Kamis, 12 Desember 2013

"+"

Menimbang

 Pendidikan Islam Masa Depan





A.    REKONSTRUKSI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM

Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, yang pertama kali mempopulerkan makna paradigma di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tingkah laku manusia di dalam kehidupan sehari-hari. Konsep paradigma bermula dari kajian filsafat sejarah dan filsafat sains dan kemudian konsep serta pengertian paradigma juga telah digunakan oleh para pakar ilmu tingkah laku (behavioral sciences).
Pengertian paradigm secara etimologi berasal dari bahasa Inggris “paradigm” yang berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model, pola).[1] Secara terminologi sebagaimana dikemukakan Robert Friedrichs, orang pertama yang mencoba merumuskan pengertian paradigma, bahwa paradigma adalah sebuah pandangan dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya (paradigm is a fundamental image a discipline has of its subject matter).[2]
Thomas Kuhn sendiri mengartikan paradigma sebagai “serangkaian konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dan menafsirkan realitas sosial tersebut”.[3] 
George Ritzer dengan mensintesakan pandangan kedua pakar tersebut merumuskan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, menurutnya paradigma berfungsi: 1) membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, 2) pertanyaan-pertanyaan apa yang semestinya dijawab, 3) bagaimana selayaknya pertanyaan-pertanyaan itu diajukan, dan 4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menafsirkan informasi yang diperoleh.[4]
Berdasarkan rumusan di atas, dalam konteks pendidikan, paradigma bisa diartikan sebagai serangkaian konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka membangun suatu sistem pendidikan yang ideal. Sistem pendidikan yang ideal dalam hal ini adalah sistem pendidikan yang Islami, yaitu sistem pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam yang secara umum termaktub al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber rujukan pertama umat Islam. Penggunaan nilai-nilai Islam dalam pendidikan Islam ini adalah “sebagai sudut pandang secara menyeluruh (total outlook) mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gejala-gejala pendidikan dalam rangka membangun manusia terdidik, berkualitas dan bertaqwa kepada Allah swt. 
Term “rekonstruksi” di dalam sub bab ini mengindikasikan bahwa sebelumnya telah ada paradigma yang digunakan dalam kegiatan pendidikan Islam. Hanya saja, paradigma tersebut kini harus dirancang atau diperbaharui kembali agar pendidikan Islam mampu membangun masyarakat yang demokratis, religius, inovatif, taat hukum, menghargai pluralitas, hak-hak asasi manusia dan siap untuk menghadapi tantangan globalisasi. Di antara paradigma-paradigma tersebut adalah:  
a. Paradigma Dualisme
Paradigma ini memandang segala sesuatu dari dua sisi secara berlawanan dan kata kuncinya adalah “dikotomi”. Dari sini kemudian berkembang pandangan aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, pendidikan keagamaan dan non-keagamaan, pendidikan keislaman dan non-keislaman, demikian seterusnya.
Paradigma semacam ini berimplikasi pada penyempitan makna pendidikan Islam. Pendidikan Islam diletakkan pada aspek akhirat, keagamaan dan keislaman saja. Ia dianggap terpisah dari persoalan ekonomi, politik, hukum, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya itu dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak hubungannya dengan pendidikan Islam. Akibatnya, output pendidikan Islam semacam ini sekali tidak memiliki skill untuk menghadapi kehidupan riil di masyarakat. Untuk bisa eksis dan survive di masyarakatnya, mereka terpaksa harus memulai dari nol lagi. 
Jika ditelaah secara seksama, maka akan ditemukan bahwa akar munculnya dualisme atau dikotomik pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya berasal dari warisan kolonialisme Belanda. Pada zaman itu, Belanda telah memulai membedakan pendidikan “umum” di satu pihak dan pendidikan “agama” di pihak lain. Dualitas ini tentunya memiliki dampak serius terhadap perwajahan pendidikan Islam di Indonesia. Di antaranya adalah terjadinya penyempitan makna agama seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah agama selama ini.
Karenanya, dalam pelaksanaan pendidikan Islam, pendekatan yang digunakan lebih bersifat keagamaan, normatif, doktriner dan absolutisme, sehingga peserta didik diarahkan untuk memiliki sikap commitment dan dedikasi yang tinggi terhadap agama yang dipelajarinya. Sementara kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, dan analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman.   
Pandangan serupa juga dikemukakan Azyumardi Azra. Menurutnya, paradigma dualisme ini muncul ketika umat Islam Indonesia mengalami masa penjajahan yang sangat panjang, di mana umat Islam mengalami keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, serta terjadi pembenturan antara umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan Barat yang memunculkan kaum intelektual baru yang sering disebut “cendekiawan sekuler”.[5] 
Terlepas dari kolonialisme yang melanda bangsa Indonesia, menurut survei historis yang dilakukan oleh Abdurrahman Mas’ud, paradigma dualisme pengetahuan telah muncul pada akhir abad ke-11 menjelang abad ke-12. Artinya, sebelum abad itu tidak ada dualisme atau dikotomi ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Penyebabnya, kata Mas’ud, memang cukup kompleks, yang meliputi sikap mental umat yang dikotomis sewaktu di dalam maupun di luar institusi pendidikan, serta tribalisme baru berupa fanatisme madzhab yang berlebihan.[6]
Selain itu tidak sedikit umat Islam yang terbelenggu pemikirannya dengan paham bahwa ilmu-ilmu yang dikejar hanyalah ilmu agama. Ini terjadi karena misinterpretasi terhadap Hadits Nabi Muhammad yang menjelaskan bahwa “mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Hadits ini acapkali hanya diartikan sebagai ajaran pahala dan dosa. Karena itu, hadits tersebut harus sudah seharusnya ditafsirkan bahwa apabila etos “gila ilmu” umat Islam mengendur (termasuk dalam sains dan teknologi) maka jangan menangis apabila mereka berada di barisan belakang.[7]
Tesis Mas’ud ini cukup beralasan apabila melihat kembali lembaran sejarah Islam di masa silam. Tanpa bermaksud untuk beromantisme pada sejarah masa lalu, pendidikan Islam terbukti pernah mencapai puncak kejayaannya. Ketika itu dunia Islam mampu melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan yang berkaliber dunia dan bersama dengan perkembangan ilmu tersebut, Islam menorehkan peradaban kelas wahid di seantero jagat raya ini. Hal itu diperoleh karena generasi-generasi muslim di zaman itu memiliki heroisme untuk terus menggali dan mengembangkan kemampuan ilmu pengetahuannya. Mereka tidak membedakan antara ilmu agama dan non-agama.
Dalam bidang astronomi, misalnya, kaum muslim menemukan teropong bintang yang dapat menambah pengetahuan kita tentang benda-benda langit. Abu Raihan al-Biruni (971-1048) mengembangkan metode yang luar biasa dalam menentukan posisi matahari dan bahkan menyempurnakan dasar-dasar pengetahuan tentang garis bujur dan garis lintang jauh sebelum sebagian penduduk dunia mengetahuinya.[8] Philip K. Hitti juga mencatat bahwa seseorang dapat menemukan ahli astronomi yang sangat brilian dan terkenal semisal Umar al-Khayyam (1048-1131), pengarang karya sastra yang berjudul Rubaiyah.[9]   
Dalam dunia arsitektur, kaum muslim telah membangun beberapa struktur gedung-gedung megah seperti Taj Mahal dan Masjid Biru. Hitti juga menggambarkan tentang kubah al-Zahrah yang terdapat di Yerussalem, sebuah monumen arsitektural yang sangat indah dan tiada bandingannya.[10] Dia juga menggambarkan tentang Masjid bani Ummayah di Damaskus yang berhiaskan dengan arsitektur permata yang sangat indah.[11]  
Di dunia medis pada pemerintahan Harun Al-Rasyid didirikan untuk pertama kalinya sebuah rumah sakit umum Putranya, Khalifah al-Ma’mun (813-833) menyusun dasar-dasar standarisasi profesional untuk para dokter dan ahli farmasi yang mana standar itu kemudian dijadikan standar umum pada pemerintahan setelahnya. Penetapan dasar-dasar standarisasi tersebut disebabkan karena seringkali terjadi kesalahan dalam mengobati pasien (dalam bahasa sekarang: malapraktik).[12] Hitti juga melansir “seorang dokter yang terpilih dari berbagai daerah akan dikumpulkan untuk diuji kemampuan medisnya dalam sebuah ujian, dan yang lulus seleksi akan diberikan sertifikat oleh khalifah. Kurang lebih 860 orang dapat melewati tes tersebut, dan dengan adanya sertifikat itu dapat dibedakan antara dokter asli dan dokter gadungan”.[13]   
Abu Bakar al-Razi (865-924) yang di dunia Barat dikenal dengan nama Razes menulis sebuah ensiklopedi tentang ilmu medis dan sebuah buku tentang ilmu kimia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Buku-buku tersebut pada akhirnya menjadi teori-teori dasar dalam ilmu-ilmu medis dan kimia di Eropa pada abad pertengahan.[14] 
Tokoh muslim lainnya yang terkenal dengan karya-karyanya di bidang filsafat adalah Ibnu Sina (980-1037), dunia Barat menyebut namanya dengan Avecina. Dia mengarang tentang ilmu medis yang kemudian terkenal di kalangan dokter-dokter Eropa dari abad ke-12 hingga abad ke-17. Filosof yang juga berprofesi sebagai dokter adalah Ibnu Rusyd yang juga dikenal dengan sebutan Averroes (1128-1198) yang juga memiliki kontribusi dalam dunia medis.[15] 
Dalam bidang matematika, seorang ahli matematika pada abad ke-9 yang bernama Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi (790-850) menyusun dasar-dasar tertua tentang aritmatika dan Aljabar, yang kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Sampai abad ke-16, karya tersebut masih dipakai sebagai buku rujukan tentang matematika di Universitas Eropa. Ilmu ini kemudian dikenal dengan nama al-Jaber wal-Muqabilah dan al-Goritma yang berasal dari namanya sendiri al-Khawarizmi.[16]     
Nama-nama di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak ilmuwan dan filosof muslim yang telah menghiasi dinding-dinding peradaban dunia. Ini sekaligus merupakan fakta historis bahwa masa keemasan (golden age) yang telah diraih umat Islam tidak didasarkan pada paradigma dualisme atau dikotomik. Terbukti, mereka tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga ilmu-ilmu sains dan teknologi. Sebaliknya, paradigma dualisme yang menurut Abdurrahman Mas’ud muncul di akhir abad ke-11 malah mendamparkan umat Islam ke pinggiran samudera peradaban dunia seperti yang dialami umat Islam saat ini.
b. Paradigma Islamisasi
Paradigma ini pertama kali di-launching oleh Ismail Rajil Al-Faruqi dari lembaga Pemikiran Islam Internasional (International Institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang 1980-an. Hal yang sama juga dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Malaysia), Fazlur Rahman (Pakistan), dan belakangan juga muncul Ziauddin Sardar (juga dari Malaysia).
Paradigma ini berangkat dari postulat bahwa prinsip asasi dalam pendidikan Islam adalah “tidak menyekutukan Allah” (tauhid). Dengan asas ini pada hakikatnya memerdekakan manusia dari otoritas-otoritas selain Allah. Pemerdekaan manusia semacam ini dapat menumbuhkan semangat dinamis dan kreatif dalam diri peserta didik, sehingga memiliki kemampuan potensial untuk menjadi khalifah di muka bumi.[17]
Melalui asas tersebut peserta didik dapat mengembangkan kepribadian di atas kesadarannya yang fitri dan hanif (cenderung terhadap kebenaran ilahi), sehingga di dalam dirinya tertanam jihad, dalam arti mampu mengubah tatanan dunia fisik dan mengembangkan intelektualnya sendiri dalam menjawab dunia yang senantiasa berubah dengan cepat. Manusia yang demikian ini adalah manusia yang secara potensial memiliki keberdayaan atau kebebasan sejati.
Dalam perspektif Islam, yang harus diinternalisasikan dalam proses pendidikan hendaknya memiliki signifikansi dengan makna pendidikan. Dalam konteks ini Islam dapat dilihat dari pengertian kata kerja bukan kata benda. Islam merupakan sebuah proses “Islamisasi”. Islamisasi adalah proses pasrah diri dan penghambaan diri secara total kepada Allah yang Maha Esa (prinsip tauhid).
Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Menurut Al-Faruqi, dari tauhid akan ada lima prinsip pokok yang merupakan esensi dari Islam, yaitu: (1) kesatuan Allah, (2) kesatuan alam semesta baik tata kosmis, penciptaan maupun ketundukannya pada manusia, (3) kesatuan kebenaran dan pengetahuan, (4) kesatuan hidup, dan (5) kesatuan umat manusia.  
Kelima prinsip dasar tersebut oleh Kuntowiyoyo disederhanakan menjadi tiga macam kesatuan, yakni kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak memiliki metode sendiri umat Islam akan selalu dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan artinya pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi kepada umat dan pada manusia. Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid, atau konteks pada teks agar pengetahuan tidak lepas dari iman.[18]
Pentingnya islamisasi pengetahuan, bagi Al-Attas, berangkat dari fenomena umat Islam yang lebih suka mengadopsi dan menggunakan bahasa asing untuk mengungkapkan konsep-konsep dalam pemikiran Islam. Hal ini lambat laun akan mengarah pada proses sekularisasi[19] yang mengembangkan ketegangan batin dari kebudayaan dan peradaban Barat. Menurutnya, ilmu pengetahuan seperti ini tidak akan benar-benar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim, demikian pula tidak akan bisa menyentuh akar-akar masalah sosial dunia muslim.[20]           
Islamisasi ilmu pengetahuan ini, menurut Fazlur Rahman, memiliki dua tujuan utama, yaitu: 1) upaya membentuk watak pelajar dan mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakatnya, dan 2) para ahli yang berpendidikan modern mampu menamai bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih untuk mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka.[21]
Rahman menambahkan sebenarnya upaya modernisasi pendidikan Islam adalah bagaimana membuatnya mampu menciptakan produktivitas intelektual muslim yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaitan yang serius kepada Islam. Menurutnya, esensi pendidikan Islam adalah apa yang disebut dengan “intelektualisme Islam”, artinya mempunyai makna pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai yang dapat dan harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan dan kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Di sini diperlukan kemampuan dan metode yang tepat dalam memahami al-Qur’an sebagai titik intelektualisme Islam, sebab al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia (hudan linnas).[22] 
Di sini jelas bahwa islamisasi pengetahuan yang dikembangan Rahman seluruhnya merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem Rahman menawarkan empat langkah —sebagai penerapan metode double movement-nya— dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam, yaitu: langkah pertama identifikasi terhadap pendidikan Islam di masa kejayaan Islam; langkah kedua adalah menemukan problem pendidikan di negara yang bersangkutan (baca: Indonesia); langkah ketiga adalah mencari rujukan pada al-Qur’an dan Hadits; dan langkah terakhir adalah berusaha memberikan alternatif solusi atas problem tersebut berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits.[23]   
Sementara itu Al-Faruqi menjelaskan bahwa terdapat lima sasaran islamisasi pengetahuan, antara lain: (1) menguasai disiplin-disiplin modern, (2) menguasai khazanah Islam, (3) menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, (4) mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern, dan (5) mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintas yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[24]  
Masih menurut Al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
1.      Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Al-Faruqi mengatakan bahwa disiplin-disiplin harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema —pemilah-milahan yang mencerminkan “daftar isi” suatu buku teks klasik,
2.      Survei disiplin. Jika kategori-kategori dari disiplin ilmu telah dipilah-pilah, suatu survei menyeluruh harus ditulis untuk setiap disiplin ilmu. Langkah ini diperlukan agar sarjana muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern,
3.      Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi di sini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan dengan setiap disiplin,
4.      Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk setiap analisa. Jika antologi-antologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini,
5.      Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata Al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan: pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin modern? Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil telah diperoleh oleh disiplin-disiplin modern tersebut? Sambil di mana tingkat pemenuhan, kekurangan, serta kelebihan khazanah Islam itu jika dibandingkan dengan visi dan scope disiplin-disiplin modern? Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali diabaikan oleh khazanah Islam, ke arah manakah kaum muslim harus berusaha mengisi kekurangan itu, juga untuk mereformulasi masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut?
6.      Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika relevansi Islam untuk semua disiplin sudah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam,
7.      Penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan,
8.      Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral, spiritual dan kaum muslim,
9.      Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus diselesaikan,
10.  Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini para sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern, serta untuk menjembatani jurang kejumudan yang berabad-abad. Dari sini khazanah pemikiran Islam harus tetap sinambung dengan prestasi-prestasi modern dan harus mulai menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai oleh disiplin-disiplin modern,
11.  Merumuskan kembali disiplin-disiplin di dalam kerangka Islam. Sekali kesinambungan antara khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam catatan Islam, dan
12.  Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan. Karya intelektual yang sudah diproduk dari langkah-langkah sebelumnya harus digunakan untuk membangkitkan, menerangi dan memperkaya umat manusia.[25]                        
           Tentunya tidak semua orang muslim bisa menerapkan langkah-langkah yang ditawarkan oleh Al-Faruqi tersebut. Yang paling pas untuk melakukan itu barangkali adalah Perguruan Tinggi Agama Islam. Dalam hal ini Sayid Ali Asyraf dan Hamid Hasan Bilgrami dalam buku mereka The Concept of Islamic University menulis bahwa tujuan utama PTAI adalah “melakukan islamisasi terhadap semua cabang ilmu pengetahuan, mengsilamisasikan buku-buku ajar dan bahkan metode-metode pengajarannya. Akan tetapi pada saat yang sama ia juga harus mempertahankan sifat keterbukaan yang esensial pada universitas tersebut”.[26]
           Lebih lanjut mereka menyatakan, para mahasiswa harus dilatih berpikir mandiri, tetapi iman mereka harus diperkuat sejak awal, sehingga sikap hormat dan penghargaannya kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw mendorong mereka untuk memperlakukan kitab Allah dan Sunnah itu dengan rendah hati, rasa cinta yang dalam, dan dibarengi dengan pengakuan terhadap betapa kecilnya ilmu pengetahuan yang mereka miliki dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Allah maupun Rasul-Nya. Itulah sebabnya, para mahasiswa harus mengetahui semua perspektif yang ada dan harus menilai kesempurnaan, kebenaran dan ciri perspektif Islam yang bermanfaat itu.[27]        
c. Paradigma Antroposentrime-Transendental; Sebuah Tawaran 
           Paradigma ini bertolak dari argumentasi bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah ciptaan Allah, dan manusia sendiri diciptakan tidak lain sebagai khalifah Allah di muka bumi [Q.S. al-Baqarah: 30]. Sebagai khalifah Allah tentunya manusia wajib membekali dirinya dengan segenap kecakapan skill dan ilmu pengetahuan, bukan hanya pengetahuan agama tetapi juga sains dan teknologi. Hal ini sangat penting mengingat peran vital yang dimainkan manusia di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai leader dan manager sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya. 
           Artinya, manusia memiliki dua tanggungjawab sekaligus, yaitu tanggungjawab vertikal dan tanggungjawab horizontal. Tanggungjawab vertikal adalah tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah yang diserahi amanat untuk menjadi wakilnya di muka bumi, sedangkan tanggungjawab horizontal adalah tanggungjawab manusia untuk selalu memberikan yang terbaik kepada semua makhluk Allah yang ada di jagat raya ini [Q.S. al-Mukminun: 115]. Dengan demikian, eksistensi pendidikan Islam tidak lain adalah untuk menyiapkan manusia agar mampu menunaikan tanggungjawab tersebut secara optimal.
      Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, setidak-tidaknya ada dua implikasi dari paradigma antroposentrisme-transendental ini, yaitu:
         Pertama, tidak perlu upaya islamisasi ilmu pengetahuan, sebab segala sesuatu berasal dari Allah swt, ilmu pengetahuan. Karenanya, ungkap Thoha Hamim, tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak Islam. Sebab ilmu pengetahuan adalah kebenaran—meskipun kebenaran itu relatif dan didasarkan pada obyektivitas, sedangkan obyektivitas merupakan pantulan dari realitas yang sudah ditakdirkan secara normatif oleh Tuhan—maka dengan sendirinya ilmu pengetahuan tidak akan menyalahi ketentuan-ketentuan agama. “Sering kali dikatakan ada ilmu yang tidak Islami. Saya tidak setuju. Semua ilmu itu Islam”, kata Hamim.[28]
           Menurutnya, islamisasi ilmu pengetahuan sebetulnya untuk memberikan frame yang lebih konkret kepada ilmuwan muslim yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam. Jadi, islamisasi tidak menyentuh pada substansi ilmunya. Karenanya frame tersebut tidak berarti bahwa tingkat kebenaran kajian yang dilakukan oleh ilmuwan muslim itu lebih tinggi daripada nonmuslim.[29] 
Kedua, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang memiliki nilai ibadah. Dasar argumentasinya adalah al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw, di antaranya: “Allah akan mengangkat derajat manusia yang beriman di antara kalian serta mereka yang dikaruniai ilmu” [Q.S. al-Mujadalah: 11], “Tinta para pelajar sama nilainya dengan dara para syuhada di hari kiamat nanti” [Hadits]. Ini menegaskan bahwa aktivitas pendidikan bukan sebatas aktivitas profan semata, tetapi di dalamnya sarat dengan nilai-nilai transcendental. Jaminan al-Qur’an dan Hadits ini seharusnya menjadi pemicu semangat umat Islam untuk selalu terlibat dalam aktivitas-aktivitas pendidikan, baik dengan cara menjadi pelajar, guru ataupun penyandang dana.
          Karena itu, di dalam menuntut ilmu pengetahuan pelajar muslim jangan sekali-kali berorientasi (hanya) untuk kepentingan duniawi semata, seperti untuk mendapatkan pekerjaan atau jabatan tertentu. Tujuan menuntut ilmu pengetahuan menurut Islam adalah untuk menghilangkan kebodohan (li izalat al-jahl) dan agar bisa melaksanakan amanat Allah dengan sebaik-baiknya.
            Sekalipun tidak bertujuan untuk kepentingan dunia, para penuntut ilmu tidak perlu khawatir akan rahmat Allah di dalam kehidupan dunia. Bukankah Allah telah berjanji bahwa Dia akan mengangkat derajat manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan [Q.S. al-Mujadalah: 11], dan Allah juga menjamin akan memudahkannya jalan menuju Surga [Hadits]. 
Derajat yang dijanjikan Allah itu tidak hanya diberikan di akhirat tetapi juga di dalam kehidupan dunia. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, seseorang bisa mendapatkan pekerjaan mudah, baik dan halal (halalan thayyibah).
Ada pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan keuntungan duniawi, akan tetapi masih belum mendapat “stempel” halal dan baik. Misalnya kekayaan atau jabatan yang didapat dari hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, hasil berjudi, memeras atau merampok. Semua itu bisa dengan mudah didapatkan, akan tetapi sangat dimurkai oleh Allah swt. Orang yang demikian, jika tidak bertobat, jangan bermimpi untuk mendapatkan derajat dan kemudahan menuju surga. Derajat yang diperolehnya hanya derajat di mata manusia, bukan derajat di sisi Allah.      
         Demikian halnya dengan guru. Profesi yang dijalaninya juga harus diletakkan di atas semangat untuk mendapatkan ridlo Allah swt. Dengan demikian, menjadi pendidik bukan semata-mata karena materi, akan tetapi karena panggilan hati untuk mentransmisikan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Hal semacam ini sangat jarang ditemukan dalam kehidupan globalisasi seperti sekarang ini. Menjadi guru hampir selalu diukur dengan nominal gaji yang didapatnya selama sebulan. Ketiga, tidak ada dualisme ilmu pengetahuan. Di muka telah disinggung bahwa paradigma dualisme baru muncul di akhir abad ke sebelas. Artinya, paradigma dualisme merupakan sesuatu yang temporal, dan karenanya ia bisa diganti dengan paradigma yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang sebenarnya.  Keempat, integralitas kurikulum pendidikan Islam.

B.     PENDIDIKAN TIDAK MENGENAL BIAS GENDER

          Di sejumlah kalangan masyarakat (khususnya di pedesaan), hingga saat ini masih terdapat pandangan bahwa anak perempuan tidak perlu mengenyam tinggi. Asalkan bisa membaca dan menulis, itu sudah lebih dari cukup. Karena itu, jika di dalam suatu keluarga terdapat anak laki-laki dan perempuan, maka yang diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan tinggi adalah anak laki-laki, sekalipun kemampuannya jauh di bawah anak perempuan.
Pandangan semacam ini menjadi semakin kokoh tatkala mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Misalnya klaim bahwa kepemimpinan (formal dan informal) secara mutlak menjadi hak laki-laki [Q.S. an-Nisa’: 34], sehingga kaum Hawa mau tidak mau harus tunduk dan patuh terhadap kaum Adam. Bahkan tidak sedikit laki-laki yang menganggap rendah “harga diri” kaum perempuan.[30]
Padahal, menurut Nasaruddin Umar, al-Qur’an menjelaskan bahwa kualitas individu laki-laki dan perempuan di mata Allah tidak ada perbedaan, amal dan prestasi keduanya sama-sama diakui-Nya. Al-Qur’an menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan khalifah di muka bumi [Q.S. al-Baqarah: 30].[31] Demikian pula laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi dan juga tidak ada perbedaan di antara keduanya. Seperti firman Allah: “Barang siapa yang beramal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia adalah orang yang beriman, maka mereka (dijamin) masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” [Q.S. an-Nisa’: 124].
Dalam konteks ini Nabi Muhammad saw juga telah menegaskan bahwa “semua manusia adalah sama, tidak ada klaim bahwa pahala orang di atas non-Arab, orang kulit putih di atas kulit hitam, laki-laki di atas perempuan, yang membedakan mereka hanya ketaqwaannya kepada Allah swt”.
Menurut Abdullah Ahmad An-Nai’m, premis dasar yang dari risalah yang dikembangkan Muhammad, yang dalam faktanya merupakan pesan Islam yang abadi dan fundamental, menekankan persamaan dan martabat yang inheren dalam seluruh keberadaan manusia, mengabaikan diskriminasi gender, kepercayaan ras, agama dan sebagainya. Pesan itu ditandai dengan persamaan laki-laki dan perempuan serta kebebasan secara penuh untuk memilih agama dan kepercayaan. Hal ini ditunjukkan dengan ayat-ayat yang menekankan pada “hai anak manusia” dan “hai anak Adam”. Bahkan seluruh umat manusia digambarkan dalam istilah kehormatan dan martabat tanpa membedakan ras, wana kulit, gender dan agama [Q.S. al-Isra’: 70, dan al-Hujarat: 13].[32] 
Islam sangat adil dalam memberlakukan perempuan, memuliakan dan memberi kebebasan dalam melakukan berbagai aktivitas, ibadah dan pendekatan diri kepada Allah tak ubahnya seperti laki-laki. Islam juga tidak melarang perempuan untuk ikut berlomba-lomba dalam beramal shaleh agar memperoleh kedudukan dan derajat di sisi Allah [Q.S. al-Ahzab: 35, dan at-Taubah: 72].  
Lebih dari itu, Allah memprioritaskan secara khusus dengan menjadikan perempuan sebagai nama salah satu surat di dalam al-Qur’an dan cukup panjang lebar perinciannya, yaitu surat an-Nisa’. Ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai peranan dan tanggungjawab yang sama dengan laki-laki dalam bidang sosial dan keagamaan, bahkan mereka mendapat dispensasi tertentu dan kelonggaran dalam pelaksanaan ibadah dan kewajiban shalat dihapus apabila haid dan nifas.
Apabila Allah menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan, mengapa manusia memarjinalkan perempuan dari dinamika hidup dan kehidupan manusia. Ketika Allah menegaskan tidak adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, maka keduanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk meraih prestasi optimal, termasuk dalam dunia pendidikan.
Pendidikan sejatinya bukan milik kaum laki-laki saja. Kaum perempuan juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, bahkan bisa melampaui pendidikan kaum laki-laki. Sayangnya, akibat begitu kuatnya kultur patriarki dalam masyarakat Indonesia, masih banyak perempuan yang mengisolasi diri dengan berpikir sempit bahwa perempuan tidak terlepas dari tiga dimensi kehidupan, yaitu kasur, sumur dan dapur.
Akibatnya, potensi dan kemampuan kaum perempuan sejauh ini masih belum melembaga. Sumber daya perempuan masih relatif kurang. Sekalipun ada beberapa pos strategis diduduki perempuan, itu hanya sebagian kecil saja dari pos-pos yang diisi oleh laki-laki. Meningkatkan kualitas sumber daya perempuan hanya bisa dilakukan dengan penyadaran bahwa mereka harus berpendidikan agar bisa sejajar dengan kaum laki-laki dalam aspek sosial, politik, ekonomi maupun agama.
Secara intelektual, laki-laki dan perempuan juga sama. Bahkan, jika membuka kembali lembaran sejarah di masa Rasulullah, suatu generasi perempuan patut dicatat dengan tinta emas. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam al’Isabah fi Tarmidzi as-Shahabah menulis 12.304 biografi, dan 1.551 (16,5 persen) di antaranya adalah sahabat perempuan. Mereka itulah para intelektual perempuan di masa Muhammad saw. Tetapi, pada masa tabiin jumlah itu menurun drastis. Ibnu Hibban mencatat hanya sekitar 1,9 persen perempuan yang termasuk dalam intelektual perempuan.[33]
Konsep ideal ini harus disosialisasikan kepada masyarakat secara bertahap, karena ada sejumlah kendala, terutama kendala tradisi dan budaya. Adapun salah satu misi al-Qur’an adalah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan di dalam al-Qur’an mencakup segala aspek kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.     
    



[1] A.S Hornby,
[2] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, Cet.III, hlm. 6
[3] A Malik Haramain, Sketsa Gerakan (Kritik-Otokritik Gerakan PMII), Yogyakarta, Fajar Pustaka, 2003, hlm. 43
[4] Ritzer, Op.Cit. hlm. 6-7 
[5] Azyumardi Asra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 159-160
[6] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan non-Dikotomik, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hlm. 121-2
[7] Ibid, hlm. 120
[8] Robert Spencer, Islam Ditelanjangi, terj. Mun’im A. Sirry, Jakarta, Paramadina, 2003, hlm. 182
[9] Philip K. Hitti, The Arabs: A Short History, Regnery Publishing, 1996, hlm. 145
[10] Ibid, hlm. 104
[11] Ibid, hlm. 93
[12] Spencer, Op.Cit., hlm. 183
[13] Hitti, Op.Cit., hlm. 141-2
[14] Spencer, Op.Cit., hlm. 184
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2000, hlm. 223
[18] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika), Mizan, Teraju Mizan, 2005, hlm. 8
[19] Sutrisno, Fazlurrahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 26
[20] Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1998, hlm. 44
[21] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka, 1985, hlm. 155-6
[22] Ibid, hlm. 160
[23] Sutrisno, Op.Cit, hlm. 151
[24] Sardar, Op.Cit., hlm. 47
[25] Ibid, hlm. 48-49
[26] Sayid Ali Asyraf dan Hamid Hasan Bilgrami, Konsep Universitas Islam, terj. Machnun Husein, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989, hlm. 80
[27] Ibid., hlm. 80-81
[28] Thoha Hamim, Naif, Masjid Jadi Pusat Pendidikan, dalam Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 06 No. 03 Februari-April, 2000, hlm. 32  
[29] Ibid
[30] Lia Kurniawaty, Feminisme Islam, dalam Dadang S. Anshori et.al., (ed), Membincangkan Feminisme, Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung, Pustaka Hidaya, 1997, hlm. 52
[31] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta, Paramadina, 1999, hlm. 247
[32] Abdullah Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformation, New York, Syracuse University Press, 1990, hlm. 52 
[33] Badriyah Fayumi, Islam dan Pemberdayaan Perempuan, dalam Ahmad Baso et.al, Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta, Erlangga, 2003, hlm. 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar