Senin, 07 Juli 2014

Pelaksanaan Bimbingan & Konseling; Membentuk Perkembangan Perilaku Anak

"+"



Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling;
Membentuk Perkembangan Perilaku Anak


Pada jenjang pendidikan SMP/ MTs merupakan usia-usia remaja bagi setiap peserta didik. Pada posisi ini para remaja berada dalam masa puber. Apabila pertumbuhan dan perkembangan anak telah beralih memasuki masa remaja, maka mereka akan mengalami perubahan sikap dan perilaku yang kadang-kadang drastis seperti malas belajar, lalai melaksanakan ibadah, menjadi pendiam dan pemogok, mulai merokok dan lain-lain. Sesungguhnya penyimpangan sikap dan perilaku remaja, tidak terjadi secara tiba-tiba akan tetapi melalui proses panjang yang mendahuluinya. Sedemikian banyak perubahan yang terjadi pada umur remaja itu, sudah pasti membawa kepada kegoncangan emosi.[1]  
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dasarnya baik dan berguna bagi kemajuan bangsa. Tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu telah disalahgunakan oleh sebagian manusia. Disinilah letak bahaya dan ancaman terhadap kehiduapan beragama para remaja. Berbagai hal yang disajikan lewat media elektronik dan media cetak yang tidak jarang bertentangan dengan budaya Timur dan agama Islam, akan menyesatkan perilaku para remaja. Pengaruh yang dibawa oleh berbagai media itu tentu ada yang positif dan negatif. Bimbingan keagamaan perlu diberikan agar mereka mampu menyaring memilih mana yang baik untuk diambil.[2]
Apabila kita memperhatikan remaja yang sedang mengalami kegoncangan emosi, angan-angannya banyak. Khayalan tentang yang terlarang dalam agama mulai muncul, sebagai akibat pertumbuhan jasmaninya yang mendekati ukuran orang dewasa, sedangkan kemampuan mengendalikan diri lemah. Akibatnya terjadi kegoncangan emosi, walaupun kemampuan berpikir telah matang, karena itu remaja yang sedang dalam gejala pertumbuhan yang kurang terlatih dalam nilai moral dan agama mudah terseret dalam mengagumi dan meniru apa yang menyenangkan dan menggiurkannya. Perbuatan salah perilaku menyimpang, ketidakpuasaan terhadap orang tua, dan mungkin pula melakukan hal-hal terlarang dalam agama dan hukum negara, merupakan menu sehari-hari. Karena hal-hal tersebut untuk membentengi remaja dari kemungkinan terjadinya penyimpangan. Selanjutnya dicari jalan terbaik bagi pembentukan dan pembinaan remaja agar menjadi manusia yang teguh umumnya, kokoh pendiriannya, terpuji akhlaknya dan tinggi semangatnya untuk membangun bangsa, masyarakatnya kepada kehidupan bahagia. Maka usaha yang dapat dilakukan adalah mencari jalan preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan konstrutif (pembinaan).[3]
Sekolah dapat menumbuhkan nilai-nilai akhlak dan prinsip-prinsip yang diperlukan dalam penyesuaian diri remaja dengan masyarakat. dalam situasi dan kegiatan kelompok, misalnya : sekolah dapat menumbuhkan jiwa demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan, kesetiakawanan dan nilai-nilai lain, terutama nilai-nilai yang berpengaruh dengan perilaku. Sekolah dapat membantu siswa dalam memahami tentang perkembangan perilakunya.
Guru dan semua tenaga kependidikan disekolah mempunyai peranan yang penting dalam penanggulangan sikap dan perilaku menyimpang para anak didik. Guru adalah tenaga pendidik yang secara tehnis mempunyai bekal ilmu dan ketrampilan untuk membantu anak didik memperoleh sikap perilaku terpuji. Yang disini adalah semua guru yang mampu menjangkau perasaan remaja dan menghargai serta mendorong mereka untuk aktif dalam kegiatan sekolah serta suka memberikan perubahan yang obyektif. Guru yang terbuka hatinya untuk mendengarkan keluhan muridnya bagi remaja dipandang sebagai konselor yaitu tenaga ahli di sekolah yang mempunyai tugas khusus dalam memberikan bimbingan dan konseling.


[1]Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Ba’adillah Press, Jakarta, 2002, hlm. 103.
[2]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 85.

[3]Bimo Walgito, Bimbingan dan Penyuluhan, Andi Offset, Yogyakarta, 1995, hlm. 22.

Konsep Dasar Bimbingan Konseling

"+"



Konsep Dasar
Bimbingan Konseling


Dalam kehidupan manusia mempunyai berbagai masalah yang selalu membuatnya terpuruk dalam permasalahan. Ini disebabkan karena manusia sebagai mahluk sosial yang selalu ingin bergaul dengan siapa saja. Diantara mereka mempunyai kepribadian atau sifat yang berbeda, sehingga banyak permasalahan yang mempengaruhi kehidupannya.
Permasalahan yang terjadi menimpa pada semua kalangan, khususnya para remaja. semua permasalahan yang terjadi harus dipecahkan, kalau tidak segera dipecahkan masalah-masalah tersebut dapat menghambat kelancaran proses belajar dan perkembangan anak didik meskipun masalah yang dihadapi tidak ada kaitannya dengan kegiatan akademik dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya bagi tenaga pendidikan. Selain itu pengaruh pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah pembinaan perilaku anak didik sehingga berhasil sebagaimana diharapkan dalam perkembangannya.
a.       Pengertian Bimbingan
Bimbingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah petunjuk (penjelasan) cara mengerjakan sesuatu tuntunan pimpinan.[1] Sedang berdasarkan pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 29/1990, bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.[2]
Menurut Rahman Natawidjaya (1978) bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan supaya individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri sehingga ia sanggup mengarahkan dirinya dan bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah., keluarga, dan masyarakat serta kehidupan pada umumnya. [3]
Dengan demikian, dia akan dapat menikmati kebahagiaan kehidupan masyarakat pada umumnya. Bimbingan membantu individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial.
Sedangkan pakar yang lain menyatakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dari beberapa pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli itu, maka bimbingan merupakan :
1)      Suatu proses yang berkesinambungan.
2)      Memberikan bantuan kepada individu.
3)      Bantuan yang diberikan itu dimaksudkan agar individu dapat memahami keadaan dirinya dan mampu mengembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan kemampuan dan potensinya.
4)      Kegiatan yang bertujuan utama memberikan bantuan agar individu dapat memahami keadaan dirinya dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.


b.      Pengertian Konseling

Konseling berasal dari kata counsel yang diambil dari bahasa latin yaitu consilium yang artinya “bersama”  atau “bicara bersama”. Pengertian berbicara bersama, dalam hal ini adalah pembicaraan konselor (counselor) dengan seseorang atau beberapa klien (counselee).[4] Atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konseling adalah pemberian bimbingan oleh yang ahli pada seseorang dengan menggunakan pendekatan psikologis atau proses pemberian bantuan oleh konselor kepada konsele sedemikian rupa sehingga pemahaman terhadap kemampuan diri sendiri meningkat dalam memecahkan berbagai masalah.[5]
Menurut Edwin C. Lewis (1970) konseling adalah suatu proses dimana orang yang bermasalah (klien) dibantu secara pribadi untuk merasa dan berperilaku yang lebih memuaskan melalui interaksi dengan seseorang yang tidak terlibat (konselor) yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan perilaku-perilaku yang memungkinkannya berhubungan secara lebih efektif dengan diri dan lingkungannya.[6]
Sedangkan pakar yang lain menyatakan bahwa konseling adalah suatu upaya bantuan yang diberikan kepada konsele supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri. Untuk dimanfaatkan olehnya dalam memperbaiki tingkah lakunya pada masa yang akan datang.

Dari beberapa pengertian konseling yang dikemukakan para ahli itu, maka dapat disimpulkan bahwa :
1)      Konseling merupakan proses interaksi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien.
2)      Dalam proses pemberian bantuan.
3)      Dilakukan dalam suasana profesional.
4)      Berfungsi dan bertujuan sebagai alat (wadah) untuk memudahkan perubahan tingkah laku klien.


[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Pusat Pembinaan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 133.
[2]Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 18.
[3]Ibid, hlm. 19.
[4]Priyatno dan Ermananti, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 99.
[5]Departermen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit, hlm. 519.

[6]M. Hamdani Bakran Adz-Dzaki, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, hlm. 179.

Implementasi Bimbingan Konseling Terhadap Perkembangan Anak

"+"



Implementasi Bimbingan Konseling
Terhadap Perkembangan Anak Didik



Pendidikan merupakan hal yang sangat efektif untuk mengembangkan kemampuan serta mutu kehidupan dan martabat manusia. Hal tersebut selaras dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional di dalam Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional.[1] Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan.[2]
Pendidikan merupakan institusi pembinaan anak didik yang memiliki latar belakang sosial budaya dan psikologis yang berbeda dalam mencapai maksud dan tujuan pendidikan. Banyak anak yang menghadapi masalah dan sekaligus mengganggu tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Masalah yang dihadapi sangat beraneka ragam, diantaranya, masalah pribadi, sosial, ekonomi, agama, dan moral serta belajar dan vokasional. Masalah-masalah tersebut seringkali menghambat kelancaran proses belajar dan perkembangan perilaku anak didik.[3]
Pada masyarakat yang semakin maju, masalah penentuan identitas atau jati diri pada individu menjadi semakin rumit. Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat maju pada anggota-anggotanya menjadi lebih berat. Persyaratan untuk dapat diterima  menjadi anggota masyarakat bukan saja kematangan fisik, melainkan juga kematangan mental, psikologis, kultural, vokasional, intelektual dan religius. Kerumitan ini akan terus meningkat pada masyarakat sedang membangun sebab perubahan cepat yang terjadi pada masyarakat dan semakin derasnya arus globalisasi komunikasi, akan merupakan tantangan pula bagi individu atau peserta didik. Keadaan seperti inilah yang menuntut diadakannya bimbingan dan konseling di sekolah.[4]
Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan kita. Mengingat bahwa bimbingan dan konseling merupakan suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah dalam rangka meningkatkan mutunya. Hal ini sangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pendidikan itu merupakan usaha sadar yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi-potensinya (bakat, minat dan kemampuan). Kepribadian masyarakat menyangkut masalah perilaku atau sikap mental dan kemampuannya meliputi masalah akademik dan ketrampilan.
Dalam perkembangannya anak didik sebagai individu sedang dalam proses berkembang atau menjadi (become) yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, anak didik memerlukan bimbingan karena mereka masih memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan individu tidak berlangsung secara mulus atau steril dari masalah.[5]
Perkembangan kemampuan anak didik secara optimal untuk berkreasi, mandiri, bertanggung jawab, dan memecahkan masalah merupakan tanggung jawab yang besar dari kegiatan pendidikan. Oleh karena itu pemahaman potensi pribadi sangat penting untuk perkembangan anak didik sebagai manusia yang utuh jasmani dan rohaninya, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal. Di samping itu dalam perkembangannya siswa seringkali menghadapi masalah yang tidak mampu dipecahkan sendiri. Untuk membantu proses perkembangan pribadi dan mengatasi masalah yang dihadapi seringkali siswa memerlukan bantuan profesional dan sekolah harus dapat menyediakan layanan profesional yang dimaksud dengan layanan bimbingan dan konseling.[6]
Bimbingan merupakan bantuan khusus yang diberikan kepada anak didik dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan dan kenyataan-kenyataan tentang adanya kesulitan yang dihadapinya dalam rangka perkembangan yang optimal, sehingga mereka dapat memahami diri dan bertindak serta bersikap sesuai dengan tuntutan dan keadaan  lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.
Bimbingan dan konseling ini sebagai wadah untuk mengarahkan remaja untuk menjadi lebih baik dan kreatif. Pelayanan bimbingan merupakan bagian integral dari keseluruhan kegiatan sekolah dan telah dilaksanakan sejak kurikulum 1975, yang baru ialah bahwa dalam kurikulum pendidikan Dasar, landasan program dan pengembangan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993) secara eksplisit dinyatakan bahwa pelayanan bimbingan ini mencakup juga bimbingan bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa.[7]
Proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dengan mulus atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut karena banyak faktor yang menghambatnya. Faktor penghambat yang bersifat eksternal yaitu berasal dari lingkungan yang kurang kondusif. Ini bisa menjadikan perilaku yang menyimpang pada remaja/anak didik. Iklim lingkungan yang tidak sehat ini, cenderung menimbulkan dampak yang kurang baik bagi perkembangan anak didik dan sangat mungkin akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman stress dan depresi. Dalam kondisi yang seperti ini, banyak remaja atau anak didik yang merespon dengan sikap dan perilaku menyimpang dan bahkan amoral, seperti komunitalitas, meminum minuman keras, penyalah gunaan obat terlarang, tawuran dan pergaulan bebas.[8]



[1]Undang-Undang RI, No. 20, Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3, 2003.
[2]Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 28.
[3]Latipun, Psikologi Koseling, Universitas Muhammadiyah Malang, 2001, hlm. 181.
[4] Dewa Ketut Sukardi, Op. cit, hlm. 1

[5]Syamsu Yusuf, LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 209.
[6]Prayitno dan Erma Nanti, Dasar-dasar Bimbingan dan Koseling, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 4.

[7]Utami Munandar, Pengembangan Kreatifitas Anak Berbakat, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 268.
[8] Syamsu Yusuf LN, Op.cit., hlm.210

Sabtu, 05 Juli 2014

Peningkatan Kreativitas Anak

"+"




Peningkatan Kreativitas Anak



Dari segi bahasa kreativitas anak atau dalam bahasa Inggris “creativity” berarti kemampuan untuk mencipta, daya cipta.[1] Sedang menurut istilah kreativitas berarti kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni atau dalam permesinan atau dalam memecahkan masalah-masalah dengan metode baru.[2]
Dengan demikian kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta produk baru, ciptaan itu tidak seluruhnya baru, mungkin saja kombinasinya, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya. Kreativitas mempunyai ciri-ciri non kecakapan seperti rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan pertanyaan dan selalu ingin mencari pengalaman baru.[3] Berikut unsur-unsur dalam kreativitas:
a.       Kemampuan berpikir mencipta.

         Dalam pengembanganya kreativitas memerlukan pikiran yang berdaya, dalam arti menghindarkan diri dari jebakan keadaan, namun menjadi imajinatif dalam upaya menemukan sebuah jalan keluar atas sebuah permasalahan atau dalam upaya untuk memiliki rasa memiliki atas sebuah teka-teki.[4] Lebih lanjut Elliot memaparkan bahwa imajinasi dan kreativitas adalah sama, karenanya dapat dikatakan bahwa pemecahan masalah masuk dalam imajinasi dalam upaya melihat kemungkinan-kemungkinan.[5]

Pikiran untuk mencipta merupakan esensi dari kreativitas, sebagaimana Gardner menyebut bahwa pikiran untuk mencipta adalah sebuah frase yang mengandung dinamisme dan cakupan yang jelas. Secara lebih gamblang, dijelaskan bahwa orang kreatif adalah:
                     1).    Berfikir untuk diri mereka sendiri
                     2).    Menghabiskan banyak waktu untuk mengintegrasikan pikiran mereka dengan apa yang ada diluar mereka.
                     3).    Berupaya membuka pikiran mereka dan yang lain kepada hal baru.
                   4).    Mengupayakan dengan senantiasa menuju (to-ing) dan mengarahkan (fro-ing) dari dalam diri mereka keluar.[6]
Kreativitas senantiasa membuka diri untuk berpikir integratif berdasar pengalaman sehingga merupakan kunci pencipta yang berhasil. Disamping itu motivasi intrinsik juga mempengaruhi pembentukan individu kreatif. Karena karakter individu kreatif adalah mempunyai keinginan untuk menghasilakan ide atau karya demi kepuasan diri dan tidak ada tekanan dari luar. Pengaruh motivasi intrinsik dalam pengembangan kreativitas berlangsung dalam kondisi-kondisi mental tertentu. Beberapa kondisi dalam diri untuk menjadi kreatif adalah:
                     1).    Terbuka untuk pengalaman
                     2).    Sebuah tempat evaluasi internal (dalam kaitanya dengan diri seseorang itu sendiri)
        3). Sebuah kemampuan untuk bermain dengan elemen-elemen dan konsep-konsep (Kemampuan untuk bermain).[7]
b.       Berpikir untuk pemecahan masalah
Sebagaimana diutarakan diatas bahwa kreativitas melibatkan imajinasi dalam berbagai situasi yang dialami, yaitu tidak puas dengan apa yang sudah ada, namun mengupayakan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin termasuk sesuatu belum kita ketahui. Sebagaimana dikemukakan Peneliti Amerika Csikszentmihalyi yang memandang kreativitas sebagai persoalan pemecahan masalah dan penemuan masalah.[8]
Dalam memperkenalkan proses pemecahan masalah pada anak kecil, kita harus menggunakan materi yang dekat dengan kehidupannya. Beberapa proses yang harus dikembangkan adalah:
1.      Tahap orientasi, siswa diminta mendaftar proyek yang ingin dikerjakan secara kelompok atas masalah di dalam kelas yang mereka rasakan perlu dipecahkan. Guru dapat memilih satu topik atau masalah untuk dibahas bersama, bergantung pada situasi kelasnya.
2.      Tahap persiapan, tahapan ini berkaitan dengan fakta yang telah diketahui dan informasi yang masih diperlukan. Hal tersebut penting untuk membahas bersama perbedaan antara fakta dan pendapat, fakta dan dugaan, fakta dan desas-desus, kemudian meminta siswa untuk melihat sub-masalah yang mereka ungkapkan dan menentukan mana yang fakta.
3.      Tahap penggagasan, siswa diminta mengemukakan pertanyaan kreatif dari sub-masalah yang mereka temukan atau dari informasi faktual.
4.      Tahap penilaian, siswa diminta memunculkan kriteria atas gagasan mereka. Ketika mengajukan setiap kriteria gunakan pernyataan “dampaknya terhadap”, hal ini membantu siswa memahami arti kriteria.
5.      Tahap pelaksanaan, dalam melaksanakan gagasan terbaik siswa perlu merancang rencana tindakan, yaitu menentukan apa yang harus pertama dilakukan, bagaimana membagi tanggung jawab, dan memberikan pengalaman yang bermakna bagi mereka.[9]
c.       Model pembelajaran kreatif
Dalam pengembangan kurikuilum, model-model dapat digunakan untuk menentukan materi (konten) pembelajaran dan metode-metode dalam pencapaian materi tersebut, dalam arti bahwa model memberikan kerangka untuk menentukan pilihan. Dengan menguasai berbagai model bermanfaat dalam situasi pembejaran tertentu.
Talents dan taylor mengemukakan bahwa tidak hanya bakat akademis yang perlu dipupuk dan dihargai dalam sekolah, dalam modelnya dapat dibedakan enam talenta yang dapat dikembangkan di sekolah.  Seperti yang tertuang dalam curriculum guide, program disusun untuk mengajar konten akademik, kreativitas, ketrampilan merencanakan, komunikasi, prediksi, dan pengambilan keputusan.
Kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa, yang tak lazim, memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan solusi-solusi baru atau gagasan-gagasan baru, yang menunjukkan kelancaran, kelenturan, dan orisionalitas dalam berpikir.
Merencanakan mencakup elaborasi yang mempertimbangkan rincian dalam melaksanakan sesuatu. Menyusun atau mengorganisasi bahan, waktu, dan tenaga.
Komunikasi meliputi kelancaran dengan kata, dalam ekspresi (ungkapan) dan dalam asosiasi.
Prediksi membutuhkan antisipasi konseptual, kesadaran sosial, dan menganalisis kriteria yang berhubungan.
Pengambilan keputusan meliputi evaluasi eksperimental, evaluasi logis, dan pertimbangan.[10]
Sehubungan  pengembangan kreativitas anak, perlu meninjau empat aspek dari kreativitas, diantaranya:
a.       Penyediaan ruang untuk mencipta
Pengembangan kreativitas memerlukan komitmen atas ruang baik secara fisik maupun konsep. Tampilan ruang kelas, materi dari tiap aktivitas serta lingkungan pembelajaran. Dalam ruang kelas tersedia media pembelajaran yang mendukung anak berpikir secara independen disetiap wilayah kurikulum, yaitu dengan kemudahan mengakses materi-meteri, buku, komputer, atlas, permainan (games), materi-materi konstruksi (bentuk), teka-teki, materi-materi kerajianan dan seterusnya. Anak mampu bekerja sama dengan orang lain, baik secara berpasangan maupun kelompok.
Secara konseptual ruang kelas dikondisikan dengan prinsip memperbolehkan adanya kesalahan-kesalahan dan menganjurkan eksperimen, bersifat terbuka dan berani mengambil resiko.[11]
b. Pemahaman pribadi
Kreativitas merupakan ekspresi dari keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari ungkapan pribadi yang unik diharapkan muncul ide-ide baru dan produk-produk inovatif. Oleh karena itu pendidik hendaknya dapat menghargai keunikan pribadi dan bakat masing-masing anak didiknya.[12]
c.   Kondisi lingkungan sekolah
Lingkungan yang paling berpengaruh dalam membentuk kreativitas anak adalah sekolah, karena didalamnya terjadi proses interaksi edukatif yang mengharuskan siswa mengikuti sistem aturan yang ada. Sekolah yang baik akan mengedepankan kenyamanan belajar bagi siswanya.
Disamping itu guru memberi dampak yang besar tidak hanya pada prestasi pendidikan anak, tetapi juga pada sikap terhadap sekolah dan terhadap belajar pada umumnya. Dalam upaya memunculkan, merangsang, dan memupuk pertumbuhan kreativitas guru harus menata sikap dan falsafah mengajarnya.
                          1).    Sikap Guru
Upaya guru dalam mengembangka kreativitas siswa adalah dengan mendorong motivasi intrinsik. Semua anak harus belajar bidang ketrampilan di sekolah, dan banyak anak memperoleh ketrampilan kreatif melalui model-model berpikir dan bekerja kreatif. Motivasi intrinsik akan tumbuh, jika guru memungkinkan anak untuk diberi otonomi sampai batas tertentu di kelas.[13]
Dalam hal ini guru harus mengkondisikan ruang pembelajaran yang nyaman, ukuranya adalah siswa merasa tidak tertekan atau tegang sehingga motivasi internal tumbuh, ketegangan kurang, dan belajar konseptual lebih baik. Pendekatan yang dipilih adalah tidak diawasi tapi diarahkan (non-controlling but directed), sehingga anak melihat dirinya sebagai lebih kompeten di sekolah dan mempunyai rasa harga diri yang lebih tinggi dari pada anak-anak yang melihat lingkungan kelas mereka sebagai mengawasi. Penekananya lebih pada belajar bukan pada penilaian, dengan sikap ini guru betul-betul dapat menjadi kolaborator dalam belajar.[14]
                          2).    Falsafah mengajar
Falsafah mengajar yang mendorong kreativitas anak secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
a).  Belajar adalah sangat penting dan sangat menyenangkan
b).  Anak patut dihargai dan disayangi sebagai pribadi yang unik
c).  Anak hendaknya menjadi pelajar yang aktif. Mereka perlu didorong untuk membawa pengalaman, gagasan, minat, dan bahan mereka di dalam kelas. Siswa diberi kesempatan untuk membicarakan bersama dengan guru mengenai tujuan bekerja/belajar setiap hari, dan perlu diberi otonomi dalam menentukan bagaimana mencapainya.
d). Anak perlu merasa nyaman dan dirangsang di dalam kelas sehingga tidak ada tekanan atau ketegangan.
e).  Anak harus mempunyai rasa memiliki dan kebanggaan di dalam kelas. Mereka perlu dilibatkan dalam merancang kegiatan belajar dan boleh membawa bahan-bahan dari rumah.
f).   Guru merupakan nara sumber, bukan polisi atau dewa. Anak harus menghormati guru, tetapi merasa aman dan nyaman dengan guru.
g).  Guru memang kompeten, tetapi tidak perlu sempurna.
h).  Anak perlu merasa bebas untuk mendiskusikan masalah secara terbuka, baik dengan guru maupun dengan teman sebaya. Ruang kelas adalah milik mereka juga dan mereka berbagi tangung jawab dalam mengaturnya.
i).    Kerja sama selalu lebih daripada kompetisi.
j).    Pengalaman belajar hendaknya dekat dengan pengalaman dari dunia nyata.[15]
d.  Kondisi lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan utama dalam pendidikan anak, sangat terlihat ketika bahasa ibu mempunyai pengaruh kuat dalam diri anak. Begitu juga dalam hal kreativitas, anak memiliki kecenderungan meniru apa yang sering dia lihat dalam keseharian. Seperti yang dikutip Utami Munandar dari konsep Amabile bahwa sikap yang harus dibangun orang tua dalam mendorong kreativitas anak, diantaranya:
1.      Kebebasan, yaitu tidak otoriter, tidak selalu mau mengawasi anak, dan tidak terlalu membatasi kegiatan anak.
2.      Respek, orang tua menghormati anak sebagai individu, percaya akan kemampuan mereka, dan menghargai keunikan anak. Sehingga secara alamiah anak mampu mengembangkan kepercayaan diri untuk berani melakukan sesuatu yang orisinal.
3.      Kedekatan emosional yang sedang, anak perlu merasa bahwa ia disayang, tetapi tidak menjadi terlalu tergantung pada orang tua. Karena pada dasarnya memberi kebebasan anak untuk tidak tergantung pada orang lain dalam menentukan pendapat atau minat dapat mendorong munculnya kreativitas.
4.      Prestasi bukan angka, menghargai prestasi anak dalam arti mendorong anak anak untuk berusaha sebaik-baiknya dan menghasilkan karya-karya yang baik. Sedangkan orang tua tidak terlalu menekankan untuk mencapai angka atau nilai/peringkat tinggi. Dalam hal ini imajinasi dan kejujuran lebih ditekankan daripada mencapai angka tertinggi.
5.      Orang tua aktif dan mandiri, orang tua merasa aman dan yakin tentang diri sendiri, tidak memperdulikan status sosial, dan tidak terlalu terpengaruh oleh tuntutan sosial. Mereka juga amat kompeten dan mempunyai banyak minat, baik di dalam maupun di luar rumah. Peran orang tua disini sebagai model utama bagi anak.
6.      Menghargai kreativitas, orang mendorong anak melakukan hal-hal kretaif.[16]
Kaitannya dengan pengajaran Agama Islam pada anak, pemberian teladan yang baik memang diperlukan. Anak akan berusaha meniru orang tua dalam hal kecil maupun besar, dan mengambil jalan hidupnya mengikuti prilaku, kebiasaan serta sifat orang yang disukainya.[17] Sebagai ilustrasi terdekat adalah ayah mengajak anak laki-lakinya pergi ke masjid untuk menjalankan sholat jum’at. Dengan ajakan tersebut paling tidak anak dikenalkan dari dekat tentang rumah suci serta kegiatan yang dilakukan orang didalamnya, biasanya si anak terheran-heran, penuh tanda tanya dalam hati, misalnya tentang bangunan masjid, suara adzan yang menggema, orang-orang yang hilir-mudik mengambil air wudlu, mihrabnya yang anggun di sebelah pengimaman, dan banyak lagi pemendangan menarik yang mengusik akal-budinya.
Memang belum banyak yang dapat diharapkan dari anak pada usia dini, minimal ada upaya pengenalan dan pembiasaan serta pemberian teladan agar anak menjadi terbiasa dan akhirnya mencintai masjid beserta amaliah keagamaannya.[19]
Sehubungan  dengan berbagai pendapat tokoh diatas, dapat digeneralisasikan sebuah pemahaman tentang peningkatan kreativitas anak yang menyangkut beberapa aspek sebagai berikut:
a.       Penyediaan ruang untuk mencipta
Pengembangan kreativitas memerlukan komitmen atas ruang baik secara fisik maupun konsep. Tampilan ruang kelas, materi dari tiap aktivitas serta lingkungan pembelajaran. Dalam ruang kelas tersedia media pembelajaran yang mendukung anak berpikir secara independen disetiap wilayah kurikulum, yaitu dengan kemudahan mengakses materi-meteri, buku, komputer, atlas, permainan (games), materi-materi konstruksi (bentuk), teka-teki, materi-materi kerajianan dan seterusnya. Anak mampu bekerja sama dengan orang lain, baik secara berpasangan maupun kelompok.
Secara konseptual ruang kelas dikondisikan dengan prinsip memperbolehkan adanya kesalahan-kesalahan dan menganjurkan eksperimen, bersifat terbuka dan berani mengambil resiko.
b. Pemahaman pribadi
Kreativitas merupakan ekspresi dari keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Dari ungkapan pribadi yang unik diharapkan muncul ide-ide baru dan produk-produk inovatif. Oleh karena itu pendidik hendaknya dapat menghargai keunikan pribadi dan bakat masing-masing anak didiknya.
c.   Kondisi lingkungan sekolah
Lingkungan yang paling berpengaruh dalam membentuk kreativitas anak adalah sekolah, karena didalamnya terjadi proses interaksi edukatif yang mengharuskan siswa mengikuti sistem aturan yang ada. Sekolah yang baik akan mengedepankan kenyamanan belajar bagi siswanya.


[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 427.
[2] C.P. Caplin, Kamus Lengkap Psikologi, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, Hlm. 117.
[3] Conny Setiawan dkk., Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah, Gramedia, Jakarta, 1984, Hlm. 7
[4]  Anna Craft, Creativity Across the Primary Curriculum, Alih Bahasa M. Chairul Annam, Membangun Kreativitas Anak, Inisiasi Press, Depok, 2000,   Hlm. 2
[5]  Ibid., Hlm. 11
[6]  Ibid., Hlm. 19
[7]  Ibid., Hlm. 21
[8]  Ibid., Hlm. 53
[9]  Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 212-213
[10]  Ibid., Hlm. 168
[11]  Anna Craft, Membangun Kreativitas Anak, terj. Syafinuddin Al-Madari dan M. Chairul Annam, Inisiasi Press, Depok, 2000, Hlm. 193
[12]  Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 45
[13]  Ibid., Hlm. 110
[14]  Ibid., Hlm. 111
[15]  Ibid, Hlm. 111-112
[16]  Utami Munandar, Op. Cit., Hlm. 92-93
[17]  Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, Terj. Arum Titisari, A.H. Ba’adillah Press, Jakarta, 2002, Hlm. 92-93
[19] Imam Bawani, Ilmu Jiwa Perkembangan dalam Konteks Pendidikan Islam, Bina Ilmu, surabaya, 1990, Hlm. 107