Kamis, 27 Februari 2014

Bukti Adanya Tuhan

"+"

Dalil-Dalil Pembuktian Adanya Tuhan


Sifat manusia mempercayai Tuhan pencipta alam ini terdapat bersama dengan adanya tubuh manusia, sebagaimana yang ternyatasemenjak zaman yang dikenal sampai hari ini.[1] Setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk membuktikan wujud Tuhannya, bahkan secara langsung, seperti Nabi Musa sendiri pernah meminta agar Dia memperlihatkan diri kepadanya.[2]
“Dan Tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama beriman”. (Q.S. al-A’raf:143)[3] 
Tuhan Allah itu ada tetapi bagaimana dapat dibuktikan dan diuraikan adanya Allah ini? Dalam hal ini ada berbagai macam dalil dan jalan dapat digunakan. Beberapa di antaranya:

1.  Dalil Fisika 
  Dalil ini mula-mula dipakai oleh Abdul Huseli Al-Allaf, seorang ahli dalam mazhab Mu'tazilah, pengikut Wasil bin Atha'. Dia memulai Dalil ini dengan teori atom. Bahwa alam ini baik yang berupa zat padat, zat cair ataupun zat gas, semuanya dapat dibagi-bagi hingga ke bagian yang terkecil yang biasa disebut orang molekul.  Molekul-molekul ini satu sama lainnya saling tarik-menarik. Karena kekuatan tarik-menarik inilah terjadi benda-benda itu. Tiap-tiap molekul itu terjadi dari atom-atom yang teratur valensinya, teratur beratnya, dan juga teratur persejiwaannya satu dengan lainnya. Tiap-tiap atom ini berputar-putar di sekitar atom-atom yang lain.
Dari perputaran atom inilah kemudian timbul daya tarik menarik antara molekul-molekul.  Kalau atom-atom itu tidak berputar-putar, tidak akan ada daya tarik-menarik, maka tidak akan ada satu pun benda di alam ini.[4]
Timbul pertanyaan: Siapakah gerangan yang memutar dan menggerakkan atom- atom yang sebanyak itu? Sudah barang tentu karena ada gerakan pasti ada yang menggerakkan dan yang menggerakkan atau memutar ini tidak ada lain kecuali Tuhan. Jadi jelaslah, bahwa Tuhan itu ada.
Atau dalil Fisika ini dapat diuraikan begini; di dalam alam ini, ada susunan dan peraturan yang amat bagus. Dengan teratur sekali bumi bergerak mengitari matahari dalam waktu 365 hari 5 jam 49 menit 12 detik, sedang bulan mengitari bumi dalam waktu 29 hari 12 jam 44 menit dan 3 detik. Begitu juga planet-planet dan bintang-bintang lainnya. Semuanya berjalan dengan teratur sekali di angkasa raya, dan tak sekalipun pernah berantuk atau bertubrukan satu sama lain.
Kemudian dengan adanya susunan yang demikian hebat dan adanya peraturan alam semesta yang harmonis ini, dapatkah terjadi dengan sendirinya? Tentu saja tidak dapat, dan tentulah semua itu terjadi dan berlaku karena ada yang mengendalikan dan mengaturnya. Adapun yang mengendalikan dan mengatur ini, tidak ada lain kecuali Tuhan. Jadi makin jelas, bahwa Tuhan itu memang ada.[5]

2.  Dalil Akhlak 
Dalil akhlaq ini, berasal dari Immanuel Kant ( 1724-1804).
Kant berpendapat, bahwa manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam  dalam jiwa dan hati sanubarinya. Perasaan moral ini, tidak diperoleh dari pengalaman dalam hidupnya di dunia, tetapi merupakan pembawaannya sejak lahir. Dengan perasaan moral itu, orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan-perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik.
Dan perasaan  berkewajiban melakukan perbuatan  baik dan menjauhi perbuatan buruk itu sama sekali tidak tergantung pada akibat-akibat yang akan timbul dari perbuatan itu. la harus berbuat baik semata-mata, karena perintah yang datang dari dalam hati sanubarinya untuk berbuat baik. Demikian pula ia merasa berkewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk semata-mata, karena perintah yang timbul dari dalam hati nuraninya. 
Perintah dari dalam hati ini, bersifat absolut dan universil (categorical imperative). Perbuatan baik dilakukan karena perintah memang demikian. Dan pekerjaan jahat dijauhi, karena perintah juga mengatakan demikian. Perbuatan baik dilakukan dan perbuatan buruk di jauhi karena itu adalah kewajiban manusia.
Dalam pada itu menurut pengalaman yang sering terjadi didunia, dapat diketahui bahwa tidak selamanya perbuatan-perbuatan baik membawa kepada kebaikan, dan perbuatan buruk acapkali pula tidak mendapat hukuman sebagaimana mestinya. Dengan demikian antara apa yang terjadi dalam kehidupan di dunia dan perintah yang datang dari dalam sanubari, ada kalanya kontradiksi dalam praktek. Tetapi sungguhpun demikian, manusia tetap merasa bahwa ia berkewajiban mendengar perintah sanubarinya itu.
Suasana kehidupan duniawi yang seringkali pincang atau tidak adil itu menimbulkan suatu perasaan, yaitu pasti ada kehidupan yang kedua dibalik kehidupan yang pertama yang sekarang ini. Hidup yang kedua ini kekal abadi, dan dalam hidup yang kekal inilah perbuatan-perbuatan baik yang belum mendapat balasan baik, dan perbuatan-perbuatan buruk yang belum mendapat hukuman, akan memperoleh balasannya masing-masing. Yang baik dibalas baik, yang buruk diganjar hukuman.
Dan adanya pembalasan yang demikian itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya, tetapi pastilah pembalasan yang adil itu berasal dari satu zat yang maha adil, dan zat inilah yang disebut Tuhan. Demikian dalil Akhlaq dari Kant. Dalil akhlak tersebut dapat disederhanakan lagi, sebagai berikut;
Manusia mempunyai perasaan moral yang tertanam dalam hati sanubarinya,yang selalu menyuruh berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk. Perasaan moral demikian, tidak diperoleh dari pengalaman, tetapi telah dibawanya sejak lahir. Kalau demikian, dari mana asal perasaan moral tersebut? Jawabnya, tentu saja ia berasal dari suatu zat yang maha tahu akan baik dan buruk. Zat yang maha tahu inilah yang disebut Tuhan. Perbuatan baik dan buruk mengandung arti nilai-nilai. Nilai-nilai itu jelas tidak berasal dari manusia, tetapi telah dibawa sejak lahir. Dengan begitu nilai-nilai tersebut berasal dari luar manusia, yaitu dari suatu zat yang keadaannya lebih tinggi dari manusia. Dan zat inilah yang bernama Tuhan.
Selanjutnya adanya nilai-nilai itu mengandung arti adanya pencipta nilai-nilai. Pencipta nilai ini pulalah yang biasa disebut Tuhan.[6]

3.  Dalil Kesaksian 
Untuk membuktikan benar tidaknya sesuatu persoalan, diperlukan adanya kesaksian. Dalam dunia peradilan misalnya, hakim yang jujur tak akan menjatuhkan vonis kepada terdakwa, bilamana persoalan yang menyangkut terdakwa belum jelas dan meyakinkan, dan untuk meyakinkan ini juga diperlukan adanya saksi-saksi.
Orang banyak percaya bahwa kota-kota seperti Kairo, Moskow, Washington, Mekkah dan lain-lain itu ada. Kepercayaan itu pada umumnya bukan karena mereka telah pernah datang menyaksikannya, tetapi karena menurut kata orang yang pernah datang ke sana, bahwa kota-kota tersebut memang ada. Jadi juga berdasarkan atas kesaksian.
Bahwa Tuhan itu ada, juga dapat dibuktikan karena adanya sejumlah para saksi yang telah ada dari masa ke masa, yang telah berhasil membuktikan bahwa Tuhan itu ada, berkata, mendengar, melihat dan bertindak dengan hebatnya. Mereka para saksi adanya Tuhan ini terdiri dari manusia-manusia pilihan, berakhlaq luhur, dapat dipercaya, tak pernah berdusta. Mereka itulah para Nabi dan Rasul Tuhan yang pernah lahir di muka bumi. Jadi, berdasar kesaksian-kesaksian para Nabi, memang Tuhan itu ada.

4.  Dalil Inayah dan Ikhtiro’
Dalil Inayah dikemukakan oleh Ibnu Rusyd atau Averroes, seorang filosof Islam terkenal yang hidup antara tahun 1126-1198. Selain dalil Inayah ini, Ibnu Rusyd mengemukakan pula dalil Ikhtiro
Kedua dalil Ibnu Rusyd ini, dalam soal pembuktian adanya Tuhan dinilai oleh para ulama sebagai dalil-dalil yang paling kuat dan tidak berbelit-belit, sebab kedua dalil tersebut tidak saja sesuai dengan akal pikiran, tetapi juga cocok dengan ayat-ayat Al-Quran. Inayah artinya perhatian, perindahan. Maksudnya ialah perhatian/perindahan Tuhan, dalil ini menyatakan bahwa alam ini dan segala isinya sesuai betul dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Umpamanya siang dan malam, matahari dan bulan, pergantian musim,hewan tumbuh-tumbuhan dan hujan, dan lain sebagainya. Semuanya sesuai betul dengan kehidupan manusia, seolah-olah semuanya itu memang dijadikan untuk kepentingan manusia.[7]
Persesuaian ini, tentu saja tidak terjadi secara kebetulan, tetapi terjadi karena penciptaan yang rapi dan teratur yang berdasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Bahkan juga persesuaian itu menunjukkan adanya perhatian/pemeliharaan dari Sang Pencipta tadi terhadap alam semesta ini,
Dan siapa lagi Sang Pencipta ini selain daripada Allah SWT. Pandangan akal semata-mata dari Ibnu Rusyd ini, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur'an, di antaranya :
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?
Dan gunung-gunung sebagai pasak?
Dan kami jadikan kamu berpasang-pasangan.
Dan kami jadikan tidurmu untuk istirahat,
Dan kami jadikan malam sebagai pakaian,
Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan,
Dan kami bina diatas kamu tujuh buah (langit) yang kokoh,
Dan kami jadikan pelita yang amat terang (matahari),
Dan kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah,
Supaya kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, Dan kebun-kebun yang lebat? (Al-Qur'an S. An-Naba’ 6 s/d 16) Dalam pada itu adanya perhatian dan kebijaksanaan Tuhan, nampak jelas pula pada diri manusia, terutama ketika masih bayi. Mula-mula manusia dikeluarkan dari perut ibu dengan tidak mengetahui apa-apa. Tetapi kemudian akal manusia berangsur-angsur maju sedikit demi sedikit, sesuai dengan perkembangan jasmaninya.
Andaikata sejak lahir itu manusia telah diberi akal yang telah bekerja, tentulah manusia akan merasa berat dibalut erat-erat tubuhnya, tentulah manusia akan gelisah benar berhubung kekuatan badannya belum dapat memenuhi kehendak akalnya, dan selain itu kalau manusia lahir telah berakal, tentulah mereka tidak akan mendapatkan kasih sayang orang tua, sebagaimana halnya bayi-bayi yang lahir dengan tidat berakal.
Dengan demikian, kelahiran manusia dengan keadaan bodoh dan belum dapat memikirkan sesuatu, adalah bersesuaian benar dengan keadaan manusia yang masih bayi. Kemudian setelah manusia itu bertambah besar, akal manusiapun naik dan maju pula, sehingga sesuai dengan perkembangan jasmaninya.
Ini semua, mustahil dapat terjadi dengan sendirinya, tetapi pastilah ada yang menjadikan, yaitu Tuhan. Dialah yang telah memperhatikan dan memelihara segala sesuatu yang diciptakannya, sehingga segalanya sesuai betul dengan keadaan masing-masing hasil ciptaannya itu.[8] Firman Tuhan :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dan perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu    (Al-Qur'an S. AnNahl 78).[9] 

Dapat disimpulkan, bahwa dalil Inayah berusaha untuk membuktikan adanya Tuhan, khusus dari segi adanya perhatian atau perindahan kapada segala yang ada ini, sehingga segalanya ada dan berlaku sesuai benar dengan kepentingan dari masing-masing makhluk.
Adapun dalil Ikhtiro'  artinya penciptaan. Sesuai dengan artinya ini, maka Dalil Ikhtiro’ berusaha membuktikan adanya Tuhan, khusus dari segi penciptaan alam semesta ini.  Dalil ini ditegakkan atas dua dasar.
Dasar  pertama;  bahwa keadaan segala yang berwujud inilah mukhtaro' (diciptakan). Dasar ini ditegaskan sendiri oleh Tuhan :
"Sesungguhnya Tuhan-Tuhan yang kamu sembah selain Allah, tidak dapat menjadikan (walaupun) seekor lalat, sekalipun mereka berhimpun untuk berusaha menjadikannya" (Al-Qur’an S.Al Haj: 73)[10]
Dasar kedua : bahwa keadaan tiap-tiap yang diciptakan mempunyai mukhtari'nya (penciptanya). Dari dua dasar itu dapat ditarik kesimpulan bahwa segala yang ada di alam ini, pastilah mempunyai Fail Mukhtari'nya (pembuat yang menciptakannya atau Sang Pencipta). Dan Fail Mukhtari' ini tiada lain kecuali Tuhan Allah. Pada prinsipnya, dalil ikhtiro’ menetapkan, bahwa alam ini baru ada, sesudah diadakan, Tiap-tiap yang baru tentulah dengan sendirinya berhajad kepada yang mengadakannya. Tidak mungkin sekiranya alam ini dapat mengadakan dirinya sendiri. Dan yang mengadakan segalanya ini, dialah Tuhan yang Wajibul Wujud.[11]
Perhatikan firman Tuhan berikut ini :"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang terpancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan ... (Al-Qur'an S. Ath- Thariq 5– 7).[12]



[1] Zainal Arifin Abbas,  Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1,  Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1984, hlm. 95.
[2]  Amin Syukur, Pengantar Studi Islam ,  Teologia Press bekerjasama dengan CV.Bima Sejati, Semarang, 2000,  hlm. 37.
[3] Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG RI, Surabaya,  1978,  hlm. 243.
[4] Humaidi Tatapangarsa, Kuliah Akidah Lengkap, PT.Bina Ilmu Surabaya, 1999, hlm. 44.
[5]Humaidi Tatapangarsa,  Kuliah Akidah Lengkap, PT.Bina Ilmu Surabaya, 1999, hlm. 38.
[6] Harun Nasution, Falsafat Agama , Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 58-62.
[7] Abu Ahmadi,  op. cit,  hlm. 270.
[8]  A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam , Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm. 239-263.
[9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir, op. cit, hlm. 413.
[10] Ibid, hlm. 523.
[11] T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Al-Islam , jilid 1, Bulan Bintang, Jakarta, 1971, hlm. 57-65. Bandingkan uraian J.W.M.Bakker, Sejarah Filsafat Dalam Islam , Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1978, hlm. 73-82.
[12] Ibid, hlm. hlm 1048

Tidak ada komentar:

Posting Komentar