Kamis, 12 Desember 2013

Menelusuri Implementasi Desentralisasi Pend. Islam

"+"

MENELUSURI IMPLEMENTASI DESENTRALISASI
TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM




I.          Pendahuluan

Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998 lalu, mengantarkan masyarakat Indonesia pada gerbang reformasi. Sebuah fenomena perubahan yang tidak saja menyangkut sistem politik, tetapi menyangkut seluruh bidang kehidupan sosial, ekonomi, keamanan, dan bahkan di bidang pendidikan masuk didalamnya sebagai bagian dari agenda reformasi1. Reformasi di bidang pendidikan ini tidak lain adalah bertujuan untuk membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap dan lebih maju dengan berupaya seoptimal mungkin dalam kerangka pengembangan SDM Indonesia yang lebih berkualitas2.
Pengembangan SDM berkualitas yang bagaimana? Yang jelas bahwa Sumber Daya Manusia berkualitas adalah kaum intelektual yang mampu menciptakan gagasan dan mampu menggerakkannya untuk mewujudkan gagasan itu kepada kerja nyata3. Dengan demikian praksisnya adalah SDM yang memiliki semangat, kemauan dan kreatifitas untuk bisa diajak melakukan produktifitas yang lebih positif guna membangun masa depan yang lebih mapan baik untuk kehidupan dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara secara kualitatif, sebagai manusia Indonesia seutuhnya, yang pada akhirnya mampu mengangkat dan mempertinggi derajat kemanusian sebuah Bangsa.
Membangun masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang berfikir modern merupakan tugas berat, tidak seperti membalikan kedua telapak tangan. Terlebih lagi dalam membangun struktur peningkatan kualitas SDM itu sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah perpaduan dan kebersamaan dalam program serta penanganannya yang lebih intensif.
Diketahui Bangsa Indonesia adalah sebuah tatanan masyarakat majemuk, masyarakat yang memiliki ragam budaya dan nilai berbeda-beda. Meskipun sudah disatukan dalam falsafah Pancasila, secara obyektif tidak dapat dihindari adanya perbedaan di masyarakat yang terkadang mengarah pada konflik horisontal. Untuk itu, masing-masing kelompok tersebut diperlukan strategi tersendiri agar mereka sadar, akan bentuk kemajemukan dengan berbagai macam karakteristik budaya, adat istiadat, agama dan sebagainya, dengan cerminan sebagai bentuk dari karakteristik budaya nasional Bangsa Indonesia itu sendiri4.
Maka garis besarnya pendidikan tidak lepas dari agenda reformasi karena pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan di tengah masyarakat global, sungguh hanya menjadi impian belaka jika perubahan dan pembaharuan pendidikan tidak sesegera mungkin untuk dilakukan reformasinya.
Lihat beberapa tahun lalu, UNDP pernah mengeluarkan sebuah data tentang pelaksanaan pendidikan yang menjelaskan bahwa dari 173 negara di dunia, sektor pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan sampai pada rengking ke 107 dari urutan rengking ke 105 pada lima tahun sebelumnya, parahnya lagi ada negara-negara yang tingkat pendapatannya berada di bawah Indonesia tapi justru menempati rengking lebih baik dari pada Indonesia5. Sementara itu juga, tertera dalam data UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 pada bagian bab VII masalah Pembangunan Pendidikan di bagian umum dinyatakan bahwa organisasi International Educational Achievement (IEA) menjelaskan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada rengking ke 38 dari 39 jumlah negara peserta studi6.
Data tersebut menunjukkan betapa naif-nya sistem pendidikan di Indonesia. Untuk itu ada benarnya ungkapan Mishad menyampaikan bahwa masalah pendidikan di Indonesia selama ini memang masih belum menemukan rumusan yang tepat dalam memodifikasi sistem pendidikan Indonesia, baik bersifat prinsip maupun wawasan idealisme kedepan7. Bila dicermati, pada hakekatnya struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah dilaksanakan ini berdasar pada pembaharuan pendidikan yang lahir dari Amerika Serikat pada tahun 50-an yang hanya menitik beratkan pada metode bagaimana siswa menguasai “basic skills” beserta mata pelajaran yang diajarkan. Sementara struktur dan mekanisme praktek pendidikan tersebut dalam implementasinya akan menghasilkan sistem pendidikan yang tidak sensitif terhadap ide-ide baru dan perkembangan sosial masyarakat8.
Sementara di sisi lain, masyarakat Indonesia tengah dihadapkan pada terbukanya gerbang abad 21, era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan mau tidak mau harus di bayar dengan SDM Indonesia yang berkualitas, tidak saja bertaraf lokal namun lebih dari itu hendaknya bertaraf internasional. Di sisi lain, masyarakat Indonesia dihadapkan pada persoalan krisis moneter yang berkepanjangan dengan berimplikasi pada rendahnya tingkat pendapatan ekonomi, meningkatnya pengangguran ---bahkan juga sampai pengangguran kelas “elit” yakni adanya pengangguran bagi lulusan sarjana--- meningkatnya kemiskinan yang disertai dengan banyaknya tingkat kriminalitas ---mulai dari pencopetan, penodongan, perampokan, penganiayaan, sampai pemerkosaan, perkelahian antar sekolah, bahkan bentrokan antar masyarakat---. Ini merupakan bukti nyata, perlunya Bangsa Indonesia untuk mempertegas kembali peningkatan SDM yang tangguh, berwawasan unggul dan trampil (kualified).
Dengan mempertimbangkan fenomena SDM Indonesia yang demikian rapuh dan sama sekali belum bermutu serta munculnya tantangan lokal serta tantangan global yang begitu bahayanya, pentinglah bahwa pembenahan pendidikan menjadi salah satu agenda reformasi, ini merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena itu, Nasrib berpendapat bahwa pendidikan di belahan dunia manapun (negara berkembang ataupun negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk mengembangkan dan membentuk SDM yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat sekitar9.
Saat ini Bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya tengah dihadapkan pada dua rekomendasi Bank Dunia (world Bank) terutama terhadap pendidikan di Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana tercantum dalam laporan 18651 – IND bertajuk Education in Indonesia: From Crisis to Recovery, edisi 9 Desember 1999. Dengan berbekal dua dokumen tersebut satu diantaranya adalah pentingnya penekanan sistem desentralisasi pendidikan10. Maksudnya, pengelolaan pendidikan nasional yang semula diatur secara sentral  oleh pemerintah pusat, sudah saatnya diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah otonom. Desentralisasi pendidikan ini yang kemudian populer dengan sebutan otonomi pendidikan.
Sekarang persoalannya adalah bagaimana implementasinya terhadap pendidikan Islam? Diskripsi berikut berusaha melakukan kajian tentang implementasi desentralisasi terhadap pendidikan Islam. Diketahui bahwa persoalan ini lahir karena ada sejumlah institusi/ lembaga pendidikan Islam berada dibawah naungan Departemen Agama. Padahal Departemen Agama dikecualikan dalam otonomi11 itu sendiri. Sementara institusi pendidikan yang berada dibawah naungan Departemen Pendidikan Nasional sudah jelas otonom dan pendidikan yang dikelola Depdiknas sendiri termasuk salah satu bidang yang diotonomikan.

II.       Implementasi Desentralisasi

Pelaksanaan otonomi daerah memberikan implikasi pada semua sektor kehidupan masyarakat secara luas, tidak hanya pada kewenangan daerah untuk mengatur pemerintahan sendiri, tetapi lebih dari pada itu juga diharapkan mampu menyentuh aspek-aspek riil kehidupan masyarakat27, termasuk pendidikan.
Berdasarkan pada fenomena yang sudah ditulis pada bagian atas sebelumnya, setidaknya pemberlakuan sistem otonomi daerah ini tentu memiliki makna strategis dan signifikan bagi dunia pendidikan secara umum. Sebagaimana realitas dunia pendidikan dimasa pemerintahan Orde Baru telah berkembang menjadi perpanjangan dari sistem birokrasi28, kondisi ini mempengaruhi kinerja akademik lembaga pendidikan, dimana kegiatan-kegiatan pendidikan dan pembelajaran sangat di dominasi akan intervensi birokrasi pemerintah. Disamping itu, ciri khas dari lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya tidak terakomodasi sedemikian rupa sebagaimana layaknya lembaga pendidikan  yang  memiliki   tanggung    jawab  kepada  orang  tua  wali, masyarakat untuk mendidik anak-anak mereka29, karena kepentingan pragmatis guna mengejar target yang dirancang oleh pemerintah pusat30. Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat lokal karena mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pendidikan secara aktif.
A.    Sistem Desentralisasi dalam Pelaksanaan Pendidikan
Seiring dengan bergulirnya semangat reformasi, pemerintahan pasca tumbangnya Orde Baru mencoba melakukan perubahan secara mendasar di segala bidang. Sebagaimana telah dituangkan dalam paket Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, didalamnya telah dijelaskan berkeinginannya bersatu padu dengan segenap masyarakat untuk menyelenggarakan pembangunan secara holistik31.
Berangkat dari landasan tersebut, kiranya yang ingin diraih oleh bangsa Indonesia ialah sebuah kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain di dunia. Dalam mewujudkan keinginan itu, tidak serta merta ada dengan sendirinya. Hal itu harus melewati sebuah proses sebagai media agar bisa mewujudkan sebuah cita-cita yang diharapkan.
Kiranya tepat jika pendidikan dijadikan sebagai media guna mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Sebab, Nasrib berpendapat bahwa pendidikan di belahan dunia manapun juga (negara berkembang maupun negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk mengembangkan dan membentuk SDM yang berkualitas32, demikian juga Seowito menjelaskan bahwa proses pendidikan juga dapat difahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang33, oleh karenanya melalui pendidikan masyarakat dapat belajar untuk mengerti dan mampu mengubah alam serta lingkungan sosialnya secara konstruktif34. Maka pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu hal yang pertama dan utama guna mempersiapkan SDM yang berkualitas tinggi.
Meskipun sistem pendidikan Indonesia masih jauh ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain akan tetapi, minimal ada sebuah usaha guna mengejar ketinggalan tersebut. Hal ini sudah terbukti dengan adanya ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004 guna untuk lebih memperbaiki mutu pendidikan Indonesia, sesuai dengan semangat dan agenda reformasi35.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, sistem pendidikan yang dulunya sentralistik dengan landasan Undang-undang No. 2 tahun 1989, dipandang tidak relefan lagi dalam era otonomi daerah, karena Sikdiknas tersebut lebih menitik beratkan pada penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah, sementara masyarakat kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas dan kemandiriannya36.
Selanjutnya bagaimana wujud sistem desentralisasi dalam pendidikan tersebut? Sebagaimana secara juridis telah ditegaskan dalam GBHN pada BAB IV (Arah Kebijakan) di bagian pendidikan point ke 5 juga pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di bagian penjelasan diuraian umum yang menegaskan tentang misi pendidikan nasional menggunakan prinsip otonomi dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia37.
Dengan demikian desentralisasi pendidikan merupakan kewenangan lembaga pendidikan dengan dukungan peran masyarakat dan pemerintah daerah guna menenentukan yang terbaik dalam proses pendidikannya. Dalam arti setiap lembaga  pendidikan di beri hak kebebasan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri, yang tetap berdasar pada aspirasi masyarakat sebagaimana peraturan atau perundangan yang telah ditatapkan38. Kewenangan tersebut adalah segala macam usaha untuk mengembangkan mutu pendidikan sebaik mungkin39.
B.     Memahami Kebijakan Pendidikan Dalam Desentralisasi
Secara mendasar dengan mengacu pada kebijakan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hakekat otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan atau perundang-undangannya40. Jadi ada pengakuan wewenang pemerintahan yang luas kepada daerah otonom, sebagaimana menjadi  prinsip sistem desentralisasi ini41.
Dalam konteks pendidikan, otonomi daerah identik dengan istilah desentralisasi pendidikan yang memiliki makna sama sebagaimana dimaksudkan pada otonomi daerah sebagaimana tertulis di atas42. Untuk itu diharapkan dari kebijakan pendidikan dalam sistem desentralisasi ini, memiliki tujuan untuk lebih pertama mengoptimalkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah tentang kebutuhannya terhadap penyelenggaraan pendidikan, kedua mampu menciptakan output pendidikan yang tanggap terhadap realitasnya, terutama dalam menghadapi tantangan global, ketiga  terciptanya pendidikan yang demokratis serta bertanggung jawab, keempat mampu memperkuat mental jasmani dan rokhani lebih intensif43.
Dengan memahami konteks otonomi daerah sebagai bagian dari prinsip desentralisasi yang akhirnya bekelanjutan pada pelaksanaan sistem desentralisasi pendidikan, maka berbagai perangkat peraturan sebagai juridis formal tentunya harus dijalankan secara menyeluruh. Demikian juga implementasi pendidikan Islam dalam sistem desentralisasi yang juga bagian dari Sistem Pendidikan Nasional tentu hendaknya diotonomikan. Konsekwensi ini, sebagaimana telah dijelaskan pada “Telaah Pustaka” di atas bagian akhir (hal. 8-9), jelas bahwa tidak perlu dikhawatirkan lagi antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum, antara pendidikan agama dengan pendidikan sekuler, yang terpenting adalah terwujudnya tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN secara lebih optimal. jelaslah bahwa secara konseptual konteks desentralisasi pendidikan Islam ini, sesungguhnya lebih memberikan ruang terhadap pemikiran-pemikiran (nilai-nilai universal yang Islami) Islam agar mampu mewarnai kehidupan Bangsa Indonesia yang sangat hidrogen ini.
Pelaksanaan pendidikan Islam yang selama ini “menginduk” kepada Departeman Agama  ---pada kenyataannya agama sebagai salah satu unsur yang tidak diotonomikan---  dia tetap dipertahankan, dan apabila hal ini tidak sesegera diotonomikan berarti mengindikasikan bahwa semangat desentralisasi di bidang pendidikan masih dijalankan setengah-setengah. Sebab relitas menunjukkan  pendidikan yang di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional sudah bisa aktual dan mampu menentukan kebutuhan secara mandiri, sementara di satu sisi pendidikan Islam belum bisa mandiri secara strukturalisnya untuk lebih berperan aktif ditengah-tengah masyarakat agar eksistensi pendidikan Islam secara lebih riil mampu secara optimal merespon perkembangan, kebutuhan dan tantangan zaman yang semakin komplek sebagaimana telah dirasakan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa. Dan apabila demikian, pendidikan Islam akan tampil eksis dalam proses pemberdayaan guna mengembangkan SDM berkualitas dengan berbekal konsep idealitasnya tentang pendidikan Islam yang berusaha memadukan antara unsur fitrah manusia.

III.      Pendidikan Islam dalam Sistem Desentralisasi

Diskursus tentang implementasi pendidikan Islam dalam sistem Desentralisasi sampai saat ini masih menjadi tanda tanya di banyak kalangan, bahkan di lingkungan Departemen Agama sendiri belum mendapatkan kepastian, sebagaimana halnya lembaga pendidikan di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional12. Dengan semangat reformasi yang digulirkan, terutama oleh kelompok mahasiswa pada awal tahun 199813, maka disahkannya dua paket UU dan satu paket PP, yakni Undang-undang  Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah RI Nomor  129 tahun 2000 tentang Pembentukan dan Kriteria serta Pemekaran dan Penghapusan Daerah. Pada garis besarnya ketiga dokumen tersebut menetapkan soal otonomi daerah.
Di masa pemerintahan Orde Baru bidang pendidikan pun tak lepas jadi legitimasi kekuasaannya, dengan segala macam bentuk kebijakan pendidikan harus sesuai dengan instruksi pemerintah pusat, partisipasi daerah dan masyarakat dipasung sedemikian rupa, sehingga hasil dari pendidikan pun tidak pernah menyentuh terhadap kebutuhan riil masyarakat dan menjadikan output pendidikan sebagai generasi yang terasing dilingkungannya14. Seperti diketahui bahwa pendidikan adalah persoalan kehidupan manusia, untuk itu pendidikan hendaknya berorientasi pada realitas kehidupan manusia itu sendiri15. Berdasar pada pandangan yang demikian, tentu manusia sendiri yang mengerti tentang kebutuhan akan pendidikan, dengan di dukung oleh perhatian keluarga dan lingkungan masyarakat serta lembaga pendidikan itu sendiri sebagai jasa pelaksana pendidikan 16.
Untuk itu tanggung jawab pendidikan tidak semuanya dibebankan kepada lembaga sekolah saja atau bahkan kepada pemerintah pusat dalam menentukan segala kebijakan ataupun materi pelajaran. Setidaknya pendidikan harus sesuai atau merespon kebutuhan masyarakat sekitar. Hal tersebut ini juga yang mendasari munculnya pandangan tentang pendidikan berbasis masyarakat17, diharapkan dari peran serta ini, hasil pendidikan mampu dirasakan langsung oleh masyarakat. 
Tentunya sangat naif sekali, jika bangsa Indonesia dengan corak kebutuhan yang hidrogen ini, terkait dengan pelaksanaan sistem pendidikan hanya dipikirkan oleh pemerintah pusat saja, sementara daerah hanya tinggal melaksanakan, tentunya hal tersebut tidak mungkin maksimal karena faktor keterbatasan, dan jangan sampai pendidikan yang salah satunya memiliki fungsi sebagai konsevator warisan budaya masa lalu ini18 akan hilang dan menjadikan hasil pendidikan tidak mengenal lagi budaya bangsanya sendiri, generasi yang asing dengan lingkungannya, generasi yang “semu”, apabila terjadi tentu hal ini sangat ironis.
Dengan demikian sesuai semangat reformasi terutama di bidang pendidikan, pendidikan tidak lagi menjadi dominasi kebijakan pemerintah pusat, pelibatan pemerintah daerah dan peran serta masyarakat ---termasuk juga keluarga--- sangat menentukan guna perkembangan pelaksanaan sistem pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Seiring dengan realitas yang demikian di kenal otonomi pendidikan, dengan maksud pengelolaan pendidikan nasional yang semula diatur secara sentral oleh pemerintah pusat, sudah saatnya diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah otonom. Desentralisasi pendidikan ini yang kemudian populer dengan sebutan otonomi pendidikan. Realisasi inipun telah tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru ditetapkan (No. 20 tahun 2003), yang lebih dikenal dengan pendidikan berbasis masyarakat.
Upaya pemerintah guna mendesentralisasikan pendidikan pada sistem aturan, menjadi harapan bagi setiap warga negara, alasannya tidak lain agar terciptanya pemerataan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang maksimal19.
Pendidikan Islam yang juga menjadi bagian dari pelaksanaan Sistem pendidikan Nasional, sebagaimana juga ditegaskan pada undang-undang Nomor 20 tahun 200320 hendaknya juga menjadi realisasi yang sama halnya dengan pendidikan umum lainnya, karena undang-undang tersebut telah menjadi satu paket, jadi pelaksanaan hendaknya tidak setengah-setengah21. Karena alasan legitimasi dalil dari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 persoalan pendidikan Islam yang selama ini di bawah naugan Departeman Agama akhirnya “terganjal”, untuk tidak bisa otonomi sebab agama menjadi pengecualian di bidang desentralisasi22.
Sebenarnya untuk mengatasi segala polemik yang terjadi tentang pelaksanan pendidikan Islam dalam sistem desentralisasi ini, sebenarnya sudah mulai di persiapkan semenjak pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hal itu terlihat ketika beliau mengganti nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan  (Depdikbud) menjadi nama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Fenomena perubahan nama Departemen tersebut memiliki maksud tersendiri ketika dalam berbagai kesempatan Gur Dur telah menyampaikan gagasannya untuk menempatkan apa yang disebut sebagai sekolah agama menjadi satu atap dalam Sistem Pendidikan Nasional23.
Bila dikaji secara mendalam tentang gasasan tersebut, seolah Gus Dur berusaha menghilangkan pikiran yang selama ini “bersemayam” di benak masyarakat tentang adanya pendidikan umum dan pendidikan agama (Islam), yang pada ujung-ujungnya adanya pemetaan antara ilmu umum dan ilmu agama (Islam), padahal pola berfikir yang dikotomis semacam itu pada  akhirnya  akan membelenggu umat Islam dan menjadikan umat Islam menjadi terbelakang24.
Jadi dengan semangat implementasi desentralisasi pendidikan Islam ini, merupakan perwujudan dasar yang ingin dicapai dalam mewujudkan suatu perubahan terhadap sistem pendidikan Islam, agar nilai-nilai Islamiyah yang universal secara aktual mampu terimplementasikan ditengah masyarakat guna menciptakan SDM yang berkualitas sebagaimana yang menjadi tujuan Sistem Pendidikan Nasional25. Dengan demikian jelas bahwa secara konseptual, konteks implementasi desentralisasi terhadap pendidikan Islam ini, ingin mengaktualisasikan nilai-nilai universalitas Islam dengan lebih memberikan ruang terhadap pemikiran-pemikiran Islam agar nilai-nilai tersebut mampu mewarnai kehidupan Bangsa Indonesia yang sangat hidrogen ini26.

IV.    Kesimpulan

Berdasar pada diskursus pengkajian sistem desentralisasi terhadap pendidikan Islam dapat diambil pemahaman dan temuan adalah; pertama dari hasil diskursus ini pendidikan Islam sebagai bagian dari SPN yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 dengan demikian, pelaksanaan pendidikan nasional hendaknya dilakukan secara menyeluruh; kedua semangat desentralisasi pendidikan ini juga mengindikasikan untuk “membongkar” struktur pemahaman masyarakat tentang dikotomik pendidikan yang menciptakan kejumudan dan ke“kerdil”an realitas Bangsa Indonesia; ketiga apabila pendidikan Islam mampu didesentralisasikan, maka akan lebih menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga dalam proses pemberdayaannya, yang secara konseptualnya sesuai dengan tujuan SPN; keempat dalam konteks desentralisasi pendidikan juga membawa misi untuk mengaktualkan nilai-nilai universalitas Islam dalam pola kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat yang plural ini.


DAFTAR PUSTAKA


Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekontruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Buku Kompas, 2002.

Abd. Halim Soebahar, Rekontruksi Pendidikan Islam; Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, Jember: Jurnal Al ‘Adalah STAIN Vol. 3 No. 3 Desember, 2000.

Abdul Ghofir, Implementasi Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasah; Analisis Banding Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat, Depag Jatim: Mimbar, No. 179 Agustus, 2001.

Abd. Halim Sobahar, Reorientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi, Jember: Makalah diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah, 2000.

Abd. Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Situbondo: Makalah Disampaikan Dalam Pendalaman Peningkatan Kinerja Tugas Komisi E DPRD Kabupaten Situbondo, 2001.

Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Abdurrahman Mas’ud, Pendidikan Islam Dalam Era Reformasi dan Globalisasi, Pekalongan: Jurnal Religia, Edisi kedua, 1999.

Abdurrahman Mas’ud, Formulasi Kurikulum Pendidikan Islam, Semarang: Makalah sebagai Materi Diskusi dalam Forum Mukernas FKMTI di IAIN Walisongo, Desember, 1999.

Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.

Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentris Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung: Al Qopriat Jatinagor, 2000.

Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999.

Djohar, et, al, Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. 

Darmaningtyas, Membongkar Ideologi Pendidikan; Jelajah Undang-undang Sistem Pemdidikan Nasional, Yogyakarta: Resolusi Press, 2004.

Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta: Deppennas, 2001.

Fasli Jalal dan Dedi Supriyadi, Reformasi Pendidikan; Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001.

H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformas Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1999.

H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu tinjauan dari perspektif studi kultural, Magelang: Indonesia Tera, 2003. 

Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1996.

Ika, Islam Tawarkan Solusi Pendidikan, Depag Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001.

Kamrani Buseri, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah; Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2003.

Marzuki Wahid et, al, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Mutrofin, Perspektif Otonomi Pendidikan, Jember: Makalah Bahan diskusi dalam seminar sehari dan rapat kerja HMJ Tarbiyah November, 1999.

M. Noor Syam, et, al, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1988.

Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, Depag Jatim: Mimbar, No. 195 Desember, 2002.

Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, Depag Jatim: Mimbar No. 175 April, 2001.

Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999.

Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah; Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, Jakarta: Makalah Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan  Guru  Besar  Sejarah  Pemikiran  dan  Pendidikan  Islam  di  IAIN  Syarif  Hidayatullah, 2002.

Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Tim Suara Pembaruan, Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.

TAP MPR No. IV/ MPR/ 1999 Tentang GBHN tahun 1999-2004.

Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang RI No. 25 tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004, ------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001.

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-undang nomor  28 tahun  1998 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wuri Soedjatmiko, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogya: Kanisius, 2000.

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Publishing, 2000.




1 Baca Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Buku Kompas, 2002), xiii; Baca Wuri Soedjatmiko, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, (Yogya: Kanisius, 2000), 49.
2 Baca Fasli Jalal dan Dedi Supriyadi, Reformasi Pendidikan; Dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), v. Bandingkan juga H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 77, menerangkan sebab hanya masyarakatlah yang mengerti tentang potensi alam serta lingkungannya sendiri, untuk itu ditegaskan bahwa reformasi pendidikan dalam hal ini  ialah bagaimana pendidikan dipersiapkan mampu memberdayakan masyarakat, agar diharapkan bisa ikut serta dalam mengurus kehidupannya sendiri secara lebih optimal.
3 Baca Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 12. bandingkan Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentris Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, (Bandung: Al Qopriat Jatinagor, 2000), 50, menjelaskan dengan mengutip pendapat Emha Ainun Najib, bahwa Istilah Sumber Daya Manusia lahir dari wilayah untuk keperluan industri. Industrialisasi, yang kemudian menjadi ideologi industrialisme, lahir dari suatu visi dan versi pandangan yang dominan mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Maka tekanan makna Sumber Daya Manusia itu adalah memiliki daya manajerial dan profesionalisme (software-nya) serta keterampilan kerja (hardware-nya). Kedua hal tadi ditambah dengan faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme industri, didalamnya terdapat etos kerja, disiplin, semangat untuk maju, yang pada akhirnya konsep  Sumber Daya Manusia mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk bersikap produktif.
4 Baca Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999), 96.
5 Baca Ika, Islam Tawarkan Solusi Pendidikan, (Depag Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001), 38.
6 Undang-undang RI No. 25 tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004, (------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001).
7 Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, (Depag Jatim: Mimbar, No. 195 Desember, 2002), 40.
8 Baca Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Publishing, 2000), 24.
9 Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, (Deapag Jatim: Mimbar No. 175 April, 2001), 32. Bandingkan H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformas Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999),3 mengungkapkan bahwa pembangunan di negara-negara berkembang dewasa ini termasuk Indonesia sedang memasuki masa yang cukup sulit akibat krisis ekonomi yang parah, tentunya sebagai bangsa yang baik hendaknya bisa belajar dari pengalaman masa lalu serta menambah kenyakinan bahwa yang menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan ialah perwujudan SDM yang berkualitas tinggi dan ini merupakan konsekwensi logis yang harus dihadapi oleh masyarakat dan Bangsa Indonesia sebagai akibat dari proses globalisasi yang sedang bergulir.
10 Mutrofin, Perspektif Otonomi Pendidikan, (Jember: Makalah Bahan diskusi dalam seminar sehari dan rapat kerja HMJ Tarbiyah, 29 November 1999), 1, Bandingkan juga Abdul Halim Soebahar, Rekontruksi Pendidikan Islam; Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, (Jember: Jurnal Al ‘Adalah STAIN Vol. 3 No. 3 Desember, 2000), 60, menyatakan setelah melalui pasang surut sejarah pendidikan di Indonesia, kini dituntut entry point reformasi berbekal dua dokumen penting. Dokumen pertama dengan bentuk rekomendasi Bank Dunia terhadap Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana tercantum dalam laporan 18651- IND Bank Dunia bertajuk rekomendasi, dalam dokumen tersebut ialah tekanan kepada pentingnya desentralisasi pendidikan. Dokumen kedua ialah disahkannya Undang-Undang RI No. 22 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang  Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
11 UU No.22 Tahun 1999, pasal 7 ayat 1 menegaskan “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain”. Pasal 7 ayat 2 menyatakan “kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem adsminitrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta tehnologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional”.
27 Makna otonomi daerah yang didambakan sejak dulu (1945) dan untuk waktu mendatang (era globalisasi, demokratisasi dan perdagangan bebas tahun 2020) tidak saja berarti daerah tersebut mampu mandiri dalam membiayai pembangunan didaerahnya sendiri (termasuk juga pengoptimalan SDA) tetapi lebih jauh dari pada itu, daerah juga mampu mengoptimalkan secara maksimal SDM yang dimiliki, yang tentunya sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut, sehingga dari sini diharapkan tercipta kemandirian yang benar-benar otonom dari daerah tersebut. Baca Tim Suara Pembaruan, Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), 245 – 246.
28 Hal tersebut bisa rasakan terhadap beberapa pokok dari materi wajib dalam proses pengajaran tentang pelajaran pancasila yang memberikan doktrin “bahwa sebagai warga negara yang baik dan taat wajib mengamalkan pancasila”, namun bagi warga negara yang tidak mengamalkan pancasila sebagaimana pemahaman pemerintah berarti mereka adalah kelompok makar, merong-rong negara RI, melakukan kudeta, menghina presiden, dan klaim-klaim lain. Sehingga keberadaan tenaga-tenaga pengajar dalam memberikan materi pengajaran harus sesuai dengan GBPP yang tentunya sudah diputuskan oleh pemerintah pusat. Akibatnya para tenaga-tenaga pengajar ini tak ubahnya bagaikan manusia-manusia robot yang dikendalikan oleh penguasa (unifromitas). Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformas Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, Ibid, 12.
29 Baca Tujuan Pendidikan Nasional baik UU No. 28/ 1998 maupun UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini juga bisa dirasakan hasil dari proses pendidikan di Indonesia malah tidak menghasilkan manusia yang memiliki kepribadian yang dewasa, tetapi malah sebaliknya menjadikan pribadi-pribadi yang bermental preman, mental malas, mental “pengecut”, tidak memiliki kreatifitas, tidak tanggap terhadap rangsangan sosial yang ada di sekitarnya, dia diajarkan “PMP/PPKn” dengan ke-bineka tunggal ika-nya namun tidak mengerti tentang semangat keberagaman dalam negara kesatuan, tidak mengerti warisan budaya bangsa yang penuh dengan nilai luhur sebagai bangsa yang besar dalam sejarahnya.
30 kenyataannya nasib sistem pendidikan Indonesia telah terjadi kerancuan yang disebabkan oleh adanya pembelengguan (1) sentralisasi, (2) unifromitas, (3) memburu standart NEM. Akbitnya kurikulum diturunkan dari pusat, guru menjadi alat penguasa dalam tugasnya harus sesuai dengan JUKLAK dan JUKNIS. Siswa diperlakukan untuk kepentingan kurikulum, bukan kurikulum untuk kepentingan siswa. Akhirnya anak kehilangan hak-haknya. Nasib siswa dikorbankan demi rengking dan NEM. Sekolah akhirnya bergeser makna, tidak lagi menjadi tempat belajar, tetapi sebagai “panggung pentas” memperoleh juara. Akhirnya siswa mengenyam bangku pendidikan hanya memperoleh hafalan, bila hafalannya sudah hilang, maka mereka tidak tahu apa-apa. Baca Djohar, et, al, Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 305 – 310. 
31 “…. Penyelenggaraan negara dilakukan melalui pembangunan dalam segala aspek kehidupan bangsa, oleh penyelenggara negara, yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pembangunan nasional dilakukan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahab dan berlanjut untuk mengacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju”. Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, di BAB I point c.
32 Nasrib Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, Ibid, 32; Bandingkan Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), vii, dalam teks pidato Presiden Soeharto ketika membuka Konfrensi Dewan Mentri-mentri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang ke 17 menegaskan bahwa proses pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap bangsa-bangsa di dunia, bagi negara yang sedang membangun atau bahkan terlebih bagi negara miskin (terbelakang).; Bandingkan juga Marzuki Wahid et, al, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantre, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 171, menjelaskan bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia, karena proses pendidikan itu merupakan bentuk upaya ikhtiar dalam mempersiapkan generasi muda untuk mengarungi bahtera kehidupan yang akan datang, dimana sangat dibutuhkan oleh pembangunan.
33 Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, (Jakarta: Makalah Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan  Guru  Besar  Sejarah  Pemikiran  dan  Pendidikan  Islam  di  IAIN  Syarif  Hidayatullah, 2002), 1.
34 Baca Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 15.
35 Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diverifikasi kurikulum untuk untuk melanyani keberagaman peserta didik, menyusun kurikulum yang berlaku nasional dan lokal guna kepentingan setempat serta diverifikasi jenis pendidikan secara profesional. TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN tahun 1999-2004, pada BAB IV (Arah Kebijakan) di bagian pendidikan point ke 3, demikian juga pada point ke 5 dinyatakan: Melakukan pembaharuan pendidikan dan penetapan Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
36 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, (Situbondo: Makalah Disampaikan Dalam Pendalaman Peningkatan Kinerja Tugas Komisi E DPRD Kabupaten Situbondo, 2001), 4.
37 Baca TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN tahun 1999-2004, pada BAB IV (Arah Kebijakan) di bagian pendidikan pada point ke 5, dan Salah satu misi pendidikan Nasional di point ke 5  yang disebutkan pada bagian penjelas UU No. 20 tahun 2003 ini menegaskan “Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
38 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Ibid, 4.
39 Baca Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, (Jakarta: Deppennas, 2001),  9.
40 Baca Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah; Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 29.
41 Baca UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada BAB IV (Kewenangan Daerah); bandingkan juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa  desentralisasi diartikan juga sebagai sebuah tata pemerintahan yang lebih banyak memberikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah otonom. Lihat Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), 227.
42 Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagaian atau seluruhnya wewenang di bidang pendidikan agar menjadi lebih baik mutu dan kualitas. Pendidikan  yang awal mulanya dilakukan oleh pemerintah pusat di intruksikan kepada pemerintah daerah, ini dirasakan justru merugikan banyak fihak. Pendidikan yang seharusnya memiliki sifat ekslatisitas (sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat dan manusia itu sendiri) akhirnya sifat kebijakan pendidikan menjadi kaku dan hasil dari pendidikannya pun menjadi generasi yang tidak bisa diharapkan sebagai generasi yang bisa dihandalkan baik skala lokal, nasional  terlebih dalam skala internasional. Baca Abdul Ghofir, Implementasi Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Pendidikan Madrasah; Analisis Banding Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat,  Ibid, 29.
43 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Ibid, 4-6. Demikian juga bandingkan dengan  UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SPN BAB III pasal 4 menyebutkan: (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultural dan kemajemukan bangsa; (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayaakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Dari kesekian prinsip penyelenggaraan pendidikan tentunya akan mudah tercapai bila mana sistem pendidikan dilakukan dengan prinsip desentralisasi sebagaimana yang dicita-citakan dalam semangat reformasi.
12 Baca Kamrani Buseri, Antologi Pendidikan Islam dan Dakwah; Pemikiran Teoritis Praktis Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2003), 3; Baca Abdul Ghofir, Implementasi Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasa; Analisis Banding Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat, (Depag Jatim: Mimbar, No. 179 Agustus, 2001), 30.
13 Diketahui bersama sejak saat itu (gerakan reformasi) di masyarakat yang dimotori oleh kelompok mahasiswa  telah mulai menyuarakan reformasi total atas dominasi pemerintahan Orde Baru yang telah merusak cita-cita masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam arti yang sebenarnya. Telah dirasakan bahwa kemerdekaan yang diberikan pemerintah Orde Baru pada waktu itu adalah “kemerdekaan semu”, kebebasan pres harus memiliki izin dari pemerintah kalau tidak ingin di “bredel”, kebebasan berpendapat maupun berekspresi dibatasi bila tidak sesuai dengan aturan pemerintah, dan hal itu dianggap “makar”, merong-rong kekuasan dan lain sebagainya. Semua itu dengan dalih demi menjaga keutuhan dan stabilitas RI yang kondusif, agar tercipta suasana aman, tentram dan  damai.
14 Bandingkan dengan H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), 274 – 276, dijelaskan bahwa Praktek pendidikan pada masa pemerintahan Orde Baru dikenal sentralistik, apapun kebijakan harus berdasar pada pemerintah pusat sebagai penentunya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana bentuk manajemen dalam pemerintahan yang otokratis. Bagaimanapun birokrasi yang kekat tidak mungkin melahirkan suatu bentuk manajeman yang tidak memiliki alternatif dan inovasi, sehingga menghasilkan output yang semu. Dengan demikian hasil pendidikan Indonesia melahirkan generasi yang semu terhadap perubahan dan tantangan global, bila hal ini dipertahankan dia bagaikan katak dalam tempurung, dia ada tetapi tidak pernah bisa berbuat apa-apa, ini sebuah generasi semu. 
15 Baca Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), ix.
16 Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara tentang tri pusat pendidikan. Dari ketiga unsur lembaga ini (lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah) merupakan pusat pendidikan yang secara bertahap dan terpadu mengemban tanggung jawab pendidikan bagi generasi muda selanjutnya. Karena ketiga unsur tersebut sangat menentukan bagi perkembangan peserta didik. Baca M. Noor Syam, et, al, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 13.
17 Baca UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada BAB XV pasal 54 sampai pasal 56, di dalamnya peran serta masyarakat dalam proses pendidikan sangat diharapkan guna tercapainya tujuan pendidikan Indonesia yang maksimal.
18 Baca Abd. Halim Sobahar, Reorientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jember: Makalah diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah, 2000),15.
19 Darmaningtyas, Membongkar Ideologi Pendidikan; Jelajah Undang-undang Sistem Pemdidikan Nasional, (Yogyakarta: Resolusi Press, 2004), 19.
20 Baca Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab VI masalah Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan.
21 Pendidikan umum lainnya  didesentralisasikan sementara disatu sisi pendidikan Islam tidak didesentralisasikan.
22 Baca Undang-undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada BAB IV masalah Kewenangan Daerah  pasal 7 ayat 1 dan 2.
23 Baca Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekontruksi dan Demokratisasi, Ibid, 3 – 4.
24 Menarik untuk disimak pada puncak kemajuan peradaban umat Islam, tidak ditemukan dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, dan persoalan pemikiran yang dikotomi ini mengakibatkan kejumudan, kemandekan, dan kemunduran umat Islam sendiri. Apalagi pola berfikir ini di pengaruhi oleh anggapan bahwa sains dan tehnologi  yang merupakan lambang kemajuan budaya dan peradaban bangsa dewasa ini, tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notabene merupakan negara non Muslim. Akibat pemahaman semacam ini, penjajahan atas Barat di berbagai hal, seperti sains dan tehnologi modern, informasi, ekonomi makin menyisihkan umat Islam berada dalam keadaan inferior complex. Begitu juga keadaan umat Islam di Indonesia yang diakibatkan oleh pemikiran yang dikotomis seperti halnya istilah antara santri dengan non santri demikian menguat. Di tahun 80-an kesan ini semakin menguat dimana santri adalah mereka yang mendalami ilmu agama, sedang non santri adalah mereka yang mendalami ilmu-ilmu “sekuler”. Secara teoritis ajararan dasar Islam tidak memberikan tempat pada pola fikir dikotomis baik dalam pendidikan maupun dalam ilmu keislaman. Baca Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 3 – 7; Baca Abdurrahman Mas’ud, Pendidikan Islam Dalam Era Reformasi dan Globalisasi, (Pekalongan: Jurnal Religia, Edisi kedua, 1999), 4.
25 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada BAB II pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradadaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa , bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
26 Baca Abdurrahman Mas’ud, Formulasi Kurikulum Pendidikan Islam, (Semarang: Makalah sebagai Materi Diskusi dalam Forum Mukernas FKMTI di IAIN Walisongo, Desember, 1999), 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar