Rabu, 11 Desember 2013

Pendidikan tidak mengenal bias gender

"+"

PENDIDIKAN
TIDAK MENGENAL BIAS GENDER



Pengantar
Di sejumlah kalangan masyarakat (khususnya di pedesaan), hingga saat ini masih terdapat pandangan bahwa anak perempuan tidak perlu mengenyam tinggi. Asalkan bisa membaca dan menulis, itu sudah lebih dari cukup. Karena itu, jika di dalam suatu keluarga terdapat anak laki-laki dan perempuan, maka yang diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan tinggi adalah anak laki-laki, sekalipun kemampuannya jauh di bawah anak perempuan.
Pandangan semacam ini menjadi semakin kokoh tatkala mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Misalnya klaim bahwa kepemimpinan (formal dan informal) secara mutlak menjadi hak laki-laki [Q.S. an-Nisa’: 34], sehingga kaum Hawa mau tidak mau harus tunduk dan patuh terhadap kaum Adam. Bahkan tidak sedikit laki-laki yang menganggap rendah “harga diri” kaum perempuan.[1]
Padahal, menurut Nasaruddin Umar, al-Qur’an menjelaskan bahwa kualitas individu laki-laki dan perempuan di mata Allah tidak ada perbedaan, amal dan prestasi keduanya sama-sama diakui-Nya. Al-Qur’an menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan khalifah di muka bumi [Q.S. al-Baqarah: 30].[2] Demikian pula laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi dan juga tidak ada perbedaan di antara keduanya. Seperti firman Allah: “Barang siapa yang beramal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia adalah orang yang beriman, maka mereka (dijamin) masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” [Q.S. an-Nisa’: 124].
Dalam konteks ini Nabi Muhammad saw juga telah menegaskan bahwa “semua manusia adalah sama, tidak ada klaim bahwa pahala orang di atas non-Arab, orang kulit putih di atas kulit hitam, laki-laki di atas perempuan, yang membedakan mereka hanya ketaqwaannya kepada Allah swt”.
Menurut Abdullah Ahmad An-Nai’m, premis dasar yang dari risalah yang dikembangkan Muhammad, yang dalam faktanya merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, menekankan persamaan dan martabat yang inheren dalam seluruh keberadaan manusia, mengabaikan diskriminasi gender, kepercayaan ras, agama dan sebagainya. Pesan itu ditandai dengan persamaan laki-laki dan perempuan serta kebebasan secara penuh untuk memilih agama dan kepercayaan. Hal ini ditunjukkan dengan ayat-ayat yang menekankan pada “hai anak manusia” dan “hai anak Adam”. Bahkan seluruh umat manusia digambarkan dalam istilah kehormatan dan martabat tanpa membedakan ras, wana kulit, gender dan agama [Q.S. al-Isra’: 70, dan al-Hujarat: 13].[3] 
Islam sangat adil dalam memberlakukan perempuan, memuliakan dan memberi kebebasan dalam melakukan berbagai aktivitas, ibadah dan pendekatan diri kepada Allah tak ubahnya seperti laki-laki. Islam juga tidak melarang perempuan untuk ikut berlomba-lomba dalam beramal shaleh agar memperoleh kedudukan dan derajat di sisi Allah [Q.S. al-Ahzab: 35, dan at-Taubah: 72].  
Lebih dari itu, Allah memprioritaskan secara khusus dengan menjadikan perempuan sebagai nama salah satu surat di dalam al-Qur’an dan cukup panjang lebar perinciannya, yaitu surat an-Nisa’. Ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai peranan dan tanggungjawab yang sama dengan laki-laki dalam bidang sosial dan keagamaan, bahkan mereka mendapat dispensasi tertentu dan kelonggaran dalam pelaksanaan ibadah dan kewajiban shalat dihapus apabila haid dan nifas.
Apabila Allah menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan, mengapa manusia memarjinalkan perempuan dari dinamika hidup dan kehidupan manusia. Ketika Allah menegaskan tidak adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, maka keduanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk meraih prestasi optimal, termasuk dalam dunia pendidikan.
Pendidikan sejatinya bukan milik kaum laki-laki saja. Kaum perempuan juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, bahkan bisa melampaui pendidikan kaum laki-laki. Sayangnya, akibat begitu kuatnya kultur patriarki dalam masyarakat Indonesia, masih banyak perempuan yang mengisolasi diri dengan berpikir sempit bahwa perempuan tidak terlepas dari tiga dimensi kehidupan, yaitu kasur, sumur dan dapur.
Akibatnya, potensi dan kemampuan kaum perempuan sejauh ini masih belum melembaga. Sumber daya perempuan masih relatif kurang. Sekalipun ada beberapa pos strategis diduduki perempuan, itu hanya sebagian kecil saja dari pos-pos yang diisi oleh laki-laki. Meningkatkan kualitas sumber daya perempuan hanya bisa dilakukan dengan penyadaran bahwa mereka harus berpendidikan agar bisa sejajar dengan kaum laki-laki dalam aspek sosial, politik, ekonomi maupun agama.
Secara intelektual, laki-laki dan perempuan juga sama. Bahkan, jika membuka kembali lembaran sejarah di masa Rasulullah, suatu generasi perempuan patut dicatat dengan tinta emas. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al’Isabah fi Tarmidzi as-Shahabah menulis 12.304 biografi, dan 1.551 (16,5 persen) di antaranya adalah sahabat perempuan. Mereka itulah para intelektual perempuan di masa Muhammad saw. Tetapi, pada masa tabiin jumlah itu menurun drastis. Ibnu Hibban mencatat hanya sekitar 1,9 persen perempuan yang termasuk dalam intelektual perempuan.[4]
Konsep ideal ini harus disosialisasikan kepada masyarakat secara bertahap, karena ada sejumlah kendala, terutama kendala tradisi dan budaya. Adapun salah satu misi al-Qur’an adalah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan di dalam al-Qur’an mencakup segala aspek kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.     
    



[1] Lia Kurniawaty, Feminisme Islam, dalam Dadang S. Anshori et.al., (ed), Membincangkan Feminisme, Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung, Pustaka Hidaya, 1997, hlm. 52
[2] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta, Paramadina, 1999, hlm. 247
[3] Abdullah Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformation, New York, Syracuse University Press, 1990, hlm. 52 
[4] Badriyah Fayumi, Islam dan Pemberdayaan Perempuan, dalam Ahmad Baso et.al, Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta, Erlangga, 2003, hlm. 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar