Kamis, 12 Desember 2013

Idealitas Pendidikan Islam

"+"

MENGGAGAS IDEALITAS

Pendidikan Islam Masa Depan






Pengantar
Apa yang terjadi di masa lalu dan saat ini merupakan pelajaran berharga untuk dijadikan bahan refleksi di dalam merumuskan pendidikan Islam yang ideal di masa mendatang. Dengan melihat laju perubahan zaman yang berjalan begitu cepat, kita tentunya sadar bahwa persoalan yang dihadapi oleh pendidikan Islam di masa mendatang sangat kompleks, baik persoalan internal maupun eksternal. 
Rumusan pendidikan Islam yang ideal di masa mendatang tentu harus merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama kegiatan pendidikan Islam. Namun demikian, kedua sumber tersebut tetap harus didialogkan dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini. Tampa itu, gagasan pendidikan Islam yang dirumuskan bisa jadi tidak relevan dan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan krusial yang dihadapi umat Islam.
Dalam hal ini penulis menawarkan beberapa rumusan pendidikan Islam yang diharapkan bisa dijadikan alternatif di dalam menyelenggarakan pendidikan Islam, antara lain:
Pendidikan Islam sebagai strategi pemberdayaan umat
Kata pemberdayaan dalam sub judul ini mengandaikan bahwa umat Islam (walaupun tidak seluruhnya) tidak berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat, khususnya umat Islam, setidak-tidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu kemiskinan dan kebodohan. 
Pada tanggal 10 Juni 2006, harian Kompas menurunkan berita bahwa sebanyak 60.000-an orang diberitakan terancam kelaparan di Kabupaten Sikka, NTT. Kemudian tanggal 14 Juli 2006 Kompas, Suara Pembaruan, dan Solo Pos memberitakan bahwa sedikitnya lima daerah di Jawa Tengah rawan pangan. Bahkan, akibat paceklik di musim kemarau, warga Kelurahan Bolan, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak terpaksa makan nasi aking (nasi dari singkong yang telah dikeringkan terlebih dahulu). Ini hanya potret kecil dari segudang derita akibat kemiskinan yang dialami masyarakat Indonesia.
Begitu juga dengan kebodohan yang menimpa masyarakat Indonesia. Ini bisa dilihat dari tingginya buta aksara yang terjadi di sejumlah daerah. Di Jawa Timur, misalnya, angka buta aksara mencapai 21,8 %, kemudian disusul Jawa Tengah dengan 14 % dan Jawa Barat 10 %. Tingginya angka buta aksara ini tentunya sangat ironis mengingat bangsa ini sudah merdeka sejak 61 tahun yang lalu. 

Pendidikan Islam sebagai proses pembangunan sumber daya masyarakat

Pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) seutuhnya merupakan faktor pokok sekaligus penentu bagi keberlangsungan kehidupan suatu bangsa. Demikian halnya bagi bangsa Indonesia. Proses untuk mempersiapkan SDM bangsa Indonesia telah dimulai sebelum bangsa ini memproklamirkaan kemerdekaannya. Hanya saja optimalisasi upaya ini secara terarah baru terlihat pada masa pemerintahan Orde Baru.[1] Namun demikian, pembangunan SDM seutuhnya di era Orba pada perkembangannya mengalami polarisasi, sebab pendidikan dijadikan sebagai alat kontrol dan indoktrinasi idiologi penguasa.
Untuk membangun dan melahirkan profil SDM yang berkualitas, baik material maupun spiritual, diperlukan sebuah sistem pendidikan yang senantiasa berpijak pada paradigma antroposentrisme-transendental. Hal ini setidaknya didasarkan pada tiga argumentasi, yaitu: pertama, peserta didik merupakan makhluk Allah swt yang mulitidimensi dan dibekali dengan multi-potensi yang dinamis dan potensial. Kedua, peserta didik merupakan manusia yang dinamis dan berkembang secara merdeka sesuai dengan potensinya yang diatur lewat sunatullah, bukan sebagai benda mati yang bisa dibongkar pasang sesuai dengan keinginan pembuat program. Ketiga, pendidikan dilakukan tidak lain adalah untuk membekali peserta didik agar mampu melaksanakan amanat dan tanggungjawabnya sebagai khalifah Allah swt.
Pokok pikiran di atas memberikan gambaran bahwa baik secara teoritis dan praktis pendidikan Islam yang ditawarkan harus mampu mengakomodir semua dimensi dan potensi tersebut dalam sebuah sistem pendidikan yang integral dan utuh. Dengan berpijak pada acuan ini, pendidikan Islam akan mampu memainkan perannya dalam menciptakan manusia berkualitas, baik secara material maupun spiritual. Jika tidak, berbagai upaya tersebut akan mengalami stagnasi dan kegagalan dalam upaya memadukan potensi-potensi tersebut.
 
Pendidikan Islam sebagai proses mengatasi krisis akhlak
Krisis akhlak yang semula hanya menerpa sebagian kecil elit politik, kini telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar. Krisis akhlak pada kaum elit politik terlihat dengan adanya penyelewengan, korupsi, penindasan, saling menjegal, adu domba, fitnah, menjilat dan sebagainya. Bahkan beberapa waktu yang lalu headline harian Rakyat Merdeka mengangkat tulisan Pimpinan Berwibawa Sudah Lenyap Semua. Pernyataan ini memberi petunjuk bahwa akhlak sebagian besar elit politik yang pernah dan sedang berkuasa saat ini benar-benar telah merosot dan berdampak pada hilangnya wibawa mereka.
Sementara itu krisis akhlak pada masyarakat umum terlihat pada sebagian sikap mereka yang mudah merampas hak orang lain (menjarah), main hakim sendiri, melanggar peraturan tanpa rasa bersalah dan sebagainya. Sedangkan krisis akhlak yang menimpa kalangan pelajar terlihat dari banyaknya keluhan orang tua, ahli didik dan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial berkenaan dengan ulah sebagian pelajar yang sukar diatur, nakal, sering membuat keonaran, tawuran, mabuk-mabukan, pesta narkoba, bahkan melakukan pembajakan, pemerkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya.
Krisis akhlak menjadi pangkal penyebab timbulnya krisis dalam berbagai kehidupan bangsa saat ini belum ada tanda-tanda untuk berakhir. Kebobrokan moral semacam inilah yang dihadapi Rasulullah saw pada awal perjuangannya. Itulah sebabnya fokus perhatian dakwah beliau diarahkan pada upaya penyempurnaan akhlak. Dalam salah satu haditsnya yang sangat terkenal Nabi bersabda Innama bu’itstu li utammima makarima al-akhlak (aku diutus (Allah) ke muka bumi ini semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.
Krisis akhlak tersebut sering kali dialamatkan kepada pendidikan. Pendidikan dianggap gagal mencetak manusia dan generasi bangsa yang menjunjung tinggi norma agama dan norma-norma sosial lainnya. Dunia pendidikan benar-benar tercoreng wajahnya dan tanpak tidak berdaya menghadapi tuduhan tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat pendidikan berada pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan secara moral memang harus demikian.
Itulah sebabnya belakangan ini banyak sekali seminar yang digelar kalangan pendidik yang bertekad mencari solusi untuk mengatasi krisis akhlak itu. Para pemikir pendidikan menyerukan agar kecerdasan akal diikuti dengan kecerdasan moral, pendidikan agama dan pendidikan moral harus siap menghadapi tantangan global, pendidikan harus memberikan kontribusi yang nyata dalam mewujudkan masyarakat terdidik yang dilandasi dengan akhlak yang baik.
Gagasan pentingnya pendidikan akhlak ini sebetulnya bukan hal yang baru dalam perbincangan pendidikan Islam. Jauh sebelum krisis akhlak yang melanda bangsa Indonesia, Al-Ghazali (w.1111 M) misalnya pernah menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan budi pekerti yang mencakup penanaman kualitas moral dan etika seperti kepatuhan, kemanusiaan, kesederhanaan, dan membenci terhadap perbuatan buruk seperti pola hidup yang berfoya-foya dan kemunkaran lainnya.[2]       
Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn Miskawih (w.1030 M). Menurutnya, akhlak tidak bersifat natural atau pembawaan, tetapi hal itu perlu diusahakan secara bertahap, antara lain melalui pendidikan.[3]    
Barangkali terbersit dalam pikiran kita, apa gerangan akan penyebab terjadinya krisis akhlak di masyarakat kita? Jawabannya adalah: pertama, krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan hilangnya kontrol dari (self control) individu masyarakat. Alat pengontrolnya adalah aturan hukum yang tegas, adil dan tanpa pandang bulu. Meminjam istilah Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, selagi penegakan hukum di negara ini masih “tebang pilih”, maka keadilan dan ketenteraman masyarakat tidak akan tercipta. Karenanya, supremasi hukum merupakan start awal untuk membina tatanan sosial yang dihiasi dengan akhlak al-karimah.
Kedua, krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Ketiga institusi pendidikan ini sudah terbawa oleh arus kehidupan yang lebih mengutamakan materi tanpa diimbangi dengan pembinaan mental dan spiritual yang apik. Dalam bukunya yang berjudul Peranan Agama dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat mengatakan akhlak bukanlah bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa melakukan pembiasan sejak kecil. Akhlak. Akhlak itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian, bukan sebaliknya. 
Ketiga, krisis akhlak terjadi disebabkan karena derasnya arus budaya hidup materialistik, hedopnistik dan sekularistik. Derasnya arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan akhlak. Berbagai produk budaya yang bernuansa demikian dapat dilihat dalam bentuk semakin banyaknya tempat-tempat hiburan yang mengundang selera biologis, peredaran obat-obatan terlarang, buku-buku atau VCD-VCD porno, alat-alat kontrasepsi dan sebagainya.
Keempat, krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Kekuasaan, dana, teknologi, sumber daya manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa. Hal yang demikian diperparah oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara yang tidak mendidik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Masyarakat yang melihat perilaku pemimpinnya yang demikian, kemudian ikut-ikutan meniru, dan akibatnya wibawa pemerintah semakin menurun. Ini terjadi mengingat bangsa ini masih cenderung bersikap paternalistik.
Karena itu upaya untuk membendung laju dekadensi moral yang menimpa masyarakat Indonesia ini tampaknya harus diawali dengan pendidikan akhlak baik di tingkat keluarga, sekolah maupun masyarakat (pemerintah termasuk di dalamnya).
Telah diakui semua kalangan bahwa keluarga merupakan media paling awal yang membentuk karakter, kepribadian dan pilihan nilai seorang anak. Keluarga merupakan faktor determinan dalam membantu serta mempengaruhi dinamika dan dialektika antar individu dan masyarakatnya. Tanpa lembaga keluarga, seorang anak tidak akan mampu menjadi seseorang yang dapat mengenai jati diri insaniyahnya. Ini sesuai dengan pertumbuhan seorang anak yang dalam proses pendewasaannya harus mendapatkan bimbingan orang tua dan keluarga.[4]
Dalam lingkup sekolah, sudah saatnya sistem pendidikan kita perlu dirombak kembali. Saat ini kita harus membuka ruang kreativitas yang lebih banyak lagi bagi para siswa. Dengan ruang kreativitas tersebut, para siswa dapat menyalurkan bakat dan kemampuannya masing-masing. Tugas guru adalah membantu siswa dengan jalur kecenderungan itu. Dengan ini setiap siswa akan mendapatkan apresiasi dari para mentornya di sekolah. Dengan kesibukan ini, para siswa akan kehabisan waktu untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral.      
Selain itu, sekolah juga harus menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti pembiasaan melaksanakan shalat berjamaah, menegakkan kedisiplinan, memelihara kebersihan, ketertiban, kejujuran, tolong-menolong dan sebagainya, sehingga nilai-nilai agama menjadi kebiasaan, tradisi dan budaya seluruh siswa. Sikap dan perilaku guru yang kurang terpuji atau menyimpang dari norma-norma akhlak hendaknya tidak segan-segan untuk ditindak.   
Selanjutnya, masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan akhlak, seperti menciptakan lingkungan yang tertib, bebas dari peredaran obat-obat terlarang, perkumpulan perjudian dan lain sebagainya. Masyarakat harus menyiapkan tempat bagi kepentingan pengembangan bakat, hobi, keterampilan dan kesejahteraan bagi para remaja dan warganya.
Tidak kalah pentingnya adalah pemimpin masyarakat, dari level terbawah hingga yang paling tinggi, juga dituntut untuk memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Sulit kiranya untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang berakhlak al-karimah apabila pemimpin masyarakatnya ternyata menyajikan tontotan yang sama sekali jauh dari nilai-nilai akhlak mulia.
Figur pemimpin yang bisa melahirkan masyarakat berakhlak adalah figur yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dengan sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah. Memang betul bahwa Muhammad adalah seorang rasul yang mendapat perlakuan berbeda dari Allah swt. Akan tetapi dia juga manusia seperti manusia kebanyakan. Artinya, sekalipun kita tidak bisa mencontoh kepribadian Nabi dengan 100 persen, setidak-tidaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkan sikap mulia beliau dalam praktik kehidupan sehari-hari. Apabila ini dilakukan, saya yakin bangsa ini akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun  ghafur.  



[1] Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gama Media Pratama, 2001, hlm. 189
[2] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan (Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia), Jakarta, Kencana, 2003, hlm. 221
[3] Ibid
[4] Abdul Moqsith Ghazali, Meningkatkan Pendidikan Akhlak Bagi Pelajar, PENDAIS Jurnal Komunikasi Pendidikan Agama Islam, Vol. 1 No. 3 September 2000, hlm. 45 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar