Jumat, 13 Desember 2013

Pendidikan Pasca Bencana

"+"

PENDIDIKAN ISLAM PASCA BENCANA·



mungkin Tuhan telah bosan
melihat tingkah kita
yang selalu salah
dan bangga dengan dosa-dosa
                        (Ebiet G. Ade, Berita untuk Kawan)




A. Pengantar

        ITULAH sepenggal bait yang dilantunkan penyanyi kondang Abiet G. Ade yang kerap kita dengar manakala bencana alam menimpa manusia. Bencana telah menyadarkan manusia bahwa dirinya bukan apa-apa. Dia tidak lebih dari setitik debu yang beterbangan ke sana ke mari mengikuti hembusan angin. Manusia tidak tahu apa gerangan yang akan terjadi pada dirinya. Kalau saja mereka tahu bahwa pada hari itu akan terjadi tsunani, longsor, banjir bandang, gempa bumi atau yang lainnya, niscaya mereka akan menjauh untuk menyelamatkan diri. Sayang, mereka sungguh tidak tahu. Ya, mereka benar-benar tidak tahu. 
        Kini, semua sudah terjadi. Semuanya telah musnah. Yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran dan cucuran air mata anak manusia. Tetapi akankah mereka larut dalam kesedihan yang tiada akhir. Tidak, mereka harus bangkit. Masa depan masih panjang. Sangat disayangkan apabila hidup ini hanya diisi dengan tangisan dan ratapan semata. Namun masalahnya, bagaimana mereka bisa bangkit sementara keluarga dan harta benda telah tiada? Selanjutnya, di mana peran agama yang selama ini diyakini membawa kebahagiaan bagi umat manusia? Atau lebih khusus lagi, di mana peran agama Islam yang juga diyakini sebagai pembawa rahmat li al-‘alamin? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak cukup hanya dijawab dengan kata-kata, melainkan dengan aksi konkret untuk menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi penderitaan mereka.
             Persoalan di atas sekaligus menjadi persoalan pendidikan Islam. Dengan visi antroposentris transendental-nya, pendidikan Islam seharusnya membuktikan bahwa ia benar-benar mampu mengantarkan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Adalah hal yang wajar apabila pendidikan Islam bisa berbuat banyak dalam situasi dan kondisi yang kondusif. Tetapi, bisakah pendidikan Islam memainkan peran yang signifikan di tengah-tengah problematika yang muncul pasca bencana?
            Inilah fokus kajian dalam makalah yang bertajuk Pendidikan Islam Pasca Bencana ini. Jadi, makalah ini bertujuan untuk menganalisa dan mendeskripsikan eksistensi pendidikan dalam masyarakat yang baru saja dilanda bencana alam, dan sekaligus menawarkan solusi alternatif dalam implementasi pendidikan Islam yang relevan dengan situasi dan kondisi semacam itu.

B. Bencana; Nalar Agama Vs Nalar Sains 

              Setidak-tidaknya ada dua alur pikir yang mengemuka dalam merespon terjadinya bencana, yaitu: nalar agama dan nalar sains. Yang pertama cenderung fatalistis, karena menganggap bahwa takdir bumi dan nasib manusia ada di tangan Tuhan. Paradigma ini dipopulerkan oleh Voltaire, seorang filosof dan pemegang kuat doktrin gereja. Voltaire menuding bahwa Tuhan-lah yang menjadi biang keladi atas semua bencana yang terjadi di dunia ini. 
         Nalar agama seperti Voltaire juga ditemukan dalam agama-agama lain, termasuk Islam. Dalam kacamata umat Islam, bencana adalah peringatan, hukuman dan cobaan. Peringatan atas apa yang dilakukan oleh manusia selama ini yang mungkin mulai keluar dari koridor ajaran agama; hukuman bagi orang-orang yang banyak melakukan dosa-dosa, atau dalam bahasa Ebiet G. Ade, “orang yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa”; serta cobaan untuk mengukur sejauh mana keimanan manusia akan adanya Kekuasaan Dzat Yang Maha Agung.
         Masalahnya, jika bencana memang peringatan atau hukuman kepada mereka yang telah melakukan dosa-dosa, tetapi kenapa bayi-bayi dan anak-anak kecil turut menjadi korban. Apakah mereka telah memikul banyak dosa? atau seberapa besar dosa mereka sehingga Tuhan pantas membinasakan mereka dengan bencana alam yang sangat dahsyat? Kalaupun bencana dianggap sebagai cobaan, mengapa Tuhan memberikan cobaan yang jauh lebih berat dari batas maksimum kekuatan manusia. Alih-alih menjadi kuat imannya, mereka yang terkena bencana malah menjadi putus asa atau bahkan bunuh diri. Sampai di sini nalar agama tidak mampu memberikan jawaban atas rasa penasaran manusia mengenai teka-teki bencana.
               Mungkin manusia menemukan jawaban atas teta-teki itu dari nalar sains dengan paradigma positifistiknya. Bagi nalar ini, bencana yang terjadi di dunia ini adalah hukum alam yang mesti terjadi. Banjir bandang dan longsor, misalnya, diakibatkan oleh hutan yang gundul akibat penebangan liar. Gempa bumi merupakan konsekuensi dari pertemuan antar lempeng bumi yang menyebabkan terjadinya penumpukan tekanan energi antar lempeng. Karena batuan pada daerah tersebut tidak mampu menahan tekanan, batuan itu akhirnya patah sambil melepaskan energi. Energi ini menjalar dipermukaan bumi dengan gelombang vertikal dan horizontal yang menggoyahkan semua yang ada   dipermukaan bumi. Inilah yang disebut gempa bumi (Kompas, 5 Juni 2006).
        Jika memang bisa diamati secara ilmiah, mengapa detik-detik terjadinya gempa atau tsunani tidak bisa dipastikan? Faktanya, bencana alam selalu datang tanpa permisi, sehingga menelan korban ribuan atau (mungkin) jutaan jiwa. Kini, manusia terpaksa “kecewa” lagi, karena sains ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang meyakinkan. Manusia kemudian sadar bahwa dirinya memang diciptakan dalam keadaan lemah (wa huliqa al-insan dla’ifa). Manusia sadar, setinggi apapun ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak akan pernah melampaui ke-Maha Tahu-an Tuhan. Namun demikian, tidak berarti bahwa manusia tidak membutuhkan sains. Sampai kapanpun sains tetap dibutuhkan, walaupun tidak semua hal bisa dipecahkan dengan sains.

C. Pendidikan Islam Pasca Bencana

        Selain masalah ekonomi, yang paling dibutuhkan masyarakat adalah ketenteraman jiwa dan harapan masa depan, khususnya buat anak-anak mereka. Berbicara masa depan, tidak lepas dari pendidikan. Sebab, pendidikan memang merupakan wahana yang paling pas untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan di masa mendatang. Bahkan, melalui hadits Nabi Muhammad saw, Islam menjamin bahwa “satu-satunya jalan untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dengan ilmu pengetahuan”.
              Pendidikan Islam bagi korban bencana alam adalah sangat penting. Hal ini tidak lepas dari konsep pendidikan Islam yang jauh berbeda dengan konsep pendidikan Barat. Sebagaimana hadits Nabi di atas, pendidikan Islam berupaya memenuhi kebutuhan fisik dan batin manusia, sementara konsep pendidikan Barat hanya difokuskan untuk menggali dan mengembangkan potensi fisik dan skill belaka. Padahal, para korban bencana sangat membutuhkan kesejukan jiwa, di samping sesuatu yang materiil tentunya. Untuk itu, stressing pendidikan Islam untuk masyarakat korban bencana harus bermuara pada dua hal: siraman rohani dan pembangunan skill. 
               Pertama, siraman rohani. dr. RA Kresman SpKJ menyebutkan bahwa gempa (baca: bencana alam) menyebabkan penderita gangguan jiwa, baik berat maupun ringan, yang sebelumnya sudah sehat dan bisa bekerja menjadi kambuh lagi. Selain itu, ada juga pasien baru yang mengalami gangguan jiwa ringan maupun berat akibat gempa 27 Mei lalu. Kresman menambahkan, dengan adanya bencana, kemungkinan yang sakit jiwa ringan mencapai 30 persen. Padahal, dalam kondisi biasa (tidak ada bencana), orang yang mengalami sakit jiwa ringan hanya sekitar 10 persen (Republika, 24 Juni 2006).  
         Ini membuktikan bahwa para korban bencana mengalami tekanan psikologis yang begitu mendalam. Bahkan beberapa di antaranya nekat melakukan bunuh diri akibat tidak kuat menerima kenyataan hidup yang sangat getir. Dalam kondisi demikian, bantuan materi dan sembako, baik dari pemerintah atau dari masyarakat, tidak banyak menyelesaikan masalah tanpa diiringi dengan siraman rohani. Para korban yang kehilangan orang tua, anak, saudara, atau keluarga lainnya tidak bisa “disembuhkan” dengan subsidi materi dan sembako. Walaupun mereka tetap membutuhkannya.
                Pendidikan Islam dengan tujuan memberikan siraman ruhani kepada korban bencana tentunya berdasar pada nilai-nilai Islam itu sendiri. Perlu ditanamkan kepada para korban (dan masyarakat pada umumnya) bahwa apa yang telah terjadi merupakan ibrah (pelajaran) yang harus diambil hikmahnya. Masyarakat perlu melakukan instrospeksi diri terhadap apa yang mereka perbuat selama ini, khususnya yang berkenaan dengan ajaran agama. Bisa jadi, selama ini banyak perbuatan masyarakat yang melanggar ajaran agama, sehingga Allah memberikan peringatan atau sanksi kepada mereka.
                 Peringatan atau sanksi Allah tidak hanya diberikan kepada orang-orang yang melakukan kesalahan, tetapi (sebagai imbasnya) juga orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dalam kasus banjir bandang, misalnya, yang melakukan penebangan hutan secara liar hanyalah segelintir orang saja, tetapi yang menjadi korban adalah semua masyarakat yang ada di sekitarnya. Islam mengajarkan kepada manusia agar tidak egois dan bersikap ramah terhadap siapa saja, termasuk ramah terhadap lingkungan. Ini semata-mata demi kemaslahatan manusia sendiri.
           Bila terjadi bencana alam seperti banjir bandang, manusia tidak bisa mengatakan bahwa “alam mulai enggan bercengkrama dan tidak mau bersahabat dengan manusia”, tetapi karena manusia sendiri yang tidak mau bersahabat dengan alam. Allah berjanji dalam hadits qudsinya, “ramahlah terhadap apa yang ada di bumi, maka yang ada di langit (Allah) akan ramah kepada manusia”. Artinya, jika manusia tidak ramah dengan lingkungannya, maka Allah akan menurunkan azab kepada manusia. Sebab manusia ternyata tidak mensyukuri apa yang diberikan Allah (lain syakartum laazidannakum, walain kafartum inna ‘adzabi lasyadid)    
           Siraman rohani semacam itu memang tanpak fatalistis dan cenderung menyalahkan korban. Untuk itu, terapi kejiwaan dalam pendidikan Islam juga diarahkan agar umat Islam cinta ilmu pengetahuan. Harus diakui bahwa generasi belakangan ini mengalami degradasi kecintaan terhadap ilmu. Konsekuensinya, dari sisi keilmuan umat Islam jauh tertinggal dari Barat. Sebab, nilai-nilai Islam yang mengajarkan keagungan orang berilmu tidak lagi menjadi spirit bagi umat Islam untuk meningkatkan khazanah intelektual mereka. Malahan, yang mempraktikkan nilai-nilai itu adalah orang Barat, yang mayoritas non-Muslim.
             Masyarakat perlu menjadikan bencana alam sebagai ibrah untuk mening-katkan ilmu pengetahuan mereka. Sekalipun tidak bisa mengetahui secara pasti kapan terjadinya bencana, tetapi setidak-tidaknya bisa mengetahui tanda-tanda dan memprediksikan waktu akan terjadinya bencana itu. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mendorong agar manusia meningkatkan ilmu pengetahuannya, salah satunya dengan mempelajari tanda-tanda alam. Dalam sejumlah ayat dapat ditemukan redaksi yang berbunyi: “apakah kalian tidak mempunyai akal”, “apakah kalian tidak berpikir”, “hal yang demikian adalah tanda bagi ulul albab”, dan masih banyak ayat-ayat yang serupa. Artinya, dengan mengerahkan segenap potensinya, manusia akan mampu menangkap rahasia alam, sekaligus bisa menyelamatkan diri dari bencana tersebut yang bisa terjadi kapan dan di mana saja.
             Kedua, pembangunan skill. Setelah bencana alam memporak-porandakan hidup dan kehidupan yang selama ini telah dibangun dengan susah payah, kini para korban bencana alam membutuhkan skill untuk mengembalikan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Untuk menatap masa depan yang lebih cerah pasca bencana, para korban tidak boleh terus menerus menggantungkan nasib mereka kepada uluran tangan orang lain, apalagi kepada pihak asing. Apapun namanya, bantuan orang lain hanyalah sementara. Padahal perjalanan hidup mereka masih panjang.
           Karenanya, di samping siraman rohani, pendidikan berorientasi skill adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pendidikan semacam ini, di samping dari hadits Nabi di atas, juga mendapat dukungan penuh dari al-Qur’an. Al-Qur’an melarang umat Islam untuk “meninggalkan kegiatan duniawi semata-mata untuk menyongsong kehidupan akhirat, atau meninggalkan kegiatan ukhrawi semata-mata untuk kepentingan dunia”. Secara implisit, ayat ini menandaskan bahwa manusia wajib melengkapi dirinya dengan segala sesuatu yang membuatnya bisa memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, termasuk kemampuan skill yang mumpuni. 
        Tetapi masalahnya, bagaimana anak-anak korban bencana alam bisa meningkatkan skill mereka sementara sarana dan prasarana pendidikan telah luluh lantah dengan tanah. Pada tanggal 7 Juni lalu, harian Kompas menurunkan berita bahwa hingga saat ini rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan untuk korban gempa dahsyat berkekuatan 8,7 skala Richter yang melanda Nias pada akhir Maret 2005 masih belum seberapa. Tercatat sebanyak 25 unit gedung Taman Kana-Kanak, 428 unit Gedung SD, 68 unit gedung SMP, 28 unit gedung SMA, dan 7 unit gedung SMK di Kabupaten ini rusak total. Sementara di Kabupaten Nias Selatan, yang hancur sebanyak 8 unit TK, 183 unit SD, 84 unit SMP, 28 unit SMA, dan 7 unit SMK. Sejak saat itu anak-anak Nias belajar di tenda-tenda darurat yang sudah lusuh dan lapuk, dengan sarana seadanya. Tak ayal lagi, para anak didik mengeluh kepanasan di siang hari, dan ketika hujan       turun banyak kebocoran di sana-sini akibat tenda yang sudah tidak layak pakai. 
        Hal serupa juga dialami anak-anak korban bencana alam lainnya, baik tsunami di Aceh, banjir Bandang di Jember, gempa bumi di Klaten dan Yogakarta, dan lain sebagainya. Masalah semacam ini sebetulnya bukan hanya kewajiban negara, tetapi kewajiban semua orang, khususnya insan akademisi dan praktisi pendidikan yang sehari-hari bergelut dengan dunia pendidikan.
          Karena itu, pendidikan Islam jangan terjebak dengan formalitas pendidikan. Proses belajar-mengajar tidak harus dilakukan di dalam ruangan. Di mana saja dan kapan saja proses pendidikan bisa berlangsung. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana menyiapkan anak-anak korban bencana agar tidak kehilangan masa depannya. Sungguh sangat disayangkan apabila potensi dan kecerdasan mereka harus sirna gara-gara tidak adanya sarana dan prasarana pendidikan.
           Dalam hal ini kita perlu belajar banyak kepada Jepang. Setelah Nagasaki dan Hiroshima di bom oleh AS pada tahun 1945, ia terus bangkit dan berbenah diri melalui pendidikan. Kini, Jepang telah menjadi macan Asia dengan kemampuan di bidang IPTEK yang luar biasa. Bahkan Jepang mampu mensejajarkan dirinya dengan negara-negara Eropa dan Amerika. Ini sungguh luar biasa. Padahal, Jepang tidak memiliki alam sesubur Indonesia. Jika Jepang bisa, kenapa kita tidak?    
          Saya hendak mengatakan bahwa bencana alam bukan akhir dari segalanya. Bahkan, jika mampu mengambil pelajaran dari bencana demi bencana yang terjadi di negeri ini, bukan hal yang mustahil dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia bisa menjadi negara yang memiliki kemampuan intelektual seperti negara-negara lainnya, atau bahkan lebih. Tentunya semua itu tidak bisa diraih dengan mudah. Untuk meraih kejayaan pasti membutuhkan kerja keras dan semangat yang prima. Tanpa semua itu, kejayaan hanya menjadi angan-angan belaka.
           Dua tujuan pendidikan Islam pasca bencana ini (siraman rohani dan pembangunan skill) berada dalam sebuah paradigma “MEMUPUK KESABARAN, MEMBANGUN KESADARAN”. Memupuk kesabaran dalam arti bersikap ikhlas dan berpikir positif terhadap peristiwa yang dialami, dengan memandang bahwa apa yang terjadi merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sementara membangun kesadaran berarti membangkitkan semangat keagamaan dan komitmen moral untuk bergerak mengubah kenyataan yang menyedihkan menuju kejayaan yang sebenarnya — kejayaan yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman.

D. Penutup dan Rekomendasi

         Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebetulnya pendidikan Islam bisa memberikan yang terbaik terhadap masyarakat korban bencana alam. Dengan nilai-nilai religiusitas yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat, pendidikan Islam bisa menjawab kebutuhan spiritualitas dan skill para korban bencana. Keduanya (spriritiualitas dan skill) sangat diperlukan untuk membangkitkan semangat dan keyakinan untuk merajut kembali masa depan depan yang lebih baik.
         Untuk itu ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan melalui makalah sederhana ini, antara lain:
1).    Perlunya penyusunan metode khusus dalam implementasi pendidikan Islam pasca bencana alam. Sebab, pendidikan pasca bencana pasti jauh berbeda dengan pendidikan dalam situasi normal.  
2).    Keterlibatan kalangan akademisi dan praktisi pendidikan dalam gerakan praksis di lapangan dalam rangka implementasi pendidikan Islam. Harus jujur diakui bahwa akademisi dan praktisi pendidikan, umumnya hanya bergerak pada sumbangan materiil dan seruan moral. Padahal yang dibutuhkan para korban adalah aksi konkret di lapangan, bukan seruan moral atau wacana saja.
3).    Keseriusan pemerintah dalam menangani masalah depresi dan pendidikan para korban bencana. Dua masalah ini tidak kalah pentingnya dibanding kebutuhan mereka terhadap materi dan sembako. WALLAHU A’LAM
 
* * *



· Makalah ini bersifat analisis dan refleksi pribadi. Sehingga penulisannya mungkin agak berbeda dengan makalah-makalah pada umumnya, khususnya mengenai referensi. Dalam makalah ini, memang sengaja tidak mencantumkan banyak referensi, agar penulis tidak “teracuni” oleh analisis dan pendapat orang lain. 

1 komentar: