Minggu, 15 Desember 2013

Pendidikan Imam Zarkasyi

"+"

PEMIKIRAN
Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi




Pra Wacana

GONTOR. Barangkali tidak asing bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan Timur Tengah dan Asia Tenggara. Konon, di desa ini berdiri sebuah Pondok Pesantren Modern bernama “Darussalam” (kampung damai), yang pada perkembangannya lebih akrab dengan sebutan Pondok Gontor. Nama besar pesantren ini melampaui popularitas para arsitek yang merintis dan mengembangkannya. Masyarakat, dalam hemat saya, barangkali lebih mengenal Pondok Gontor ketimbang para pengasuh pesantren ini. Di balik keharuman Pondok Gontor sejatinya terdapat sosok kiai karismatik yang tak terlupakan dalam khazanah intelektual Indonesia, yaitu KH. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fanani dan K.H. Imam Zarkasyi. Tetapi, nama K.H. Imam Zarkasyi lebih familiar bagi masyarakat, sehingga Pondok Gontor sangat identik dengan dirinya. Maklum, K.H. Imam Zarkasyi-lah yang menjadi arsitek pembaharu pondok pesantren tersebut.
Profil K.H. Imam Zarkasyi bisa dibilang luar biasa. Walaupun berasal dari keturunan ningrat atau priyayi, sejak usia 8 tahun Gus Zarkasyi kecil sudah kehilangan ayah. Dua tahun kemudian, dia juga ditinggal ibunda tercintanya yang berpulang ke rahmatullah. So pasti, kondisi ini memukul perasaan Gus Zarkasyi, tetapi Gus Zarkasyi tetap tabah menghadapi kenyataan tersebut. Gus Zarkasyi tetap tekun menimba ilmu. Dia tidak hanya menimba ilmu keagamaan di pondok pesantren, melainkan juga di sekolah-sekolah umum, di antaranya Holand Arabische School (HAS) yang didirikan oleh kolonial Belanda sebagai salah satu implementasi politik etis pada abad ke-20. Hebatnya lagi, Gus Zarkasyi pernah mondok di sejumlah pesantren, termasuk di Pondok Pesantren yang diasuh oleh Mahmud Yunus. Lebih dari itu, setelah selesai studi, pengalaman dan karir organisasi K.H. Imam Zarkasyi juga patut diacungi jempol. Beberapa jabatan strategis pernah didudukinya. Di antaranya sebagai anggota Dewan Pertimbangan MUI dan anggota Dewan Perancang Nasional yang didirikan oleh Soekarno. 
Gagasan dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi di dunia pendidikan juga tak kalah hebatnya. Moderninasi pesantren yang di-launching K.H. Imam Zarkasyi sangat luar biasa untuk ukuran zamannya. Ditengah-tengah masyarakat yang menolak segala sesuatu yang berbau Barat, K.H. Imam Zarkasyi malah melawan arus dengan menampilkan corak pendidikan pesantren yang jauh berbeda dengan trend yang berkembang ketika itu. Selain dari aspek kurikulum, metode, dan manajemennya, ada sesuatu yang sangat mencolok dan menarik untuk disinggung dari Pondok Gontor, yaitu mode pakaian yang dikenakan oleh santri dan siswa Pondok Gontor: celana, kemeja dan dasi. Ini tentu berbeda dengan mode yang sudah mapan di pesantren-pesantren ketika itu, yaitu sarung dan theklek (sandal dari kayu).
Masyhurnya, sarung adalah trade mark pesantren dan menjadi pakaian “wajib” setiap santri, khususnya di Jawa. Dan masyarakat masih sangat tabu dengan celana, kemeja atau dasi, bahkan di antaranya mengharamkan menggunakan pakaian ‘orang kafir’ itu. Pada titik yang paling ekstrim, orang yang mengenakan celana atau pakaian-pakaian ala Barat lainnya bisa divonis kafir. Alasannya jelas, man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (barang siapa yang identik atau mengidentikkan diri dengan suatu golongan, maka dia termasuk dari golongan itu). Dalam kondisi seperti itu, K.H. Imam Zarkasyi malah mewajibkan semua santri dan siswanya untuk mengenakan “celana, kemeja dan dasi”. Tak ayal lagi Pondok Gontor menjadi sorotan publik, dan kritikan pedas pun menerpa Pondok Gontor. Corak dan sistem pesantrennya “wis aneh” ditambah lagi dengan pakaian “ sing nyeleneh”. Rasanya, lengkap sudah “dosa-dosa” sosial Pondok Gontor kepada masyarakat. Namun Pondok Gontor menanggapinya dengan tenang-tenang saja. Sebab, penolakan adalah hal yang wajar di setiap munculnya gagasan perubahan.
Inilah gambaran profil dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi yang akan diulas dalam makalah ini. Topik Pemikiran Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi ini ditujukan untuk mengupas pemikiran dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi di dunia pendidikan, yang kemudian dilanjutkan dengan pemetaan pemikirannya dengan menggunakan pemetaan ideologi-ideologi pendidikan, khususnya W.F. O’neil.


Profil, Karya dan Kiprah K.H. Imam Zarkasyi di Dunia Pendidikan 

Profil K.H. Imam Zarkasyi yang ada dalam makalah ini hanya sekilas saja. Sebab, saya yakin bahwa untuk mengurai sosok K.H. Imam Zarkasyi tidak cukup dalam sebuah makalah yang sangat ringkas nan sederhana ini. Pastinya memerlukan ratusan halaman atau lebih untuk mengupas tuntas figur K.H. Imam Zarkasyi. Yang ada dalam makalah ini hanya selayang pandang tentang K.H. Imam Zarkasyi. Bila sering didengar adagium “tak kenal, maka tak sayang”, bisa saya plesetkan menjadi “tak kenal, maka tak paham”. Maksudnya, tanpa uraian tentang K.H. Imam Zarkasyi, sekali lagi walau hanya sekilas, saya khawatir “ikatan batin” kita dengan K.H. Imam Zarkasyi tidak muncul, akibatnya kita sulit untuk mencerna gagasan dan pemikiran brilian sosok modernis pendidikan pesantren ini.    
Dari catatan yang ada, Gus Imam Zarkasyi —ketika itu masih belum menyandang “gelar” Kiai Haji)— dilahirkan pada tanggal 21 Maret 1910 M, di desa Gontor, Kecamatan Mlarak, 12 km ke arah tenggara kota Ponorogo, Jawa Timur. Dia meninggal juga pada bulan Maret, tanggal 30, tahun 1985, dengan meninggalkan seorang isteri dan 11 orang anak (Nata, 2003: 195). Jadi, K.H. Imam Zarkasyi tidak berpoligami. Ia merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara dengan ayah bernama Raden Santoso Anom Besari —sementara Hery Noer Aly (2003: 145) menulisnya dengan Raden Santausa Annam Bashari— dan ibu Rr. Sudarmi. Raden Santoso Anom Besari sendiri masih keturunan keenam dari kesepuhan Cirebon. Sedangkan sang ibu, Rr. Sudarmi adalah keturunan Surodiningrat, Bupati Madiun (Nasution, 1988: 406). Dari gambaran silsilah ini K.H. Imam Zarkasyi masih berasal dari keturunan ningrat, atau meminjam istilah Geertz, golongan priyayi.
Sebagaimana disebutkan di atas, Gus Zarkasyi sejak usia 8 tahun sudah menjadi anak yatim. Dua tahun kemudian (tahun 1920) dia harus kehilangan ibundanya. Pendidikan awalnya ditempuh di Holland Inlansche School (HIS) Ongkoloro, setingkat Sekolah Dasar di Jetis Ponorogo (1923). Lembaga ini adalah lembaga pendidikan kolonial yang memang diperuntukkan bagi kalangan ningrat atau orang kaya. Gus Zarkasyi kecil bisa sekolah di lembaga itu karena dia memiliki “darah biru”. Di sela-sela pendidikan yang ditempuh di HIS, Gus Zarkasyi nyantri di Josari. Selain di Josari, Gus Zarkasyi juga pernah mondok di pesantren Joresan dan Tegalsari. Setelah tamat dari Sekolah Ongkoloro, Gus Zarkasy mondok lagi di Pondok Pesantren Jamsaren sambil belajardi Sekolah Mambaul Ulum, kedunya di Solo. Masih di kota yang sama, dia melanjutlan pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah, sampai tahun 1930 (Nata, 203: 195).  Ketika belajar di Solo inilah Gus Zarkasy sempat menimba ilmu pada Sayid al-Hasyimi, seorang ulama, sastrawan dan politisi dari Tunisia yang diasingkan oleh pemerintah Perancis di wilayah jajahan Belanda dan akhirnya menetap di Indonesia. Sosok al-Hasyimi inilah yang disebut-sebut amat berpengaruh pada K.H. Imam Zarkasy (Nasution, 1988: 407).
Dengan semangatnya menuntut ilmu, Gus Zarkasyi meneruskan studinya di Kweekschool Islam (versi lain menyebut “Normal Islam”), Padang Panjang, Sumatera Barat, di bawah asuhan Mahmud Yunus, hingga tahun 1935. Selanjutnya, oleh Mahmud Yunus Gus Zarkasyi diberi amanat untuk menjadi guru dan direktur lembaga itu. Namun berhubung Gus Zarkasyi sangat dibutuhkan di Pondok Gontor, dia menjadi direktur Kweekscholl Islam hanya selama satu tahun. Oleh dua kakaknya, K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Zainuddin Fanani, Gus Zarkasyi diminta kembali ke Pondok Gontor, untuk sama-sama mengembangkan pondok warisan orang tua mereka. Akhirnya, pada tahun 1936, Gus Zarkasyi kembali ke kampung halamannya. Sejak saat itulah dia mulai aktif berkecimpung di Pondok Gontor.    
K.H. Imam Zarkasyi juga sosok yang produktif dalam dunia tulis menulis. Sejumlah karya ilmiah lahir dari tangannya, antara lain:
  1. Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam
  2. Pedoman Pendidikan Modern
  3. Kursus Agama Islam
  4. Ushuluddin
  5. Pelajar Fiqh I dan II
  6. Bimbingan Keimanan
  7. Pelajaran Bahasa Arab I dan II
  8. Kamus Bahasa Arab
  9. dan lain-lain (Nata, 2995: 200)

Selain ketekunannya menuntut ilmu dan kesibukannya di dunia pendidikan pesantren, plus kreativitasnya dalam tulis menulis, K.H. Imam Zarkasyi ternyata juga aktif di lembaga sosial dan politik, antara lain:
1.          Kepala Kantor Agama Keresidenan Madiun, 1943-….
2.          Pengurus Pusat Hisbullah, 1947-…
3.          Kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama dan Komite Penelitian Pendidikan, 1946-…
4.          Aktif di Direktorat Pendidikan Agama, ketika H.M. Rasyidi menjadi Menteri Agama
5.          Aktif di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada saat Ki Hajar Dewantara sebagai menterinya
6.          Ketua PB Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII), 1948-1955 (Nasution, 1988: 407)
7.          Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementerian Agama, 1951-1953
8.          Ketua Dewan Pengawas Pendidikan Agama, 1953
9.          Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama Departemen Agama, 1957
10.      Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan, 1957
11.      Anggota Dewan Perancang Nasional dan Dewan Ekonomi Nasional, 1956
12.      Anggota Delegasi Indonesia dalam kunjungan ke Uni Soviet, 1962
13.      Wakil Indonesia dalam Mu’tamar Majma al-Buhuts al-Islamiyah (Mu’tamar Islam se-Dunia) ke-7, Kairo, Mesir, 1972
14.      Anggota Majelis Syuro Partai Masyumi, 1945-1952
15.      Dewan Pertimbangan MUI Pusat (Nata, 2005: 1999).    

Dengan membaca riwayat hidup K.H. Imam Zarkasyi di atas, ada beberapa catatan menarik yang dapat kita angkat dari sosok K.H. Imam Zarkasyi. Pertama, dilihat dari tempatnya menuntut ilmu, tampak bahwa K.H. Imam Zarkasyi adalah ulama yang murni produk lokal. Ia tidak pernah menimba ilmu di Timur Tengah, sebagaimana ulama pada umumnya. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dalam negeri sejatinya tidak kalah baik dibanding dengan pendidikan luar negeri, khususnya Timur Tengah. Kedua, dilihat dari segi aktivitasnya yang tidak hanya di dunia pesantren, melainkan juga di ranah sosial, politik dan kenegaraan, mencerminkan bahwa dia adalah ulama trans-nasional yang mampu berkomunikasi dengan berbagai lapisan masyarakat. Hal ini juga bisa dilihat dari motto Pondok Gontor “Gontor di atas dan untuk semua golongan”. Inilah yang menjadikan K.H. Imam Zarkasyi bisa diterima oleh semua kalangan. Ketiga, bila dilihat dari karya-karya dan pengalaman jabatan yang didudukinya bisa digaris bawahi bahwa K.H. Imam Zarkasyi memang lebih tanpak keahliannya di bidang pendidikan, di banding dengan dunia yang lain.       

 Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Imam Zarkasyi

Dari sejumlah pemikiran pendidikan K.H. Imam Zarkasyi, dalam makalah ini hanya diurai empat aspek saja yang dianggap sangat penting dari sekian konsep pendidikan Islam K.H. Imam Zarkasyi.
1.      Tujuan Pendidikan
K.H. Imam Zarkasyi melihat bahwa kelemahan pesantren di masa lalu adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas, yang dituangkan dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program. Pendidikan seakan-akan berjalan mengikuti keahlian dan kehendak pesantren. Untuk itu dia melakukan studi banding ke sejumlah lembaga pendidikan, antara lain: 1) Universitas Al-Azhar, Mesir; 2) Pondok Syanggit, Afrika Utara, dekat Lybia; 3) Universitas Muslim Aligarch, Indiia, dan 4) Perguruan Shantiniketan, India. Sebuah perguruan yang didirikan oleh filosof Hindu, Rabendranath. Hasil studi banding ke sejumlah lembaga pendidikan itu diracik dengan realitas sosial dan pengalaman yang diperoleh, K.H. Imam Zarkasyi kemudian merumuskan tujuan pendidikannya. Menurut Burhanuddin dan Baedowi (dalam Nata, 2005: 205), K.H. Imam Zarkasyi merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:
Yang jelas hanya satu saja, yaitu untuk menjadi orang … Jadi masih bersifat dan belum menjurus, belum calon doktor, belum calon kusir, belum calon apa-apa. Katakanlah calon manusia. Manusia itu apa kerjanya? Dari pendidikan yang kami berikan itu mereka akan tahu nanti di masyarakat apa yang akan dikerjakan … Jadi persiapan untuk masuk masyarakat dan bukan untuk (masuk) perguruan tinggi. Maka dari itu, kami namakan pendidikan dengan pendidikan kemasyarakatan, dan itu yang kami utamakan.  

Sepintas, tujuan pendidikan yang dirumuskan K.H. Imam Zarkasyi memang sangat sederhana, “untuk menjadi orang”. Sebenarnya istilah ini cukup familiar di kalangan masyarakat kita, khususnya orang-orang sepuh (wabil khusus orang-orang kampung alias pedalaman). Ketika mereka ditanya apa yang dicita-citakan atau diharapkan dari anak-anak mereka, umumnya mereka menjawab: “yang penting jadi orang”. Hemat saya, frasa ini memiliki makna yang sangat mendalam. Maksud frasa itu adalah menjadi manusia yang benar-benar manusia. Bukan manusia yang seperti binatang. Apalah artinya memiliki ilmu “segudang” tetapi tidak bermanfaat atau bahkan merugikan masyarakat. Padahal yang diharapkan dari pendidikan adalah melahirkan sosok manusia yang paham akan jati dirinya sebagai manusia, menukil istilah al-Qur’an: khalifah fi al-ardl. Sebab, jika manusia sadar akan eksistensi dan tanggung jawab dirinya sebagai insan al-kamil yang bertugas menjadi the vice of God (wakil Tuhan), dia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Pendek kata, tujuan pendidikan K.H. Imam Zarkasyi adalah untuk melahirkan orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama —persis seperti jawaban siswa-siswi Sekolah Dasar, ketika ditanya apa cita-cita mereka. Ini sesuai dengan ajaran Rasul bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”. Atau jika tidak bermanfaat bagi orang lain, setidak-tidaknya tidak merugikan orang lain.   
Interpretasi selanjutnya dari tujuan pendidikan K.H. Imam Zarkasyi ini adalah menyiapkan manusia yang bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Ini bisa dicerna dari redaksi mereka akan tahu nanti di masyarakat apa yang akan dikerjakan … Jadi persiapan untuk masuk masyarakat dan bukan untuk (masuk) perguruan tinggi”. Sudah barang tentu untuk hidup di tengah-tengah masyarakat tidak cukup dengan hanya berbekal kemampuan kognitif saja, tetapi juga psikomotorik yang dihiasi dengan afeksi yang benar-benar baik. Cukup banyak orang yang menimba ilmu hingga bertahun-tahun di pesantren atau bahkan hingga perguruan tinggi, tetapi sayangnya dia tidak tahu apa yang harus dilakukan (di dan untuk) masyarakat sekitarnya. Jangankan untuk berbuat sesuatu untuk masyarakatnya, untuk membantu dirinya sendiri saja dia tidak mampu. Terang saja mereka menjadi bahan gunjingan tetangganya. Efek sampingnya, masyarakat jadi emoh menyekolahkan anaknya. Sebab, yang ada di hadapan mereka adalah alumni-alumni dunia pendidikan “yang gagal total”. Kalau begini jadinya, ‘kan parah. 
Untuk itu, K.H. Imam Zarkasyi menghendaki agar pendidikan melahirkan sosok yang memiliki kemampuan intelektual yang baik, skill yang baik, serta sikap dan perilaku yang baik pula. Khusus untuk perilaku juga penting untuk dicermati. Sungguh banyak jebolan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan tertentu yang “hebat” secara kognitif dan psikomotorik, tetapi tidak didukung dengan afektif yang sama hebatnya. Konsekuensinya, pengetahuan dan keahliannya tidak difungsikan untuk membantu orang lain, tetapi malah merugikan orang lain. Dalam hal ini kita tidak perlu repot-repot mencari contoh. Tengok saja “tikus-tikus kantor” di negeri ini. Semuanya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan skill yang tinggi. Makanya mereka acapkali disebut dengan the white collar crime, penjahat kerah putih. Tentu, tanpa kemampuan dan skill yang baik, mereka tidak akan bisa atau setidak-tidaknya tidak ahli dalam korupsi. Justru karena mereka memiliki ilmu pengetahuan dan skill-lah, mereka canggih dalam melakukan korupsi. Ini terjadi, sekali lagi, karena dalam diri mereka tidak tertanam sikap dan perilaku yang baik. Sikap perilaku yang baik dalam Islam pastinya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Bukankah Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa “barang siapa yang mengikuti (petunjuk) Al-Qur’an dan Hadits dia akan selamat”. Orang yang mengikuti Al-Qur’an dan Hadits layak untuk mendapat gelar takwa. Sebab dia akan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah plus dihiasi dengan akhlak al-karimah. Dan Nabi Muhammad sendiri memang hadir untuk mengarahkan agar manusia bersikap dan berperilaku baik, “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”; dan Allah juga menegaskan bahwa “sejatinya pada diri Muhammad terdapat akhlak yang luar biasa”. Sebagai seorang muslim, kalau bukan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad yang menjadi cerminan kita, lantas apa dan siapa yang akan kita ikuti? 

2.      Kurikulum Pendidikan
Ada sebuah pengalaman penting yang diperoleh K.H. Ahmad Sahal, kakak kandung K.H. Imam Zarkasyi, ketika mengikuti Kongres Umat Islam Indonesia yang berlangsung di Surabaya, tahun 1926 (berarti ketika itu K.H. Imam Zarkasyi masih + berusia 16 tahun). Di arena kongres itu, peserta kongres kebingungan untuk menentukan siapa delegasi yang akan dikirim untuk mengikuti Mu’tamar Umat Islam se-Dunia ke-7 yang akan dilaksanakan di Makkah. Sebab, persyaratan yang ditentukan oleh Panitia bagi peserta mu’tamar adalah harus bisa berbahasa Arab dan Inggris. Celakanya, dari sekian peserta kongres di Surabaya itu tidak satupun yang menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Maka, jalan keluarnya adalah mendelegasikan H.O.S. Cokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris dan K.H. Mas Mansyur yang bisa bahasa Arab (Nata, 2005: 208).
Kejadian ini menjadi topik hangat diskusi antara K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Zainuddin Fanani (keduanya kakak K.H. Imam Zarkasyi). Ketika itu, K.H. Imam Zarkasyi masih belum secara intens mengikuti perbincangan, sebab selain masih di bangku sekolah, usianya masih terbilang belia. Namun setelah selesai studi, keinginan ketiganya klop (sama). Mereka sama-sama mencita-citakan menjadikan Pondok Gontor memiliki keunggulan dalam bidang bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Selain dua bahasa itu, dalam kurikulum Pondok Gontor juga terdapat pengetahuan-pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar, dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya (Yunus, 1979: 251 dan Nata, 2003: 206). Selanjutnya, untuk menjaga moralitas dan kepribadian santri, diajarkan pula pendidikan sosial yang dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya Untuk itu, siswa dilatih untuk mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya dalam hidupnya di masyarakat kelak.
Sejalan dengan itu, maka dalam Pondok Gontor diajarkan pelajaran ekstra seperti etika atau tata krama yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin. kesopanan batin menyangkut akhlak jiwa, sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, dan cara berpakaian (Ali, 1991: 53). Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para santri dalam bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan, seperti menyablon, mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya.
Sebenarnya, secara konsepsional kurikulum yang dikembangkan K.H. Imam Zarkasyi bukan hal yang baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Mayoritas pemikir pendidikan Islam menyatakan bahwa tujuan utama (the main goal) pendidikan Islam adalah untuk merealisasikan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Tujuan ini seyogyanya diimplementasikan dalam sebuah kurikulum. Sayangnya, selama ini tujuan ideal itu hanya berada pada tataran konsep belaka, belum diwujudkan dalam kurikulum dan program konkret. Padahal, meminjam istilah pedagogian Brazil, Paulo Freire, dalam pendidikan harus ada kontinuitas antara refleksi dan aksi, antara teori dan praktik. Keduanya terus berputar tanpa akhir. Semangat seperti inilah yang ada dalam diri K.H. Imam Zarkasyi. Dia sadar bahwa untuk mewujudkan bahwa pendidikan Islam dapat melahirkan orang yang siap di dunia dan akhirat tidak cukup dengan membekali peserta didik dengan konsep-konsep belaka, tetapi wajib dibekali dengan skill yang sangat bermanfaat dalam hidup peserta didik. Untuk itulah, K.H. Imam Zarkasyi memberi pendidikan keterampilan seperti sablon, kerajinan tangan, dekorasi, dan lain sebagainya. Pola-pola semacam ini masih belum ditemukan dalam praktik pendidikan Islam ketika itu. Singkatnya, kurikulum yang ditawarkan K.H. Imam Zarkasyi melampaui kurikulum-kurikulum yang berkembang di pesantren-pesantren pada umumnya.

3.      Metode Pengajaran; Kasus Pengajaran Bahasa
Tujuan dan kurikulum yang ideal tidak akan menghasilkan out put yang berkualitas apabila prosesnya tidak didukung dengan proses yang bagus. Di antara bagian dari proses pendidikan adalah metode pengajaran. Dalam proses pendidikan acapkali ditemukan penggunaan metode pengajaran yang kurang pas. Taruhlah pengajaran bahasa Arab di pondok-pondok pesantren. Hampir semua pesantren, di zaman K.H. Imam Zarkasyi, menerapkan metode pengajaran klasik. Santri dijejali dengan ilmu alat (baca: nahwu-sharaf) dengan cara hafalan. Maksimal praktik membaca kitab. Metode ini tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak serta merta kita lestarikan. Pasalnya, dengan metode semacam itu santri kebanyakan memang mahir dalam membaca kitab, sekaligus mengerti fungsi dan kedudukan masing-masing kata atau huruf. Tetapi mereka tidak bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab, tur tidak mampu mengarang tulisan dalam bahasa Arab. Pada dasarnya sudah dimafhumi bahwa seseorang bisa dikatakan menguasai bahasa apabila dia bisa bercakap-cakap dalam bahasa tersebut, baru kemudian, membaca atau menulis. Dari sini bisa dinyatakan bahwa selama ini santri di pondok-pondok pesantren tidak belajar bahasa Arab, tetapi belajar ilmu bahasa Arab. Ini jelas metode yang kurang pas, sehingga perlu diluruskan.
Untuk mengatasi hal di atas, K.H. Imam Zarkasyi menerapkan metode langsung (direct method) yang diarahkan pada penguasaan bahasa aktif dengan cara memperbanyak latihan, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, pendidikan bahasa Arab diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk memfungsikan kalimat secara sempurna, bukan pada penguasaan ilmu alat an sich tanpa mampu berbahasa dengan baik. Dalam pengajaran bahasa Arab ini, K.H. Imam Zarkasyi memiliki semboyan al-kalimat al-wahidah min alfi jumlatin khairun min alfi kalimatin min jumlatin wahidatin [kemampuan menggunakan satu kalimat dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kalimat dalam satu susunan kalimat saja] (Djumhur dan Danasaputra, 1976: 193). Metode pada pengajaran bahasa Arab di sini hanya salah satu contoh saja dari metode-metode yang lain.         
4.      Manajemen Pesantren
Pesantren tradisional umumnya menerapkan sistem manajemen sentralistik, tertutup, emosional, dan tidak demokratis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan pesantren sepenuhnya hak prerogratif sang kyai. Kyai memiliki otoritas tak terbatas atas apa yang akan dia lakukan atas pesantrennya. Hal itu wajar-wajar saja. Sebab pesantren kebanyakan milik pribadi kyai. Dengan demikian, orang lain tidak berhak mengatur pesantren tanpa seizin kyai. Masalahnya kemudian, ketika kyai tersebut tidak sanggup lagi atau meninggal dunia. Biduk pesantren seketika kehilangan arah. Para santri ibarat anak ayam kehilangan induknya. Mereka tidak tahu harus ke mana dan berbuat apa. Kondisi demikian bisa tertolong apabila jauh-jauh hari sebelumnya sang kyai telah menyiapkan calon pengganti, apakah dari anaknya sendiri, menantu atau orang lain. Jika tidak, bukan mustahil para santri akan pindah pondok, dan pesantren akhirnya bubar.
Atas dasar itu, Pondok Gontor mengambil langkah-langkah strategis dalam pengelolaannya. Pertama, Pondok Gontor diwakafkan kepada sebuah lembaga wakaf bernama, Badan Wakaf Pondok Pesantren Gontor. Ikrar pewakafan itu dinyatakan di depan umum oleh ketiga punggawa Pondok Gontor, K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fanani dan K.H. Imam Zarkasyi. Dengan demikian, Pondok Gontor tidak lagi monopoli keluarga pendirinya, tetapi menjadi milik umat Islam, dan umat Islam pula yang harus bertanggung atas keberadaan Pondok Gontor.
Kedua, pembagian tugas dan ketiga tokoh tersebut. K.H. Ahmad Sahal bertugas sebagai pengasuh yang bertugas atas pendidikan para santri (urusan kesantrian), K.H. Imam Zarkasyi menjadi direktur Kulliyatul Mu’allimin al-Islamitah (KMI) yang bertanggung jawab atas pendidikan siswa (urusan persekolahan) dan K.H. Zainyddin Fanani bertindak sebagai konsultan dan penyeimbang di antara dua pemimpin itu (Nata, 2005: 204).
Ketiga, pengelolaan keuangan menjadi tanggung jawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa santri senior dan guru-guru yang secara periodik bisa diganti. Dengan demikian pengaturan jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif (Nata, 2005: 214).
Dari uraian di atas, cukup jelas bahwa dalam pengelolaan Pondok Gontor tidak ada ketergantungan pada satu figur kyai. Lembaga pendidikan, dengan demikian, tidak akan pernah kehilangan kepemimpinannya. Pemimpin Pondok Gontor akan tetap ada sepanjang pondok tersebut masih dikehendaki masyarakat. Sistem pengelolaan seperti jelas berbeda dengan pesantren kebanyakan. Dalam pesantren, umumnya, segala persoalan pesantren ada di tangan kyai, termasuk pengelolaan keuangan. Konsekuensinya, ketika seseorang ber-salam tempel, kadang tidak jelas apakah untuk kyai atau untuk pesantren. Dengan begitu, pembiayaan pesantren nunggu kemauan sang kyai, dan sirkulasi keuangannya pun pesantren sulit di kontrol. Tidak hanya dari sisi keuangan, dimensi-dimensi yang lain juga mengalami hal serupa. Misalnya, mata pelajaran santri. Hal itu juga tergantung “selera” kyai. Masyarakat dan asatidz tidak bisa berkomentar apa-apa apabila kyai telah memutuskan kitab apa yang akan dikaji.
Dari tujuan, kurikulum, metode dan manajemen di atas, memang sangat pas kalau Pondok Gontor disebut pondok modern. Karena, apa yang ada di Pondok Gontor mencerminkan unsur-unsur modernitas. Perlu ditegaskan bahwa istilah Pondok Modern bukan “merek” yang dibuat kyai, tetapi sebutan dari masyarakat setelah melihat program-program dan pengelolaan Pondok Gontor yang memang berbeda dengan pesantren salaf pada umumnya.
Selain gagasan modernisasinya terhadap pendidikan pesantren, kita tidak boleh melupakan jasa K.H. Imam Zarkasyi dalam mempertahankan pendidikan madrasah dan pesantren agar tetap berada di bawah naungan Departemen Agama. K.H. Imam Zarkasyi berpandangan bahwa tanggung jawab pembinaan dan pengelolaan pendidikan madrasah harus diserahkan pada ahlinya, dalam hal ini Departemen Agama. Begitu juga dengan pendidikan SD sampai Perguruan Tinggi, juga wajib dikelola oleh yang ahli, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kalaupun ada perbedaan kualitas antara madrasah dan sekolah umum, gagasan Pendidikan Satu Atap tidak perlu dilakukan. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana memperbaiki pendidikan madrasah, yang bisa diatur dengan Surat Keputusan Bersama (SKB). Dari sini kemudian lahir SKB tiga menteri: Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah yang ditandatangani pada 24 Maret 1974, di mana di dalamnya diatur perbandingan umum dan agama adalah 70:30 persen (Nata, 2005: 203).              

 

Ideologi Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi; Suatu Upaya Pemetaan

Sebelum lebih jauh masuk pada pemetaan ideologi pendidikan K.H. Imam Zarkasyi, penting untuk ditegaskan di sini bahwa ideologi seseorang sering kali tidak berjalan linier. Dia bisa dikategorikan berideologi A dalam satu hal, tetapi juga bisa berideologi B pada hal lain. Bahkan bisa jadi, dia malah mengkomparasikan dua ideologi atau lebih dalam hal-hal tertentu. Frame seperti inilah yang digunakan dalam makalah ini dalam memetakan modernisasi pendidikan ala K.H. Imam Zarkasyi. Sebagaimana disinggung di atas bahwa pisau analisa yang digunakan dalam makalah ini pemetaan ideologi-ideologi pendidikan W.F. O’neil. Sebab, hingga saat ini, hanya O’neil yang secara khusus dan gamblang memetakan ideologi-ideologi pendidikan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan pemetaan-pemetaan ideologis lainnya.
a.       Tujuan Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Tujuan Pendidikan yang dirumuskan K.H. Imam Zarkasyi pada prinsipnya adalah untuk menyiapkan manusia ideal, yaitu manusia yang benar-benar manusia. Manusia yang sadar akan posisi dirinya, sehingga keberadaannya bermanfaat bagi masyarakatnya. Tujuan pendidikan termasuk dalam kerangka Fundamentalisme Pendidikan. Dalam hemat O’neil (2002: 499), tujuan pendidikan bagi kalangan Fundamentalisme Pendidikan adalah untuk menyalurkan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk berhasil dalam tatanan sosial (cetak tebal dari pemakalah).
K.H. Imam Zarkasyi mempertegas istilah “menjadi orang” dengan kalimat “mereka nantinya akan tahu apa yang harus dilakukan di masyarakat”. Ini berarti sosok hasil pendidikan yang dicita-citakan K.H. Imam Zarkasyi adalah sosok yang berhasil di masyarakat. Orang yang berhasil di masyarakat janganlah dimaknai dengan orang yang kaya, punya jabatan tinggi atau menjadi sanjungan masyarakat. Orang yang berhasil adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya, walaupun ia tidak kaya, tidak memiliki jabatan apa-apa serta tidak disanjung-sanjung. Lagi pula, orang yang benar-benar bermanfaat kepada manusia, dalam perspektif Islam harus di dasarkan pada nilai-nilai agama, diantaranya ikhlas, sepi ing pamrih. Jadi orang yang berguna di masyarakat dan di mata Allah tidak membutuhkan imbalan apa-apa, termasuk sanjungan.
Pada kalimat terakhir K.H. Imam Zarkasyi menambahkan tujuan pendidikan dengan kalimat “kami namakan pendidikan ini dengan pendidikan kemasyarakatan”. Dalam kacamata Paulo Freire, pendidikan semacam ini disebut dengan Pendidikan Partisipatoris. Artinya, dalam proses pendidikan diupayakan agar masyarakat terlibat di dalamnya. Pendidikan partisipatoris umumnya dipahami dengan pendidikan yang melibatkan sikap pro aktif peserta didik. Tetapi, bagi saya, pendidikan partisipatoris juga melibatkan masyarakat.    
b.      Kurikulum Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Di atas telah disinggung bahwa kurikulum yang dirumuskan oleh K.H. Imam Zarkasyi adalah kurikulum duniawi dan ukhrawi. Dikatakan demikian, karena dia mencoba untuk mewujudkan keberhasilan di dunia dan keselamatan di akhirat. Untuk itu dimasukkanlah pelajaran-pelajaran yang mengarah pada peningkatan skill peserta didik. Tujuannya agar mereka siap hidup di masyarakat. Dalam kurikulumnya, K.H. Imam Zarkasyi juga memasukkan pendidikan moral. Menurutnya, hal itu sangat penting untuk ditanamkan dalam benak peserta didik. Moral di sini tidak hanya moral kepada manusia tetapi moral kepada Allah yang terletak di dalam jiwa. Kurikulum pendidikan ini menurut O’neil masuk dalam kategori Fundamentalisme Pendidikan. Pendidikan semacam ini, kata O’neil, ditandai dengan “penekanannya pada watak bermoral”. Sehingga tidak heran, masih kata O’neil, apabila mata pelajaran yang disuguhkan kepada siswa menekankan pada pelatihan moral, dan jenis-jenis keterampilan akademik serta praktis agar siswa menjadi anggota yang efektif dalam tatanan masyarakat, melatih watak, pendidikan kesehatan, sejarah, sastra, agama dan seterusnya (2002: 511-2).
Sebenarnya, grand design kurikulum K.H. Imam Zarkasyi bukan hal baru dalam diskursus pendidikan Islam. Hampir semua pemikir pendidikan Islam menghendaki agar muatan kurikulum pendidikan Islam memiliki dua dimensi sekaligus, duniawi dan ukhrawi. Bukankah memang harapan semua insan (umat  Islam) untuk sejahtera dunia akhirat. Terbukti, hampir setiap berdoa selalu dipungkasi dengan rabbana atina fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah waqina ‘adzab al-nar.
Selain itu, K.H. Imam Zarkasyi juga melatih para peserta didiknya untuk menganalisa dan mencari solusi mengenai masalah-masalah yang sekiranya akan dihadapi mereka di kemudian hari. Berbeda dengan kurikulum di atas, bagi O’neil, disebut dengan Liberalisme Pendidikan. Ideologi ini, dalam kurikulumnya, memang ditujukan agar peserta didik “bisa memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya secara praksis” (2002: 511). Ini yang disebut Freire dengan Problem Posing Education (pendidikan hadap masalah).
Pemikiran K.H. Imam Zarkasyi di atas sangat realitis. Sebab, tidak satupun manusia di dunia ini yang tidak menghadapi masalah. Kata banyak orang, life is problem. Jika demikian, adalah kewajiban bagi manusia untuk membekali diri agar bisa menghadapi masalah yang melintang dalam perjalanan hidupnya. Dan pendidikan, sebagai wahana paling strategis untuk menatap masa depan yang cerah, seyogyanya bisa menjadi the best training area untuk mempersiapkan generasi mendatang yang secara mandiri bisa menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi.
c.       Metode Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Metode yang digunakan oleh K.H. Imam Zarkasyi sebenarnya cukup sederhana. Dengan direct method yang ia terapkan, sebenarnya ia menekankan agar dalam mempelajari sesuatu peserta didik tidak hanya bisa berteori saja, tetapi yang lebih penting adalah prakteknya, contohnya pada pendidikan bahasa Arab tersebut. Direct method K.H. Imam Zarkasyi merupakan kritik sekaligus solusi atas metode yang nge-trend saat itu, di mana banyak santri yang tidak bisa ngomong bahasa Arab walaupun bisa baca kitab kuning dengan penguasaan ilmu alat yang luar biasa. Dari perspektif ini, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa ideologi dalam metode pendidikan K.H. Imam Zarkasyi, dalam istilah sekarang, adalah fungsionalisme. Paham ini menggarisbawahi bahwa segala sesuatu harus diukur dari fungsi yang dimilikinya. Fungsi itulah yang menjadi nilai terpenting dari semua hal. Karenanya, agar bahasa yang dipelajari siswa tidak sia-sia, maka bahasa itu juga harus fungsional, yaitu berfungsi sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Jika hanya berfungsi sebagai bahasa tulisan saja, maka nilai fungsional bahasa tersebut sudah berkurang. 
Selain direct method, di Pondok Gontor juga terdapat metode ceramah ustadz, hafalan, tugas, diskusi dan kemampuan belajar secara otodidak. Metode semacam ini masih tergolong dalam metode Fundamentalisme Pendidikan. Disebutkan bahwa metode pengajaran fundamentalisme pendidikan cenderung pada pelaksanaan tatacara-tatacara kelas, misalnya ceramah, hafalan, belajar sendiri di bawah pengawasan guru atau ustadz, dan diskusi-diskusi kelompok yang sangat terstruktur (O’neil, 2002: 514). Diskusi-diskusi tersebut, dalam konteks Pondok Gontor, menurut informasi dari teman yang mondok di Gontor, diwujudkan dengan Bahts al-Masail.     
d.      Manajemen Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Manajemen pendidikan Pondok Gontor, menegaskan bahwa tidak ada otoritas personal dalam pondok tersebut. Semuanya dikelola secara profesional, dalam arti diserahkan kepada para ahlinya. Apalagi, Pondok Gontor sendiri sudah diserahkan kepada masyarakat. Artinya, keluarga Gontor tidak bisa bertindak semuanya sendiri, karena Gontor tidak lebih dari amanat masyarakat yang harus diurus dan dikelola dengan baik.
Dari sisi ini, manajemen Pondok Gontor termasuk dalam Liberalisme Pendidikan. Ideologi ini ditandai dengan penyerahan wewenang kepada pendidik yang memiliki keterampilan tinggi, yang memiliki komitmen terhadap proses pendidikan dan mampu melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan dengan adanya informasi baru yang relevan. Dan wewenang guru didasarkan pada keterampilannya dalam mendidik siswanya (O’neil, 2002: 210-211). Manajemen Pondok Gontor bisa dikategorikan dalam ideologi liberalisme, selain karena tidak ada otoritas absolut pada seseorang tertentu, juga karena personal-personal pengelola Pondok Gontor bisa diganti antar waktu. Jika dicermati, yang paling signifikan dari modernisasi pendidikan pesantren K.H. Imam Zarkasyi adalah pada dimensi manajemen pendidikannya. Manajemen yang dia terapkan benar-benar berbeda dengan manajemen konvensional yang ada saat itu, di mana kiai menjadi “superman” yang memiliki sejuta otoritas. 

 

 Kesimpulan

         K.H. Imam Zarkasyi merupakan sosok yang luar biasa di zamannya. Pemikiran pendidikannya mampu menjadi pioneer yang menghembuskan angin perubahan pada pesantren. Pesantren yang ketika itu dikenal tertutup dengan dunia luar (baca: sesuatu yang berbau Barat), disulap menjadi pesantren yang akomodatif, pesantren yang bersedia menerima segala sesuatu yang positif (tidak peduli dari manapun datangnya), dan pesantren yang benar-benar menyiapkan peserta didiknya agar berguna dan berfungsi bagi masyarakat.
           Bagi K.H. Imam Zarkasyi, pesantren tidak boleh terpaku pada akhirat oriented saja, tetapi juga harus dunia oriented. Akhirat dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya wajib berjalan seiring dan seirama. Dia yakin bahwa pesantren akan out of date dan ditinggalkan konsumennya apabila sistem pendidikan pesantren tidak segera dibenahi. Karenanya, K.H. Imam Zarkasyi melakukan perubahan mendasar pada sistem pendidikan pesantren. Atas usahanya itulah, dia dipandang telah memodernisasi pesantren.   

 

Referensi 

Ali, A. Mukti, 1991, Ta’limul Muta’allim Cermin Imam Zarkasyi, Gontor, Trimurti
Ali, Hery Noer, 2003, K.H. Imam Zarkasyi Tafsir Modern Pendidikan Islam, dalam Jajat Burhaduddin dan Ahmad Baedowi (ed), Transformasi Otoritas Keagamaan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Nasution, Harun, et.al., 1988, K.H. Imam Zarkasyi, dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid I, Jakarta, Departemen Agama RI
Nata, Abuddin, 2003, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada 
____________, 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada
O’neil, William F., 2002, Ideologi-Ideologi Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Yunus, Mahmud, 1979, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Mutiara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar