Rabu, 11 Desember 2013

"+"

PROPOSAL PENELITIAN
Relevansi Gagasan Pendidikan Paulo Freire terhadap Pengembangan Masyarakat Madani di Indonesia




A.    Latar Belakang Masalah
Adalah Paulo Freire, salah satu pemikir dan praktisi pendidikan yang paling berpengaruh di akhir abad ke-20 (one of the most influential thinkers about education in the late twentieth century). Pria kelahiran Recife, Brazil, 19 September 1921 ini mulai menarik perhatian dunia sejak buah pikirannya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed terbit pada tahun 1970. Konon, buku pertamanya itu terjual lebih dari setengah juta eksemplar dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari duapuluh bahasa (Sudiardja, 1977:107; McLaren, 2004: 15).
Sangat sedikit orang yang mendapat apresiasi seperti yang diraih oleh mantan konsultan pendidikan dewan gereja-gereja se-dunia di Jenewa, Swiss, ini. Dia begitu poluler dan karismatik, bahkan hingga di kalangan remaja di berbagai pelosok dunia yang bisa jadi belum pernah membaca pikiran-pikrannya. Mengenai popularitas Paulo Freire, Pater McLaren (2004: 12-13) menulis:
“Tidak banyak tokoh pendidikan kiri[1] yang begitu terkenal dan begitu terhormat seperti Paulo Freire. Sepanjang perjalanan saya di Amerika Latin, Asia Tenggara dan Eropa, saya melihat slogan-slogan karya Freire ditulis di tembok-tembok berdampingan dengan Che Guevara. Setiap kali saya berbicara dalam forum-forum revolusioner atau konferensi akademis baik di Malaysia, Jepang, Meksiko, Argentina, Brazil, Costa Rika, Finlandia, Eropa atau tempat-tempat lainnya, nama Paulo Freire dan Che Guevara selalu muncul. Mereka bukan hanya meminta perhatian mengenai krisis pada masa itu, tapi juga memberikan satu harapan yang perlu bagi perjuangan ke depan.”   

Berbagai kegiatan ilmiah telah dilaksanakan untuk menelaah, menganalisa dan/atau menguji gagasan-gagasan pendidikannya. Termasuk Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh University of California Los Angeles (UCLA) baru-baru ini. Bahkan, Department of Adult Education and Counseling Psychology, The Ontario Institute for Studies in Education of the University of Toronto me-launching website www.friere.org yang didedikasikan untuk Freire. Ini menunjukkan bahwa profesor Sejarah dan Filsafat Pendidikan di Universitas Recife ini telah menjadi salah satu icon pendidikan alternatif yang banyak digandrungi oleh pengamat dan praktisi pendidikan mutakhir, termasuk di Indonesia.          
Sayangnya, menurut Alfred Alschuler (2001: xii) dalam pengantarnya untuk buku William A. Smith, The Meaning of Conscienticacao, The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy, meskipun Paulo Freire cukup terkenal, teori-teorinya secara umum banyak disalahpahami. Ini terjadi karena karya-karyanya masih “abstrak” dan banyak menggunakan istilah-istilah yang sulit didefinisikan secara konkret, seperti: “pembebasan”, “penyadaran”, “melek huruf”, “humanisasi” “pendidikan hadap masalah” dan lain-lain. Maka tidaklah mengherankan apabila banyak orang lebih menghafalkan jargon-jargon dan istilah-istilah yang digunakan Freire ketimbang memahami secara praksis ke dalam proses belajar mengajar yang sesungguhnya (Fakih, 2003: 108-9).
Padahal, gagasan-gagasan Freire tidak lahir dari kontemplasi yang jauh dari dunia empirik, akan tetapi muncul dari pembacaan terhadap dunia, reading the world, yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk praxis (Friere & Shor, 2001: 208). Gagasan-gagasan Freire merupakan respons terhadap kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan yang dialami diri dan sebagian besar masyarakat Brazil saat itu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menerima penderitaan itu sebagai nasib atau takdir Tuhan yang harus diterima. Seolah-olah Tuhanlah pencipta kekacauan-sistemik itu. Karenanya, Freire bertekad untuk mengembalikan mereka kepada jati diri manusia yang sebenarnya.
Freire sendiri bukan hanya teoritisi pendidikan yang umumnya hanya lugas dalam berbicara atau menulis, tetapi sekaligus sebagai praktisi pendidikan yang mendedikasikan dirinya untuk membebaskan dan menyadarkan orang-orang yang ter(di)tindas (oppressed), yaitu orang-orang yang kehilangan hak-haknya, baik ekonomi, sosial, politik, hukum, pendidikan, dan semacamnya.
Gagasan Freire berangkat dari sebuah keyakinan bahwa manusia, yang bertindak atas dunia eksternal dan mengubahnya, pada saat yang sama mampu mengubah dirinya sendiri. Karenanya, kata Freire (1996: 20-56), humanisasi maupun dehumanisasi merupakan pilihan-pilihan yang nyata. Hanya yang pertama itulah yang merupakan fitrah manusia. Fitrah inilah yang senantiasa diingkari  melalui perlakuan tidak adil, eksploitasi, penindasan, dan kekejaman kaum penindas. Lebih jauh ia menulis:
“Dehumanization, which marks not only those whose humanity has been stolen, but also (though in a different way) those who have stolen it, is a distortion of the vocation of becoming more fully human. This distortion occurs within history; but it is not an historical vocation. Indeed, to admit of dehumanization as an historical vocation would lead either to cynicism or total despair. The struggle for humanization, for the emancipation of labor, for the overcoming of the alienation, for the affirmation of men and women as persons would be meaningless. This struggle is possible only because dehumanization, although a concrete historical fact, is not a given destiny but the result of an unjust order that engenders violence in the oppressors, which in turn dehumanizes the oppressed” (Freire, 1996: 26)      

Praktik dehumanisasi juga terjadi di dalam dunia pendidikan, di mana pendidikan acapkali dijadikan sarana kontrol sosial, reproduksi norma-norma tertentu dan alat untuk mempertahankan kelanjutan intergenerasi dengan relasi-relasi sosial yang secara fungsional menguntungkan kelas yang berkuasa dan industri yang dominan.
Menurut Freire (1973: 33), pendidikan yang dibutuhkan dalam situasi demikian adalah pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut; pendidikan yang mampu mengingatkan manusia akan bahaya-bahaya zaman dan memberikan kekuatan yang menghadapi bahaya-bahaya tersebut, bukan pendidikan yang menjadikan akal kita tunduk pasrah pada keputusan-keputusan orang lain.
Itulah pendidikan kaum tertindas, yaitu pendidikan yang dijiwai oleh kedermawanan sejati, kemurahan hati humanis dan menampilkan diri sebagai pendidikan untuk seluruh umat manusia. Pendidikan semacam ini tidak bisa dilaksanakan oleh kelas dominan dan kaum penindas. Pasalnya, pendidikan yang diselenggarakan oleh mereka justru mengejawantahkan dan memperta-hankan dehumanisasi itu sendiri. Adalah sesuatu yang sangat kontradiktif apabila kaum penindas melaksanakan pendidikan yang membebaskan di satu sisi, sementara ia juga mempraktikkan dan melestarikan dehumanisasi kepada kaum tertindas di sisi lain.
Pendidikan yang membebaskan sama sekali sepi sifat pendidikan gaya bank (banking education), di mana murid diberi pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi murid adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dari komoditi ekonomi lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada murid, dengan harapan tabungan “pengetahuan” itu bisa dipetik hasilnya di kemudian hari. Guru adalah subyek yang aktif, sedang murid adalah obyek yang pasif.
Sebaliknya, pendidikan yang membebaskan terletak pada usahanya ke arah rekonsiliasi. Pendidikan tersebut harus dimulai dengan pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan murid, sehingga keduanya sama-sama guru dan murid, mereka sama-sama subyek belajar (Freire, 1996: 53). Adapun yang menjadi obyeknya adalah realitas sosial yang mereka hadapi secara bersama-sama. Ini yang disebut Freire dengan pendidikan hadap masalah (problem-posing education).     
Dalam konteks ini, akan memunculkan proses dialogis antara keduanya. Menurut Freire, melalui dialog ini maka tidak ada lagi istilah guru-nya-murid dan murid-nya-guru (the teacher-of-the-students and the students-of-the-teacher). Yang ada ialah guru-yang-murid dan murid-yang-guru (teacher-students and students-teacher). Guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para murid, yang pada gilirannya di samping diajar, para murid juga mengajar. “Manusia saling mengajar satu sama lain, ditengahi oleh dunia, oleh obyek-obyek yang dapat diamati, yang dalam pendidikan gaya bank ‘dimiliki’ oleh guru semata”, tambahnya (Freire, 1996: 61). 
Hanya pendidikan semacam inilah yang mampu mengantarkan manusia ke tangga kesadaran kritis (critical consciousness), bukan hanya kesadaran magis (magical consciousness) atau kesadaran naif (naivel consciousness). Kesadaran kritis adalah kesadaran yang menganggap semua fakta sebagaimana adanya secara empiris dalam korelasi kausalitas dan lingkungannya. Kesadaran magis adalah kesadaran masyarakat yang hanya menerima fakta-fakta sebagai sesuatu yang given, yakni disebabkan dan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan dari atas. Kesadaran ini ditandai oleh fatalisme yang membuat manusia berpangku tangan, pasrah dan menganggap musykil setiap usaha untuk mengubah fakta-fakta. Kemudian kesadaran naif adalah kesadaran yang mengambang di atas realitas, di mana seseorang terus bergulat dalam kondisi dilematis: antara menjadi diri sendiri atau mengimitasi seperti penindas; antara melawan atau pasrah; antara menjadi penonton atau pelaku; dan lain sebagainya (Freire, 1973: 44; 1996: 18).
Tampaknya menarik apabila gagasan pendidikan Paulo Freire di atas dikaitkan dengan upaya pengembangan masyarakat madani di Indonesia. Istilah masyarakat madani (al-mujtama’ al-madāni) sebetulnya merupakan terjemahan lain dari civil society yang mengalami proses “islamisasi”. Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang berkualitas dan bertamaddun (civility). Civility ini meniscayakan adanya toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.[2]
Konsep masyarakat madani seringkali dikaitkan dengan mithaq al-madinah atau Konstitusi Madinah sebagai konstitusi pertama yang berisi kesepakatan antara umat Islam dengan beberapa agama dan suku di Madinah. “Konstitusi Madinah di zaman Nabi itu”, kata Nurcholish, “sama halnya dengan konstitusi pada umumnya, yaitu hasil pengikatan diri (‘aqd, kontrak) antaranggota masyarakat, dan meliputi semua anggota masyarakat di situ tanpa memandang latar belakang primordialnya”.[3] Konstitusi yang terdiri dari 47 pasal itu adalah profil masyarakat yang sangat menjunjung tinggi toleransi, solidaritas sosial, keadilan, kesetaraan, partisipatoris, dan, yang terpenting, berketuhanan. Di sana sangat tampak sekali bahwa Nabi Muhammad ingin membangun masyarakat yang integral (ummah wāhidah),[4] sebuah tatanan masyarakat yang sebelumnya masih belum pernah ada.
Sekalipun kompleksitas persoalan yang muncul di zaman Nabi berbeda dan persoalan-persoalan yang kini dihadapi umat muslim Indonesia, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, tingginya buta aksara, dan masalah-masalah lainnya, upaya pengembangan masyarakat madani di Indonesia seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad di Madinah sangatlah penting. Ini mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan sekaligus sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Persoalannya sekarang, bagaimana cara mengembangkan masyarakat madani yang sejak lama telah diusahakan oleh para intelektual muslim Indonesia. 
Oleh karena itu, ada baiknya kita mempertimbangkan gagasan-gagasan revolusioner Paulo Freire. Tidak menutup kemungkinan gagasan-gagasan Freire itu cukup revelan untuk diterapkan di bumi pertiwi yang sedang sakit ini. Islam sendiri dengan jelas mendorong umatnya untuk mengambil hikmah (kebijaksanaan) dari manapun asalnya, bahkan dari mulut anjing sekalipun. Karenanya, Relevansi Gagasan Pendidikan Paulo Freire terhadap Pengembangan Masyarakat Madani di Indonesia merupakan tema yang penting dan menarik untuk diteliti secara serius. 
à catatan tentang kiri
Saat ini beberapa negara di Amerika Latin dipimpin oleh tokoh-tokoh kiri. Sebut saja, Luiz Inacio Lula dalam Silva (Brazil), sahabat Freire di Partai buruh yang berkuasa hingga saat ini, Daniel Ortega (Nikaragua), Rafael Correa (Ekuador), Hugo Chavez (Vinezuela), Michelle Bachelet (Chile), Evo Morales (Bolivia), dan Nistor Kirchner (Argentina) (Kompas, 18 Desember 2006).

B.     Rumusan Masalah 

Mencermati seluruh uraian latar belakang di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
  1. Bagaimana gagasan pendidikan Paulo Freire?
  2. Bagaimana konsep masyarakat civil society?
  3. Sejauh mana relevansi gagasan pendidikan Paulo Freire terhadap penguatan civil society di Indonesia?

C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian

a.      Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:
1.      Mendeskripsikan gagasan pendidikan Paulo Freire.
2.      Mendeskripsikan konsep masyarakat madani.
3.      Mendeskripsikan sejauh mana relevansi gagasan pendidikan Paulo Freire terhadap pengembangan masyarakat madani di Indonesia.

b.      Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

1.      Memperkaya khazanah kajian terhadap pemikiran pendidikan Paulo Freire di Indonesia.

2.      Gagasan pendidikan Paulo Freire bisa dijadikan konsep alternatif dalam ikhtiar pengembangan masyarakat madani di Indonesia.


D.    Tinjauan Pustaka 

Tinjauan pustaka yang tersaji di bagian ini dimaksudkan sebagai potret terhadap karya-karya terdahulu mengenai gagasan Paulo Freire yang terkait dengan penelitian ini. Tujuan akhirnya adalah untuk memposisikan penelitian ini di antara karya-karya yang telah ada, sehingga akan lebih mempertajam fokus penelitian yang akan dilakukan.
Sejauh ini telah banyak karya tentang pemikiran Paulo Friere, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dari sejumlah karya itu, bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: filosofis, komparasi, dan eksperimentasi.
Pertama, kategori filosofis, yaitu suatu karya yang menguraikan ontologi, epistimologi dan aksiologi pemikiran pendidikan Freire. Kategori semacam ini bisa diamati dari tulisan Denis Collins yang berjudul Paulo Freire, His Life, Work and Thought;[5] Anton Sudiardja, Filsafat Pendidikan Paulo Freire dalam Bunga Rampai Sudut-Sudut Filsafat;[6] Frietz Rusbert Tambunan, Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam Martin Sardy [ed.], Kapita Selekta Masalah-Masalah Filsafat;[7] Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire;[8] Roem Topatimasang, et.al., Memahami Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam buku Pendidikan Pupular Membangun Kesadaran Kritis;[9] Mansour Fakih, Pendidikan Alternatif, Melihat Kembali Gagasan Paulo Freire di dalam bukunya Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik;[10] Mu’arif, Paulo Freire dan Wacana Pendidikan Kritis, bab dua dalam bukunya Wacana Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita.[11]  
Kedua, kategori komparasi. Ini bisa ditemukan dalam karya Pater Maclaren, Che Guevara, Paulo Freire, dan Politik Harapan: Pandangan Kritis tentang Pendidikan.[12] Di situ, McLaren mencoba menyandingkan pemikiran pedagogi Freire dengan Che, sekalipun ranah praxis keduanya berbeda. Che Guevara (bersama Fidel Castro) terjun langsung di medan laga untuk memimpin perjuangan kemerdekaan di Kuba dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Sedangkan Paulo Freire—meminjam istilah McLaren—mengembangkan pedagogi revolusionernya di Brazil, Chili dan Guine Bissau.
Termasuk dalam ketogori ini ialah tulisan Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan.[13] Karya ini berasal dari skripsi Dhakiri di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga yang semula berjudul Al-Fikratu at-Tarbawiyyatu li-Paulo Freire fi al-Shohafiyyati al-Islamiyyati. Di sini, Dhakiri mengkomparasikan gagasan pendidikan pembebasan Freire dengan konsep pembebasan dalam Islam. Dhakiri menyimpulkan bahwa ada titik temu gagasan pendidikan pembebasan Freire dengan konsep pembebasan menurut Islam, di antaranya: (1) keduanya sama-sama muncul dalam setting sosio-kultural yang inhuman (tidak manusiawi) atau jahiliyah, (2) nilai-nilai yang diperjuangkan melintasi perbedaan etnis, ras, bahasa, dan semacamnya, (3) keduanya menekankan manusia dan struktur sebagai elemen-elemen yang harus diubah, dan (4) keduanya sama-sama memposisikan manusia sebagai entitas merdeka yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan dalam memaknai kehidupan.
Hal serupa juga ditemukan di dalam karya Abdul Latif dan Firdaus M. Yunus. Masing-masing menulis Studi Komparasi Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Paulo Freire[14] dan Pendidikan Berbasis Realitas Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya.[15] Latif menyimpulkan bahwa baik Al-Ghazali dan Freire sama-sama menekankan keharmonisan hubungan antara guru dengan peserta didik. Guru tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada peserta didik, sebaliknya ia wajib memperlakukan peserta didik dengan perasaan kasih sayang. Sementara itu, Yunus menyimpulkan bahwa konsep pendidikan hadap masalah Freire dan Mangunwijaya merupakan konstruksi pendidikan yang berusaha mengintegrasikan realitas sosial dalam pendidikan dengan mengusung tema-tema ketidakadilan, penindasan, dan pembodohan dalam masyarakat.
Ketiga, kategori eksperimentatif, seperti tulisan William A. Smith dalam bukunya The Meaning of Conscienticacao, The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy yang diindonesiakan menjadi Conscienticacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire.[16] Karya ini merupakan uraian dari hasil proyek eksperimentasi yang diselenggarakan atas kerjasama antara Fakultas Pendidikan Universitas Massachusetts, Agency for International Development dan Ecuadorian Ministry of Education. Salah satu tujuan dari proyek itu adalah untuk menggunakan bentuk-bentuk metode pemberantasan buta aksara Freire yang telah dimodifikasi dan sekaligus menunjukkan bahwa metode semacam itu lebih efektif daripada sistem pemberantasan buta aksara yang sedang dilaksanakan. Selain itu, Smith juga memaparkan tentang pergeseran kesadaran Malcom X dari kesadaran magis menuju kesadaran naif hingga akhirnya sampai pada kesadaran kritis. 
Mencermati karya-karya di atas, penelitian ini jelas masih orisinil, sebab belum ada yang mengungkap gagasan pendidikan Freire dan relevansinya terhadap pengembangan masyarakat madani di Indonesia. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis gagasan-gagasan pendidikan Freire yang dikembangkan di Brazil dan beberapa negara Amerika Latin, dengan setting sosio-kulturalnya saat itu, kemudian menjelaskan titik relevansinya terhadap ikhtiar pengembangan masyarakat madani di bumi pertiwi ini.

 

E. Metode Penelitian

a.      Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang sumber datanya diperoleh dari buku, ensiklopedi, jurnal, majalah, internet, surat kabar dan lain-lain.
Di dalam penelitian ini terdapat dua macam sumber data, yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah karya-karya yang ditulis sendiri oleh Paulo Freire, sedangkan data sekunder adalah karya-karya orang lain mengenai pemikiran Freire, terutama yang berkaitan dengan diskursus pendidikan, dan data-data yang sesuai dengan penelitian ini.

b.     Pengumpulan Data:
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Membaca dan memahami karya-karya Paulo Freire, karya-karya tentang Freire, literatur-literatur pendidikan lainnya, literatur-literatur tentang masyarakat madani dan data-data lain yang berkaitan dengan penelitian ini,
2.      Mengklasifikasikan data-data yang dibutuhkan sesuai dengan topik-topik yang dikaji, dan
3.      Menganalisa dan mendeskripsikan data-data tersebut dalam bentuk uraian.

c.      Analisa Data
Analisa data penelitian ini menggunakan analisa reflektif, yaitu analisa yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik dengan yang abstrak. Berpikir reflektif tidak hanya bisa berlangsung antara yang empirik dengan yang abstrak, tetapi juga dapat merefleksikan wawasan masa lampau-kini-mendatang.[17] Jadi, penelitian ini diawali dengan pembacaan terhadap dinamika masyarakat madani di Indonesia saat ini yang dihubungkan dengan realitas pendidikan ketika Freire melontarkan gagasan-gagasan pendidikannya dan kemudian kembali lagi kepada realitas umat Islam Indonesia sekarang. Selanjutnya, dapat dideskripsikan relevansi gagasan pendidikan Freire terhadap pengembangan masyarakat madani di Indonesia.
F.     Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua mengemukakan tentang profil diri dan gagasan pendidikan Paulo Freire yang di bagi menjadi dua sub bab, yaitu: pertama, profil diri Paulo Freire, yang terdiri dari: latar belakang internal dan eksternal Paulo Freire, karya-karya Paulo Freire, kiprah Paulo Freire di bidang pendidikan dan politik, pengaruh pemikiran Paulo Freire ideologi pendidikan Paulo Freire; suatu upaya pemetaan. Kedua, gagasan pendidikan Paulo Freire. Di dalamnya dibahas tentang definisi dan tujuan pendidikan menurut Paulo Freire, hakikat kurikulum menurut Paulo Freire, sekolah dalam perspektif Paulo Freire, relasi guru dan siswa dalam proses pendidikan, dan aspek teologis gagasan pendidikan Paulo Freire.
Bab ketiga menjelaskan tentang konsep masyarakat madani. Di sini diuraikan mengenai definisi masyarakat madani, arkeologi konsep masyarakat madani; perbincangan masyarakat madani di Indonesia; dan masyarakat madani sebagai konstruksi ideal umat Islam.      
Bab keempat membahas mengenai relevansi gagasan pendidikan Paulo Freire terhadap pengembangan madani di Indonesia. Di dalamnya terdiri dari dua sub bab, yaitu: sketsa perbandingan kondisi Pendidikan di Brazil zaman Freire dan pendidikan di Indonesia; dan gagasan pendidikan Freire sebagai alternatif baru dalam pengembangan masyarakat madani di Indonesia.
Bab kelima merupakan bagian terakhir merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.  


DAFTAR PUSTAKA

Alsculer, Alfred, “Kata Pengantar”, dalam William A Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001
Collins, Dennis, Paulo Friere; His Life, Works and Thought, New York, Paulist Press, 1977
Dakhiri, Muh. Hanif, Paulo Friere, Islam dan Pembebasan, Jakarta, Djambatan dan Pena, 2000
Hefner, Robert W., Civil Islam: Muslim and Modernization in Indonesia, New Jersey, Princeton University Press, 2000
http://en.wikipedia.org/wiki/paulofreire
Latif, Abdul, Studi Komparasi Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Paulo Freire, Skripsi Sarjana Pendidikan Agama Islam, Jember: Perpustakaan STAIN Jember, 2002
McLaren, Pater, et.al., Che Guevara, Paulo Freire dan Politik Harapan Tinjauan Kritis Pendidikan, terj. A. Asnawi, Surabaya, Diglossia Media, 2004
Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita, Yogyakarta, IRCiSoD, 2005
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998
Murtiningsih, Siti, Pendidikan Alat Perlawanan [Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire], Yogyakarta, Resist Book, 2004
Sudiardja, Anton, 1977, Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam Dari Sudut-sudut Filsafat Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Kanisius
Tambunan, Frietz Rusbert, “Filsafat Pendidikan Paulo Freire”, dalam Kapita Selekta Masalah-masalah Filsafat, Bandung, Alumni Bandung, 1983
Topatimasang, Roem, et.al., “Memahami Filsafat Pendidikan Paulo Freire”, dalam Pendidikan Pupular Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta, Insist Press, 2005
Yunus, Firdaus M., Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2004




[1] Istilah “kiri” di sini sama sekali tidak berkonotasi sebagai paham kediktatoran seperti yang dilakukan Hitler, Lenin, Stalin, Mussolini, dan lain-lain. Kiri di sini dimaknai sebagai kesadaran dan sikap untuk membela orang-orang tertindas menuju tatanan sosial yang adil dan manusiawi.
[2] Hendro Prasetyo, et.al., Islam and Civil Society Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2002, hlm. 174
[3] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan), 1998, Cet. XI, hlm. 73-4
[4] Pada Pasal 25-35 Piagam Madinah menegaskan bahwa Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf, Bani An-Najjar, Bani Al-Harits, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani Aus, Bani Ts’labah, Warga Jafnah, Bani Syuthaibiah, berserta sekutu dan hamba sahaya-hamba sahaya mereka adalah satu umat dengan Kaum Mukmin dengan kebebasan agama serta hak dan kewajiban masing-masing. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta, UI Press), 1995, hlm. 10-15
[5] Dennis Collins, Paulo Friere; His Life, Works and Thought, New York, Paulist Press, 1977
[6] Anton Sudiardja, “Filsafat Pendidikan Paulo Freire”, dalam Bunga Rampai Sudut-sudut Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1977
[7] Frietz Rusbert Tambunan, “Filsafat Pendidikan Paulo Freire”, dalam Kapita Selekta Masalah-masalah Filsafat, Bandung, Alumni Bandung, 1983
[8] Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan [Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire], Yogyakarta, Resist Book, 2004. Buku ini berasal dari tesis S2 di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.   
[9] Roem Topatimasang, et.al., Memahami Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam Pendidikan Pupular Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta, Insist Press, 2005
[10] Mansour Fakih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2002
[11] Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan Kita, Yogyakarta, IRCiSoD, 2005
[12] Pater McLaren, Che Guevara, Paulo Freire, dan Politik Harapan: Pandangan Kritis tentang Pendidikan, dalam Che Guevara, Paulo Freire dan Politik Harapan Tinjauan Kritis Pendidikan, terjemahan A. Asnawi, Surabaya, Diglossia Media, 2004
[13] Muh. Hanif Dakhiri, Paulo Friere, Islam dan Pembebasan, Jakarta, Djambatan dan Pena, 2000
[14] Abdul Latif, Studi Komparasi Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Paulo Freire, Skripsi Sarjana Pendidikan Agama Islam, Jember: Perpustakaan STAIN Jember, 2002 
[15] Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2004. Buku ini berasal dari Tesis S2 di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
[16] William A. Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta, LKiS, 2001
[17] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998, Cet. 8, hlm. 66-7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar