Sabtu, 21 Desember 2013

Kajian Ilmu Laduni dalam Teori Belajar Modern

"+"


KAJIAN ILMU LADUNI
DALAM PERSPEKTIF TEORI BELAJAR MODERN



A.    Konsep Ilmu Laduni
Dalam Al Qur’an, hanya ada satu tempat yang menyebutkan “ilmu Laduni” secara jelas, yaitu dalam surat Al Kahfi ayat 65.

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
Artinya:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami .
Ayat diatas menyebutkan lafadh “Ladunna“ (huruf akhir adalah “ a”) , yang berarti : “ dari sisi Kami (Allah ) “ , Ilmu Ladunna berarti ilmu dari sisi Allah. Yang kemudian berkembang dan menjadi ilmu Ladunni ( pakai huruf “i“). Dalam beberapa tafsir disebutkan, yang dimaksud dengan “min ladunna ‘ilman” adalah ilmu gaib. Menurut kalangan tasawuf, untuk membenarkan mazhab mereka, ilmu laduni ialah ilmu yang datang dengan sendirinya tanpa ada perantara. Memang secara pasti kita belum mengetahui, mulai kapan istilah ilmu laduni itu muncul, (walaupun sebenarnya bisa diprediksikan muncul setelah abad ke 3 hijriah, bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok sempalan dalam Islam). Tapi yang jelas, ilmu laduni dinisbatkan pertama kalinya kepada Nabi Khidhhir as. Karena memang teks ayat diatas berkenan dengan cerita Nabi Khidhir as.[1]
Ilmu laduni-nya Nabi Khidhir menurut surat Al Kahfi – difokuskan pada satu masalah saja, yaitu pengetahuan tentang masa depan, walau secara rinci digambarkan dalam tiga peristiwa, yaitu merusak kapal yang sedang berlabuh di pinggir pantai, membunuh anak kecil yang ditemukan di tengah jalan, dan memperbaiki dinding yang mau roboh.
Kalau kita padukan antara ilmu laduni dengan ketiga peritiswa di atas, akan kita dapati benang merah yang menghubungkan antara keduanya, yang konklusinya sebagai berikut : Ilmu laduni adalah ilmu yang bersumber dari Allah swt (dan Allah sajalah Yang memegang kunci-kunci alam ghoib ), sedang inti dari ilmu laduni yang dimiliki Nabi Khidhir as adalah pengetahuan tentang masa depan yang nota benenya adalah ilmu ghoib , berarti ilmu laduni yang diajarkan kepada nabi Khidhir adalah ilmu ghoib.
Oleh karenanya, kalau kita katakan bahwa Khidhir as adalah seorang Nabi, maka Allah telah mengajarkan kepada Nabi Khidhir sebagian ilmu ghoib, dan ini tentunya sesuatu yang wajar-wajar saja, karena salah satu ciri khas wahyu adalah pengetahuan tentang sebagian ilmu ghoib. Dan hal ini hanya dimiliki oleh para nabi dan utusan Allah atau orang-orang yang dikehendaki Allah swt, sebagaimana yang termaktub di dalam firman-Nya :

(26).عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
Artinya:
“ Dia-lah Allah ) Yang mengetahui ghoib dan Dia tidak memperlihatkan tentang yang ghoib tersebut kepada siapapun juga. Kecuali kepada para Rosul yang diridhoi-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga ( Malaikat ) di muka dan di belakangnya “ ( QS. Jin : 26-27)

Secara dzahir mengenai keilmuan yang mengacu pada kata ta’lim atau pengajaran. Kecuali pengajaran pertama yang diterima Nabi Adam di Surga. Memang ilmu tersebut dikategorikan “daf’atan wahidah” terjadi sekali saja dan pada waktu tertentu terjadi atas kekuasaan Allah. Hal itu sebagaimana yang tertuang dalam beberapa ayat di Al Qur’an, diantaranya; Surat Al Baqarah: 151, Surat Ali Imran: 48, dan Surat An Nisa: 113.

وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ....
Artinya:
…… dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al Baqarah: 151).


وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ
Artinya:
Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab , Hikmah, Taurat dan Injil. (QS. Ali Imran: 48).

وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا….
Artinya:
……. dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

Berdasarkan kesimpulan atas beberapa kajian tafsir tersebut, persoalan ilmu laduni umumnya dikaitkan dengan ilmu gaib yang datang secara langsung dari Allah tanpa melalui proses belajar mengajar (ilhamiyah).  Kenyataan ini akan lebih transparan manakala dihubungkan dengan laku-laku tertentu dalam proses untuk memperoleh ilmu laduni.

B.     Perspektif Ilmu Laduni dalam Pendidikan Islam
Berdasarkan kajian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, apabila disimak secara mendalam bahwa ilmu laduni sangat berkaitan dengan aktivitas proses pendidikan. Sebab apabila ditelaah lebih lanjut bahwa pendidikan telah menjadi aktivitas rutin manusia, apakah itu disengaja atau tidak disengaja. Pendidikan telah dilakukan seumur hidup manusia.
Dalam pandangan psikologi, pendidikan selalu berkenaan dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang melakukan aktivitas pendidikan. Hal lain yang juga selalu terkait dalam proses pendidikan adalah mendapatkan berbagai pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.
Dalam konteks pendidikan, seseorang akan memperoleh ilmu pengetahuan dari proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Semua itu dilakukan dengan cara menelaah, memahami dan selanjutnya diimplementasikan atau dilaksanakan dalam kehidupannya atas ilmu yang ia ketahui. Secara normatif, proses pengajaran selalu terkait dengan perubahan tingkah laku manusia, meskipun secara teologis juga dimungkinkan berlakunya nuansa spiritual yang mengiringi perjalanan perubahan tersebut.
Pada ranah pendidikan terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi perhatian, yaitu pada ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomorik. Perjalanan ranah kognitif melahirkan perilaku yang meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis dan evaluasi. Ranah afektif mencakup kepekaan terhadap hal tertentu. Hal ini berangkat dari pemahaman seseorang atas pengetahuan yang dimilikinya. Sementara psikomotorik menyangkut aktivitas atas pengetahuan yang dimilikinya. Apabila di telaah lebih lanjut, pendidikan yang dilakukan oleh seseorang meliputi tiga fase, yaitu; pertama fase eksplorasi, kedua fase pengenalan konsep, dan ketiga fase aplikasi konsep. Pada fase pertama, seseorang mempelajari gejala dengan bimbngan. Kemudian di fase kedua, mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala, pada fase yang ketiga seseorang bisa menggunakan atau mengaplikasikan konsep yang dipelajarinya.
Pandangan atas pelaksanaan pendidikan yang demikian tersebut, identik dengan ilmu laduni yang diberikan Allah kepada Nabi Nuh as ketika membuat perahu di atas permukaan gunung. Allah berfirman yang artinya: Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami  mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek . (QS. Hud: 37-38)
Ayat tersebut bila dikaitkan dengan teori pendidikan di atas dapat dijelaskan bahwa Nabi Nuh as telah mengalami proses belajar tentang fenomena perahu melalui bimbingan Allah SWT berupa wahyu atau ilham. Proses pendidikan yang berlangsung itu menyangkut bagaimana cara membuat perahu. Setelah itu baru ada gambaran dan pengenalan konsep tentang bentuk fisik sebuah perahu (bahtera) itu, yang pada akhirnya Nabi Nuh as beserta para pengikutnya membuat dan menggunakan bahtera tersebut sebagai sarana transportasi menuju kedamaian dan keselamatan.
Berdasar pada kajian sebelumnya, bila di telaah pada konteks ini, ilmu laduni memiliki kesamaan proses dengan proses pendidikan. Kesamaan prose situ dapat dilihat dengan fungsi pendidikan itu sendiri yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumberdaya manusia menuju terbentuknya manusia yang paripurna/ insan kamil dengan kata lain yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam. Dalam mengembangkan dan memberdayakan potensi manusia (insan), fungsi pendidikan pada hakekatnya mempunyai tiga peran yang prosesnya berjalan secara stimultan yaitu sebagai proses belajar, proses ekonomi dan proses sosial buadaya.[2] Pendidikan sebagai proses belajar, harus mampu menghasilkan individu dan masyarakat religius secara personal memiliki integritas dan kecerdasan. Sementara pendidikan sebagai proses ekonomi merupakan suatu investasi, oleh karena itu pada tingkat tertentu pendidikan harus memberikan keuntungan bagi segi sumber daya manusia. Dan pendidikan sebagai proses sosial budaya, pendidikan merupakan suatu bagian integral dari proses sosial budaya yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam diharapkan mampu menghasilkan manusia religius, memiliki integritas, kecerdasan, dan memberikan keuntungan bagi sumber daya manusia.
Ilmu laduni dalam perspektif pendidikan diasumsikan sebagai pertama dipahami sebagai realitas mitologi dalam bingkai pemahaman klasik. Artinya kepercayaan dan kebenaran terhadap eksistensi laduni tidak didasarkan pada struktur dan metodologi keilmuan. Kedua ilmu laduni diasumsikan dengan kesucian diri seseorang, ini biasanya dikaitkan dengan laku-laku tertentu yang puncaknya melahirkan tingkah laku irrasional. Ketiga laduni dianggap sebuah proses belajar yang metafisis dan trasendental. Maksudnya secara intuitif semua jenis ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar dibarengi dengan bimbingan ilahi. Keempat ilmu laduni dapat diperoleh setiap orang yang disertai dengan mensucikan diri dari perbuatan tercela[3].
Dalam prosesnya, untuk memperoleh ilmu laduni seseorang perlu melakukan ritual atau lelaku yang menjadi kenyakinan dalam setiap hati seseorang. Kenyakinan dalam hati ini menjadi modal utama seseorang untuk mencapai ilmu laduni atau dalam pandangan kalangan ahli makrifat di sebut makrifat. Menurut Al Ghozali, pengertian hati dapat di lihat dari dua makna; pertama hati adalah sepotong “daging” berbentuk buah sanubari yang terletak di bagian kiri dada, yang didalamnya berisi darah hitam. Makna kedua, hati adalah sebuah lathifah (sesuatu yang sangat halus dan lembut, tidak kasat mata, tidak berupa, dan tidak dapat di raba), yang bersifat rabbani ruhani. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau hakekatnya.[4]
Komponen tersebut, menjadi bagian utama manusia yang berpotensi menyerap (memiliki daya tanggap dan persepsi), yang mengetahui dan mengenal. Hati yang seperti itu lebih dikenal dengan istilah qalb.[5] Penyebutan kata “hati” begitu saja akan mengurangi makna dari kandungan lathifah yang dimaksudkan. Hati juga berfungsi sebagai wadah bagi iman/kenyakinan yang tumbuh didalamnya. Yang terpenting bahwa hati adalah pelantara yang menyebabkan pemahaman terhadap sesuatu yang dinyakini. Untuk itu, hati merupakan pusat pandangan, pemahaman, dan fokus ingatan kepada Allah.
Cahaya hati (qalb) akan bersinar apabila Allah memberikan belas kasih, dengan menurunkan pengetahuan. Ini bisa di peroleh dengan mensucikan qalb. Pensucian qalb dilakukan dengan bermujahadah kepada Allah dengan melepaskan selubung pikiran yang mampu menghalangi “pandangan” kepada Allah. Itu dilakukan dengan mengendalikan kecenderungan hawa nafsu dan syahwat secara proporsional.[6]
Yang demikian itu juga sepadan dengan pandangan Imam Al Ghazali bahwa ilmu laduni adalah rahasia-rahasia cahaya ilham yang trjadi setelah penyucian jiwa. Cirinya, ia dapat meraih pengetahuan yang banyak meskipun belajarnya hanya sebentar, lelahnya sedikit, senangnya lama. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 269, yang artinya: “Allah memberi hikmah kepada orang yang Dia kehendaki, dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak dan tidaklah berdzikir kecuali orang-orang yang memiliki pikiran.
Ilmu laduni yang demikian itu merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu tahapan pendidikan tertentu. Karena itu pula, ilmu laduni adalah bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah. Ilmu laduni adalah Indra keenam yang diwujudkan melalui perjalanan intuisi[7]. Pengetahuan intuisi sejenis pengetahuan yang dikaruniakan Allah kepada seseorang yang dipatrikan kepada kalbunya, sehingga tersikap sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagai realitas. Laduni dalam proses pendidikan identik dengan intuitive learning. Proses pendidikan yang dilakukan berdasarkan intuisi adalah belajar dengan tepat, cepat, dan mudah, kesulitannya sedikit sedang hasilnya sangat banyak dan mampu menyelesaikan berbagai problem[8].
Sementara itu dalam pendidikan setiap orang diwajibkan untuk melakukan proses atau dengan kata lain adalah melakukan usaha. Usaha yang dilakukan secara “konvensional” (proses belajar pada umumnya). Pada usaha yang demikian, sama halnya seseorang melakukan riadhoh untuk memperoleh ilmu laduni. Sebab untuk mencapai pada tingkat makrifat --dalam ajaran tasawuf guna memperoleh ilmu laduni-- ada tahap yang harus dilakukan. Secara konvensional, ajaran tasawuf telah dibakukan dalam jenjang-jenjang spiritual berupa maqamat, sebagai fase-fase menuju kesempurnaan spiritual yang harus dilalui dengan tahapan takhalli, tahalli, dan tajalli. Untuk itu dalam pandangan tasawuf, ilmu laduni dianggap ilmu yang paling tinggi dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu laduni merupakan ilmu yang dikaruniakan Allah kepada seseorang secara tiba-tiba tanpa diketahui bagaimana proses awalnya, sehingga orang yang menerimanya dapat langsung menerima ilmu tersebut tanpa belajar. Alasan yang sering diungkapkan atas keunggulan ilmu ini adalah perolehannya melalui intuisi, kontemplasi atau ilham.  
Dalam pandangan para ahli sufi, qalb diumpamakan sebagai cermin, ia bisa menangkap gambar didepannya dengan sempurna apabila ia terbebas dari hijab. Ini yang kemudian perlu diupayakan melalui mujahadah atau riyadlah.[9] Meskipun pengetahuan intuitif dikatakan tidak menggunakan rasio, tetapi pada hakekatnya antara keduanya mempunyai hubungan interaktif. Oleh karenanya pengetahuan intuitif sama dengan pengetahuan imajinatif.
Perbedaan antara ilmu laduni dengan pendidikan pada umumnya hanya dalam metodologi dan sistematikanya, sebab bagaimanapun keduanya ikut membentuk bangunan pengetahuan. Pengetahuan intuitif dapat membuka pemahaman tanpa ada suatu metodik yang terarah, dan sistematikanya yang tidak runtut sebagaimana lazimnya dalam pengetahuan rasional. Sedangkan akal dalam menangkap pengetahuan melalui pemahaman yang sistematis dan metodis.






[1] http://www.indogamers.com/f176/islam_ilmu_laduni-160272/
[2] Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003, Hal. 133
[3] Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta,Ibid, Hal. 32
[4] Al Ghazali, Keajaiban-Keajaiban Hati, Bandung: Karisma, 2000, Hal. 26
[5] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, Jakarta: Patrap Thursina Sejati, 2006, Hal. 63
[6] Muhtar Sholikhin dan Rosihon Anwar, Hakekat Manusia; Mengenali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, Ibid, Hal. 70
[7] Intuisi adalah bisikan kalbu atau kesanggupan dalam mencapai pengetahuan dengan pemahaman secara langsung tanpa melalui proses berfikir
[8] Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta,Ibid, Hal. 32
[9] Syukur, Amin dan Masharudin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 6. 

Ilmu Laduni

"+"

ILMU LADUNI
Dalam Perspektif Pendidikan Islam




A. Pemahaman Ilmu laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia “alam ghaib” bahkan bisa “berkomunikasi langsung” dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir as. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu. Hal itu wajar, karena setiap agama (Islam) memiliki potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistik. [1]
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari pandangan para tokoh-tokoh kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin Juz 1/11-12 menyampaikan: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “[2]. Beliau juga menyampaikan bahwa, “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”.[3]
Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kiamat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.”.[4]
Jadi secara etimologis atau makna bahasa, ilmu laduni adalah ilmu pengetahuan yang datang dari sisi Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Ilmu laduni sangat ditentukan dan didasari oleh pengalaman batin yang secara khusus diberikan Allah kepada hamba-Nya di diinginkan. Dari fenomena itu, ada sebagian orang yang mengganggap sacral keberadaan ilmu laduni, ini karena tidak sembarang orang bisa mendapatkannya.[5]

B.  Proses Ilmu Laduni
Ungkapan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (siapa yang mengenal jiwanya, ia mengenal tuhannya) merupakan upaya penting dalam proses pensucian diri. Dengan kata lain, ungkapan itu bermakna “orang yang berhasil mengetahui rahasia dirinya berarti ia telah mnemukan Tuhannya”. Bagaimana mengenal nafs ternyata harus di awali oleh pengenalan pada hati (qalb) karena mengingat fungsi dan peran pentingnya. Oleh karena itu, harus ada upaya mengenal hati agar ia terfungsikan sebagai pusat kesadaran diri.
Bagaimanapun pengetahunan tentang hati/ qalb manusia merupakan kunci awal menuju pengetahuan Tuhan.[6] Hati sebagai jiwa rasional ketika mencapai kesempurnaan sepenuhnya, merupakan cita-cita dari penciptaan. Karena di buat dari citra Tuhan, ia mencakup seluruh realitas. Hanya melalui kesucian hati manusialah, keseimbangan sejati antara hamba dan Tuhan akan menjadi sambung.
Menurut Al Ghozali, pengertian hati dapat di lihat dari dua makna; pertama hati adalah sepotong “daging” berbentuk buah sanubari yang terletak di bagian kiri dada, yang didalamnya berisi darah hitam. Makna kedua, hati adalah sebuah lathifah (sesuatu yang sangat halus dan lembut, tidak kasat mata, tidak berupa, dan tidak dapat di raba), yang bersifat rabbani ruhani. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau hakekatnya.[7]
Komponen tersebut, menjadi bagian utama manusia yang berpotensi menyerap (memiliki daya tanggap dan persepsi), yang mengetahui dan mengenal. Hati yang seperti itu lebih dikenal dengan istilah qalb.[8] Penyebutan kata “hati” begitu saja akan mengurangi makna dari kandungan lathifah yang dimaksudkan. Hati juga berfungsi sebagai wadah bagi iman/kenyakinan yang tumbuh di dalamnya.  Yang terpenting bahwa hati adalah pelantara yang menyebabkan pemahaman terhadap sesuatu yang dinyakini. Untuk itu, hati merupakan pusat pandangan, pemahaman, dan fokus ingatan kepada Allah.
Cahaya hati (qalb) akan bersinar apabila Allah memberikan belas kasih, dengan menurunkan pengetahuan. Ini bisa di peroleh dengan mensucikan qalb. Pensucian qalb dilakukan dengan bermujahadah kepada Allah dengan melepaskan selubung pikiran yang mampu menghalangi “pandangan” kepada Allah. Itu dilakukan dengan mengendalikan kecenderungan hawa nafsu dan syahwat secara proporsional.[9]

C.  Ilmu laduni dalam Islam
Dikalangan komunitas santri pondok pesantren, ilmu laduni tidaklah asing di telinga mereka. Banyak orang yang terkesima sekaligus skeptis antara percaya dan tidak percaya terhadap eksistensi ilmu laduni. Sebab dengan orang yang memiliki ilu laduni, maka dia dengan mudah untuk memiliki berbagai macam pengetahuan yang dia inginkan, tanpa bersusah payah untuk mempelajarinya. Sebab ilmu itu datang langsung dari Allah masuk kedalam manusia yang telah memiliki ilmu laduni tersebut.
Kalau diteliti, kata laduni dalam Al Qur’an yang tertera pada Surat Al Kahfi Ayat 65 jelas di dahului kata “wa’alamnahu”, artinya “kami telah memberikan pelajaran” belum lagi ayat lain yang sepadan makna dan penjabarannya. Misalnya, proses pembelajaran Allah kepada Nabi Adam as, Nabi Sulaiman as, dan para nabi-nabi lainnya. Ini menujukkan bahwa tidak ada ilmu pengetahuan yang datang kepada manusia secara tiba-tiba. Sebaliknya tetap dalam koridor pembelajaran yang konsisten terhadap sistem yang mengikat di dalamnya, minimal terjadinya komunikasi antara guru dan murid. Hanya memang diakui ada yang prosesnya terlihat secara zhahir dan ada pula yang abstrak, tidak kelihatan atau tampak di depan mata. [10]
Secara alamiah atau sunatullah, ada beberapa faktor yang mempengaruhi belajar seseorang, yakni debedakan 3 (tiga) macam, yaitu; pertama faktor internal (faktor dari dalam seorang pelajar); kedua faktor eksternal (faktor dari luar seorang pelajar); ketiga faktor pendekatan belajar, yaitu jenis upaya belajar seorang pelajar yang meliputi strategi dan metode yang digunakan seorang pelajar untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Ketiga faktor itu, lazim dilalui seseorang apabila ingin mendapatkan ilmu pengetahuan. Meskipun di dunia ini ada beberapa pengecualian yang berlalu di luar hukum alam, sebagai bukti bahwa Allah maha berkuasa dan berkehendak.[11]
Dalam pemahaman modern, ilmu laduni identik dengan intuisi[12]. Intuisi merupakan kegiatan batin tertinggi dan kekuatannya berada di atas kemampuan akal. Intuisi sangat variatif, bila terjadi pada diri seorang nabi maka label dan simbolnya adalah wahyu. Begitu juga apabila dialami oleh orang yang bersih hatinya simbolnya menjadi ilham. Penampakan dua simbol ini juga mengalami perbedaan signifikan, satu sisi berbentuk mu’jizat, di sisi lain menjadi karomah. Padahal sumber keduanya berputar diatas akal, jiwa, qalbu, dan nurani manusia yang sama.[13]
Keberadaan dan status ilmu laduni bukan tanpa alasan. Para sufi merujuk keberadaan ilmu ini telah ada pada Alquran (QS Al Kahfi [18]:60-82) yang memaparkan beberapa episode tentang kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS. Kisah tersebut dijadikan oleh para sufi sebagai alasan keberadaan dan status ilmu laduni. Mereka memandang Khidir AS sebagai orang yang mempunyai ilmu laduni dan Musa AS sebagai orang yang mempunya pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamakan ilmu laduni karena di dalam surah al-Kahfi ayat 65 disebutkan: "wa'allamnahu min ladunna 'ilman.." (..dan yang telah Kami ajarkan kepadanya (Khidir AS) ilmu dari sisi Kami). Dengan demikian ilmu yang diterima langsung oleh hati manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan) atau inspirasi dari sisi Tuhan disebut ilmu laduni.[14]
Pengetahuan yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT.
Di dalam tasawuf dibedakan tiga jenis alat untuk komunikasi rohaniah, yakni pertama kalbu (hati nurani) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, kedua roh untuk mencintai-Nya dan ketiga bagian yang paling dalam yakni sirr (rahasia) untuk musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT secara yakin sehingga tidak terjajah lagi oleh nafsu amarah). [15]
Meski dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung --secara jasmani--, kalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Lapisan dalam dari kalbu disebut roh; sedangkan bagian terdalam dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut hati. Apabila ketiga organ tersebut telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam, maka hati itu akan dapat “memahami”  Allah.
Pada konteks itu, Allah akan melimpahkan nur cahaya keilahian-Nya kepada hati yang suci ini. Hati seperti itu diumpamakan oleh kaum sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu dan noda-noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening. Pada saat itu cermin tersebut akan dapat memantulkan gambar apa saya yang ada dihadapannya.[16]
Demikian juga hati manusia. Apabila ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala sesuatu yang datang dari Allah. Pengetahuan seperti itu disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni. Semakin tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui rahasi-rahasia Allah dan ia pun semakin “dekat” dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia-rahasia ketuhanan tidaklah mungkin karena manusia serba terbatas, kecuali manusia itu melakukan riadhah dan Allah memang menghendakinya
Salah satu karya monumental al-Ghazali tentang pengetahuan dalam pandangan tasawuf adalah kitab Risalah laduniyah. Dalam karya ini, penjelasannya tentang epistemologi ilmu pengetahuan, terbagi menjadi dua sumber penggalian. Pertama , sumber insaniah, dan kedua,sumber rabbaniah.
Sumber insaniah adalah sumber ilmu pengetahuan yang diusahakan oleh manusia berdasarkan kekuatan rekayasa akal sehingga membentuk ilmu pengetahuan. Sedangkan sumber rabbaniah, adalah sumber yang tidak bisa dicapai melalui kemampuan diri manusia, melainkan harus dengan informasi Allah melalui petunjuk, baik langsung (ilham yang dibisikkan kepada hati manusia) maupun berbentuk kitab suci yang diturunkan lewat rasul-Nya.
Pada sumber yang kedua itu al-Ghazali menjelaskan bagaimana cara pengetahuan diperoleh manusia, yang dibagi menjadi dua jalan, pertama melalui wahyu, dan kedua melalui ilham. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu, datang tanpa melalui proses belajar dan berpikir. Ia hanya diturunkan kepada para nabi karena mereka memiliki akal kulli. Ilmu yang diperoleh melalui wahyu ini berkisar tentang rahasia ibadah yang diperintahkan maupun larangan Allah tentang hari akhir, surga, neraka, serta termasuk juga masalah mengetahui diri dan Dzat Tuhan (metafisik) yang menuntut al-Ghazali tidak bisa dicapai dengan akal, tetapi dengan wahyu (al-qur’an). Begitu pula tentang syari’ah agama itu sendiri. Manusia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terkandung dalam setiap pernyataan ajaran agama.
Sedangkan pengetahuan yang datang melalui ilham yang masuk kedalam diri manusia disebut ilmu laduni. Dalam risalah laduniyah, al-Ghazali mengartikan ilmu laduni sebagai ilmu yang terbuka melalui rahasia hati “tanpa perantara” karena ia datang langsung dari Tuhan kedalam jiwa manusia. Sementara dalam ihya ulumaldin, ia mengartikan ilmu laduni sebagai ilmu yang datang langsung dari tuhan secara langsung “ tanpa sebab”. Antara pengertian “tanpa sebab”  dengan “tanpa perantara” terdapat hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Dari kedua sumber tadi-wahyu dan ilham-al-Ghazali memasukkan jalan ta’allum dan tafakkur sebagai jalan lain untuk memperoleh ilmu.

D.     Konsep Dasar Pendidikan Islam
Konsep dasar pendidikan Islam adalah konsep atau gambaran umum tentang pendidikan, sebagaimana dapat dipahami atau bersumber dari sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Al Hadist. Sebagai sumber dasar ajaran Islam, Al Qur’an memang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Hal ini sebagai petunjuk dan penjelas tentang berbagai hal yang berhubungan dengan permasalahan hidup dan perikehidupan umat manusia di dunia ini. Sementara itu sebagian kalangan, para ahli pendidikan berasumsi bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pendidikan. Mereka menganggap apa yang telah dilakukan Islam dalam pelaksanaan pendidikannya tidak memiliki konsep yang jelas. Penerapan pendidikan Islam selama ini hanya mengadopsi konsep dan sistem pendidikan Barat, yang kini telah mendominasi sistem pendidikan secara global.[17]
Asumsi demikian tentu tidak boleh serta merta disalahkan, kendatipun tidak secara mutlak diterima begitu saja. Salah satu argumen yang bisa diajukan mereka adalah karena sampai sekarang peristilahan yang secara baku dan konsisten disepakati semua pihak, kecuali dalam wujud polemik yang tidak berkesudahan.
Secara teknis, Mastuhu menawarkan konsep dasar pendidikan Islam yang sifatnya harus teknis. Sebab dengan sesuatu yang teknis ini pendidikan Islam akan memiliki orientasi yang jelas. Konsep Mastuhu tersebut adalah; pertama dalam pendidikan Islam tidak ada pemisahan istilah “pendidikan” dan “pengajaran”. Keduanya merupakan satu kesatuan yang integral, hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Pengajaran merupakan kiat atau strategi untuk mengaktualkan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan suatu nilai yang terus berjalan  tanpa henti, agar dapat diwujudkan. Pendidikan harus diprogramkan ke dalam target-target atau level-level tertentu, seperti diwujudkan dalam rencana-rencana pengajaran, praktikum, dan cara-cara mengajar. Ini yang kemudian diistilahkan dengan “pengajaran” sebagai teknologi atau kiat merealisasikan pendidikan. Pengajaran harus dilandasi dengan nilai-nilai kependidikan dan kependidikan pun selalu diwujudkan melalui kegiatan pengajaran;
kedua dalam melaksanakan metodologi pendidikan Islam, harus dipergunakan paradigma holistik, artinya memandang kehidupan sebagai satu kesatuan, sesuatu yang kongkrit dan dekat dengan kepentingan hidup sehari-hari sampai dengan hal-hal abstrak dan trasendental. Materi pendidikan Islam harus selalu terintegrasi dengan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan umum dan ilmu-ilmu umum harus disajikan dalam paradigma nilai ajaran Islam.
Ketiga perlu dipergunakan model penjelasan yang rasional, disamping pelatihan, dan keharusan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin spiritual dan norma peribadatan. Model penjelasan yang rasional, misalnya, digunakan dalam menjelaskan rukun iman. Selain itu, perlu mengembangkan pemikiran-pemikiran rasional, kreatif, inovatif, dan proaktif dalam mempelajari agama.
Keempat perlu digunakan teknik-teknik pembelajaran partisipatoris. Artinya, peserta didik aktif melakukan eksplorasi, menentukan permasalahan, dan bertanggungjawab akan pemecahan masalah dengan ikut serta merasakan dan mengamalkannya. Model partisipatori mengharuskan peserta didik sendiri yang belajar mengidentifikasi masalah, mengkonsep cara-cara pemecahan, dan mengambil keputusan.
Kelima perlu digunakan pendekatan emprik untuk melengkapi model dedukatif. Upaya untuk menghadirkan dan mengaktualkan iman dalam kehidupan, selain dalam pendekatan wahyu, manusia harus menerima-berhadapan dengan hukum alam (sunatullah) ciptaan Allah. Keenam pendidikan Islam lebih diorientasikan pada apa yang dikerjakan peserta didik itu sendiri. Jadi bukan hanya ang dilakukan oleh guru, sehingga memberikan pengalaman kepada peserta didik merupakan hal yang penting dalam proses belajar mengajar. Artinya harus ada interaksi aktif dan partisipatif antara peserta didik dengan materi yang diajarkan. Dengan cara yang demikian ini, diharapkan konsep dasar pendidikan Islam lebih memiliki arah yang jelas.[18]
1.      Pengertian Istilah Pendidikan Islam
Dari sudut pandang bahasa, pendidikan Islam tentu saja berasal dari khasanah istilah bahasa Arab yang di terjemahkan, mengingat dari bahasa itulah ajaran Islam diturunkan. Menurut yang tersirat dalam Al Qur’an dan Hadist yang menjadi sumber utama ajaran Islam, istilah yang dipergunakan dan dianggapnya relevan sebagai gambaran konsep dan aktivitas pendidikan Islam itu ada 3 (tiga), masing-masing adalah; at Tanbiyah, at Ta’liim, dan at Ta’dib. [19]
Sementara pandangan yang lain juga menganggap bahwa yang dipakai untuk pendidikan Islam yaitu tarbiyah dan ta’dib.[20] Dalam pandangannya istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut Naquib al Attas, tarbiyah secara semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesies lain seperti, mineral, tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material. Ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan[21].
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam (World Conference on Islamic Education) yang pertama di Mekkah Tahun 1977 memberikan rekomendasi tentang pengertian pendidikan menurut ajaran Islam. Dalam konfrensi itu, telah merekomendasikan pengertian pendidikan Islam dalam arti dan ruang lingkup yang luas, yang mencakup didalamnya secara terpadu konsep-konsep tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Namun dalam pemakaian kata sebagai istilah baku yang lebih tepat untuk menyatakan konsep pendidikan Islam ini, para ahli masih berbeda pendapat.[22]
Namun demikian pada akhirnya, para ahli dan pemikir pembaharuan pendidikan Islam sekarang lebih cenderung menggunakan Istilah tarbiyah. Kata tarbiyah dipandang cocok untuk menggambarkan secara tepat konsep pendidikan Islam yang relevan dengan tuntutan dan tantangan jaman modern. [23]
Diambilnya pemahaman istilah tarbiyah dalam konteks pendidikan Islam, karena kata tarbiyah merupakan masdar dari rabba yang serumpun dengan akar kata rabb (tuhan). Oleh karenanya tarbiyah yang berarti mendidik dan memelihara, termasuk secara implisit di dalamnya istilah rabb sebagai rabb al ‘alamin. Allah sebagai pendidik dan pemelihara alam semesta maha mengetahui segala kebutuhan makhluk yang dididik dan dipelihara-Nya karena Ia penciptanya (al khaliq). Manusia sebagai wakil Allah di bumi (khalifatullah fi al-ardli) memiliki tanggungjawab dalam pendidikan. Ketika ia berperan sebagai pendidik, maka ia harus mengidentifikasi dengan Allah sebagai rabb al-alamin. Bertolak dari pandangan teosentrisme, yang menjadikan Tuhan sebagai pusat seluruh ihwal kehidupan.[24] Dari pemahaman tersebut istilah dan konsep tarbiyah menjadi tepat digunakan untuk memberi makna pendidikan Islam sebagai implementasi peran manusia di bumi.
Dengan demikian istilah pendidikan Islam yang relevan dengan rekanan konsep bahasa Arabnya adalah at Tarbiyah, sehingga istilah pendidikan Islam akan menjadi at Tarbiyah al Islamiyah, bukan at takliim al-Islamiy  atau at Ta’diib al-Islamiy.
Secara terminologi, beberapa ahli pernah mengajukan rumusan konsep pendidikan Islam. Dalam buku Crisis in Muslim Education, Syed Sajjad Husain Syed Ali Ashraf menulis; pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan begitu rupa, sehingga dalam sikap hidup, tindakan, dan keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan mereka sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sadar akan nilai etis Islam[25]
2.      Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan hal ini juga merupakan saripati dari seluruh renungan pedagogik. Untuk itu tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua kegiatan pendidikan dilaksanakan.
Untuk itu perbincangan mengenai tujuan pendidikan Islam mendasarkan pada tujuan hidup manusia. Sebab, pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Dalam konteks Islam, Al Qur’an dengan tegas mengatakan bahwa apapun tindakan yang dikerjakan oleh manusia haruslah dikaitkan dengan Allah. Penegasan itu ada dalam Al Qur’an Surat Al An’aam ayat ke 162 yang artinya: katakanlah: sesungguhnya sembayangku dan ibadatku, seluruh hidup dan matiku, semuanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam.
Berdasar pemahaman tersebut, jelas terlihat sesuatu yang diharapkan terwujud secara ideal setelah seseorang mengalami pendidikan Islam, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola taqwa kepada Allah. Insan kamil artinya manusia utuh rokhani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan harapan yang tersirat dalam Al Qur’an Surat Al An’aam ayat ke 162 sebagaimana di atas.
Seiring dengan tujuan tersebut, sama halnya juga dalam pandangan Al Ghazaliberpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah, dan kesempurnaan insan yang tujuannya kebahagian dunia akherat[26].
Sejalan dengan uraian tersebut, rumusan internasional tujuan pendidikan Islam menurut konferensi pendidikan Islam di Islamabad tahun 1980, bahwa pendidikan harus dapat merealisasikan cita-cita (ideaitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis yang berdasarkan psikologis dan fisiologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuknya muslim yang paripurna, berjiwa tawakkal secara total kepada Allah[27].
Berdasarkan pemahaman tersebut, secara mendasar tekanan utama tujuan pendidikan Islam adalah pada usaha membimbing kearah pembentukan kepribadian muslim, yaitu manusia yang berilmu, beriman, bertaqwa dan beramal shaleh, manusia yang berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang lebih bersifat metafisik. Dengan kerangka ini, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “bagaimana membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan”, tetapi tujuan pendidikan Islam adalah “memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dan sosial kemanusiaannya”, lebih jauh lagi dengan memuliakan dan memberdayakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya.

3.      Fungsi Pendidikan Islam
Dengan pengertian dan tujuan pendidikan Islam seperti tersebut di atas, maka fungsi pendidikan Islam sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumberdaya manusia menuju terbentuknya manusia yang paripurna/ insan kamil dengan kata lain yakni manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.
Bagaimanapun pendidikan, menurut Durkheim dalam Education and Sociology merupakan produk masyarakat yang menetapkan bahwa masyarakat itu sendiri dapat survive[28]. Pandangan Durkheim ini, mengisyaratkan fungsi konservatif pendidikan sebagai lembaga pewaris kebudayaan sekaligus mengakibatkan pengekalan pada struktur sosial. Hal itu diharapkan manusia dalam mengarungi kehidupannya yang dari masa ke masa selalu berkembang dan tentunya hal ini harus tetap dihadapinya secara survive.
Dalam pemahaman umumnya, pendidikan merupakan sektor yang amat penting dan strategis bagi siapa saja; pemerintah, keluarga, dan individu dalam kapasitasnya masing-masing selalu memiliki perhatian terhadap dunia pendidikan. Keadaan semacam ini memiliki konsekuensi bahwa perencanaan pendidikan harus betul-betul dapat menyerap dan mengakomodasi aspirasi pendidikan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang merupakan totalitas dari kelompok-kelompok individu maupun keluarga. Oleh karena itu, perencanaan pendidikan harus berfikir mengenal relevansi program pendidikan dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Bahkan tidak hanya berhenti pada tahab itu saja, keseuaian program pendidikan harus diorientasikan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan terjadi.
Mendasari pemahaman tersebut berarti manusia perlu didikan. Untuk menciptakan manusia yang berkualitas di segala bidang, diperlukan sebuah proses, dan proses itu tidak serta merta ada dengan sendirinya tanpa adanya  suatu  “rekayasa”, yang  tentunya  di  manaj  dengan  tepat dalam “kawah candradimuka” yakni sebuah pendidikan[29] yang kondusif. Dengan harapan, semakin berkualitas pendidikan yang diperoleh, tentu dengan sendirinya akan semakin berkualitas gagasannya dalam menjawab kebutuhan zaman[30]. Untuk itu pendidikan merupakan cara strategis dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspeknya. Dalam sejarah umat manusia[31], hampir semua umat manusia yang menggunakan pendidikan sebagai proses pemberdayaannya.
Dengan demikian,  hampir dipastikan setiap orang  mendambakan  dan ingin  melahirkan  generasi  penerus  yang  selain  memiliki keunggulan  bersaing  untuk  menjadi  subyek  dalam  percaturan  dunia, juga hendaknya memiliki kepribadian yang utuh[32], sehingga dapat memakmurkan dan memuliyakan pada kehidupan materi dan spiritual untuk pribadi, keluarga serta masyarakatnya. Dalam merealisasikan keinginan tersebut, lembaga pendidikan sampai   saat ini masih dipandang sebagai tempat yang cukup kondusif guna dijadikan sebagai institusi yang sangat potensial dan strategis untuk memproduk, menciptakan,  dan mengembangkan SDM yang berkualitas tinggi.
Pandangan tersebut disadari bahwa dalam setiap proses pendidikan, utamanya melalui sekolah, terjadi berbagai bentuk penemuan baru yang berguna bagi kepentingan umat manusia. Bagaimanapun instrumen pendidikan diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menggapainya. Tidak berlebihan apabila semua orang sepakat bahwa pendidikan merupakan prasarat (indikator) sebuah kemajuan.
Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu kelompok, bangsa, negara tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan bagi kemajuannya, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang paling asasi bagi manusia. Bahkan M. Natsir menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan manusia[33]. pernyataan itu kiranya, memang didasari oleh indikasi tentang pentingnya pendidikan dalam  kehidupan umat manusia. Posisi pendidikan itu sendiri memegang peranan utama dalam mendorong kemajuan setiap individu untuk meningkatkan kualitas di segala aspek kehidupannya. Dengan tercapainya kualitas pendidikan akan tercapai pula tujuan hidup seseorang serta akan menunjang perannya dimasa mendatang sebagai subyek dalam kehidupan.
Dalam konteks ini, fungsi pendidikan Islam tidak saja menyiapkan tenaga terdidik untuk kepentingan ekonomi dan politik, tetapi justru membina ”totalitas manusia” yang mampu membangun dunia dengan segala dimensinya, sesuai dengan komitmen keimanannya kepada Allah SWT yang diserahi tanggungjawab sebagai khalifa fil ardhi. Maka dalam hal ini, Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan manusia untuk mampu memikul taklif (tugas hidup) sebagai khalifah Allah di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya. [34]
Dalam mengembangkan dan memberdayakan potensi manusia (insan), fungsi pendidikan pada hakekatnya mempunyai tiga peran yang prosesnya berjalan secara stimultan yaitu sebagai proses belajar, proses ekonomi dan proses sosial buadaya.[35] Pendidikan sebagai proses belajar, harus mampu menghasilkan individu dan masyarakat religius secara personal memiliki integritas dan kecerdasan. Sementara pendidikan sebagai proses ekonomi merupakan suatu investasi, oleh karena itu pada tingkat tertentu pendidikan harus memberikan keuntungan bagi segi sumber daya manusia. Dan pendidikan sebagai proses sosial budaya, pendidikan merupakan suatu bagian integral dari proses sosial budaya yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam diharapkan mampu menghasilkan manusia religius, memiliki integritas, kecerdasan, dan memberikan keuntungan bagi sumber daya manusia.
Dengan fenomena tersebut, untuk mempertegas kembali bahwa fungsi pendidikan Islam adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada manusia seoptimal mungkin sehingga dapat berkembang menjadi manusia muslim yang baik atau insan kamil. Artinya, segala potensi manusia yang dibawa dari lahir bukan hanya dapat dikembangkan dalam lingkungan (empirik) semata-mata, tetapi juga dapat dikembangkan secara terarah dengan bantuan orang lain atau pendidik. Memang diakui dalam pandangan Islam bahwa yang pertama-tama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah melakukan pendidikan untuk mengarahkan anak-anaknya. Seperti contoh dalam Al Qur’an Surat Luqman ayat 12 – 14 artinya:
Dan  sesungguhnya  telah  Kami  berikan  hikmat  kepada  Luqman,  yaitu: "Bersyukurlah  kepada  Allah.  Dan  barangsiapa  yang  bersyukur , maka  sesungguhnya  ia  bersyukur  untuk  dirinya  sendiri;  dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (12). Dan  ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan  adalah benar-benar  kezaliman  yang besar (13). Dan Kami perintahkan kepada manusia  kepada dua orang ibu-bapanya;  ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah  kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (14)

Oleh sebab itu fungsi pendidikan adalah mengarahkan segala potensi peserta didik seoptimal mungkin agar ia mampu memikul amanah dan tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, yang sesuai dan sejalan dengan profil manusia muslim yang baik (insan kamil), yaitu manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.

E.      Prinsip Pendidikan Islam
Secara mendasar dipahami bersama bahwa pada prinsipnya pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Penyatuan antara kedua unsur pengetahuan itu, termasuk tuntutan dalam aqidah Islam. Allah dalam doktrin ajaran Islam adalah pencipta alam semesta termasuk manusia. Dia pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola dan menjaga kelestariannya. Hukum-hukum mengenai alam fisik dinamakan Sunnah Allah (sunatullah) sebagai bentuk pertama, dan bentuk kedua adalah pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan pula dalam ajaran agama yang dinamakan din Allah, yang mencakup akidah dan syari’ah. Baik alam fisik dengan aturannya berupa sunatullah maupun pedoman hidup manusia berupa din Allah adalah sama-sama tanda wujud dan kebesaran Allah SWT.
Atas dasar pemahaman tersebut, berarti sama-sama ayat Allah walaupun yang pertama didapatkan dalam alam semesta sedangkan yang kedua didapatkan di dalam wahyu, yang pertama dinamakan ayat-ayat  al kauniyah dan yang kedua dinamakan ayat al tanziliyah. Studi tentang ayat al kauniyah dilakukan dalam ilmu fisika, geologi, geografi, biologi dan sebagainya. Sedangkan studi tentang tata kehidupan manusia berupa pengembangan pengetahuan di dasarkan pada ayat-ayat yang berupa tanziliyat. [36]
Selama ini ada perbedaan prinsip antara pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya, yang justru telah membawa konsekuensi lebih jauh, baik yang menyangkut wawasan, landasan dan tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar dan lain-ainnya. Ironisnya, karena kurang diketahui secara persis beberapa prinsip pendidikan Islam, baik secara makro maupun secara mikro, secara tidak sadar justru sebagian besar umat muslim sering mengadopsi konsep pendidikan Barat. Sehingga out put yang dihasilkan secara formal muslim, tetapi karakter mereka bukan, karena banyak diantaranya yang terdidik dan terperangkap pada pola Barat. Artiya apa yang datang dari Barat diterima “tanpa seleksi”,[37] akhirnya corak nyata adalah muslim, tetapi ideologi ikut Barat.
Diketahui bahwa pendidikan memegang peranan yang signifikan dalam melakukan perubahan pada setiap orang. Kebekuan dalam dunia Islam dalam konteks pendidikan masih mengunakan proses yang masih “kaku”[38]. Dalam dunia pendidikan sering lebih menitik beratkan pada bagaimana mengembangkan kecerdasan teknis kognitif. Hal ini dapat dimaklumi karena proses transfer dalam pembelajaran sering terjadi hanya satu arah, yang sifatnya doktriner. Sehingga nuansa pendidikan yang dilakukan kaku, hanya satu arah yakni dari guru semata. Partisipasi peserta didik dalam pendidikan tidak diberi kebebasan. Akhirnya peserta didik terjebak dalam hal yang terbatas.
Sebagaimana dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia seutuhnya. Seutuhnya dalam arti keutuhan antara dua dimensi yakni jasmani dan rokhani. Pendidikan yang merupakan derivasi (turunan dari) education (dalam Bahasa Inggris), at-tarbiyah (dalam Bahasa Arab) menunjuk adanya proses yang berkesinambungan dalam diri manusia.[39] Untuk itu, proses meliputi keseluruhan unsur baik kognitif, afektif, dan psikomotorik. Bila proses tidak berjalan secara stimultan maka yang akan terjadi adalah split personality (diri yang terpisah) pada setiap orang. Pada dataran ideal, tujuan pelaksanaan pendidikan yaitu sebagai proses untuk membentuk pribadi peserta didik yang sempurna.
Dalam wilayah teknis pelaksanaannya, berbagai kendala muncul sehingga untuk mencapai target yang diinginkan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di situ terlihat jelas bahwa pendidikan merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai variabel yang memiliki keterhubungan. Dengan demikian, apabila pelaksanaan pendidikan itu sendiri kurang sempurna akan berimbas pada cacatnya proses pembelajaran, dan pada akhirnya tidak akan menghasilkan output yang diharapkan sbagaimana mestinya.
Atas dasar pemahaman tersebut, pendidikan Islam menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Implikasinya, pendidikan Islam senantiasa mengundang pemikiran dan kajian, baik secara konseptual maupun oprasional sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan untuk menjawab tantangan serta mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia. Dengan demikian, dengan pendidikan Islam diharapkan mampu menciptakan manusia yang menjadi pengendali kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sekaligus menjadi daya tangkal terhadap dampak-dampak negatif lingkungan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi itu sendiri.
Dalam pelaksanaannya pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan pendidikan qalbiyah yang selalu seiring dan selalu berinteraksi dengan pendidikan aqliyah, sehingga dapat melahirkan prilaku manusia yang religius, memiliki integritas dan kecerdasan.[40] Dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam sebenarnya merupakan pendidikan yang mampu menyiapkan kader-kader khalifah dan secara fungsional keberadaannya menjadi peran utama dalam terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil ‘alamin.
Dijadikannya manusia sebagai kholifah di muka bumi ini karena manusia menempati kedudukan yang paling istimewa di jagad raya ini. Sebagaimana dalam firman Allah Surat Al Baqarah Ayat 31 yang artinya; “Ingatlah, ketika tuhanmu berkata kepada malaikat: Aku akan menciptakan khalifah di atas bumi”. Selanjutnya manusia dianggap sebagai kholifah[41] Allah tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai khalifah kecuali kalau ia diperlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian.


F.      Metode Pendidikan Islam
Metode berasal dari Bahasa Yunani yaitu metha dan hodos. Metha berarti melalui atau melewati, dan hodos berarti jalan atau cara. Metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu[42]. Sementara dalam Kamus Ilmiah Populer dijelaskan bahwa metode adalah cara yang teratur dan sistimatis untuk pelaksanaan sesuatu.[43]
Sementara itu Langgulung berpendapat bahwa penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek pokok, yaitu;  kesatu sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan, kedua berkenaan dengan metode-metode yang betul-betul berlaku, ketiga membicarakan tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam istilah Al Qur’an disebut ganjaran (sawab) dan hukuman (iqab). [44]
Dalam pendidikan yang diterapkan di Barat, metode-metode pendidikan hampir sepenuhnya tergantung kepada kepentingan peserta didik. Para guru hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, ataupun hanya sebagai instruktur. Sistem yang cenderung dan mengarah kepada anak didik sebagai pusat (child centre) ini sangat menghargai adanya perbedaan individu para peserta didiknya. Hal ini yang menyebabkan para guru hanya bersikap merangsang dan mengarahkan para peserta didik mereka untuk belajar dan mereka diberi kebebasan, sedangkan pembentukan karakter hampir kurang menjadi perhatian guru.
Akibat model metode yang demikian itu menyebabkan pendidikan yang dilakukan kurang memperhatikan watak. Dihubungkan dengan fenomena yang timbul di masyarakat di mana guru semakin tidak di hormati oleh muridnya. Pada kasus ini saja sudah terdapat perbedaan yang besar antara sistem metode pendidikan Islam dan pendidikan Barat yang dianggap pendidikan modern. Dalam konteks Islam, pendidikan yang dilakukan sangat menghargai kebebasan individu, namun selama kebebasan itu sejalan dengan fitrahnya. Sehingga seorang guru pun dalam mendidik tidak dapat memaksakan peserta didiknya dengan cara yang bertentangan dengan fitrahnya. Akan tetapi sebaliknya, guru harus bertanggungjawab dalam membentuk karakter peserta didik sebagai bagian dari proses pendidikan yang dilakukannya. Dia tidak boleh duduk diam, sedangkan peserta didiknya memilih jalan yang salah.
Itu yang membedakan antara metode pendidikan Barat dengan metode pendidikan Islam. Bagaimanapun pendidikan Islam berorientasi pada penanaman ahklaq kepada setiap peserta didiknya. Sebagaimana dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sekaligus pengajaran iman dan pengajaran amal. Ini karena, pendidikan Islam didasari oleh ajaran Islam yang berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat.[45] Untuk itu pendidikan Islam bisa dipahami sebagai pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.
Upaya guru untuk memilih metode yang tepat dalam mendidik peserta didiknya harus disesuaikan dengan tuntunan agama. Jadi, dalam berhadapan dengan murid-muridnya ia harus mengusahakan agar pengajaran yang diberikan kepada peserta didiknya itu mudah diterima dan tidak cukup dengan sikap lemah lembut saja. Ia harus memikirkan metode-metode yang tepat yang akan digunakan, seperti memilih waktu yang sesuai, memulai dengan yang mudah. Berbagai metode yang digunakan dalam mengajarkan suatu mata pelajaran, bercerita, mengulang-ulang, menanyakan soal-soal, dn lain sebagainya, seperti Rasulullah Saw mengajarkan kepada para umatnya berbagai metode yang tepat.





[1] Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam; Spiritualitas Masyarakat Modern, Bandung Pustaka Setia, 2002, Hal. 70.
[2] Al Gzajali, Terjemah Ulumuddin Juz 1, t.th., Hal. 11-12
[3] Al Gzajali, Terjemah Jamharatul Auliya’, t.th, Hal.  155
[4] Ibnu Arabi, Rasa’il Ibnu Arabi, t.th.  Hal. 4
[5] A. Busyairi Harits, Ilmu Laduni; Dalam Perspektif Teori Belajar Modern, Cet. Kedua, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Hal. 21-22.
[6] Muhtar Sholikhin dan Rosihon Anwar, Hakekat Manusia; Mengenali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2005, Hal. 66
[7] Al Ghazali, Keajaiban-Keajaiban Hati, Bandung: Karisma, 2000, Hal. 26
[8] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, Jakarta: Patrap Thursina Sejati, 2006, Hal. 63
[9] Muhtar Sholikhin dan Rosihon Anwar, Hakekat Manusia; Mengenali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, Ibid, Hal. 70
[10] Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta, Jawa Tengah: Rindang Depag Kanwil Jateng, No. 07 TH. XXXIV Pebruari 2009, Hal. 31
[11] Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta, Jawa Tengah: Rindang Depag Kanwil Jateng, No. 07 TH. XXXIV Pebruari 2009, Hal. 32
[12] Intuisi adalah bisikan kalbu atau kesanggupan dalam mencapai pengetahuan dengan pemahaman secara langsung tanpa melalui proses berfikir
[13] Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta,Ibid, Hal. 32
[15] http://www.indogamers.com/f176/islam_ilmu_laduni-160272/
[16] Amroeni Drajat, Filsafat Iluminasi; Sebuah Kajian Terhadap Konsep Cahaya Suhrawardi, Tanggerang: Riora Cipta, 2001. Hal. 34
[17] Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002, Hal. 1
[18] Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003, Hal. 195
[19] Ibid, Hal. 2
[20] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1998, 1
[21] Ibid, Hal. 2
[22] Muhaimin, et, all, Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Abdi Tama, t.th, Hal. 13
[23] Ibid, Hal. 13
[24] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Hal. 26
[25] Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 12
[26] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 26
[27] Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 19
[28] Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 25
[29] Karena melalui pendidikan, masyarakat akan belajar untuk mengerti dan merubah hubungannya dengan alam serta lingkungan sosialnya secara kontruktif; Kadir dan Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982),15; Bandingkan, bahwa proses pendidikan juga dapat difahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang; Soewito, Pendidikan Yang Memberdayakan, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000),1; Bandingkan, bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia, khususnya peserta didik, dan proses pendidikan merupakan bentuk ikhtiar dalam menyiapkan generasi muda untuk mempengaruhi kehidupan yang akan datang; Wahid, Marzuki, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 171; bandingkan juga, bahwa Presiden Soeharto ketika membuka Konfrensi Dewan Mentri-mentri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang ke-17menyampaikan bahwa pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap bangsa, lebih-lebih bagi yang sedang membangun; Furchan, Arief,  Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), vii.
[30] Karena pendidikan yang ada dibelahan dunia manapun (baik negara berkembang atau negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk membentuk dan mengembangkan  Sumber Daya Manusia yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat sekitar. Nasrib, Ibrahim, Keteladanan Pendidik Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, Mimbar Depaq Jatim,(No. 175 April, 2001), 32.
[31] Apabila ditelusuri dari segi sejarahnya, pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berumur sangat tua. Hal ini dapat dipahami sebenarnya pendidikan telah dijalankan sejak mulainya manusia dimuka bumi ini. Penguasaan terhadap alam semesta, memberikan contoh pendidikan kepada manusia. Dan dilanjutkan dengan mendidik keluarganya. Baca Ma’arif, Syafi’i, Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”, Jurnal Pendidikan Islam, (No. 2. Fak. Tar. UII, Oktober 1999), 6.
[32] Kepribadian yang utuh dimaksudkan adalah kepribadian yang memiliki dua dimensi; yakni kepribadian moral dan intelektual.
[33] Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 78.
[34] Aly, Hery Noer dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2000, Hal. 11
[35] Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Ibid,  Hal. 133
[36] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 113
[37] Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 70
[38] Kaku yang dimaksud adalah dari segi visi, misi, sistem, kurikulum, evaluasi masih menggunakan prinsip klasik/lama.
[39] Abdurrahman, Meaningful Learning; Re-Invensi Kebermaknaan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, Hal. 74
[40] Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003, Hal. 133
[41] Kata – kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa yang bermakna mengganti atau mengikuti. Dalam hal ini, khalifah adalah orang yang menggantikan orang lain. Itu sebabnya kepala negara Islam di beri gelar ini. Abu Bakar menggantikan Nabi Muhammad Saw, setelah beliau wafat. Beliau dipanggil Khalifah Rasul Allah, kata terakhir sesudah NAbi Saw dibuang dan tinggallah sebutan khalifahtetapi maknanya serupa.
[42] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 77
[43] Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Ibid, Hal 461
[44] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 78
[45] Daradjat, Zakiah, et, all, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, Hal. 28