Senin, 16 Desember 2013

Evaluasi matrikulasi Bahasa Inggris

"+"

Evaluasi Matrikulasi Bahasa Inggris di Kelas Reguler
Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang Tahun 2005/2006





A.    Pendahuluan

       Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang diajarkan mulai sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.[1] Bahkan, ia termasuk salah satu mata pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional (UN), khususnya untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian untuk program Strata Satu (S1), bahasa Inggris termasuk dalam rumpun Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang biasanya diberikan pada semester satu, kecuali pada Jurusan Bahasa/Sastra Inggris yang memang menjadikan bahasa tersebut sebagai obyek studinya.
         Di IAIN Walisongo Semarang, bahasa Inggris ternyata tidak hanya dijadikan sebagai mata kuliah dasar untuk program S1 tetapi juga untuk program pascasarjana (S2), yang lazim disebut “matrikulasi bahasa Inggris”. Ini berpijak pada persepsi bahwa bahasa Inggris (dan bahasa Arab) merupakan prasyarat yang sangat dibutuhkan untuk menempuh program S2, khususnya di dalam mengakses informasi-informasi dari literatur-literatur berbahasa Inggris. Lebih dari itu, “bahasa pengantar yang digunakan pada program pascasarjana IAIN Walisongo Semarang di antaranya adalah bahasa Inggris.”[2]
       Karena itu, peserta program S2 dituntut untuk memiliki  kemampuan bahasa Inggris yang cukup. Tanpa itu, dia sulit untuk memahami mata kuliah yang disampaikan oleh dosen. Makanya tidak mengherankan apabila peserta program S2 IAIN Walisongo Semarang disyaratkan memiliki Skor TOEFL 460, sebagaimana yang disebutkan di dalam Tata Tertib Program Pascasarjana pasal 32 ayat 1.[3] Skor tersebut mengindikasikan bahwa peserta program S2 yang bersangkutan memiliki kemampuan bahasa Inggris yang cukup.
     Tetapi realitasnya, setelah menempuh matrikulasi bahasa Inggris, kemampuan bahasa Inggris peserta program S2 ternyata tidak mengalami perkembangan yang berarti, atau bahkan tidak ada perubahan sama sekali. Pandangan semacam ini tidak hanya berpijak pada pengamatan penulis, tetapi juga pengakuan peserta program S2 yang mengikuti matrikulasi bahasa Inggris.[4] Berarti ada something wrong di dalam pembelajaran bahasa Inggris yang harus dievaluasi dan diperbaiki.
        Bertolak dari deskripsi di atas, makalah ini dimaksudkan untuk mengevaluasi matrikulasi bahasa Inggris di program pascasarjana IAIN Walisongo Semarang tahun 2005/2006 dengan model evaluasi CIPP (context, input, process, product).[5] Akan tetapi, di dalam evaluasi ini hanya dilakukan pada komponen input dan proses. Dari hasil evaluasi ini diharapkan memberikan informasi dan menjadi acuan untuk memecahkan masalah matrikulasi bahasa Inggris di program pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
 

B.     Sekilas tentang Pembelajaran Bahasa Inggris

        Di program pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, bahasa Inggris termasuk Kelompok Mata Kuliah Non-Kredit (KMKN-K). Mata kuliah bahasa Inggris hanya wajib diambil oleh sebagian peserta program S2, yaitu peserta yang oleh Penasehat Akademik dan Pimpinan Program Pascasarjana dianggap perlu mengembangkan kemampuan bahasa Inggrisnya. Namun demikian, mata kuliah ini tidak dihitung ke dalam nilai satuan kredit yang harus ditempuh oleh peserta program S2 agar bisa memperoleh gelar Magister yang berjumlah 42 SKS.[6]
         Pembelajaran bahasa Inggris di program pascasarjana IAIN Walisongo Semarang ditekankan pada reading (kemampuan memahami suatu teks). Dengan demikian, setelah menerima mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu memahami literatur-literatur berbahasa Inggris yang sangat dibutuhkan di dalam menempuh program S2. Adapun frekuensi pembelajaran mata kuliah ini sama dengan mata kuliah-mata kuliah yang lain, yaitu seminggu sekali.
          Adapun fokus evaluasi matrikulasi bahasa Inggris di Kelas Reguler Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang tahun 2005/2006 adalah: pertama, evaluasi input difokuskan pada: (1) kompetensi dosen, dan (2) kemampuan peserta matrikulasi; dan kedua, evaluasi proses yang difokuskan pada: (1) perencanaan pembelajaran, (2) kehadiran tepat waktu peserta matrikulasi, dan (3) keseriusan dalam mengerjakan tugas.

C.    Hasil Evaluasi

Data hasil evaluasi di dalam makalah ini meliputi: 1) evaluasi input, dan 2) evaluasi proses.
1.      Evaluasi Input
Menurut Ibnu Hadjar, evaluasi input dilakukan untuk mendapatkan: 1) informasi berkenaan dengan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan, dan 2) menentukan karakteristik dari kemampuan sistem pembelajaran dan strategi yang potensial untuk mencapai tujuan.[7] Suharisimi Arikunto menambahkan bahwa evaluator input boleh mempertimbangkan sumberdaya tertentu apabila sumber-sumber tersebut terlalu mahal untuk dibeli atau tidak tersedia, dan ada alternatif lain yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan program. Demikian juga menyangkut personil-personil yang dapat melaksanakan program, juga diperhitungkan sebagai sumber.[8]  
Adapun evaluasi input di dalam makalah ini meliputi: (1) kompetensi dosen, dan (2) kemampuan peserta matrikulasi.
a.      Kompetensi dosen
Kompetensi dosen merupakan aspek yang sangat vital di setiap proses belajar mengajar, sebab hal ini sangat menentukan terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Apabila seorang dosen mengampu mata kuliah sesuai dengan kompetensinya, maka —tanpa mengesampingkan faktor-faktor yang lain— tujuan pendidikan akan tercapai. Sebaliknya, jika mata kuliah yang diampu ternyata bukan bidangnya, maka tujuan tersebut akan sulit untuk terpenuhi.
Dosen pengampu matrikulasi bahasa Inggris di kelas reguler pascasarjana IAIN Walisongo Semarang tahun 2005/2006 ternyata tidak kompeten. Dikatakan tidak kompeten karena mata kuliah tersebut tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dia berlatar belakang Syari’ah (S1), Sosiologi (S2) dan Hukum (S3). Ketiga disiplin ilmu itu jelas tidak ada hubungannya dengan bahasa Inggris.
Sekalipun dia memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang bagus, baik speaking, listening, reading dan writing (dengan pengalamannya studi di Australia), tidak berarti dia memiliki kompetensi untuk mengajar bahasa tersebut. Kemampuan bahasa Inggrisnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk menjadi dosen bahasa Inggris. Sebab, untuk menjadi dosen bahasa Inggris yang baik, seseorang wajib memiliki skill dan metode mengajar bahasa tersebut. Karena itu, yang paling pas untuk menjadi dosen matrikulasi bahasa Inggris tentunya adalah orang yang berlatar belakang pendidikan bahasa Inggris, bukan syari’ah, sosiologi atau hukum.   
Untuk memperkuat argumentasi di atas penulis membuat analogi berikut. Zainal Abidin, misalnya, adalah warga pribumi Indonesia yang fasih berbahasa Indonesia (baik berbicara, mendengar, menulis dan memahami teks). Akan tetapi, dia tidak serta merta memiliki kemampuan mengajar bahasa Indonesia dengan baik, sekalipun bahasa tersebut merupakan bahasa asli yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Mengapa demikian? Karena mengajar bahasa Indonesia membutuhkan skill dan metode-metode tersendiri yang belum tentu dimiliki oleh semua warga pribumi. Makanya, di sejumlah Perguruan Tinggi dibuka jurusan bahasa Indonesia yang diorientasikan untuk menjadi guru atau dosen bahasa Indonesia yang profesional.       
b.      Kemampuan peserta matrikulasi
Hampir semua peserta matrikulasi bahasa Inggris mengaku bahwa kemampuan bahasa Inggrisnya minim, bahkan ada yang tidak tahu sama sekali.[9] Dari sini bisa dikemukakan bahwa peserta matrikulasi bahasa Inggris di kelas reguler pascasarjana IAIN Walisongo Semarang tahun 2005/2006 masih belum siap untuk menerima mata kuliah bahasa Inggris yang diarahkan kepada translation atau reading (pemahaman terhadap literatur-literatur berbahasa Inggris), sesuai dengan orientasi matrikulasi yang telah ditetapkan oleh pimpinan pascasarjana.
Orientasi reading tersebut berangkat dari persepsi bahwa semua peserta matrikulasi bahasa Inggris pernah menerima pelajaran atau mata kuliah tersebut ketika duduk di SMP hingga S1. Jadi, materi yang disampaikan tidak perlu mengulangi lagi materi-materi yang (sebetulnya) telah diperoleh di jenjang pendidikan sebelumnya. Jadi, idealnya peserta matrikulasi bahasa Inggris telah memiliki kemampuan dasar bahasa Inggris yang cukup sehingga materi yang disampaikan selama matrikulasi itu bisa dipahami dengan baik. 
Akan tetapi kenyataannya mereka masih belum menguasai “PANCAVIP” (Pronoun, Adjective, Noun, Conjunction, Adverb, Verb, Interjection, dan Preposition) sebagai materi paling dasar di dalam bahasa Inggris. Bagaimana mungkin mereka mampu menguasai materi reading atau translation ketika pengetahuan dasar merek tentang tata bahasa Inggris masih sangat minim. Dalam kondisi demikian, materi reading yang disampaikan oleh dosen hanya “angin lalu” saja, alias tidak memiliki arti yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan reading peserta matrikulasi.
  
2.      Evaluasi Proses
Penilaian proses, kata Arikunto, meliputi koleksi data yang telah ditentukan (dirancang) dan diterapkan di dalam praktik.[10] Sementara itu, Ibnu Hadjar menyatakan, evaluasi proses bertujuan untuk mengidentifikasi kekurangan/ kelemahan desain prosedural dan mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam kegiatan pembelajaran.[11]  
Evaluasi proses di sini ditekankan pada: (1) perencanaan pembelajaran, (2) kehadiran tepat waktu peserta matrikulasi, dan (3) keseriusan dalam mengerjakan tugas.
a.      Perencanaan pembelajaran
Perencanaan pembelajaran di dalam kelas tentunya dilakukan oleh dosen pengampu matrikulasi bahasa Inggris. Perencanaan ini penting untuk dijadikan acuan, baik oleh dosen ataupun mahasiswa untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Biasanya, perencanaan pembelajaran diwujudkan dengan adanya silabus yang dibuat oleh dosen pengampu mata kuliah, dalam hal ini mata kuliah bahasa Inggris. Sayangnya, menurut Nur Edi Susilo dan Abdullah Zawawi, dosen pengampu matrikulasi bahasa Inggris di kelas reguler pascasarjana IAIN Walisongo Semarang tahun 2005/2006 tidak membuat silabus sebagai acuan kegiatan belajar bahasa Inggris selama satu semester.[12]
Dengan adanya silabus, dosen dan mahasiswa sama-sama memiliki kesepahaman mengenai topik-topik yang akan dibahas selama satu semester. Selain itu, peserta matrikulasi juga bisa mempersiapkan diri (baca: belajar) tentang materi yang akan disampaikan pada pertemuan berikutnya, sehingga para peserta berangkat ke kampus tidak dengan “kepala kosong”. Minimal dia memiliki gambaran tentang apa saja yang akan disampaikan oleh dosen.     
Menurut Muchlasoh, “sebetulnya dosen pengampu matrikulasi bahasa Inggris pernah “menunjukkan” silabus yang disusun oleh Dr. Djamaluddin Darwis. Akan tetapi, pada praktiknya dia tidak mengacu kepada silabus tersebut.”[13] Artinya, materi kuliah yang akan disampaikan sangat tergantung kepada kehendak dosen, sehingga peserta matrikulasi tidak tahu apa yang akan disampaikan oleh dosen yang bersangkutan. Tidak adanya silabus ini mengindikasikan bahwa dosen tersebut belum siap atau kurang serius di dalam mengampu mata kuliah bahasa Inggris.    
b.      Kehadiran tepat waktu peserta matrikulasi
Kehadiran tepat waktu, yang sering disebut on time, merupakan masalah klasik bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Hampir setiap acara atau kegiatan selalu “molor” dari jadwal yang telah ditentukan. Padahal, kehadiran tepat waktu merupakan salah satu aspek yang sangat penting di dalam kegiatan belajar. Akan tetapi, budaya “molor” tampaknya sudah mengakar begitu kuat di kalangan masyarakat Indonesia.
Hal seperti ini juga terjadi pada kegiatan matrikulasi bahasa Inggris di kelas reguler pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Penulis sendiri sering melihat peserta matrikulasi bahasa yang datang terlambat. Bahkan, ada salah satu peserta yang “dianggap tidak mengikuti matrikulasi”, sekalipun dia terus mengikuti perkuliahan hingga akhir semester. Penyebabnya, selain karena sering terlambat, dia juga sering tidak masuk kuliah.
 
c.       Keseriusan dalam mengerjakan tugas
Idealnya, tugas dari dosen dikerjakan secara serius ketika deadline waktunya masih lama, sehingga hasilnya bisa optimal dan kualitas. Akan tetapi, ada kecenderungan umum di mana mahasiswa agak kurang serius (sekedar tidak menyebut malas) untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen. Masalahnya bukan karena tugas tersebut sangat sulit, tetapi karena mahasiswa seringkali menunda-nunda untuk segera menyelesaikan tugas itu. Akibatnya, ketika deadline waktunya sudah mendesak, dia baru pontang-panting menyelesaikannya.
Yang lebih parah lagi adalah ketika tugas tersebut hanya satu topik, yang mana semua mahasiswa mengerjakan satu tugas yang sama. Dalam konteks ini, acapkali ada mahasiswa yang tidak mau susah. Dia cukup meng-copy paste tugas yang dikerjakan oleh teman sekelasnya. Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai oleh dosen tidak bisa terealisir secara optimal.
Kasus semacam ini juga terjadi di matrikulasi bahasa Inggris di kelas reguler pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. Penulis pernah dititipi untuk mengumpulkan tugas oleh empat peserta matrikulasi bahasa Inggris, karena mereka akan pulang kampung alias “mudik lebaran”. (Tanpa seizin mereka) penulis melihat hasil pekerjaan masing-masing peserta matrikulasi itu. Ternyata, hasil pekerjaan mereka sama persis, bahkan hingga “titik komanya”. Yang berbeda hanyalah nama dan NIM-nya saja. Dalam konteks ini hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (1) mereka berdiskusi/bekerjasama, dan (2) satu orang bekerja, sementara yang lain tinggal copy-paste saja.
Sebetulnya diskusi atau kerjasama sih boleh-boleh saja. Asalkan benar-benar sebatas untuk menyamakan persepsi dan pemahaman terhadap tugas yang diberikan kepada dosen. Dengan demikian, uraian dan deskripsi mengenai tugas tersebut tidak akan sama. Apabila sama persis hingga “titik komanya”, maka sangat disangsikan kalau jawaban atau laporan tugas itu benar-benar merupakan hasil diskusi atau kerjasama. Kemungkinan besar, hal itu merupakan hasil jiplakan terhadap karya teman sendiri. Ini jelas mencederai kode etik intelektual.
 

D.    Kesimpulan

           Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa matrikulasi bahasa Inggris di kelas reguler pascasarjana IAIN Walisongo Semarang tahun 2005/2006 dari sisi input dan proses masih menghadapi sejumlah masalah serius. Yang termasuk masalah input adalah: (1) dosen pengampu mata kuliah bahasa Inggris tidak sesuai dengan kompetensinya, sebab latar belakang pendidikan yang bersang-kutan bukan dari jurusan atau konsentrasi pendidikan bahasa Inggris, dan (2) kemampuan dasar peserta matrikulasi bahasa inggris masih sangat minim, sehingga mereka kesulitan untuk memahami materi reading yang menjadi orientasi pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.  
         Adapun dari aspek proses, masalah yang dihadapi antara lain: (1) dosen pengampu mata kuliah bahasa Inggris tidak membuat perencanaan pembelajaran yang baik. Terbukti dia tidak membuat silabus sebagai dosen-dosen yang lain di pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, (2) sejumlah peserta matrikulasi bahasa Inggris acapkali datang terlambat, dan (3) kekurangseriusan peserta matrikulasi bahasa Inggris di dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen pengampu.

E.     Saran-Saran

Dengan dosen yang tidak kompeten dan “kurang serius”, peserta matrikulasi yang sangat minim pemahaman dasar-dasar bahasa Inggrisnya, plus seringnya terlambat masuk kelas dan kurang serius di dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen, tampaknya tujuan yang ditetapkan oleh lembaga pascasarjana IAIN Walisongo Semarang sulit terpenuhi. Karenanya ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan melalui makalah ini, antara lain:
1.      Pengampu mata kuliah bahasa Inggris harus diberikan kepada dosen yang benar-benar kompeten di bidang pendidikan bahasa Inggris,
2.      Peserta pascasarjana IAIN Walisongo Semarang harus diseleksi dengan ketat, termasuk tentang kemampuan bahasa Inggrisnya. Jadi sifatnya benar-benar “penyaringan” bukan “penjaringan”,
3.      Perlu ada aturan atau kebijakan yang tegas bahwa setiap dosen pascasarjana IAIN Waslisongo Semarang harus membuat silabus atas mata kuliah yang dia ampu,
4.      Perlu ada aturan yang tegas mengenai peserta S2 yang masuk kuliah tidak tepat waktu sesuai dengan jadwal yang ada,
5.      Perlu ada reward and punishment di dalam pengerjaan tugas mata kuliah yang diberikan kepada dosen.



F.     Referensi

IAIN Walisongo, Buku Panduan Program Pascasarjana Program Studi Agama Islam, (Semarang, IAIN Walisongo), 2003
Ibnu Hadjar, Al-Musykilat al-Lughawiyah fi Ta’lim al-Lugah al-‘Arabiyah, Makalah disajikan dalam diskusi dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tanggal 12 Mei 1998
_________, Pendekatan Evaluasi (Beberapa Model), Materi Mata Kuliah Kurikulum dan Evaluasi (Power Point), Semarang, 20 Juni 2006
M.F. Baradja, Kapita Selekta Pengajaran Bahasa (Malang, IKIP Malang), 1989
Suharsimi Arikunto, Penilaian Program Pendidikan, (Jakarta, Bina Aksara), 1988



[1] Tentunya materi yang diberikan di SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi tentu tidak sama. Ini didasarkan pada pandangan bahwa belajar bahasa asing merupakan proses yang sekuensial, di mana penguasaan materi harus dilakukan secara bertingkat dari dasar hingga lanjutan. Selain itu, beberapa ahli menyatakan bahwa idealnya untuk mencapai penguasaan dan keterampilan berbahasa (Inggris) hingga pada level intermediate setidaknya diperlukan tatap muka waktu belajar minimal 360 jam. Lebih lanjut baca: Ibnu Hadjar, Al-Musykilat al-Lughawiyah fi Ta’lim al-Lugah al-‘Arabiyah, Makalah disajikan dalam diskusi dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tanggal 12 Mei 1998, hlm. 3, dan M.F. Baradja, Kapita Selekta Pengajaran Bahasa (Malang, IKIP Malang), 1989, hlm. 23  
[2] IAIN Walisongo, Buku Panduan Program Pascasarjana Program Studi Agama Islam, (Semarang, IAIN Walisongo), 2003, hlm. 56
[3] ibid
[4] Kebetulan penulis tidak diwajibkan untuk mengikuti matrikulasi, baik bahasa Inggris dan bahasa Arab. Skor TOEFL yang diraih penulis untuk sementara ini adalah 520.
[5] Gambaran lebih jelas tentang CIPP diuraikan oleh Suharsimi Arikunto, Penilaian Program Pendidikan, (Jakarta, Bina Aksara), 1988, hlm. 38-45
[6] ibid, hlm. 20     
[7] Ibnu Hadjar, Pendekatan Evaluasi (Beberapa Model), Materi Mata Kuliah Kurikulum dan Evaluasi (Power Point), Semarang, 20 Juni 2006
[8] Arikunto, Op.Cit., hlm. 40
[9] Data ini merupakan pengakuan sebagian peserta matrikulasi bahasa Inggris (13 orang) kepada penulis. Di mana penulis merupakan tutor dan koordinator bahasa Inggris pada Postgraduate English Community (PEC) yang dilaksanakan di luar jam kuliah, dengan frekuensi tatap muka 2 kali dalam seminggu. Kegiatan ini berlangsung selama semester pertama hingga pertengahan semester kedua.    
[10] Arikunto, Op.It., hlm. 41
[11] Hadjar , Loc.Cit
[12] Wawancara dengan Nur Edi Susilo dan Abdullah Zawawi (peserta matrikulasi bahasa Inggris) tanggal 21 Juli 2006 di perpustakaan pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
[13] Wawancara dengan Muchlasoh (peserta matrikulasi bahasa Inggris) melalui SMS tanggal 22 Juli 2006.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar