Jumat, 13 Desember 2013

Tanggungjawab LPI; Pembrantasan Buta Aksara

"+"

PENDIDIKAN ISLAM;
Pemberantasan Buta Aksara




A. Pendahuluan

Beberapa waktu yang lalu, Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Soedibyo menyatakan bahwa salah satu permasalahan pendidikan yang paling krusial di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah tingginya tingkat buta aksara. “Jateng merupakan juara II untuk buta aksara di Indonesia, Juara I adalah Jawa Timur”.[1] Angka buta aksara di Jawa Tengah untuk usia 14 hingga 44 tahun mencapai 3.333.092 orang atau hampir 14 persen dari 30 juta penduduk Jawa Tengah, dan kebanyakan berasal dari keluarga miskin.[2]
Angka di atas tentu bukan angka yang kecil di negara yang sudah merdeka selama 61 tahun. Selain masalah kemiskinan kita perlu mencari apa masalah sebenarnya yang menyebabkan mereka buta aksara, saya berasumsi bahwa kemiskinan bukan satu-satunya alasan tingginya angka buta aksara di negeri ini. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah rendahnya kepedulian dari orang-orang yang sudah melek baca, khususnya dari kalangan intelektual perguruan tinggi untuk membantu membebaskan mereka dari “alam buta aksara” menuju “alam melek aksara”.
Barangkali masyarakat menganggap bahwa pemberantasan buta aksara adalah tanggungjawab pemerintah. Masyarakat masih belum sadar bahwa buta aksara merupakan tanggungjawab sosial yang harus segera diselesaikan demi mengangkat derajat dan martabat bangsa ini. Khusus dalam kacamata Islam, mendidik orang lain merupakan sebuah perbuatan yang berpahala tinggi. Bahkan, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan: “barang siapa yang mengajari saya satu huruf saja, maka dia berhak atas diri saya, apakah akan menjadikan saya sebagai budak atau orang merdeka.” Ini bukti bahwa mengajari orang lain bukan hal yang sia-sia. Jika berorientasi pada ganjaran, maka Allah akan memberi ganjaran yang sangat tinggi kepada siapa saja yang mendidik orang lain. Begitu juga bagi mereka yang menuntut ilmu, Allah juga akan memberi kemudahan jalan menuju Surga. Ini sungguh ganjaran yang sangat besar. Bukankah selama ini kita selalu berharap-harap cemas untuk mendapatkan Surga, sebagai tempat yang paling mulia di sisi Allah.
Dari sekelumit uraian di atas, ternyata tanggungjawab pendidikan Islam untuk membebaskan buta aksara sangat besar, sebab mayoritas penyandang buta aksara adalah umat Islam. Jika bukan umat Islam sendiri, lantas siapa yang akan membebaskan mereka dari jurang kebodohan. Inilah yang menjadi fokus kajian makalah ini. Makalah ini diharapkan dapat memberikan solusi untuk pemberan-tasan buta aksara yang begitu besar di negeri ini. 

 

B. Islam; Agama Cinta Ilmu

Tidak diragukan lagu bahwa Islam adalah agama yang benar-benar melahirkan budaya ilmu pengetahuan. Secara historis dan konsepsional, Islam terbukti sangat menyokong perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat berguna bagi umat manusia. Al-Qur’an maupun hadits, sebagai sumber utama aktivitas umat Islam, berulang kali mendorong bahkan mewajibkan umat Islam dan manusia pada umumnya untuk menuntut ilmu pengetahuan, di antaranya:
“Allah akan mengangkat derajat manusia yang beriman di antara kalian dan mereka yang memiliki ilmu.” [al-Mujadalah: 11]
 
“Tinta para pelajar sama nilainya dengan darah para syuhada di hari kiamat nanti.” [Hadits]
 
“Carilah ilmu dari sejak lahir hingga ke liang lahat.” [Hadits]
 
“Tuntutlah ilmu walaupun kalian harus pergi ke negeri Cina.” [Hadits]
 
“Siapa yang mencari ilmu, Allah akan mempermudah jalannya menuju Surga.” [Hadits]
 
Perbandingan keutamaan orang yang mencari ilmu dengan orang yang hanya beribadah, laksana keutamaan bulan atas bintang-bintang.” [Hadits][3]

              Selain ayat dan hadits di atas, sebuah kenyataan yang wajib direnungkan adalah wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw, yang berbunyi: “(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan; (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia; (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (baca tulis); dan (5) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”. [al-‘Alaq: 1-5]    
          Kata iqra’ (bacalah) yang ada pada surat al-‘Alaq di atas merupakan seruan pengembangan intelektual yang ternyata terbukti dalam sejarah mampu mengubah peradaban manusia di dunia ini dari masa kegelapan moral dan intelektual, kemudian membawanya kepada sebuah peradaban kelas wahid yang sesuai dengan petunjuk ilahi. Di dalam surat ini pula Allah memperkenalkan qalam, alat tulis menulis. Ini salah satu bukti yang tak terbantahkan bahwa agama Islam sangat menekankan membaca dan tulis menulis, yang mana keduanya merupakan cara yang paling utama dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 
                 Beranjak dari ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, adalah sebuah kenyataan yang sangat disayangkan apabila ternyata umat Islam saat ini, khususnya di Indonesia, masih banyak yang buta aksara. Padahal 14 abad yang lalu Islam telah menekankan betapa pentingnya ilmu pengetahuan. Islam bahkan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu walaupun harus pergi ke negara yang jauh sekalipun, misalnya ke Amerika atau Eropa.
                 Dalam menuntut ilmu, Islam tidak pernah mengenal batas usia. Ini tidak lepas dari kenyataan bahwa hanya dengan ilmulah manusia bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tanpa ilmu pengetahuan, manusia tidak memiliki arti apa-apa. Justru dengan binatang terdidik (animal educandum) manusia menjadi khalifah di muka bumi ini. Karenanya, Islam menjamin bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan akan menempati derajat tertinggi di mata Allah swt.   

 

C. Pendidikan Islam dan Pemberantasan Buta Aksara

        Sebagai sebuah sistem pendidikan yang menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber rujukannya, pendidikan Islam sepatutnya memiliki kepedulian terhadap pemberantasan buta aksara. Masalah buta aksara merupakan masalah krusial yang harus segera ditangani dengan baik. Sebab, masa depan peradaban Islam sangat ditentukan sejauh mana ilmu pengetahuan yang dimiliki umat Islam itu sendiri. Jika angka buta aksara pada umat Islam masih tinggi, berarti secara keilmuan umat Islam kalah dibanding dengan umat beragama lainnya. Konsekuensi lebih lanjut, dalam banyak hal untuk Islam jauh lebih inferior di banding Barat yang nota bene berisikan orang-orang Kristen, Yahudi atau ateis sekalipun.
         Ungkapan ini sama sekali tidak memiliki pretensi untuk menghadap-hadapkan Islam dan non-Islam, tetapi semata-mata sebagai otokritik terhadap realitas yang tengah dihadapi umat Islam. Selain itu, tidak berarti bahwa Islam hanya mementingkan umatnya sendiri tanpa memperhatikan umat beragama lainnya yang mungkin sama-sama membutuhkan pemberdayaan. Persoalannya, jika umat Islam sendiri ternyata masih belum mampu memberdayakan dirinya sendiri, lantas bagaimana ia bisa memberdayakan umat lain. Maksudnya, sebelum memberdayakan orang lain, umat Islam terlebih dahulu wajib memberdayakan dirinya sendiri, khususnya dalam pemberantasan buta aksara.
          Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tingginga buta aksara di Indonesia tentu sangat memilukan. Memang pemberantasan buta aksara merupakan tanggungjawab semua pihak. Tetapi, tanggungjawab yang lebih besar ada di pundak kaum intelektual muslim, khususnya para pakar dan praktisi pendidikan Islam yang memiliki kompetensi dan kualifikasi dalam pemberantasan dalam hal ini. Mereka itulah yang seharusnya memiliki self awareness untuk memberantas buta aksara dari bumi Indonesia. Bukankah Islam sudah mengajarkan bahwa seorang muslim merupakan saudara orang muslim lainnya. Karenanya, masing-masing di antara mereka memiliki tanggungjawab untuk menolong saudara-saudara muslim lainnya. Dan menolong dalam memberantas buta aksara merupakan pertolongan yang sangat berharga.     
          Sungguh besar tugas dan tanggungjawab para pakar dan praktisi pendidikan Islam dalam “proyek” pemberantasan buta aksara ini. Karenanya, hal terpenting dalam rangka merealisasikan proyek tersebut adalah dengan memperbarui paradigma pendidikan Islam. Pendidikan Islam selama ini sudah terjebak pada jaring-jaring formalisme pendidikan atau ekstrimnya terjebak dalam dunia ijazah. Akibatnya, pendidikan Islam seakan-akan hanya berlangsung dalam pendidikan formal melalui sekolah dasar hingga perguruan tinggi saja.
        Untuk itu, ke depan, paradigma pendidikan Islam harus berparadigma pemberdayaan. Term pemberdayaan tidak pernah terjebak pada dimensi formalitas. Jadi, pendidikan Islam bisa berlangsung di mana saja dan kapan saja. Lebih dari itu, yang mengenyam pendidikan bukan hanya anak-anak atau kalangan remaja yang sering disebut dengan usia sekolah, tetapi juga siapapun berhak mendapatkan pendidikan. Inilah nilai-nilai agama Islam yang seyogyanya menjadi spirit dalam pemberantasan buta aksara.
          Ada beberapa hal yang mendesak untuk ditransformasikan kepada umat Islam dan masyarakat pada umumnya berkenaan dengan pemberantasan buta aksara, antara lain: pertama, menuntut ilmu dalam perspektif Islam adalah ibadah. Jadi, selain memperoleh ilmu pengetahuan untuk bekal hidup di dunia, seseorang penuntut ilmu juga mendapatkan pahala yang sangat besar dari Allah swt. Tidak tanggung-tanggung, pahala orang yang menuntut ilmu lebih besar dibanding syuhada, orang yang gugur di medan perang atas nama Islam.
            Kedua, Islam tidak mengenal batasan usia dalam menuntut ilmu. Setua apapun usia seseorang, dia tetap perlu menimba ilmu pengetahuan. Sebab, ilmu pengetahuan merupakan kebutuhan primer bagi semua orang. Ini penting untuk disampaikan, karena dalam masyarakat tertentu, seringkali muncul pandangan bahwa ketika seseorang sudah memasuki usia senja, maka dia tidak perlu menuntut ilmu lagi. Sekalipun dia mengidap penyakit buta aksara, dia tidak mau belajar untuk menghilangkan penyakit itu. Jika pandangan seperti ini terus bertahan di kalangan masyarakat, maka upaya pemberantasan buta huruf tidak akan berjalan optimal. 
           Ketiga, pendidikan merupakan media yang sangat menentukan terhadap kehidupan seseorang dan dinamika peradaban manusia. Terbukti, negara-negara maju yang kini “menguasai” dunia, tidak lain karena masyarakat yang ada di dalam negara-negara tersebut adalah masyarakat yang berpendidikan. Karena mereka sadar betul betapa pentingnya pendidikan dalam kehidupan mereka. Dan apabila melihat kembali lembaran sejarah Islam di masa lalu, kita akan menemukan bahwa Islam bisa tersebar dan berkembang di mana-mana karena umat Islam ketika itu memiliki ilmu pengetahuan.
     Kesadaran akan pentingnya pendidikan semacam inilah yang harus ditanamkan kepada masyarakat kita. Sebab, selain adanya kecenderungan pandangan seperti pada point kedua, masih ada kecenderungan lain yang ditemukan dalam masyarakat muslim, khususnya yang ada di pedesaan, yaitu pandangan bahwa bisa baca tulis itu tidak terlalu penting. Alasannya, walaupun tidak bisa baca tulis, toh mereka masih bisa hidup. Bahkan beberapa di antaranya lebih sejahtera (baca: lebih kaya) dibanding orang-orang yang berpengetahuan.
            Langkah berikutnya adalah merumuskan aksi konkret pendidikan Islam dalam pemberantasan buta aksara di masyarakat. Pertama, memfungsikan lembaga-lembaga sosial Islami sebagai wahana untuk mendidik masyarakat agar bisa melek aksara. Artinya, perlu ada perubahan gerakan dan program dari lembaga-lembaga tersebut. Apabila selama ini hanya memfokuskan diri pada pengajian atau shalawatan, maka gerakan dan program berikutnya adalah pemberantasan buta aksara. Gerakan seperti ini, dalam hemat saya, jauh lebih penting dari siraman keagamaan atau shalawatan. Jika masyarakat sudah bisa membaca dan menulis, maka dia bisa belajar agama Islam secara mandiri. Namun demikian, pengajian, shalawatan dan lain-lain masih tetap dibutuhkan. Minimal untuk mempererat ukhuwah islamiyah.
          Kedua, membangun “taman baca tulis” khusus bagi masyarakat yang buta aksara. Di sinilah perguruan tinggi Islam memainkan perannya. Sebagai institusi tertinggi dalam strata pendidikan formal, perguruan tinggi harus peka terhadap kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan pasar. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Solo, Drs. Kelik Isnawan, mengungkapkan bahwa tingginya buta aksara di daerahnya salah satunya dikarenakan rendahnya jumlah pendidik non-formal.[4] Apa yang terjadi si Solo ini juga terjadi di daerah-daerah lainnya.  
           Masyarakat buta aksara barangkali tidak mengutarakan bahwa mereka ingin bisa baca tulis, tetapi sebagai lembaga yang berisikan dengan kaum intelektual, seharusnya perguruan tinggi Islam bisa memenuhi “hajat” masyarakat tersebut. Hal semacam ini lebih riil dibanding dengan tema-tema diskusi yang hanya sebatas wacana saja, di mana manfaatnya tidak bisa dirasakan secara nyata.
         Ketiga, gerakan individual. Jika masing-masing orang memiliki kepedulian dan mau mengajari saudara-saudaranya yang buta aksara, saya yakin dalam waktu yang relatif singkat, buta aksara bisa lenyap dari bumi Indonesia. Masih tingginya angka buta aksara, salah satunya adalah kurangnya empati dan kepedulian masyarakat terhadap mereka-mereka yang masih belum bisa baca tulis. Gerakan pemberantasan buta aksara model ketiga ini sangat sederhana dan tidak perlu payung hukum. Karenanya semua orang bisa melakukannya.  

 

D. Kesimpulan dan Saran-Saran

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:Pertama Masalah buta aksara merupakan salah satu masalah pendidikan Indonesia yang paling akut dan mendesak untuk segera diselesaikan. kedua  Ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam mendapat posisi yang sangat tinggi. Karenanya, Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan ke mana saja dan kapan saja. ketiga Upaya pembebasan masyarakat dari buta aksara bukan tanggungjawab pemerintah saja, tetapi tanggungjawab sosial yang harus dutunaikan oleh semua orang.
Oleh karenanya, ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan dalam pemberantasan buta aksara ini, yaitu:
  1. Pemberantasan buta aksara harus diawali dengan merubah cara pandang masyarakat terhadap pendidikan, yakni agar mereka sadar dan mau membebaskan diri mereka sendiri dari jeratan buta aksara.
  1. Pemberantasan buta aksara bisa dimulai dari bawah dan dari hal yang paling kecil, di mana masing-masing individu memiliki kepedulian untuk mendidik dan mengajari orang-orang yang masih buta aksara.
  1. Perguruan tinggi Islam perlu terlibat langsung dalam pemberantasan buta aksara. KKN dan PPL yang selama ini hanya berkutat pada pembangunan fisik perlu memasukkan pemberantasan buta aksara sebagai agenda kerjanya.

E. Daftar Pustaka

Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta, Gama Media, 2002
KOMPAS, 23 Mei 2006
SOLO POS, 4 Mei 2006
SUARA PEMBARUAN, 3 Mei 2006




[1] KOMPAS, 23 Mei 2006
[2] Suara Pembaruan, 3 Mei 2006
[3] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hlm. 31
[4] Solo Pos, 4 Mei 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar