madrasah.
5.    Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Lahirnya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan sangat berarti terhadap institusi-institusi pendidikan, termasuk madrasah, untuk meningkatkan dirinya tanpa tergantung kepada pemerintah pusat. Desentralisasi pendidikan tersebut bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan sebetulnya bukan sesuatu yang baru bagi madrasah, sebab lembaga ini sejak semula didirikan dan dikelola atas swadaya masyarakat (self supporting). Artinya, masyarakat memang memiliki andil terhadap survive tidaknya madrasah.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi pendidikannya, sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan, kepemilikan, dan keterlibatan yang tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas seperti peranan orang tua siswa yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya sekolah, melainkan keterlibatan yang didasarkan atas kepemilikan milieu sekolah.
Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian tinggi terhadap madrasah-madrasah yang ada di lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan memberikan kontribusi penting, baik dalam bidang material, kontrol manajemen, pembinaan, dan bentuk-bentuk partisipasi lainnya dalam rangka menjadikan madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang peka zaman.          

E. Penutup
Merujuk kepada fokus kajian di atas, terdapat beberapa simpulan yang dapat dikemukakan. Pertama, embrio madrasah ternyata sudah dalam sejak zaman Nabi dalam bentuk kuttab dan suffah. Embrio ini kemudian berkembang ke berbagai negara Muslim, termasuk di Indonesia. Dinamika madrasah di Indonesia juga melalui metamorfosa yang panjang sebelum terlembaga sebagai sistem pendidikan Islam yang kita kenal sekarang. 
Kedua, umat Muslim yakin bahwa Al-Qur’an merupakan way of life dan sumber berbagai kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun pendidikan. Karenanya, paradigma Qur’ani tampaknya merupakan paradigma paling ideal dalam upaya pengembangan madrasah di era globalisasi ini. Selain membuang paradigma-paradigma Barat yang belum tentu sejalan dengan spirit Islam, paradigma Qur’ani pada akhirnya dapat mengantarkan masyarakat Muslim kepada sebuah peradaban yaitu peradaban Qur’ani.
Ketiga, adalah sebuah keharusan bagi madrasah untuk merespon dinamika zaman yang begitu cepat dan kebutuhan manusia kontemporer yang semakin kompleks. Respons ini akan menjadikannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang peka zaman. Madrasah peka zaman ini bisa diupayakan melalui beberapa hal, antara lain: reorientasi pendidikan madrasah, pengembangan kurikulum madrasah, perbaikan manajemen madrasah, perbaikan kepemimpinan madrasah, dan peningkatan partisipasi masyarakat


DAFTAR PUSTKA

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Yogyakarta, Dinamika, 1996
Darmayanti, Tri, Organisasi, Manajemen dan Kepemimpinan, dalam Modul Inservice Training KKM, MTs/MI, Jakarta, PPIM, 2001
Fadjar, A. Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta, LP3NI, 1998
Haramain, A Malik, Sketsa Gerakan (Kritik-Otokritik Gerakan PMII), Yogyakarta, Fajar Pustaka, 2003
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, LSIK dan Raja Grafindo Persada, 1999
Mas’ud, Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta, Gama Media, 2003
______, “Tradisi Learning Pada Era Pra-Madrasah”, dalam Ismail SM, (ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Kerjasama IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005
Rahman, Fazlur, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Bandung, Pustaka, 1996
Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung, Mizan, 1998
Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002
Sardar, Ziauddin, Jihad Intelektual (Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1998
Shalaby, A., History of Muslim Education, Beirut, Daar al-Kashaf, 1954
Shaleh, Abdul Rahman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan Aksi), Jakarta, Rajawali Pers, 2004
Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian terhadap Metodologi, Epistemologi dan Sistem Pendidikan , Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006
Syukur, Fatah, “Madrasah di Indonesia: Dinamika, Kontinuitas dan Problematika”, dalam Ismail SM, (ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta, Pustaka Pelajaran dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002

Watt, William Montgomery, Islam, terj. Imron Rosyadi, Yogyakarta, Jendela, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar