Kamis, 27 Februari 2014

Bukti Adanya Tuhan

"+"

Dalil-Dalil Pembuktian Adanya Tuhan


Sifat manusia mempercayai Tuhan pencipta alam ini terdapat bersama dengan adanya tubuh manusia, sebagaimana yang ternyatasemenjak zaman yang dikenal sampai hari ini.[1] Setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk membuktikan wujud Tuhannya, bahkan secara langsung, seperti Nabi Musa sendiri pernah meminta agar Dia memperlihatkan diri kepadanya.[2]
“Dan Tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama beriman”. (Q.S. al-A’raf:143)[3] 
Tuhan Allah itu ada tetapi bagaimana dapat dibuktikan dan diuraikan adanya Allah ini? Dalam hal ini ada berbagai macam dalil dan jalan dapat digunakan. Beberapa di antaranya:

1.  Dalil Fisika 
  Dalil ini mula-mula dipakai oleh Abdul Huseli Al-Allaf, seorang ahli dalam mazhab Mu'tazilah, pengikut Wasil bin Atha'. Dia memulai Dalil ini dengan teori atom. Bahwa alam ini baik yang berupa zat padat, zat cair ataupun zat gas, semuanya dapat dibagi-bagi hingga ke bagian yang terkecil yang biasa disebut orang molekul.  Molekul-molekul ini satu sama lainnya saling tarik-menarik. Karena kekuatan tarik-menarik inilah terjadi benda-benda itu. Tiap-tiap molekul itu terjadi dari atom-atom yang teratur valensinya, teratur beratnya, dan juga teratur persejiwaannya satu dengan lainnya. Tiap-tiap atom ini berputar-putar di sekitar atom-atom yang lain.
Dari perputaran atom inilah kemudian timbul daya tarik menarik antara molekul-molekul.  Kalau atom-atom itu tidak berputar-putar, tidak akan ada daya tarik-menarik, maka tidak akan ada satu pun benda di alam ini.[4]
Timbul pertanyaan: Siapakah gerangan yang memutar dan menggerakkan atom- atom yang sebanyak itu? Sudah barang tentu karena ada gerakan pasti ada yang menggerakkan dan yang menggerakkan atau memutar ini tidak ada lain kecuali Tuhan. Jadi jelaslah, bahwa Tuhan itu ada.
Atau dalil Fisika ini dapat diuraikan begini; di dalam alam ini, ada susunan dan peraturan yang amat bagus. Dengan teratur sekali bumi bergerak mengitari matahari dalam waktu 365 hari 5 jam 49 menit 12 detik, sedang bulan mengitari bumi dalam waktu 29 hari 12 jam 44 menit dan 3 detik. Begitu juga planet-planet dan bintang-bintang lainnya. Semuanya berjalan dengan teratur sekali di angkasa raya, dan tak sekalipun pernah berantuk atau bertubrukan satu sama lain.
Kemudian dengan adanya susunan yang demikian hebat dan adanya peraturan alam semesta yang harmonis ini, dapatkah terjadi dengan sendirinya? Tentu saja tidak dapat, dan tentulah semua itu terjadi dan berlaku karena ada yang mengendalikan dan mengaturnya. Adapun yang mengendalikan dan mengatur ini, tidak ada lain kecuali Tuhan. Jadi makin jelas, bahwa Tuhan itu memang ada.[5]

2.  Dalil Akhlak 
Dalil akhlaq ini, berasal dari Immanuel Kant ( 1724-1804).
Kant berpendapat, bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam  dalam jiwa dan hati sanubarinya. Perasaan moral ini, tidak diperoleh dari pengalaman dalam hidupnya di dunia, tetapi merupakan pembawaannya sejak lahir. Dengan perasaan moral itu, orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik.
Dan perasaan  berkewajiban melakukan perbuatan  baik dan menjauhi perbuatan buruk itu sama sekali tidak tergantung pada akibat-akibat yang akan timbul dari perbuatan itu. la harus berbuat baik semata-mata, karena perintah yang datang dari dalam hati sanubarinya untuk berbuat baik. Demikian pula ia merasa berkewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk semata-mata, karena perintah yang timbul dari dalam hati nuraninya. 
Perintah dari dalam hati ini, bersifat absolut dan universil (categorical imperative). Perbuatan baik dilakukan karena perintah memang demikian. Dan pekerjaan jahat dijauhi, karena perintah juga mengatakan demikian. Perbuatan baik dilakukan dan perbuatan buruk di jauhi karena itu adalah kewajiban manusia.
Dalam pada itu menurut pengalaman yang sering terjadi didunia, dapat diketahui bahwa tidak selamanya perbuatan-perbuatan baik membawa kepada kebaikan, dan perbuatan buruk acapkali pula tidak mendapat hukuman sebagaimana mestinya. Dengan demikian antara apa yang terjadi dalam kehidupan di dunia dan perintah yang datang dari dalam sanubari, ada kalanya kontradiksi dalam praktek. Tetapi sungguhpun demikian, manusia tetap merasa bahwa ia berkewajiban mendengar perintah sanubarinya itu.
Suasana kehidupan duniawi yang seringkali pincang atau tidak adil itu menimbulkan suatu perasaan, yaitu pasti ada kehidupan yang kedua dibalik kehidupan yang pertama yang sekarang ini. Hidup yang kedua ini kekal abadi, dan dalam hidup yang kekal inilah perbuatan-perbuatan baik yang belum mendapat balasan baik, dan perbuatan-perbuatan buruk yang belum mendapat hukuman, akan memperoleh balasannya masing-masing. Yang baik dibalas baik, yang buruk diganjar hukuman.
Dan adanya pembalasan yang demikian itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya, tetapi pastilah pembalasan yang adil itu berasal dari satu zat yang maha adil, dan zat inilah yang disebut Tuhan. Demikian dalil Akhlaq dari Kant. Dalil akhlak tersebut dapat disederhanakan lagi, sebagai berikut;
Manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam hati sanubarinya,yang selalu menyuruh berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk. Perasaan moral demikian, tidak diperoleh dari pengalaman, tetapi telah dibawanya sejak lahir. Kalau demikian, dari mana asal perasaan moral tersebut? Jawabnya, tentu saja ia berasal dari suatu zat yang maha tahu akan baik dan buruk. Zat yang maha tahu inilah yang disebut Tuhan. Perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Nilai-nilai itu jelas tidak berasal dari manusia, tetapi telah dibawa sejak lahir. Dengan begitu nilai-nilai tersebut berasal dari luar manusia, yaitu dari suatu zat yang keadaannya lebih tinggi dari manusia. Dan zat inilah yang bernama Tuhan.
Selanjutnya adanya nilai-nilai itu mengandung arti adanya pencipta nilai-nilai. Pencipta nilai ini pulalah yang biasa disebut Tuhan.[6]

3.  Dalil Kesaksian 
Untuk membuktikan benar tidaknya sesuatu persoalan, diperlukan adanya kesaksian. Dalam dunia peradilan misalnya, hakim yang jujur tak akan menjatuhkan vonis kepada terdakwa, bilamana persoalan yang menyangkut terdakwa belum jelas dan meyakinkan, dan untuk meyakinkan ini juga diperlukan adanya saksi-saksi.
Orang banyak percaya bahwa kota-kota seperti Kairo, Moskow, Washington, Mekkah dan lain-lain itu ada. Kepercayaan itu pada umumnya bukan karena mereka telah pernah datang menyaksikannya, tetapi karena menurut kata orang yang pernah datang ke sana, bahwa kota-kota tersebut memang ada. Jadi juga berdasarkan atas kesaksian.
Bahwa Tuhan itu ada, juga dapat dibuktikan karena adanya sejumlah para saksi yang telah ada dari masa ke masa, yang telah berhasil membuktikan bahwa Tuhan itu ada, berkata, mendengar, melihat dan bertindak dengan hebatnya. Mereka para saksi adanya Tuhan ini terdiri dari manusia-manusia pilihan, berakhlaq luhur, dapat dipercaya, tak pernah berdusta. Mereka itulah para Nabi dan Rasul Tuhan yang pernah lahir di muka bumi. Jadi, berdasar kesaksian-kesaksian para Nabi, memang Tuhan itu ada.

4.  Dalil Inayah dan Ikhtiro’
Dalil Inayah dikemukakan oleh Ibnu Rusyd atau Averroes, seorang filosof Islam terkenal yang hidup antara tahun 1126-1198. Selain dalil Inayah ini, Ibnu Rusyd mengemukakan pula dalil Ikhtiro
Kedua dalil Ibnu Rusyd ini, dalam soal pembuktian adanya Tuhan dinilai oleh para ulama sebagai dalil-dalil yang paling kuat dan tidak berbelit-belit, sebab kedua dalil tersebut tidak saja sesuai dengan akal pikiran, tetapi juga cocok dengan ayat-ayat Al-Quran. Inayah artinya perhatian, perindahan. Maksudnya ialah perhatian/perindahan Tuhan, dalil ini menyatakan bahwa alam ini dan segala isinya sesuai betul dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Umpamanya siang dan malam, matahari dan bulan, pergantian musim,hewan tumbuh-tumbuhan dan hujan, dan lain sebagainya. Semuanya sesuai betul dengan kehidupan manusia, seolah-olah semuanya itu memang dijadikan untuk kepentingan manusia.[7]
Persesuaian ini, tentu saja tidak terjadi secara kebetulan, tetapi terjadi karena penciptaan yang rapi dan teratur yang berdasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Bahkan juga persesuaian itu menunjukkan adanya perhatian/pemeliharaan dari Sang Pencipta tadi terhadap alam semesta ini,
Dan siapa lagi Sang Pencipta ini selain daripada Allah SWT. Pandangan akal semata-mata dari Ibnu Rusyd ini, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur'an, di antaranya :
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?
Dan gunung-gunung sebagai pasak?
Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan.
Dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat,
Dan kami jadikan malam sebagai pakaian,
Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,
Dan kami bina diatas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh,
Dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari),
Dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah,
Supaya kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, Dan kebun-kebun yang lebat? (Al-Qur'an S. An-Naba’ 6 s/d 16) Dalam pada itu adanya perhatian dan kebijaksanaan Tuhan, nampak jelas pula pada diri manusia, terutama ketika masih bayi. Mula-mula manusia dikeluarkan dari perut ibu dengan tidak mengetahui apa-apa. Tetapi kemudian akal manusia berangsur-angsur maju sedikit demi sedikit, sesuai dengan perkembangan jasmaninya.
Andaikata sejak lahir itu manusia telah diberi akal yang telah bekerja, tentulah manusia akan merasa berat dibalut erat-erat tubuhnya, tentulah manusia akan gelisah benar berhubung kekuatan badannya belum dapat memenuhi kehendak akalnya, dan selain itu kalau manusia lahir telah berakal, tentulah mereka tidak akan mendapatkan kasih sayang orang tua, sebagaimana halnya bayi-bayi yang lahir dengan tidat berakal.
Dengan demikian, kelahiran manusia dengan keadaan bodoh dan belum dapat memikirkan sesuatu, adalah bersesuaian benar dengan keadaan manusia yang masih bayi. Kemudian setelah manusia itu bertambah besar, akal manusiapun naik dan maju pula, sehingga sesuai dengan perkembangan jasmaninya.
Ini semua, mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, tetapi pastilah ada yang menjadikan, yaitu Tuhan. Dialah yang telah memperhatikan dan memelihara segala sesuatu yang diciptakannya, sehingga segalanya sesuai betul dengan keadaan masing-masing hasil ciptaannya itu.[8] Firman Tuhan :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dan perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu    (Al-Qur'an S. AnNahl 78).[9] 

Dapat disimpulkan, bahwa dalil Inayah berusaha untuk membuktikan adanya Tuhan, khusus dari segi adanya perhatian atau perindahan kapada segala yang ada ini, sehingga segalanya ada dan berlaku sesuai benar dengan kepentingan dari masing-masing makhluk.
Adapun dalil Ikhtiro'  artinya penciptaan. Sesuai dengan artinya ini, maka Dalil Ikhtiro’ berusaha membuktikan adanya Tuhan, khusus dari segi penciptaan alam semesta ini.  Dalil ini ditegakkan atas dua dasar.
Dasar  pertama;  bahwa keadaan segala yang berwujud inilah mukhtaro' (diciptakan). Dasar ini ditegaskan sendiri oleh Tuhan :
"Sesungguhnya Tuhan-Tuhan yang kamu sembah selain Allah, tidak dapat menjadikan (walaupun) seekor lalat, sekalipun mereka berhimpun untuk berusaha menjadikannya" (Al-Qur’an S.Al Haj: 73)[10]
Dasar kedua : bahwa keadaan tiap-tiap yang diciptakan mempunyai mukhtari'nya (penciptanya). Dari dua dasar itu dapat ditarik kesimpulan bahwa segala yang ada di alam ini, pastilah mempunyai Fail Mukhtari'nya (pembuat yang menciptakannya atau Sang Pencipta). Dan Fail Mukhtari' ini tiada lain kecuali Tuhan Allah. Pada prinsipnya, dalil ikhtiro’ menetapkan, bahwa alam ini baru ada, sesudah diadakan, Tiap-tiap yang baru tentulah dengan sendirinya berhajad kepada yang mengadakannya. Tidak mungkin sekiranya alam ini dapat mengadakan dirinya sendiri. Dan yang mengadakan segalanya ini, dialah Tuhan yang Wajibul Wujud.[11]
Perhatikan firman Tuhan berikut ini :"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan ... (Al-Qur'an S. Ath- Thariq 5– 7).[12]



[1] Zainal Arifin Abbas,  Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1,  Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1984, hlm. 95.
[2]  Amin Syukur, Pengantar Studi Islam ,  Teologia Press bekerjasama dengan CV.Bima Sejati, Semarang, 2000,  hlm. 37.
[3] Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG RI, Surabaya,  1978,  hlm. 243.
[4] Humaidi Tatapangarsa, Kuliah Akidah Lengkap, PT.Bina Ilmu Surabaya, 1999, hlm. 44.
[5]Humaidi Tatapangarsa,  Kuliah Akidah Lengkap, PT.Bina Ilmu Surabaya, 1999, hlm. 38.
[6] Harun Nasution, Falsafat Agama , Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 58-62.
[7] Abu Ahmadi,  op. cit,  hlm. 270.
[8]  A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam , Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm. 239-263.
[9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir, op. cit, hlm. 413.
[10] Ibid, hlm. 523.
[11] T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Al-Islam , jilid 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1971, hlm. 57-65. Bandingkan uraian J.W.M.Bakker, Sejarah Filsafat Dalam Islam , Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1978, hlm. 73-82.
[12] Ibid, hlm. hlm 1048

Ketuhanan Ibnu Sina

"+"

PANDANGAN KETUHANAN IBNU SINA



Ibnu Sina, nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Husain iben Abdullah iben Sina, Ia bergelar Abu Ali.
Ketuhanan bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan di atas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialism dari filosof-filosof lain (Ibrahim Madzkur, 1988 : 211)
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:
a. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Sebagai umpamanya, adanya sekarang ini, juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
b.   Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini di sebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c.    Essensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Di sini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; essensi dan wujud adalah sama dan satu. Disini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud. Sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan Wajib al-wujud inilah yang mempunyai mumkin al-wujud.
Dengan argumen ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya Tuhan menurut logika (Harun Nassution, 1994 : 34). 


Ketuhanan Al Farabi

"+"

PEMIKIRAN KETUHANAN AL-FARABI


Al-Farabi adalah filosof Muslim yang bergelar al-Muallim al-Tsani atau The Second Master (guru kedua) setelah Aristoteles yang bergelar al-Muallim al-Awwal atau The First Master (guru pertama),(Pradana Boy, 2004: 109 nama lengkapnya, Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarakhan ibn Uzalagh al-Farabi.(JWM.Bakker SY, 2003: 32) Ia  lahir di Wasij, suatu desa di Farab (tansoxania) di tahun 870 M. Menurut keterangan ia berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang jenderal. Ia sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab ia kemudian pindah ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu itu, di sana ia belajar pada Abu Bishr Matta ibn Yunus (penterjemah), dan tinggal di Bagdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif al-daulat memusatkan perhatiannya pada pengetahuan dan falsafat.
 Isi dari falsafat al-Farabi adalah falsafat emanasi atau pancaran, yaitu dengan falsafat ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat maha satu tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun, kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang maha satu? menurut al-farabi alam terjadi dengan cara emanasi.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbullah maujud lain, Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbulah wujud kedua yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama, (first intelligence) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga disebut akal kedua, (second intellegence).
Wujud kedua atau akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah langit pertama (first heaven). Pada pemikiran wujud kesebelas/.akal kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Jadinya ada 10 akal dan 9 langit yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam (tidak bermula) atau baharunya alam, al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi alam terjadi dengan tidak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu.
Alam terjadi melalui ciptaan sekaligus tanpa waktu oleh Tuhan yang Maha Agung. Tidak jelas apa yang dimaksud al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi al-Farabi alam ini baharu. Tetapi De Boer mengatakan alam bagi al-Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancarkan dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam (Harun Nasution, 1994: 20)..
Jiwa manusia sebagai mana halnya dengan materi asal memancarkan dari akal kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya:  gerak,  mengetahui,  berpikir, akal potensial, akal aktual,  akal mustafad.
 Akal potensial menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat yang dapat ditangkap dengan pancaindra, aktual aktual menangkap arti-arti dan konsep. Sedangkan akal mustafad  mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari akal yang di atas dan di luar diri manusia yaitu akal kesepuluh yang diberi nama akal aktif (active intellect) yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan akal aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari akal aktif (Ahmad Hanafi, 1990: 18).


Ketuhanan Al Razi

"+"

PANDANGAN KETUHANAN
MENURUT AL-RAZI


Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu serta perlunya nabi-nabi. Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi, lahir di Ray, suatu kota dekat Teheran, di tahun 863 masehi, dan wafat pada tahun 925 Masehi (Harun Nasution, 1995:18-23).
Al-Razi berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia dalam pendapatnya, pada dasarnya mempunyai daya berpikir yang sama besarnya, dan perbedaan timbul karena berlainan pendidikan dan berlainan suasana perkembangannya. Nabi-nabi, menurut pendapatnya, membawa kehancuran bagi manusia, dengan ajaran-ajaran mereka yang saling bertentangan. Bahkan ajaran-ajaran itu menimbulkan perasaan benci membenci di antara umat manusia yang terkadang meningkat menjadi peperangan agama. Semua agama ia kritik, orang tunduk pada agama, menurut pendapatnya, karena tradisi, kekuasaan yang ada pada pemuka-pemuka agama dan karena tertarik pada upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang sederhana dalam pemikiran.
Qur’an baik dalam bahasa dan gaya maupun dalam isi tidak merupakan mukjiyat. Al-Razi lebih mementingkan buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan dari pada buku-buku agama. meskipun ia menentang adanya agama pada umumnya, ia bukanlah seorang yang  atheis, malahan seorang yang monotheis yang percaya pada adanya Tuhan sebagai penyusun dan pengatur alam ini (JWM, Bakker SY, 1978: 42). Dalam falsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ia dekat pada falsafat Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya adalah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali kepada Tuhan, roh harus terlebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan roh adalah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Bagi Al-Razi sebagaimana dilihat, jalan mensucikan roh adalah filsafat. Dalam hal faham Pythagoras ada transmigration of souls dan ini dalam faham al-Razi tidaklah jelas. Al-Razi dengan demikian dekat menyerupai zahid, dalam hal hidup kebendaan. Tetapi ia menganjurkan moderasi, jangan terlalu bersifat zahid tetapi pula jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri (Pradana Boy, 2004: 100.). 
Al-Razi adalah filosof yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun itu bertentangan dengan faham yang dianut umat Islam , yaitu :
1). Tidak percaya pada wahyu
2). Qur’an tidak mukjizat
3). Tidak percaya pada nabi-nabi
4). Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan. 
Tetapi sungguhpun demikian namanya tercantum di antara pemikir-pemikir Islam  lain dalam Tarikh Hukama Al-Islam  karangan Zahir Al-Din Al-Baihaqi, bahkan di dalam Tabaqat Al-Umam karangan Abu Al-Qasim Sa’id Ibn Ahmad Al-Andalusi, ia disebut dokter umat Islam  yang tiada tandingannya (Harun Nasution, 1994: 19).


Pemikiran Ketuhanan Al Kindi

"+"
PEMIKIRAN KETUHANAN
MENURUT AL-KINDI


Al-Kindi adalah filosof pertama dalam dunia filsafat Islam. Pemikiran-pemikiran filosofisnya sangat menonjol, hal ini terutama karena dia adalah filosof muslim yang berusaha untuk menyelaraskan agama dan filsafat. Posisi al-Kindi yang meyakini bahwa agama dan filsafat atau nalar dan wahyu bisa diselaraskan kemudian terulang kembali dalam sejarah peradaban manusia beberapa abad kemudian, melalui apa yang dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas dalam tradisi Kristen beberapa abad kemudian.[1]
Sebagaimana halnya dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof Islam  lainnya. Al-kindi, selain dari filosof, adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua bagian:
a.   Pengetahuan ilahi (devine science), sebagaimana yang tercantum dalam    Qur’an yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b.  Pengetahuan manusiawi (human Science) atau falsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason)

Argumen-argumen yang dibawa al-Qur'an lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang ditimbulkan  falsafat. Tetapi falsafat dan al-Qur'an tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa falsafat. Mempelajari falsafat dan berfalsafat tidaklah dilarang, karena teologi adalah bagian dari falsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.
Falsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Di sinilah terlihat persamaan falsafat dengan agama. Tujuan agama adalah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik; falsafat itu pulalah tujuannya. Agama, di samping wahyu, mempergunakan akal; dan falsafat juga mempergunakan akal.[2] Yang benar pertama (the first truth) bagi al-Kindi adalah Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya. Falsafat yang paling tinggi adalah falsafat tentang Tuhan. Sebagai kata al-Kindi :
Falsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafat utama, yaitu ilmu tentang yang  benar pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar.[3]  Adapun mengenai keesaan Tuhan,  bahwa masalah keesaan Tuhan ini muncul karena dalam kenyataan bahwa ciptaan Tuhan begitu banyak, dan apakah dengan banyaknya ciptaan itu tidak mengganggu keesaan? Untuk menjelaskan masalah ini, al-Kindi mencoba menjawab lewat teori tentang kebenaran. Menurutnya, kebenaran adalah persesuaian antara apa yang ada di dalam akal dan apa yang ada di luar akal.[4] Selanjutnya, bahwa di dalam alam ini terdapat pada benda-benda yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda itu merupakan juz'iyat (particulars) dan yang terpenting dalam filsafat bukan yang juz'iyat dan tak terhingga banyaknya itu, melainkan yang terdapat dalam Juz'iyat itu, yaitu kulliyat (universal).
Selain itu, menurutnya bahwa tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat, yaitu hakikat yang disebut anniyah, dan hakikat yang disebut kulli yang sebenarnya mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal yang mengambil bentuk genus dan species.[5] Al-Kindi menyifati Tuhan dengan istilah-istilah baru. Menurutnya Tuhan adalah yang benar dan tinggi serta dapat disifati dengan sebutan-sebutan negatif, seperti Tuhan bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah dan tak berhubungan. Tuhan juga tak dapat disifati dengan ciri-ciri yang ada di alam. Tuhan tak berjenis, tak terbagi dan tak berkejadian. la abadi, oleh karena itu, la Maha Esa dan selain- Nya adalah terbilang.[6] Dalil-dalil al-Kindi dalam membahas tentang kemaujudan Allah bertumpu pada keyakinan akan hubungan sebab akibat segala sesuatu yang maujud pasti ada yang mewujudkan. Rangkaian sebab ini terbatas. Oleh karena itu, perlu ada sebab pertama atau sebab sejati, yaitu tiada lain adalah Allah sendiri yang tak berjenis. Dengan kata lain, bahwa dalam pencariannya itu, al-Kindi mengikuti jalur ahli logika.
  Selanjutnya pembahasan mengenai penciptaan alam,  al-Kindi dalam bukunya "Rasa'il al-Kindi al-Falsafiyah" menjelaskan bahwa alam ini dijadikan oleh Allah dari tidak ada kepada ada. Di samping itu pula Allah, juga yang mengendalikan dan mengatur serta menjadikannya sebagai sebab bagi yang lain. Alam mi diciptakan Allah dari tiada, dan oleh karenanya al-Kindi menyanggah teori mengenai ke-qadim-an alam seperti yang dikatakan oleh Aristoteles. Menurut al-Kindi, di alam ini terdapat berbagai gerak antara lain gerak yang menjadikan dan yang merusak, dan gerak yang seperti ini ada empat sebabnya, yaitu: sebab material, formal, pembuat dan sebab tujuan. Sebab-sebab tersebut pada akhirnya bertemu pada ”Sebab Pertama” yang menyebabkan segala kejadian dan kemusnahan di alam ini, yakni Allah SWT.[7]
Jadi alam ini menurut al-Kindi terdiri dua bagian, yaitu, alam yang terletak di bawah falak bulan, dan alam yang merentang tinggi sejak dari falak bulan sampai ujung alam. Alam yang pertama ini terjadi dari empat unsur tersebut, dan karenanya mengalami perubahan, pertumbuhan dan kemusnahan, sedangkan alam jenis kedua adalah alam yang tidak bertumbuh dan tidak musnah, karena itu tidak terjadi dari unsur-unsur tersebut, sehingga bersifat abadi. Alasan lain dikemukakan oleh al-Kindi untuk menyatakan bahwa alam ini tidak kekal adalah mengenai teori ketakterhinggaan secara matematik.[8] Menurutnya, benda-benda fisik ini terjadi dari materi dan bentuk, serta bergerak dalam ruang dan waktu. Dengan demikian, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari segala sesuatu yang bersifat fisik, dan wujud yang erat hubungannya dengan fisik, waktu dan ruang ini terbatas, karena keberadaannya adalah keterbatasan. Dengan ketentuan tersebut, maka setiap benda yang terjadi dari materi dan bentuk, yang terbatas oleh ruang dan gerak di dalam waktu, adalah terbatas, meski benda itu adalah wujud dunia. Karena benda itu terbatas, maka ia tidak kekal, dan hanya Allah-lah yang kekal. Demikianlah teori penciptan alam yang diajukan al-Kindi, yaitu diciptakan dari ketiadaan, bersifat terbatas dan tidak kekal.
Sesuai dengan ajaran paham Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta dan bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal di zaman lampau (qodim), tetapi mempunyai permulaan. Karena itu dalam hal ini ia lebih dekat dengan filsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu (to hen) adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang  ada. Alam ini adalah emanasi atau pancaran dari Yang Maha Satu. Sayang, paham emanasi al-Kindi itu tidak begitu jelas.[9]


[1] Pradana Boy,  Filsafat Islam , Sejarah, Aliran dan Tokoh, Universitas Muhammadiah Malang, 2003, hlm. 87. Lihat juga Ali Mahdi Khan, Dasar-dasar Filsafat Islam Pengatar Ke Gerbang Pemikiran, terj. Subarkah, Yayasan Nuansa Cendekia, Bandung, 2004, hlm. 47.   
[2]  Pradana Boy ZTF, op. cit, hlm. 89.
[3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam , cet. 9, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hlm. 9.

[4] Juhaya S.Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Yayasan Pria, Jakarta,  2003, 197.
[5] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf (Dirasah Islamiah IV), cet, 1, Citra Niaga, Rajawali Press, Jakarta, 1993, hlm. 17-18
[6] M.M. Syarif, The History of Muslim Philosopy, Bagian ke-3 “The Philosopher”, terj, Ilyas Hasan, Mizan, Bandung,1993, hlm.21
[7] Abuddin Natta. Op.cit, hlm. 122-123.
[8] M.M. Syarif, Op.cit, hlm. 24.
[9] Juhaya S.Praja, op. cit, hlm. 198.