Senin, 16 Desember 2013

"+"

Review Book:


BUKU 3
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
(Panduan Monitoring dan Evaluasi)
Tim Depdiknas RI, 2001



PADA BAB III
PEMANFAATAN HASIL DAN  TINDAKLANJUT




I.      Tujuan Dan Garis-Garis Besar Isi Buku

A.    Tujuan Intruksional
Dengan semangat otonomi yang lebih besar, sebagaimana tuntutan dari agenda reformasi yang dimotori oleh kelompok Mahasiswa tahun 1998, diharapkan lembaga sekolah memiliki kewenangan dalam pengelolaannya, sehingga lembaga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandirian ini, fihak sekolah akan lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa sejalan guna mewujudkan hal tersebut, salah satu upayanya adalah perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program-program pendidikan. Dari proses ini akan diketahui tentang manfaat hasil dan tindak lanjut pelaksanaan pendidikan apakah sesuai dengan tujuan, hambatan apa yang terjadi? Dan bagaimana untuk mengatasinya, juga akan diketahui sejauhmana kemajuan yang telah dicapai.

B.    Garis Besar Materi Yang Disampaikan
Sebagaimana dijelaskan pada tujuan diatas, bahwa maksud dari pemanfaatan hasil dan tindak lanjut dalam proses monitoring dan evaluasi tersebut, akan dijadikan sebagai landasan pengambilan keputusan baik ditingkat pertama bagi sekolah yang bersangkutan, kedua Dinas Pendidikan baik di tingkat Kabupaten/ Kota maupun Propinsi, serta ketiga oleh Departemen Pendidikan nasional pusat.
Untuk hal itu, pada bagian bab ini memberikan uraian singkat tentang manfaat dan tidaklanjut dalam proses monitoring dan evaluasi yang disertai dengan pedoman secara datail.
 

II.  Uraian Materi Isi Buku

Dalam isi pokok buku 3, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Panduan Monitoring dan Evaluasi Bab III tentang Pemanfaatan Hasil dan Tindaklanjut ini, merupakan bentuk respon kebijakan pemerintah terhadap munculnya UU Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang penganturan sistem otonomi daerah, termasuk di bidang pendidikan terkait dengan otonomi pendidikannya. Buku ini memberikan pedoman secara praktis dalam pemanfaatan dan tindak lanjut atas proses monitoring dan evaluasi yang disertai dengan lengkap petunjuk penelitiannya atas mutu suatu lembaga sekolah. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam BAB 1. hal tersebut disadari ketika “gong” otonomi daerah dilaksanakan, maka sistem otonomi pendidikan hendaknya juga diimplementasikan. Setidaknya konsep ini menjadikan fundamen akan keberhasilan pendidikan terletak pada lembaga sekolah.
Hal ini juga disertai munculnya fenomena rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah yang ditulis pada buku 1 bagian pendahuluan.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hasil monitoring dan evaluasi akan digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan, bagi:
a.      sekolah
sekolah secara langsung dapat memanfaatkan hasil monitoring dan Evaluasi, terutama yang terfokus pada monitoring pelaksanaan program yang dilakukan oleh tim internal sekolah. Dari hasil ini akan mudah teridentifikasi hambatan dan kemajuan serta kendala dalam melaksanakan program-program sekolah. Hal ini terutama menyangkut berbagai komponen dan indikator pendidikan yang secara langsung mampu ditangani sekolah.
Kepala sekolah dapat mengunakan hasil ini dalam melakukan pembinaan terhadap para guru dan staf lainnya, serta sebagai dasar dalam penyusunan program sekolah yang akan datang dan juga sebagai bahan refleksi bagi sekolah. Laporan hasil ini juga sebagai bentuk laporan kemajuan dan akuntabilitas sekolah kepada masyarakatdan pihak Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota.
b.     Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota
Bagi Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, hasil laporan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh kepala sekolah bisa dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan penilaian prestasi sekolah, dan bila fihak sekolah jika tidak mengirimkan laporan ini secara periodik (pada akhir catur wulan atau  semester) perlu ditegur dan dicatat sebagai pertimbangan pada saat dilakukan penilaian akhir tahun pelajaran.
Hasil laporan ini sebaiknya juga digunakan sebagai bahan pertimbangan urgensi kunjungan kesekolah. Demikian juga hasil monitoring dan evaluasi dapat juga digunakan sebagai landasan apakah diperlukan bantuan untuk memecahkan masalah yang terjadi atau diperlukan peringatan jika ternyata ada penyimpangan dalam pelaksanaan dari rancangan program sekolah.
Hasil monitoring dan evaluasi dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas adsminitrasi keuangan yang perlu mendapat perhatian khusus, juga sebagai bahan pertimbangan padasaat pengambilan keputusan diakhir tahun tentang kredebilitas sebuah sekolah. Dengan demikian bahwa hasil monitoring dan evaluasi sebagai penilaian apakah program sekolah dinilai berhasi atau gagal.
c.      Dinas Pendidikan Propinsi
Pada prinsipnya hasil monitoring dan evaluasi bagi Dinas Pendidikan propinsi sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, perbedaannya terletak pada cakupan wilayah kerja. Melalui koordinasi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, Dinas Pendidikan propinsi perlu mencermati hasil-hasil monitoring dan evaluasi atas proses pembinaan yang dilakukan. Hal ini terkait dalam melakukan koordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional.

d.     Direktorat
Hasil monitoring dan evaluasi untuk tingkat nasional dapat dipergunakan dalam proses pembinaan secara nasional dan direktorat perlu merangkum hasil-hasil monitoring dan evaluasi tersebut guna mengetahui sejauhmana kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah dan berbagai kendalanya. Selanjutnya direktorat menyusun program-program pembinaan apa saja yang secara langsung dapat dilakukan oleh direktorat ke sekolah-sekolah dan program apa saja yang sebaiknya dilakukan melalui Dinas Pendidikan Propinsi atau Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota.

III.          Komentar Isi Buku

A. Keluasan Bahasa dan Keluasan Kedalaman Isi
Berdasar pada buku 3 Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah di BAB III tentang pemanfatan hasil dan tindak lanjut dalam proses monitoring dan evaluasi ini, disebabkan karena tulisan tersebut berangkat dari pemahaman pejabat birokrasi, dimana memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mewujudkan semangat reformasi terutama di bidang pendidikan, maka wajar jika dalam berbagai uraiannya baik Bahasa maupun keluasan isi buku pun bersifat praktis oprasional, langsung pada sasaran maksud agar di dapat nilai daya gunanya secara langsung. Untuk itu kelebihan dari buku ini, secara ideal sangat bagus dengan berbagai gagasan oprasionalnya dan hal ini sangat tepat jika dijadikan sebagai acuhan pedoman bagi para praktisi pendidikan guna mewujudkan untuk merealisasikan gagasan ideal yang dimaksudkan dalam buku tersebut.
Sehingga dari fenomena tersebut guna terpacunya semanagat dan cita-cita yang ideal tersebut memang tidak akan pernah terwujudkan jika tidak dijalankan secara menyeluruh dan stimultan dalam ruang lingkup kebersamaan di antara segenap jajaran birokrasi yang berada dibawahnya. Hal tersebut dilihat dari beberapa tahun lalu, UNDP pernah mengeluarkan sebuah data tentang pelaksanaan pendidikan yang menjelaskan bahwa dari 173 negara di dunia, sektor pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan sampai pada rangking ke 107 dari urutan rangking ke 105 pada lima tahun sebelumnya, parahnya lagi ada negara-negara yang tingkat pendapatannya berada di bawah Indonesia tapi justru menempati rangking lebih baik dari pada Indonesia1. Sementara itu juga, tertulis dalam data UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 pada bagian bab VII masalah Pembangunan Pendidikan di bagian umum dinyatakan bahwa organisasi International Educational Achievement (IEA) menjelaskan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada rengking ke 38 dari 39 jumlah negara peserta studi2.
Data tersebut menunjukkan betapa naif-nya sistem pendidikan di Indonesia. Untuk itu ada benarnya ungkapan Mishad menyampaikan bahwa masalah pendidikan di Indonesia selama ini memang masih belum menemukan rumusan yang tepat dalam pemodifikasiannya, baik bersifat prinsip maupun wawasan idealisme kedepan3. bila dicermati, hakekat struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah dilaksanakan ini, berdasar pada pembaharuan pendidikan yang lahir dari Amerika Serikat pada tahun 50-an yang hanya menitik beratkan pada metode bagaimana siswa menguasai “basic skills” beserta mata pelajaran yang diajarkan. Sementara struktur dan mekanisme praktek pendidikan tersebut dalam implementasinya akan menghasilkan sistem pendidikan yang tidak sensitif terhadap ide-ide baru dan perkembangan sosial masyarakat4.
Sementara di sisi lain, masyarakat dan bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada  “pintu gerbang”  era  globalisasi5,  sebuah  masa  penuh  dengan  persaingan  dan
tantangan ekstra ketat6 yang di mulai abad 217 ini. Realitas yang demikian bisa teratasi hanya dengan Pengembangan Sumber Daya Manusia berkualitas tinggi8 lewat proses pendidikan9 yang tidak saja berstandar lokal dan nasional namun lebih dari itu hendaknya bertaraf internasional.
Di tengah keadaan Bangsa Indonesia yang menghadapi berbagai krisis multidimensi yang termasuk rendahnya mutu SDM Indonesia tersebut, Bangsa Indonesia dihadapkan pada dua rekomendasi Bank Dunia (world Bank) termasuk bidang pendidikan dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana  tercantum dalam laporan 18651-IND bertajuk Education in Indonesia: From Crisis to Recovery, edisi 9 Desember 1999. Dengan berbekal dua dokumen tersebut satu diantaranya adalah pentingnya penekanan sistem desentralisasi pendidikan10. Maksudnya, pengelolaan pendidikan nasional yang semula diatur secara sentral oleh pemerintah pusat, sudah saatnya diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah otonom11. Desentralisasi pendidikan ini yang kemudian populer dengan sebutan otonomi pendidikan.
Dengan semangat reformasi yang digulirkan, terutama oleh kelompok mahasiswa pada awal tahun 199812, maka disahkannya dua paket UU dan satu paket PP, yakni Undang-undang  Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah RI Nomor  129 tahun 2000 tentang Pembentukan dan Kriteria serta Pemekaran dan Penghapusan Daerah. Pada garis besarnya ketiga dokumen tersebut menetapkan soal otonomi daerah.
Diketahui pada masa pemerintahan Orde Baru bidang pendidikan pun tak lepas jadi legitimasi kekuasaannya, dengan segala macam bentuk kebijakan pendidikan harus sesuai dengan instruksi pemerintah pusat, partisipasi daerah dan masyarakat “dipasung” sedemikian rupa, sehingga hasil dari pendidikan pun tidak pernah menyentuh terhadap kebutuhan riil masyarakat dan menjadikan output pendidikan sebagai generasi yang terasing dilingkungannya13. Seperti diketahui bahwa pendidikan adalah persoalan kehidupan manusia, untuk itu pendidikan hendaknya berorientasi pada realitas kehidupan manusia itu sendiri14. Berdasar pada pandangan yang demikian, tentu manusia sendiri yang mengerti tentang kebutuhan akan pendidikan, dengan di dukung oleh perhatian keluarga dan lingkungan masyarakat serta lembaga pendidikan itu sendiri sebagai jasa pelaksana pendidikan15.
Untuk itu tanggung jawab pendidikan tidak semuanya dibebankan kepada lembaga sekolah saja atau bahkan kepada pemerintah pusat dalam menentukan segala kebijakan ataupun materi pelajaran. Setidaknya pendidikan harus sesuai atau merespon kebutuhan masyarakat sekitar. Hal tersebut ini juga yang mendasari munculnya pandangan tentang pendidikan berbasis sekolah16. diharapkan dari paradigma tersebut akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat17 secara lebih optimal dalam memajukan mutu dan kualitas pendidikan yang selama ini “terpasung” oleh pemerintah pusat.
Apabila konsep otonomi yang dihubungkan dengan praktik  manajemen berbasis sekolah, terkandung adanya pelimpahan wewenang untuk perumusan kebijakan dan penetapan keputusan sekolah dalam proses kemajuannya, termasuk dalam proses akutanbilitas yang terbuka oleh umum18. Dari sini masyarakat bisa melakukan monitoring dan evaluasi secara leluasa akan mutu lembaga sekolah tersebut. Oleh karenanya gagasan desentralisasi ini mengarah kepada praktik otonomi pengelolaan pendidikan. Kepentingan utama format otonomi sekolah adalah tampilnya kemandirian sekolah untuk meningkatkan kinerjanya sendiri, dengan mengakomodasi berbagai potensi sumber daya sekolah, yang pada akhirnya ditunjukkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam wujud hasil belajar peserta didik yang dicapainya serta aktualisasinya ditengah masyarakat. 
Selanjutnya kelemahan dari buku ini terletak pada uraian yang sangat singkat, meskipun didalamnya mudah di “cerna” namun lebih jauh uraian yang dijelaskan dalam buku tersebut tidak menyoroti lebih dalam tentang berbagai fenomena peluang dan tantangannya serta hambatan dalam merealisasikannya. Sebab bagimanapun buku ini yang sudah dijelaskan diatas bisa dijadikan pedoman yang cukup berarti dalam proses pendidikan untuk mencapai keidealitasannya, tetapi perlu diketahui dalam proses itu pun, pada akhirnya akan menyentuh fonomena sosial masyarakat19 syarat dengan perubahan20 yang akan menjadikan buku ini tetap relefan atau justru sebaliknya perlu dipertajam lagi. Untuk itu, perlunya mengkaji lebih tajam dari proses monitoring dan evaluasi ini akan peluang dan tantangan serta hambatan, agar diperoleh pemanfaatan hasil dan tindak lanjutnya.
Dari kelemahan dan kelebihan yang dimaksudkan tersebut dimaksudkan guna mengidentifikasi seberapa jauh kemanfaatan yang diperoleh atas keluasan dan kedalaman isi buku yang ada pada bagian bab ini.

B. Sistematika
Demikian juga dengan sistematika yang digunakan. Sangat praktis dan singkat pada point-pointnya. Seolah sebagai wujud dari bentuk petunjuk praktis dalam proses penerapan bagi sebuah pedoman.
Apabila buku ini dibandingkan dengan buku lain yang berkaitan dengan bahasan ini seperti buku Dr. E. Mulyasa, M.Pd. tentang Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi terbitan Bandung Remaja Rosdakarya demikian juga pada Bukunya Ibrahim Bafadal tentang Seri Manajeman Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah; Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasinya terbitan Jakarta Bumi Aksara di dalamnya dijelaskan secara dengan luas dan detail baik konsep, strategi maupun implementasinya, maka dari segi isi, uraian, maupun sistematikanya, entah karena buku tersebut berangkat di luar birokrasi pemerintah atau sistem?.
Untuk itu dalam melakukan perbandingan dengan buku lain, tentu hendaknya sama dengan dari produk yang dikeluarkan. Sebagaimana dijelaskan bahwa buku ini adalah hasil dari proses kebijakan birokrasi yang merespon atas fenomena sosial, maka ulasannya sangat praktis dan simpel pada point-point yang dimaksud. Untuk itu bila membandingkan buku ini dengan buku lain tentu hendaknya sama dengan buku yang dikeluarkan oleh birokrasi tersebut yang tentunya sama-sama membahas tentang masalah ini, agar feer kita dalam menilainya.

IV.           Kesimpulan

Berdasar pada penjelasan sebagaimana yang telah diuraiakan di atas dapat disimpulkan hasil monitoring dan evaluasi pertama dapat berguna bagi sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, Dinas Pendidikan Propinsi dan Dinas Pendidikan Nasional, Kedua berguna sebagai landasan pengambilan keputusan sekolah, demikian juga sebagai bentuk laporan kemajuan dan akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat luas, ketiga sebagai bahan refleksi atas kemajuan dan kelemahan baik bagi lembaga sekolah maupun program kerja yang dilaksanakan, Keempat berguna untuk menentukan prestasi suatu lembaga sekolah.


DAFTAR PUSTAKA




Abdul Halim Soebahar, Rekontruksi Pendidikan Islam; Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, Jember: Jurnal Al ‘Adalah STAIN Vol. 3 No. 3 Desember, 2000.

Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia,  Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999.

Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, Jakarta: Grasindo, 1999.

E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1999.

H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu tinjauan dari perspektif studi kultural, Magelang: Indonesia Tera, 2003.

H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Syafiria Insania Press, 2003.
Ika, Islam Tawarkan Solusi Pendidikan, Depag Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001.

Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1999.

Ibrahim Bafadal, Manajemen Perlengkapan Sekolah; Teori dan Aplikasinya, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

Jusuf Amir Feisal, et, al, Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru; 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.S. Ed., dalam Ikhwanuddin Syarif dan dodo Murtadlo (ed.), Jakarta: Grasindo, 2002.

Marzuki Wahid, et, al, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran; Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.

Mutrofin, Perspektif Otonomi Pendidikan, Jember: Makalah Bahan diskusi dalam seminar sehari dan rapat kerja HMJ Tarbiyah, 29 November 1999.

Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, Depag Jatim: Mimbar, No. 195 Desember, 2002.

M. Noor Syam, et, al, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1988.

M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah, Surabaya: Arkola, 1994. 

Miftah Thoha, Desentralisasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,  Jakarta:  Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017 Juni, 1999.

Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, Depag Jatim: Mimbar No. 175 April, 2001.

Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999.

Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, Materi Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, Kamis 3 Januari 2002, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2002.

Undang-undang RI No. 25 tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004, ------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001.

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Publishing, 2000.



1 Baca Ika, Islam Tawarkan Solusi Pendidikan, (Depag Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001), 38.
2 Undang-undang RI No. 25 tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004, (------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001).
3 Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, (Depag Jatim: Mimbar, No. 195 Desember, 2002), 40.
4 Baca Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Publishing, 2000), 24.
5 Globalisasi berasal dari kata “Globe” yang berarti “baca dunia”, sehingga globalisasi disebut sebagai gerakan mendunia. Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1999), 16. Bandingkan juga M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah, (Surabaya: Arkola, 1994), 203, mendefinisikan bahwa kalimat globalisasi memiliki makna gerakan penggelobalan pada seluruh dimensi kehidupan/ perwujudan (perombakan/ peningkatan/ perubahan) secara menyeluruh disegala aspek kehidupan. 
6 Awal mulanya globalisasi adalah membuat jaringan bisnis (perdagangan internasional) secara luas, tanpa mempertimbangkan status dimana dan dari mana mereka berasal. Yang penting arus barang dan jasa mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia dengan kendali kekuatan ekonomi raksasa. Maka globalisasi menciptakan jaringan internasional, terlebih realitas demikian di dukung kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi terutama bidang komunikasi. Dengan bekal tersebut memudahkan manusia dalam mewujudkan impiannya walaupun jauh di tempat tinggalnya. Dari realitas yang demikian akan menciptakan 3 situasi, yakni; pertama memingkatnya hubungan sosial ekonomi secara global, kedua  persaingan sumber daya manusia antar manusia semakin ketat, ketiga semakin besar kemungkinan terjadinya eksploitasi bagi negara maju kepada negara-negara yang belum maju. Baca Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), 5.
7 Menggambarkan suatu abad, dengan bentuk tatanan masyarakatnya yang mampu menerobos tabir, wilayah, sekat walaupun jauh,  sehingga manusia di dunia seolah menjadi satu keluarga. Apa yang terjadi sekarang di masyarakat daerah kutub utara mampu diketahui saat itu juga oleh masyarakat di daerah kutub selatan. Proses komunikasi antar manusia dalam berbagai dimensi kehidupan akan bebas dari segala hambatan yang menghalanginya. Hal yang demikian, menunjukkan kehidupan manusia dibelahan bumi ini seolah mengerut, seolah kita tidak lagi bicara tentang atom tetapi lebih kecil lagi “bit”.  Maka ini semakin memperkecil wilayah keberadaan manusia, namun demikian pada dimensi internasional. Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), 52.
8 Baca Ibid, 3. Bandingkan juga Jusuf Amir Feisal, et, al, Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru; 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.S. Ed., dalam Ikhwanuddin Syarif dan dodo Murtadlo (ed.), (Jakarta: Grasindo, 2002), 124 – 129, telah menerangkan dalam berbagai situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang semakin terpuruk dengan dibarengi munculnya tantangan global, maka tidak ada pilihan lain untuk mempertegas dan merumuskan kembali kebijakan Pendidikan Nasional Indonesia, hal ini juga didasari atas paradigma kualitas pengembangan SDM yang diinginkan, agar generasi selanjutkan akan mampu menjadi obyek penentu dalam perkembangan masa selanjutnya secara lebih aktif, bukan pasif. Hanya dengan SDM berkualitas itu sebagai bekal untuk mengantisipasi tantangan global.
9 Karena proses pendidikan di belahan dunia manapun (negara berkembang ataupun negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk mengembangkan dan membentuk SDM yang berkualitas. Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, (Depag Jatim: Mimbar No. 175 April, 2001), 32; bandingkan juga dengan Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, Materi Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, Kamis 3 Januari 2002, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2002), menyampaikan bahwa proses pendidikan juga dipahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang, demikian juga bandingkan Marzuki Wahid, et, al, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 171, menegaskan bahwa pendidikan adalah upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia, khususnya peserta didik, dan proses pendidikan merupakan bentuk ikhtiar dalam menyiapkan generasi muda untuk mengarungi kehidupan di masa yang akan datang.
10 Mutrofin, Perspektif Otonomi Pendidikan, (Jember: Makalah Bahan diskusi dalam seminar sehari dan rapat kerja HMJ Tarbiyah, 29 November 1999), 1, Bandingkan juga Abdul Halim Soebahar, Rekontruksi Pendidikan Islam; Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, (Jember: Jurnal Al ‘Adalah STAIN Vol. 3 No. 3 Desember, 2000), 60, menyatakan setelah melalui pasang surut sejarah pendidikan di Indonesia, kini dituntut entry point reformasi berbekal dua dokumen penting. Dokumen pertama dengan bentuk rekomendasi Bank Dunia terhadap Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana tercantum dalam laporan 18651- IND Bank Dunia bertajuk rekomendasi, dalam dokumen tersebut ialah tekanan kepada pentingnya desentralisasi pendidikan. Dokumen kedua ialah disahkannya Undang-Undang RI No. 22 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang  Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
11 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah BAB IV pasal 11 ayat 2 menegaskan bahwa “Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja”.
12 Diketahui bersama sejak saat itu (gerakan reformasi) di masyarakat yang dimotori oleh kelompok mahasiswa  telah mulai menyuarakan reformasi total atas dominasi pemerintahan Orde Baru yang telah merusak cita-cita masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam arti yang sebenarnya. Telah dirasakan bahwa kemerdekaan yang diberikan pemerintah Orde Baru pada waktu itu adalah “kemerdekaan semu”, kebebasan pres harus memiliki izin dari pemerintah kalau tidak ingin di “bredel”, kebebasan berpendapat maupun berekspresi dibatasi bila tidak sesuai dengan aturan pemerintah, dan hal itu dianggap “makar”, merong-rong kekuasan dan lain sebagainya. Semua itu dengan dalih demi menjaga keutuhan dan stabilitas RI yang kondusif, agar tercipta suasana aman, tentram dan  damai.
13 Bandingkan dengan H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu tinjauan dari perspektif studi kultural, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), 274 – 276, dijelaskan bahwa Praktek pendidikan pada masa pemerintahan Orde Baru dikenal sentralistik, apapun kebijakan harus berdasar pada pemerintah pusat sebagai penentunya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana bentuk manajemen dalam pemerintahan yang otokratis. Bagaimanapun birokrasi yang kekat tidak mungkin melahirkan suatu bentuk manajeman yang tidak memiliki alternatif dan inovasi, sehingga menghasilkan output yang semu. Dengan demikian hasil pendidikan Indonesia melahirkan generasi yang semu terhadap perubahan dan tantangan global, bila hal ini dipertahankan dia bagaikan katak dalam tempurung, dia ada tetapi tidak pernah bisa berbuat apa-apa, ini sebuah generasi semu. Bandingkan juga dengan Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran; Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press,  2003), 5-6 dijelaskan bahwa para pemimpin nasional Indonesia seringkali menyatakan bahwa pendidikan merupakan garapan yang strategis dalam pembangunan nasional. Namun, dalam realitas hanya dijadikan sebagai politik praktis untuk kekuasaan. Akhirnya sekolah dan perguruan yang mestinya untuk mengangkat harkat martabat manusia atau memanusiakan manusia guna kepentingan masyarakatnya, malah tercerabut dari masyarakat, karena pendidikan hanya dijadikan sebagai “barang komoditi” yang bisa membuaikan masyarakat.
14 Baca Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), ix.demikian juga dijelaskan oleh Darmaningtyas bahwa pendidikan
15 Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara tentang tri pusat pendidikan. Dari ketiga unsur lembaga ini (lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah) merupakan pusat pendidikan yang secara bertahap dan terpadu mengemban tanggung jawab pendidikan bagi generasi muda selanjutnya. Karena ketiga unsur tersebut sangat menentukan bagi perkembangan peserta didik. Baca M. Noor Syam, et, al, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 13.
16 Bandingkan Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Syafiria Insania Press, 2003), 213, dinyatakan bahwa melalui otonomi pendidikan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, lebih cepat, tepat, efisien dan efektif, karena sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dan potensi sesuai dengan prioritas kebutuhan daerah. Akhirnya dengan pengembangan model desentralisasi dan otonomi pengelolaan pendidikan akan bermuara pada “Manajemen berbasis sekolah”.
17 Bandingkan dengan Miftah Thoha, Desentralisasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan  (Jakarta:  Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017 Juni, 1999), 5, Bahwa desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan seluruh wewenang di bidang pendidikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk menentukannya.
18 Baca Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Ibid, 212.
19 Apalagi harus diakui bahwa masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai yang majemuk, yang terikat dalam Binekatunggal Ika, kemajemukan tersebut hendaknya mampu terkendalikan dengan baik. Untuk itu diperlukan strategi tersendiri agar mereka sadar akan bentuk kemajemukan dengan berbagai karakteristik budaya, adat istiadat, agama dan sebagainya, dengan cerminan sebagai bentuk dari karakteristik budaya nasional bangsa Indonesia. Baca Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia,  (Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999), 96. Bandingkan juga H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), vii, dijelaskan bahwa pendidikan yang tidak bisa lepas dengan kebudayaan dan masyarakat sebagai pemilik kebudayaan, maka segala macam kebijakan pendidikan hendaknya mampu mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas.
20 Simak saja semenjak kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sudah lebih berusia setegah abad ini, sudah 3 kali mengalami perubahan sosial politik (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi) yang juga di ikuti dengan perubahan pada sistem pendidikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar