Jumat, 31 Januari 2014

Pesantren Pendidikan Tradisional

"+"


PESANTREN
SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN TRADISIONAL ISLAM



Di masa penyebaran Agama Islam di Indonesia, pusat-pusat pengajaran Islam didirikan di beberapa daerah di nusantara, mulai dari Aceh, Demak, sampai ke Makasar. Dari pusat-pusat belajar ini, Agama Islam mulai tersebar ke seluruh kepulauan dengan di bawa oleh para saudagar Muslim. Wali, muballigh, atau ulama telah menyediakan pendidikan bagi kaum muslim Indonesia. Setidaknya terdapat dua model pengajaran agama Islam pada masa awal, yaitu pengajian Al quran, dan pesantren (Muhaimin: 1995). Keduanya masih tetap eksis hingga saat ini dalam bentuk yang beraneka ragam. Kehadiran  tipe-tipe pendidikan seperti ini sesungguhnya didasarkan pada upaya untuk memantapkan pengajaran agama terhadap para anak-anak dan masyarakat. Ini karena pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama masyarakat muslim. Untuk memenuhi tanggung jawab itu, maka didirikan pendidikan yang dikenal dengan istilah pendidikan informal.
Pengajian Al quran merupakan pendidikan tingkat dasar bagi seseorang muslim di Indonesia. Ini merupakan proses pembelajaran yang biasanya diselenggarakan di dalam rumah-rumah, masjid atau muslolla. Proses yang dilakukan itu merupakan langkah pertama dalam pendidikan anak. Sejak dini, anak-anak diperkenalkan Al quran. Biasanya pengajian ini menekankan pada pembacaan dan isi kandungan Al quran. Dibawah instruksi dari para orang tua muslim di rumah, anak-anak belajar cara mengaji (membaca Al quran) yang benar, menghafal sedikit demi sedikit surat-surat dalam Al quran dan bacaan-bacaan sehari-hari dalam sembayang (Muhaimin, 1995). Karena ini merupakan tanggung jawab bagi setiap muslim untuk memahami pengajaran agamanya, maka jika tidak para orang tua tidak dapat memberikan pengajaran sendiri. Mereka akan mengirimkan atau membiarkan anak-anak mereka pergi ke musolla/ langgar atau masjid.
Pada pendidikan pesantren tidak ada persyaratan khusus atau peraturan yang mengikat bagi anak-anak untuk menyelesaikan pembelajaran mereka dalam waktu tertentu, atau bagi guru untuk mengajar, kesuksesan pembelajaran tergantung pada anak-anak sendiri. Bagi mereka yang ingin melanjutkan pembelajaran keagamaannya, diharapkan dapat melanjutkan di pesantren. Untuk itu pesantren dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Pendirian pesantren merupakan upaya untuk menciptakan pengaruh yang penting dalam pengembangan Muslim Indonesia, karena pesantren tidak hanya melayani masyarakat sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan, tetapi juga sebagai lembaga sosial.
Pesantren di beberapa segi terbangun sebagai manifestasi dari dua keinginan yang berpadu: (1) keinginan atau hasrat mereka yang ingin mendapatkan pengajaran dan pengetahuan agama agar dapat hidup tentram dan mendapat pahala dari Tuhan; (2) hasrat mereka yang ingin mencari keridhaan dan pahala dari Tuhan melalui pemberian pengajaran kepada orang lain (mastuhu, 1994). Sisi lain tujuan utama pendirian pesantren adalah 1) untuk mempersiapkan santri dalam memahami dan menguasai pengajaran dan studi Islam (tafaqquh fiddin); 2) untuk menyebarkan dan mendakwahkan pemahaman ajaran Islam kepada masyarakat muslim; dan 3) sebagai benteng pertahanan masyarakat di bidang etika, moral dan akhlak. Sejalan dengan tujuan ini, maka seluruh materi pendidikan yang diajarkan di pesantren di ambil dari materi-materi keagamaan yang langsung diperoleh dari buku-buku atau naskah klasik berbahasa Arab (dikenal istilah kitab kuning). Hal ini dapat diartikan bahwa pesantren tidak hanya memiliki keaslian pengajaran Islam (tradisional/sunnah Islam), tetapi juga mempunyai akar kesejarahan dan otentisitas Indonesia (Nurcholis Majid, 1985).
Pesantren memiliki tempat tersendiri sebagai sebuah lembaga pendidikan, karena tidak hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai tempat pengembangan nilai-nilai keagamaan. Tentunya hal ini membantu mereka yang ingin menyerap nilai-nilai keislaman secara menyeluruh. Fenomena ini dipandang oleh sebagaian masyarakat bahwa metode yang digunakan di pesantren akan sulit menciptakan hasil yang baik. Ini karena sistem pendidikan pesantren tidak mengakomodir sistem pendidikan modern. Maka sifat tradisionalitas pesantren menjadi melekat dalam sistem pendidikannya. 

Pesantren di Indonesia

"+"


Pesantren Dalam Pengembangan
Pendidikan di Indonesia



Pesantren seharusnya saat ini berperan sebagai subsistem dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Keberadaan lembaga pesantren telah berperan sebagai cabang dari sistem pendidikan nasional. Keberadaan yang demikian layak disematkan karena kenyataannya ribuan jumlah pesantren telah memenuhi banyak area di Indonesia yang tidak terjangkau oleh sekolah. Bahkan peranan pendidikan pesantren telah ada, jauh sebelum lembaga pemerintah yang mengurusi pendidikan berdiri. Dalam kaijian tentang pesantren, keberadaannya saat ini antara lain pertama sebagai upaya pengembangan pendidikan nasional tentunya memerlukan instrumen sebagai media untuk menerapkan misinya. Instrumen atau sarana dan prasarana bagi proses pendidikan perlu dibangun atau disediakan, seperti bangunan sekolah dan fasilitas lainnya, baik formal maupun informal. Kiai, ulama, dan masyarakat secara umum di beberapa tempat tertentu membangun pesantren agar masyarakat memiliki sarana sendiri dalam rangka mencerdaskan kehidupan mereka. Dalam kasus ini, peranan pesantren sebagai instrumen pendidikan nasional adalah aktif.
Kedua sebagai penyelenggara pendidikan agama. Pesantren secara sensual mengembangkan pendidikan berbasis motivasi agama. Pesantren dibangun untuk secara efektif mengembangkan upaya penyebaran dan dakwah Islam. Untuk hasil ini, pesantren menekankan pengembangan pengetahuan, etika dan keterampilan yang dibingkai dalam pengajaran agama. Tujuan utama pengajaran semacam ini adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang memiliki ketinggian moral dan konsisten dalam menjalankan kebaikan. Sejalan dengan salah satu penetapan dalam tujuan pendidikan nasional yang ingin menciptakan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Oleh karena itu, pengajaran agama dikembangkan secara terpadu baik yang diselenggarakan di sekolah atau madrasah sebagai lembaga formal, ataupun pesantren sebagai lembaga informal dalam pendidikan.
Ketiga dalam realitas, masih terdapat banyak orang yang tidak menyadari pentingnya pendidikan. Ini disebabkan karena ketiadaan lembaga-lembaga pendidikan di tempat-tempat tertentu dan karena kurangnya fasilitas yang mendukung program kependidikannya. Di komunitas tertentu bahkan ada kecenderungan untuk mengirimkan anak-anak ke pesantren yang jauh dari daerah tempat tinggalnya. Hal ini semata-mata tidak karena biaya pesantren lebih murah daripada lembaga pendidikan lainnya, tetapi karena adanya kepercayaan dari masyarakat bahwa hal yang paling utama bagi anak-anak adalah pengajaran agama. Kenyataan ini tidak serta merta bearti bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif akan menghambat pengembangan lembaga-lembaga pendidikan formal. Namun sesungguhnya ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki massanya tersendiri.
Keempat salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan manusia Indonesia yang memiliki kepercayaan diri dan rasa tanggungjawab pada komunitas dan bangsanya. Diketahui bahwa pendidikan di pesantren mengembangkan pola pikir dan kebiasaan santri untuk hidup dalam kemandirian, untuk meningkatkan keterampilan, dan untuk memiliki semangat kewiraswastaan. Santri hidup bersama dan dilatih bertanggungjawab terhadap teman-teman sesama santri.  Di beberapa pesantren, pembekalan terhadap santri melalui usaha kewiraswastaan diajarkan dan diterapkan baik dalam skala kecil maupun mengembangkan bisnis dalam skala besar di pesantren. Ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan umum yang mensyaratkan setiap individu memiliki keterampilan tertentu yang dapat dikembangkan setelah lulus sebagai bekalnya di masa depan, disamping pengetahuan agama.

Berkaitan dengan hubungan antara lembaga pendidikan dan masyarakat, setidaknya ada tiga pandangan yang berbeda. Pertama  adalah bahwa lembaga pendidikan merupakan instrumen atau sarana masyarakat dalam upaya menyebarkan dan menyiarkan pengetahuan dan nilai-nilai yang penting bagi kelangsungan dan kestabilan masyarakat. kedua adalah bahwa lembaga pendidikan, terutama pada era perubahan, adalah salah satu agen yang penting untuk membantu terlaksananya perubahan yang radikal. Dalam pandangan ini, lembaga pendidikan tidak hanya menjadi instrumental yang membawa perubahan saja, tetapi juga harus melakukan perubahan sendiri sebagai upaya penyesuaian dan pemeloporan. Ketiga adalah bahwa seharusnya ada hubungan interaksi yang dinamis antara lembaga pendidikan dan masyarakat. Keberadaan lembaga pendidikan mendapat pengaruh dari masyarakat, ini karena pendidikan merupakan bagian dari masyarakat, dan diharapkan mampu memberikan pengaruh kepada masyarakat untuk membawa perubahan yang diinginkan. Yang paling penting adalah konstruksi budaya masyarakat masih memandang pesantren sebagai pusat pengembangan dan peningkatan pendidikan keagamaan. Disamping itu, juga sebagai agen pengembangan dan transformasi bagi komunitasnya. 

Metode Pembelajaran Agama

"+"

KAJIAN METODOLOGI
Pembelajaran Agama



Banyak orang menerjemahkan pengertian “metode” dengan “cara”. Ini tidak seluruhnya salah karena memang metode dapat diartikan sebagai cara. Namun dalam bahasa Inggris ada dua kata yang bearti cara, yaitu kata “way” dan “method”. Penggunaan dua kata ini akan lebih jelas dalam pertanyaan berikut. Jika saya bertanya, “bagaimana cara ke Jakarta?”, maka saya tidak dapat menggunakan kata method, melainkan yang lebih tepat adalah kata way. Sebaliknya jika saya bertanya, “bagaimana cara yang paling tepat untuk menanamkan nilai keimanan kepada anak?”, maka kata “cara” yang harus digunakan adalah kata method, bukan way. Jadi apa sebenarnya metode itu?
Metode adalah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan pengertian “cara yang paling tepat dalam melakukan sesuatu”. Ungkapan “paling tepat dan cepat” itulah yang membedakan kata method dan way dalam bahasa Inggris. Karena metode bearti cara yang paling tepat dan cepat, urutan kerja dalam suatu metode harus diperhitungkan. Karena itu suatu metode selalu merupakan hasil eksperimen, percobaan terus menerus.
Menggunakan argumen di atas, metode pembelajaran agama Islam adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan agama Islam. Kata “tepat dan cepat” ini sering diungkapkan dengan kata “efektif dan efisien”. Jadi metode pembelajaran agama Islamdapat juga diartikan sebagai “cara yang paling efektif dan efisien dalam pembelajaran agama Islam”. Pembelajaran yang efektif artinya pembelajaran yang berguna dan dipahami oleh murid secara tepat dan sempurna. Dalam ilmu pendidikan sering juga dikatakan bahwa pembelajaran yang tepat ialah pembelajaran yang berfungsi pada peserta didik. Kata “berfungsi” artinya menjadi milik peserta didik sama halnya bahwa pengajaran itu mampu membentuk dan mempengaruhi pribadi peserta didik. Pembelajaran yang tidak mampu membentuk dan mempengaruhi kepribadian anak, bearti pembelajaran yang tidak fungsional.
Pembelajaran yang cepat (efektif) ialah pembelajaran yang tidak memerlukan waktu lama, namun menghasilkan sesuatu atau berhasil guna dan sesuai sasaran. Selanjutnya sering timbul masalah, bahwa keterampilan atau sikap tertentu dapat diajarkan secara tepat, tetapi belum tentu cepat. Atau sebaliknya, materi tertentu dapat diajarkan secara cepat, namun belum tentu tepat. Misalnya, pelajaran salat atau manasik haji akan lebih efektif dan efisien jika di madrasah/ pesantren tersedia video dan tempat manasik lengkap. Bila peralatan itu tidak tersedia, terpaksa guru mengajarkannya melalui demonstrasi. Hasilnya akan tepat juga, tetapi memerlukan waktu yang relative lama. Disinilah letak kreativitas guru dalam menerapkan metode pembelajaran secara tepat dan menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya.
Lalu bagaimana cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan agama Islam? Pertanyaan ini tidak mudah di jawab. Ada beberapa konsep pertanyaan yang perlu diperjelas untuk menjawab pertanyaan itu; pertama siapa yang diajar?; kedua berapa jumlahnya?; ketiga seberapa dalam agama Islam diajarkan?; keempat seberapa luas (sequent) yang akan diajarkan?; kelima dinama pembelajaran itu berlangsung?; keenam peralatan apa saja yang tersedia?; ketujuh aspek apa yang akan ditekankan?. Pertanyaan-pertanyaan itu menegaskan bahwa metode yang tepat dan cepat dalam pembelajaran agama Islam harus memperhatikan banyak aspek. Oleh karena itu, membicarakan metode pembelajaran agama tidak cukup hanya mengetahui atau memahami metode mengajar. Apalagi metode mengajar yang pada umumnya dijelaskan dalam buku-buku adalah berbagai macam metode mengajar “konvensional” yang jumlahnya banyak seperti metode ceramah, diskusi, demonstrasi, resitasi, karya wisata, kerja kelompok dan sebagainya. Berbagai metode itu disebut metode umum. Dikatakan umum karena dapat digunakan dalam mengajarkan apapun juga. Kalau demikian, apakah ada metode khusus dalam mengajarkan agama Islam? Secara teknis dapat dijawab “ada”. Apa bentuknya? Jawabnya, bisa macam-macam.

Kunci Penerapan Metode: Kreatif dan Luwes
Membahas metode-metode tersebut, satu persatu agar mengetahui secara jelas karakteristik tertentu. Hal ini agar guru dapat memilih berbagai kemungkinan metode yang paling tepat digunakan dalam menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Secara normatif, pemilihan metode harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1) tujuan yang hendak dicapai. Jika tujuannya pembinaan nilai (ranah afektif), metode drill atau ceramah kurang tepat digunakan. Maka metode keteladanan atau pembiasaan dalam penciptaan lingkungan madrasah yang islami akan lebih berhasil untuk menanamkan nilai agama. Orientasi pada nilai mengharuskan pada guru mampu memilih secara tepat metode yang akan digunakan; 2) keadaan murid yang mencakup pertimbangan tentang tingkat kecerdasan, kematangan, gaya dan cara belajar, dan perbedaan-perbedaan individu dan sebagainya. Pemilihan metode dalam hal ini pada dasarnya adalah untuk “melayani” peserta didik dengan sebaik-baiknya, sehingga materi yang disampaikan dipahami secara baik oleh peserta didik; 3) kemampuan guru menggunakan metode tersebut mencakup wawasan, keahlian, atau keadaan fisik. Metode ceramah memerlukan penguasaan materi dan fisik guru. Begitu juga metode diskusi menuntut keahlian guru agak tinggi karena informasi yang diperlukan dalam melaksanakan metode ini lebih banyak mengeksplor materi; 4) sifat bahan pelajaran. Ada materi pelajaran yang lebih baik disampaikan melalui metode ceramah, ada melalui karya wisata, bahkan ada yang harus menggunakan beberapa metode sekaligus. Memilih metode yang tepat sesuai dengan materi yang akan dijarkan bukan persoalan mudah. Kreativitas dan kejelian guru sangat menentukan; 5) alat-alat yang tersedia akan mempengaruhi pemilihan metode yang digunakan. Bila metode eksperimen yang dipilih maka alat-alat yang mendukung eksperimen harus tersedia, perlu diperhatikan jumlah dan mutu alat tersebut; 6) situasi yang melingkupi pembelajaran, misalnya situasi kelas, lingkungan sekolah. Metode ceramah akan efektif jika ruangan memadai sehingga jangkauan suara guru tersebar merata. Penataan kursi bangku peserta didik dan penggunaan alat peraga dan sebagainya. Penciptaan suasana kondusif dilakukan agar peserta didik kondusif dan betah di dalam kelas.

Karena banyaknya bahan yang harus dipertimbangkan, menentukan metode mengajar memang tidak mudah. Namun dalam pembuatan lesson plan (rencana pembelajaran), yang sulit dilakukan adalah menerapkan suatu metode yang sesuai dengan rencana pembelajaran. Dalam susunan langkah-langkah, kegiatan pembelajaran, jenis metode pembelajaran tidak dipersoalkan. Metode itu telah menyatu dalam satu konsep yang utuh di rencana pembelajaran. Maka kreativitas guru dan keluwesan guru dalam menerapkan metode secara umum sangat berperan. Rencana pembelajaran yang baik, belum tentu berhasil jika metode penyampaiannya salah. Sebaliknya, metode yang diterapkan secara rigid sesuai konsep yang dikehendaki alan gagal jika situasi yang terjadi saat pembelajaran tidak diperhitungkan. Pembelajaran agama yang lebih banyak berorientasi pada nilai tidak bisa diukur dari sejauhmana kesiapan guru agama menyiapkan lesson plannya. Keberhasilan guru menyampaikan materi agama adalah ketika peserta didik mampu memahami dan menghayati dengan baik, yang selanjutnya mereka mampu mengamalkan apa yang diterima. 

Sabtu, 18 Januari 2014

Pesantren dan Kebangkitan Nasional

"+"

PERAN PESANTREN
DALAM KEBANGKITAN NASIONAL di INDONESIA


Peranan pesantren dalam kebangkitan nasional pertama-tama dapat dilihat dari eksistensi pesantren itu sendiri. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren selain dikunjungi oleh anak-anak Islam dari desa-desa sekitarnya, juga dikunjungi anak-anak Islam dari kota-kota/ daerah yang lebih jauh. Terlebih lagi dengan semakin tersohornya beberapa pesantren terkemuka di pulau Jawa dengan beberapa para kiainya yang menguasai ilmu-ilmu tertentu telah menarik anak-anak Islam dari berbagai daerah dan suku bangsa di Indonesia di luar pulau Jawa untuk datang belajar dan bermukim pada pesantren tersebut. Mereka pada mondok dan belajar selama bertahun-tahun, bahkan ada yang berpuluh-puluh tahun. Selama masa belajar, mereka memupuk rasa persaudaraan dan persatuan sebagai muslim dan kader bangsa. Dalam situasi pada situasi demikian, bahasa Indonesia/Melayu telah sejak lama menjadi bahasa komunikasi mereka. Konsep nasionalisme yang lazim ditumbuhkan di kalangan pesantren ialah keharusan mencintai tanah air dan bangsa, serta mencintai sesama Muslim dari dalam dan luar negeri dan disamping itu juga keharusan mencintai sesama manusia. Para santri yang telah keluar dan kembali ke tempat daerahnya masing-masing, umumnya memiliki orientasi nasionalisme.
Maka tidak mengherankan kalau para santri begitu responsif terhadap kehadiran suatu organisasi Islam yang bertaraf Nasional. Sebaliknya sangat jarang para santri memelopori organisasi atau pergerakan berdasarkan kesukuan. Beberapa organisasi Islam tingkat Nasional yang dipelopori oleh kaum santri antara lain Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi Sarekat Islam), PSII, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdatul Ulama’ dan beberapa organisasi politik Islam lainnya. Hal ini membuktikan bahwa dalam kalangan pesantren dengan sistem asrama dan sifat demokratisnya (artinya siapa saja boleh menjadi anggota baik dari kalangan bangsawan, petani, pedagang, rakyat jelata, dan lain sebagainya). Mereka mengambil peranan untuk menciptakan rasa persatuan dan kesadaran berbangsa.
Faktor tersebut diperkuat oleh faktor nilai-nilai yang terdapat dalam pesantren. Nilai yang bersumber dari ajaran Islam, telah membentuk watak para santri dan menimbulkan sikap:
1.   Mempererat persaudaraan dikalangan muslim Indonesia;
2.   Kepekaan terhadap harga diri sebagai bangsa;
3.   Kepekaan terhadap ketidak-adilan kaum penjajah terhadap bangsa Indonesia yang telah menimbulkan sikap non koperasi yang mendalam.


Watak yang dibentuk oleh rasa persatuan selama di pesantren, mendorong kalangan pesantren untuk bangkit mempelopori pendirian organisasi Islam di Indonesia serta sikap anti imperialisme/ penjajah. Maka terlihat bahwa sikap tersebut berangkat dari keberadaan peran pesantren di Nusantara. 

Tujuan Pesantren

"+"

Telaah Tujuan
PENDIDIKAN PESANTREN




Berbeda dengan lembaga pendidikan lain memiliki tujuan yang jelas dan dirumuskan dalam visi dan misi secara tegas, namun pada lembaga pendidikan pesantren (terutama pesantren lama atau dikenal dengan “pesantren tradisional”) umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Hal ini terbawa oleh sifat kesederhanaan pesantren yang berdirinya di dorong atas dasar “ibadah” karena semata-mata mecari ridha Allah SWT. Aktivitas kiai untuk berkewajiban mengajar dan para santri dituntut untuk belajar. Perbuatan yang demikian tidak dihubungkan dengan lapangan penghidupan atau jabatan tertentu yang masuk kategori dalam struktur birokrasi kepegawaian.
Untuk mengetahui tujuan diselenggarakan pendidikan pesantren, tidak lepas dari fungsi yang dikembangkan pesantren baik hubungannya dengan para santri maupun dengan masyarakat sekitarnya. Kalau dikaji dengan pendekatan kesejarahan bahwa berdirinya pesantren tidak lepas dari awal perkembangan Islam di Jawa. Para penyebar agama Islam di Jawa di kenal kelompok Walisonggo telah merintis berdirinya pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam di daerah dakwahnya masing-masing.
Sebagai contoh pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri kemudian berkembang menjadi pesantren yang sangat terkenal di Nusantara di daerah Sidomukti yang dikenal dengan Giri Kedaton. Orang-orang yang datang mengaji pada pesantren Giri tidak saja berasal dari pulau Jawa, tetapi juga dari pulau-pulau Indonesia di sebelah timur seperti Madura, Lombok, Bima (Sumbawa), Sulawesi, dan Ternate. Tujuan para Wali mendirikan pesantren sebagai tempat syiar agama Islam dan mencetak guru-guru yang akan meneruskan usaha dakwah agama Islam di daerahnya masing-masing.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semula dipergunakan untuk penyebaran agama dan tempat mempelajari agama Islam. Sebagai lembaga penyebaran agama karena memang berdirinya pesantren di suatu daerah agar penduduk setempat dapat dipengaruhi kehidupannya dengan nilai-nilai Islam, dan memeluk agama Islam secara teguh. Sedangkan sebagai tempat mempelajari agama Islam karena memang aktivitasnya yang utama adalah sebagai tempat untuk mempelajari dan memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam.
Sebagai sebuah kasus dapat ditunjukkan yaitu sejarah pertumbuhan pesantren Tebuireng di Jombang yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899. Tebuireng adalah nama sebuah desa terletak di luar kota Kabupaten. Di desa itu, penduduknya belum beragama dan diliputi suasana kekacauan. Merampok dan merampas, berjudi dan berzina menjadi kebiasaan yang digemari oleh setiap penduduk desa Tebuireng. Kehidupan masyarakat dipenuhi dengan perselisihan yang diakhiri dengan perkelahian menjadi rutinitas kehidupan masyarakat setempat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi kacau balau, hukum rimba menjadi penentu kekuasaan seseorang. Namun justru di desa ini, KH. Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren. Berdirinya sebuah pesantren ditempat itu, tentu saja pada mulanya memperoleh tantangan keras masyarakat. Dengan segala keuletan dan kebijaksanaan KH. Hasyim Asy’ari akhirnya kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekacauan menjadi sebuah pola kehidupan baru, ajaran Islam menjiwai secara dominan dalam setiap segi dinamika kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, jadilah pesantren Tebuireng dengan dukungan masyarakat setempat sebagai sebuah pesantren besar yang sangat berpengaruh di daerah Jombang Jawa Timur. Latarbelakang kasus demikian juga dialami oleh sebagian besar pada pesantren lainnya di Nusantara.
Yang perlu dipahami bahwa pesantren tidak lepas dengan sosok kiainya. Kiai merupakan tokoh sentral pada setiap pesantren. Selain itu, para santri tinggal bersama dalam satu komplek dengan kiai. Segala pelajaran yang diperoleh dari kitab-kitab agama langsung dipraktikkan bersama-sama. Dari pemahaman ini, diketahui bahwa peantren memegang peranan yang bersifat keagamaan dan tidak hanya bersifat keagamaan. Peranan yang bersifat keagamaan ditunjukkan dengan para alumninya mampu sebagai juru dakwah, guru-guru agama, dan bahkan menjadi kiai dengan mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing. Adapun yang tidak hanya bersifat keagamaan terlihat dalam peranannya yang bersifat kultural dan sosial.
Peranan kultural yang utama adalah terciptanya pandangan hidup yang bersifat khas santri, yang mampu dirumuskan dalam sebuah tata nilai. Tata nilai ini berfungsi sebagai pencipta keterikatan satu sama lain di kalangan penganutnya. Tata nilai ini pada mulanya dipraktikkkan di lingkungan internal pesantren, kemudian menyebar secara luas di masyarakat. Pandangan hidup yang dibentuk oleh tata nilai yang dikembangkan pesantren dapat dilihat manifestasinya dalam kesediaan untuk hidup bersahaja, kesediaan untuk memberikan pengorbanan besar bagi tercapainya cita-cita (sebagaimana tercatat dalam sejarah begitu banyak kalangan ulama yang rela berkorban dalam melawan penjajah). Dari sikap hidup yang demikian, dua hal yang menonjol yaitu ketundukkan kepada ulama, dan orientasi kehidupan yang lebih bersandar kepada kemampuan diri sendiri untuk mengorientasikan hidup hanya untuk Allah SWT.

Demikian tujuan pendidikan pesantren pada umumnya yang tidak dinyatakan secara eksplisit, namun berangkat dari latarbelakang didirikan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam tidak saja hanya diorientasikan bersifat keagamaan semata, tetapi juga mampu menjadi warna terhadap perkembangan dinamika kehidupan masyarakat. Sikap yang demikian masih nyata terpelihara dengan baik di tingkat kultur sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia yang dikenal dengan “budaya santri". Budaya ini kemudian secara otomatis, tanpa disengaja telah menjadi tujuan pendidikan pesantren. 

Kajian Sistem Desentralisasi Pendidikan

"+"

Keutamaan Penerapan
GAGASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN


Pendidikan merupakan domain penting dalam dinamika peradaban sebuah bangsa. Sebuah bangsa akan maju apabila pendidikannya berkualitas. Tentunya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan kerja keras dan pro aktif semua kalangan. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Rendahnya mutu pendidikan nasional tidak bisa sepenuhnya divonis sebagai dosa pemerintah yang salah urus terhadap pendidikan, walaupun pemerintah memang menjadi aktor utama yang sangat menentukan terhadap mutu pendidikan Indonesia. Untuk itu, perlu diagnosis jitu untuk mengetahui penyebab mengapa pendidikan Indonesia terpuruk hingga titik nadir. Baru setelah itu bisa ditentukan ramuan apa yang paling mas untuk mengobati pendidikan yang sedang sakit itu.
Dari sejumlah analisis para pakar pendidikan ditemukan bahwa salah satu penyebab terpuruknya pendidikan di Indonesia adalah karena selama ini pendidikan ditangani oleh pusat. Mulai dari kurikulum, buku ajar, evaluasi, distribusi tenaga pendidik, bahkan biaya pun diurus oleh pusat. Daerah tidak memiliki wewenang apa-apa dalam pendidikan. Daerah harus menjalankan konsep tunggal yang sudah digariskan oleh pusat. Pada titik inilah daerah kehilangan kreatifitasnya. Daerah sudah terbiasa membeo dan menunggu kebijakan dari pusat. Pemerintah pusat seakan-akan memperlakukan daerah seperti anak kecil yang tidak bisa berbuat apa dalam sektor peting seperti pendidikan.  
Untuk itu, seiring diterapkannya desentralisasi pemerintahan, muncul pemikiran mengenai desentralisasi pendidikan. Secara sektoral, desentralisasi pendidikan diartikan sebagai sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebhinnekaan. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa setiap daerah memiliki sejarahnya sendiri, kondisi dan potensinya sendiri yang berbeda satu sama lain. Daerahlah yang lebih banyak mengetahui keadaan dirinya, permasalahan dan aspirasi masyarakatnya. Daerah yang bersangkutan seyogyanya mampu untuk menyusun rencana, merumuskan kebijakan dan mengambil keputusan serta menentukan langkah-langkah pendidikannya. Meskipun demikian, desentralisasi pendidikan tidak berarti menciutkan substansi pendidikan menjadi substansi yang bersifat lokal dan sempit, atau pendidikan menjadi berorientasi primordial yang dapat menumbuhkan sentimen kedaerahan.
Desentralisasi pendidikan bisa diartikan sebagai pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya dalam pendidikan, dengan tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Dalam pengertian ini, desentralisasi pendidikan akan mendorong terciptanya kemandirian dan rasa percaya yang tinggi dari pemerintah daerah yang pada gilirannya mereka akan berlomba meningkatkan pelayanan pendidikan bagi masyarakat di daerahnya sendiri. Persaingan yang sehat dan kerjasama antar daerah diharapkan terus tumbuh dalam suasana keterbukaan komunikasi antar daerah yang dijiwai dengan semangat persatuan dan kesatuan dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang bercirikan keragaman daerah. Sementara itu pemerintah pusat memainkan peranan yang sangat menentukan untuk memberikan perimbangan kepada daerah yang memiliki sumber daya yang terbatas. Dengan mekanisme penyelenggaraan pendidikan yang demikian, pelayanan pendidikan diharapkan lebih efektif dan efisien, karena daerah tidak tergantung atau menunggu kebijakan pusat untuk keperluan daerahnya.
H.A.R. Tilaar (2002) melihat ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan, yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pembangunan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa.
1.      Masyarakat Demokrasi
Masyarakat demokrasi atau dalam khazanah bahasa kita dikenal dengan civil society adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui akan hak-hak asasi manusia. Civil society adalah masyarakat yang terbuka di mana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintahan di dalam civil society adalah pemerintahan yanh dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyatnya sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang baik (good government) dan pemerintahan yang bersih (celan governance).
Masyarakat terbuka mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakatnya. Perbedaan-perbedaan itu justeru merupakan kekuatan dalam civil society. Perbedaan pendapat diakui dan oleh sebab itu diperlukan suatu sikap toleransi yang tinggi. Tanpa toleransi tidak mungkin terwujud suatu masyarakat demokratis. Dengan dalih untuk stabilisasi dan keamanan, hak-hak manusia kadang dikorbankan.
Masyarakat demokratis sangat menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan tunduk terhadap keputusan bersama yang telah diambil oleh semua anggota. Dalam masyarakat ini dituntut adanya tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial dari masing-masing anggotanya dalam melaksanakan keputusan bersama tersebut.
Sikap serta nilai yang telah diuraikan di atas yang merupakan ciri khas dari masyarakat demokrasi tidak datang dengan sendirinya tetapi merupakan suatu proses. Proses tersebut adalah proses pendidikan. Civil society tidak lahir dengan sendirinya karena memerlukan suatu sistem nilai yang berbeda dengan masyarakat otoriter. Oleh karena itu transisi dari masyarakat Orde Baru yang serba otoriter dan sentralistis menuju pada masyarakat demokratis yang mengakui akan hak-hak asasi manusia dan menghargai adanya perbedaan antar anggotanya memerlukan suatu proses yang bernama pendidikan.
Pendidikan dasar yang merupakan hak dari semua warga negara merupakan pondasi dari suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu, pendidikan dasar yang bebas (free basic education) harus dijadikan prioritas utama dalam membangun masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat yang demokratis.
Perubahan dari pemerintahan yang sentralistis ke pemerintahan yang memberikan otonomi luas kepada daerah menuntut suatu persiapan. Lembaga-lembaga sosial yang ada harus dirombak dengan menggunakan paradigma baru. Perubahan paradigma kehidupan bermasyarakat tersebut memang tidak mudah dicapai. Selama bertahun-tahun paradigma lama yang berdasarkan kekuasaan telah mengakar dan membudaya. Karenanya, perubahan kearah masyarakat yang demokratis memerlukan pemimpin-pemimpin baru.
Pemimpin-pemimpin masa Orde Baru tentu sulit untuk serta merta mengubah dirinya dengan menggunakan paradigma baru. Pembangunan masyarakat demokrasi meminta suatu generasi pemimpin yang baru, yaitu seorang pemimpin demokratis, yang terbuka, dan bebas dari virus KKN. Sebab itu, masa transisi sekarang ini meminta sekurang-kurangnya satu generasi di dalam pembinaannya. Akan muncul pemimpin-pemimpin masyarakat yang menghayati nilai-nilai demokrasi, dan sosok pemimpin yang demikian hanya dihasilkan melalui sistem pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai.          
2.      Pengembangan “Social Capital”
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, penenang hadian Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital  yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya dapat dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebasan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem pendidikan yang sentralistis yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan penembangan suatu masyarakat demokrasi yang terbuka. Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai empunya pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokratis berarti pula rakyat ikut membnina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
 Selanjutnya para ahli seperti Fukuyama mengatakan bahwa social capital yang tidak kalah pentingnya dalam masyarakat demokratis adalah adanya rasa saling mempercayai (trust). Fukuyama memberi solusi kepada tesis Huntington yang mengatakan akan terjadi benturan-benturan kebudayaan manusia. Di dalam masyarakat dunia yang demokratis perlu ditumbuhkan sikap saling percaya, menghargai adanya perbedaan dan keyakinan akan adanya kesamaan-kesamaan terhadap nilai-nilai universal.
Peran pendidikan di dalam menumbuhkan keyakinan terhadap perlu adanya nilai-nilai universal seperti nilai-nilai persatuan bangsa adalah sangat besar. Di negara-negara maju seperti Masyarakat Bersama Eropa (European Union) sangat memperhatikan peranan pendidikan di dalam persatuan Eropa. Persatuan Eropa, menurut negarawannya, hanya dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai sarana kohesi sosial (social cohesiveness).       
3.      Pengembangan Daya Saing Bagsa
Di dalam suatau masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi optimal dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing tinggi di dalam kerja sama. Di dalam suatu masyarakat otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh karena itu, perkembangan masyarakat sangat lamban. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari suatu masyarakat otoriter.
Daya saing di dalam suatu masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain, tetapi dalam rangka kerja sama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuannya. Diantara faktor-faktor yang sangat menentukan daya saing tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru dan inovasi.  


Selasa, 14 Januari 2014

"+"

PROBLEMATIKA
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


Sistem pendidikan nasional merupakan implementasi sistem pendidikan pada suatu bangsa yang didasarkan atas kondisi sosio kultural, budaya dan politis. Atas dasar realitas itu pendidikan dilakukan untuk menciptakan dan menghasilkan produk anak bangsa yang diharapkan memiliki kualitas sebagaimana yang diharapkan oleh segenap elemen masyarakat suatu bangsa. Oleh karenanya, proses pendidikan yang diselenggarakan dan dilaksanakan oleh bangsa adalah dalam upaya menumbuhkan serta mengembangkan watak atau kepribadian bangsa, memajukan kehidupan bangsa dalam berbagai bidang kehidupannya.
Satuan-satuan dan kegiatan-kegiatan pendidikan yang ada merupakan sistem-sistem pendidikan tersendiri, dan sistem-sistem pendidikan tersebut tergabung secara terpadu dalam sistem pendidikan nasional. Jadi secara garis besarnya, sistem pendidikan nasional adalah pencerminan atas keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan aktivitas pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan dalam skala nasional atau meluas.
Sementara, tujuan pendidikan nasional berfungsi memberikan arah kepada semua kegiatan pendidikan dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Sehingga tujuan pendidikan nasional tersebut, merupakan tujuan umum yang hendak dicapai oleh semua satuan pendidikannya meskipun setiap satuan pendidikan tersebut mempunyai tujuan-tujuan tersendiri namun tidak lepas dari tujuan pendidikan nasional. Maka, sistem pendidikan nasional merupakan suatu supra sistem atau suatu sistem yang besar dan kompleks serta masuk dalam skala yang lebih makro atau luas.
Indonesia, adalah suatu negara yang memiliki dasar hukum sebagai bentuk dari negara yang berdaulat. Dengan dasar kedaulatan itu, Indonesia bebas menentukan sikap dan arah kebijakan yang ingin diwujudkan. Maka ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan Bangsa Asing, mulai saat itu Bangsa Indonesia sadar pentingnya sebuah sistem pendidikan. Karena proses pendidikan dipandang sebagai sistem dan cara efektif untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspeknya. Hal itu telah terbukti bahkan dalam kesejarahan umat manusia. Untuk itu sejarah telah mencatat hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan instrumen pendidikan sebagai alat pemberdayaan dan peningkatan kualitas manusia. Walaupun hal itu ---tanpa disadarinya--- dalam masyarakat yang masih primitif sekalipun[1]. Manusia yang memiliki peradaban tinggipun berawal dari sebuah proses pendidikan. Oleh karenanya pendidikan sangat vital dalam proses kehidupan umat manusia di dunia ini. Banyak kalangan menyepakati bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan suatu masyarakat[2]. Pendidikan memiliki peranan sentral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek kehidupan demi mencapai kemajuan. Melalui pendidikan masyarakat dapat belajar untuk mengerti, memahami dan mampu mengubah alam serta lingkungan sosialnya secara konstruktif untuk kemaslakatan umat manusia itu sendiri. Untuk itu sebabnya segala macam bentuk proses pendidikan di belahan dunia manapun ---baik negara berkembang maupun negara maju--- selalu dijalankan sebagai proses pemberdayaan guna mengembangkan dan menciptakan SDM yang berkualitas.
Sementara, Karakter ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di suatu negara dalam kenyataaanya bisa disaksikan keberhasilannya melalui mekanisme proses pendidikan yang dijalankan. Semakin maju sebuah negara dalam IPTEKnya, maka tidak disangsikan bahwa proses pendidikannya digarap secara lebih profesional dan sistematis. Oleh karenanya, hampir di semua negara maju, proses pendidikan mendapatkan perhatian khusus dan selalu dijalankan secara profesional serta sistematis. Sehingga proses yang demikian, mampu menciptakan keluaran pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan dan kemajuan masyarakat harus disadari merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan salah satunya. Dari kesadaran itu memnunjukkan isyarat bahwa indikator keberhasilan sebuah proses pendidikan akan sejalan dengan kemajuan masyarakat. Dengan kata lain apabila kemajuan masyarakat tidak menunjukkan perubahan yang diidealkan, mengindikasikan kelemahan atau bahwakan ketidak berhasilan proses pendidikan yang dijalankan.
Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk mengangkat harkat dan martabat manusia bahkan suatu bangsa itu sendiri. Kenyataan yang demikian tidak berlebihan jika pembangunan di bidang pendidikan merupakan hal yang pertama dan utama guna mempersiapkan generasi yang berkualitas. Atas dasar asumsi yang demikian secara tegas dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1954 bahwa tujuan terbentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan Bangsa. Untuk itu sistem pendidikan diharapkan mampu menciptakan anak bangsa pada peningkatan kualitas. Dengan kualitas mereka akan mampu memperbaiki dan mengubah negara Indonesia kepada yang lebih baik. Atas dasar itu para fanding father membuat kementerian khusus yang membidangi masalah pendidikan di negara Indonesia.
Dalam perkembangannya, saat Bangsa Indonesia mulai membangun negeri ini ke arah yang dicita-citakan, banyak gejolak yang muncul sehingga memporak-porandakan harapan mulia itu. Mulai dari sistem politik, ekonomi, agama, dan budaya tidak ketinggalan juga persoalan pendidikan tidak luput dari perhatian. Terlebih lagi pada tahun pertengahan 1998 saat jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Ketika pertengahan tahun ini eforia reformasi menjadi momentum perubahan sistem yang ada di negeri ini. Ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah sebagai aparatur negara terjadi hampir di seluruh jenjang. Arus perubahan yang demikian kuat, menuntut perbaikan di segala bidang. Wacana demokrasi menjadi dalil utama para demonstran. Bahkan suara rakyat adalah suara Tuhan yang harus perhatikan dan diimplementasikan.
Berdasarkan kekacauan tersebut, mengindikasikan bahwa pemerintah tidak berhasil dalam menangani sistem pendidikan. Setelah era reformasi digulirkan, banyak kalangan pengamat pendidikan yang menyayangkan kinerja pemerintah selama ini dalam masalah pendidikan. Mulai dari kurikulum, pembelajaran, evaluasi, aturan (sistem) sampai juga kepada penangganan pendidikan yang dilakukan oleh dua Departemen.

 

A.  Kemadegkan Mutu Pendidikan Nasional

Dalam berbagai kesempatan, hasil dari proses sistem pendidikan yang tengah dijalankan oleh Bangsa Indonesia masih jauh dari harapan. Secara garis besarnya, fenomena itu di karena dua faktor utama yang mempengaruhi. Dua faktor itu selanjutnya berbias kepada sistem yang lain di bidang pendidikan. Dua faktor utama itu adalah; pertama dominasi pengaruh politik di Indonesia atas sistem pendidikan, kedua kekaburan orientasi.
Pertama dominasi pengaruh politik yang masuk sampai pada wilayah pendidikan. Diakui bersama bahwa pendidikan merupakan wilayah pemberdayaan. Pemberdayaan bagi anak-anak Bangsa yang akan memimpin dan mengisi pembangunan negeri ini secara baik. Apabila wilayah pendidikan sudah dimasuki “virus-virus” politis, maka hasilnya akan menjadi naif bagi perkembangan bangsa Indonesia khususnya bidang pendidikan. Berbagai temuan kasus dijumpai secara eksplisit pada ujung-ujungnya adalah dominannya praktik-praktik politik atau kepentingan dalam dunia pendidikan.
Mengkaji tentang praktik politik adalah berbicara pada wilayah kekuasaan. Sementara, sangat mengenaskan apabila kekuasaan di dapat dari jerih payah “biaya politik”. Kekuasaan yang diperoleh dari biaya tidak jauh beda dengan rumusan ekonomi, yakni mendapat keuntungan besar dengan modal yang sedikit. Selanjutnya pertanyaan akhir adalah bagaimana mengembalikan biaya (baca: modal) dan keuntungan yang didapat ketika ada di kekuasaan. Untuk itu wajar bahwa kasus pemberantasan korupsi di Indonesia sulit di cegah. Bahkan berdasarkan hasil survei harian Kompas tanggal 17 November 2005 negara Indonesia masuk peringkat ke-6 dari 159 negara yang tersurvei. Ini menunjukkan budaya korupsi berjamaah masih mengakar kuat di negeri Indonesia. Demikian juga, wacana bagi-bagi kekuasaan pun menjadi sebuah kewajaran.
Apabila fenomena tersebut tetap terpelihara dengan baik, maka sikap profesionalitas pemimpin sulit diwujudkan. Karena perwujudan profesionalitas pemimpin merupakan indikator dari bentuk akuntabilitas publik. Bagaimana publik mampu bersikap akuntabel bila sikap profesionalisme tidak dimiliki? Dari pertanyaan itu, kemudian memunculkan faktor kedua, yakni kekaburan orientasi.
Orientasi pendidikan yang secara konstitusinya dibuat seideal mungkin tercoreng akibat praktek-praktek korupsi, kolusi atau bagi-bagi kekuasaan. Kenyataan itu pada dasarnya merugikan publik. Bagaimana tidak! Syarat para penguasa atau pemimpin diterima ---oleh banyak kalangan--- adalah berangkat dari bentuk-bentuk kompromistis belaka. Selanjutnya, kualitas dan idealitas di keduakan atau bahkan tertelantarkan sama sekali. Yang tepenting adalah mengakomodir semua kelompok tanpa di pertimbangkan profesionalitas. Akibatnya, kualitas dan idealitas terabaikan demi kepentingan kekuasan.
Fenomena tersebut merupakan problem Bangsa Indonesia yang menjadikan mutu pendidikan sulit untuk diwujudkan. Namun upaya demikian bisa teratasi dengan baik apabila muncul dari kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif dari berbagai elemen masyarakat. Dan kesadaran itu diperoleh melalui berbagai usaha dan fasilitas yang memungkinkan terbangunnya sebuah kesadaran kolektif itu sendiri
Disamping harapan besar yang ada tersebut perlu juga diiringi dengan penerapan sistem aturan yang tegas. Penegasan aturan diharapkan dari embrio demokratisasi yang sudah mengejala di negeri ini. Dengan budaya demokratisasi minimal akan memunculkan sikap keterbukaan, keteraturan dan mengarah kepada tercapainya cita-cita bersama, yakni kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Potensi ini merupakan modal untuk mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik dari hari sebelumnya.

B.  Akar Sistem Pendidikan Dua Atap Di Indonesia

Dalam konstelasinya, akar masalah terdapatnya dua sistem lembaga pendidikan di negeri Indonesia, yakni yang pertama adalah lembaga pendidikan yang berbasis pengetahuan agama (Islam) dan kedua lembaga pendidikan yang berbasis pengetahuan umum. Kedua sistem lembaga pendidikan itu menjadi perhatian karena keduanya telah eksis sejak masa penjajahan sampai masa kemerdekaan hingga saat ini tetap terpelihara dengan baik. Oleh karenanya bila diruntut sejarah terjadinya sistem pendidikan dua atap di Indonesia sudah terjadi sejak jaman sejarah Indonesia merintis kemerdekaannya.
Bangsa Belanda yang menjajah Bangsa Indonesia selama hampir + 350 tahun ingin menanamkan pengaruhnya melalui jalur pendidikan yang berakar dari masyarakat setempat. Dalam kenyataannya, masyarakat setempat ---khususnya di pulau Jawa--- telah berkembang suatu sistem pendidikan agama Islam. Materi belajarnya pun berorientasi pada pemahaman tentang agama Islam. Sumber literaturnya pun mengunakan bahasa arab, demikian juga cara menulisnya ---menurut Belanda--- menggunakan tulisan arab. Realitas demikian, pemerintah Belanda mengansumsikan bahwa pendidikan itu tidak sesuai dengan masyarakat pribumi (baca: Indonesia). Karena, Belanda menganggap sistem pendidikan yang dilakukan bukan berasal dari masyarakat Indonesia tetapi berasal dari negara Arab. Bangsa Arab berbeda secara geotafis maupun secara kultur.
Berdasarkan hasil pengamatan atas pelaksanaan pendidikan yang ada di masyarakat, pemerintah Belanda menginginkan suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat apa adanya. Persepsi tentang pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat apa adanya adalah sesuatu itu didasarkan kebutuhan pribumi murni, secara teratur dan disesuaikan dengan konteks masyarakat desa. Sehingga dalam kenyataannya, beberapa kali pendidikan agama Islam ---sudah melembaga di tengah masyarakat Indonesia--- yang ada diusulkan untuk dikembangkan selalu ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengembangan lembaga pendidikan yang ada agar, dapat dimanfaatkan terkait kebijakan mengenai pendidikan sesuai dengan orientasi pemerintah Koloni Belanda di perwakilan Indonesia.
Kenyataannya pemerintah Koloni Belanda selalu memilih jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam. J.A. Van der Chijs, inspektur Pendidikan Kolonial Belanda pertama di Indonesia dan beberapa orang pembantunya menilai tradisi dikdaktis pendidikan Islam terlalu rendah dan tidak berguna apabila dikembangkan. Sejalan dengan penilaian itu, Menteri Pendidikan Kolonial Belanda menolak memberi subsidi kepada sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Alasan itu didasarkan atas pertimbangan bahwa Pemerintah Kolonial Belanda tidak ingin mengorbankan uang negara untuk keperluan yang tidak ada kejelasan manfaatnya bagi negara.
Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pendidikan bagi masyarakat Indonesia yang disebut Sekolah Desa. Lembaga pendidikan yang disebut dengan nama Sekolah Desa, kemudian menjadi embrio lembaga pendidikan umum yang saat ini dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sejalan dengan berkembangnya Sekolah Desa, tidak ketinggalan pula sistem pendidikan Islam yang berbasis di masyarakat pedesaan berkembang atas swadaya masyarakat. Karena sifatnya swadaya, maka kebanyakan lembaga ini mengabaikan atau bahkan tidak memiliki jalur hubungan dengan Pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu. Sikap seperti itu digambarkan oleh Karel A. Steenbrink merupakan gerakan anti Belanda. Oleh sebab itu, sekolah Islam selalu mengambil jalan sendiri, lepas dari Gubermen (istilah pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa di Indonesia).
Setelah kemerdekaan sistem pendidikan yang demikian tetap mengakar dalam masyarakat Indonesia. Satu sisi sebagian para tokoh kemerdekaan tetap memandang ideal sistem pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Kolonial Belanda, sebagian yang lain menganggap yang diideal untuk dikembangkan adalah sistem pendidikan Islam. Bahkan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan kurang menghargai atau meremehkan sekolah-sekolah Islam. Untuk menjebatani hal itu, maka sistem pendidikan Islam dikelola oleh Departemen Agama yang para menterinya berlatarbelakang Islam. Sementara sistem pendidikan warisan Kolonial Belanda diserahkan pengelolaannya pada Departemen Pengajaran, pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang berganti nama dengan Departemen Pendidikan Nasional.
Pada tahun 1950, terjadi suatu pristiwa bersejarah yang menandai dualisme terkait tentang polemik pendidikan di Indonesia. Presiden Soekarno menetapkan berdirinya Universitas Gadjah Mada (Universitas Umum) yang diperuntukkan bagi golongan Nasional dan dalam kurun waktu bersamaan menetapkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta yang diperuntukkan bagi umat Islam. Kebijakan ini dinilai oleh sebagian para tokoh sebagai accident sejarah dalam dunia pendidikan Indonesia.
Pertimbangan Presiden Soekarno waktu itu tidak lepas dari sistuasi politik saat itu. Tetapi bagaimanapun pertimbangan untuk mengotakkan golongan Islam dan golongan Nasional kedalam dua entitas yang berbeda yakni pendidikan “pendidikan agama” dan “pendidikan umum” merupakan kelanjutan fenomena sebuah sistem pendidikan di Indonesia. Dan fenomena itupun merupakan warisan dari zaman Kolonial Belanda.
Dalam perkembangannya, Universitas Umum dan PTAIN telah membentuk polarisasi yang lebih menyeluruh. Artinya implementasi atas fenomena itu memperkuat dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Atas perkembangan realitas itu Nurcholish Madjid mengandaikan bahwa umpamanya negeri Indonesia tidak pernah mengalami penjajahan oleh Bangsa Asing, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh sistem pendidikan Islam. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UGM, ITB, IPB, Unair, UNDIP, UNIBRAU, UNTAG, UNES, UBAYA ataupun yang lain, tetapi mungkin namanya “universitas” Krapak, Tremas, Tebuireng, Rejoso, Lasem, Bangkalan, dan seterusnya. Kemungkinan itu ditarik secara kasat mata atas pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat. Dimana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan.

C.  Implementasi Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional
Disampaikan bahwa dalam implentasinya, sistem pendidikan di Indonesia tidak lepas dari kondisi sosio kultural dan politis Bangsa ini. Beuground historis menjadi landasan yang tidak terpisahkan dalam prakteknya. Ketika memperhatikan sistem pendidikan di negara Indonesia, dunia pendidikan sudah berkembang dalam sistem yang dualistik antara pendidikan umum (nasional) di satu pihak dan pendidikan agama di lain pihak.
Apabila ditinjau dari segi historisitasnya, dualisme itu pada awalnya sudah eksis sejak masa penjajahan Belanda. Namun sebagai refleksi, eksistensi kedua lembaga pendidikan itu merupakan pergumulan dari dua basis politik ---Islam dan Nasionalisme--- yang sejak awal kemerdekaan Indonesia tidak bisa dielakkan untuk melebur kedalam salah satu sistem pendidikan yang ada. Sampai pada puncaknya ---dalam sejarah mencatat--- benturan yang cukup serius terjadi saat penentuan dasar dan bentuk negara Indonesia. Meskipun dalam kenyataannya terjadi rekonsiliasi dalam formula negara yang berdasarkan Pancasila. Tetapi implikasi dualisme ideologis itu berdampak terhadap dunia pendidikan.  Fenomena itu tampaknya tidak bisa dihapuskan dalam masa pendek. Disamping masalahnya cenderung bersifat instrumental, juga karena secara realistik ---khususnya--- lembaga pendidikan berbasiskan Islam memiliki akar historis yang sangat panjang di Indonesia, bahkan jauh lebih panjang dari tradisi lembaga pendidikan berbasiskan umum yang di dominasi oleh pendidikan nasional dewasa ini.
Atas berbagai fenomena dan faktor historis yang ada tersebut, implementasi sistem pendidikan Indonesia dikelola oleh dua Departemen. Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (saat ini berganti nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional) membawahi pelaksanaan pendidikan yang di dominasi oleh pengajaran ilmu pengetahuan umum. Sementara di sisi yang lain pelaksanaan pendidikan yang di dominasi pengajaran ilmu pengetahuan Agama dikelola oleh Departemen Agama.
Usaha untuk memadukan sistem pendidikan yang dualistik tersebut sebagaimana telah diusahakan di era pemerintah Orde Baru. Namun usaha itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena pada masa awal abad ke-19 usaha ke arah itu sudah di mulai ketika gerakan modernis Islam. Gerakan ini mencoba pada tahap usaha memperbaharui pendidikan Islam dengan memasukkan mata-mata pelajaran baru (umum) dan memperkenalkan sistem didaktik metodik ala “Barat”.Gagasan itu dilakukan mengingat ketertinggalan ilmu pengetahuan umat Islam tertinggal jauh dengan Bangsa Barat. Akibat ketertinggalan itu dikarenakan orientasi pendidikan umat Islam lebih mengarah pada persoalan-persoalan ukhrowiyah (ke-akhirat-an), sementara pendidikan dikalangan umat Islam mengabaikan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hal-hal duniawiyah (ke-dunia-an). Gerakan modernisme Islam mencoba melakukan penggabungan penguasaan ilmu pengetahuan dengan mengorientasikan kepada dua hal itu (dunia dan akherat). Dasar pembaharuan dalam pendidikan dikalangan umat Islam pun perlu dilakukan perombakan keorientasian. Usaha pembaharuan itu diwujudkan dengan mencoba menggabungkan ilmu pengetahuan yang berorientasi keduniaan dan ilmu pengetahuan yang berorientasi keagamaan secara seimbang.
Disamping ketidakbaruan pemerintahan Orde Baru dalam usaha penggabungan dualistik sistem pendidikan di Indonesia dan juga tidak menuai hasil memuaskan karena usaha itu diorientasikan lebih bersifat network. Padahal, kedua institusi itu memiliki orientasi yang berbeda. Bisa dilihat pemberian materi pelajaran di lembaga pendidikan yang dikelola oleh Diknas. Hingga saat ini, jam pelajaran keagamaan masih belum sebanding dengan materi pelajaran lain, demikian juga sebaliknya. Juga terkait dengan persoalan pembiayaan dan manajemen manajemen yang tidak seimbang. Sebagai contoh dalam persoalan pendanaan di lembaga pendidikan yang di kelola oleh Departemen Pendidikan Nasional memperoleh banyak kesempatan untuk mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan. Berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama. Karena tanggung jawab Depag cukup beragam selain menangani masalah pendidikan yang dikelolanya. Akibat beragamnya tanggungjawab Depag berimbas pada perolehan dana yang dialokasikan pengelolaan pendidikannya pun menjadi terbatas. Minimnya perolehan aliran dana ke lembaga pendidikan yang berbasiskan ilmu pengetahuan keagamaan ini, lembaga itu tidak bisa berbuat banyak untuk mengembangkan sarana dan prasarananya secara maksimal. Maka, yang terjadi sebuah jurang pemisah yang sangat dalam dan lebar antara lembaga pendidikan di bawah naungan Depag dengan lembaga pendidikan di bawah naungan Diknas.
Usaha yang cukup monumental karena boleh dinilai cukup revosioner adalah pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid. Di saat presiden Gus Dur (panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid) menyusun Kabinetnya. Beliau berani mengubah salah satu nama Departemen yang selama 32 tahun menangani tentang pelaksanaan pendidikan nasional yakni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) diganti nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan berganti nama itu, diharapkan juga akan berganti orientasi dalam mengelola pendidikan nasional. Untuk itu banyak kalangan para pengamat menilai bahwa perubahan nama departemen ini memiliki makna dan implementasi tertentu terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Boleh jadi implementasi pendidikan di Indonesia yang selama ini masih dualistik dan memiliki orientasi yang berbeda dilebur dalam satu “atap” atau satu Departemen.
Penilaian tersebut mungkin juga mendekati kebenaran tatkala dalam berbagai kesempatan Presiden Gur Dur menyampaikan pandangan untuk menempatkan apa yang disebut sebagai sekolah-sekolah agama ke bawah sistem pendidikan nasional. Bisa jadi ide itu mempertimbangkan kebutuhan Indonesia yang masih memerlukan perhatian serius tentang rendahnya kualitas SDM apabila dibandingkan dengan kualitas SDM negara lainnya. Disamping mempertimbangkan hal itu, juga terkait munculnya kepentingan global. Sebab, kepentingan global mampu memberikan dampak yang cukup signifikan pada pola kehidupan umat manusia diseluruh penjuru dunia tanpa terkecuali.
Kepentingan global menjadi perhatian karena salah satu dampak yang ditimbulkan adalah terbangunnya jaring-jaring komunikasi yang sangat intensif antar satu masyarakat dengan masyarakat lain. Apalagi intensitas komunikasi ini ditunjang dengan kemajuan teknologi khususnya kecanggihan teknologi komunikasi. Bisa jadi akibat dari intensitas komunikasi akan menyebarnya kepentingan maupun misi-misi suatu kelompok atau negara tertentu dengan mudah. Akibat mudahnya sosialisasi tersebut, menjadikan suatu masyarakat apabila tidak memiliki SDM berkualitas maka bisa jadi akan terbawa dan ikut arus dengan kepentingan tersebut. Untuk itu perlunya mempertegas sistem pendidikan kondusif, sehingga mampu menghasilkan SDM yang berkualitas. Disamping sistem kebijakan yang kondusif juga perlu suatu sistem pendidikan progresif. Progresifitas pendidikan perlu menjadi pandangan agar orientasi pendidikan mampu merespon perkembangan zamannya.

D.  Orientasi Pendidikan Nasional

Mencermati dinamika perkembangan masyarakat yang semakin kompleks akibat munculnya gerakan globalisasi yang tengah mengejala di seluruh antreo jagad raya ini, dan Indonesia sebagai bagian terkecil yang ada di alam jagad raya perlu adanya persiapan yang matang sehingga tidak tergilas oleh ganasnya perubahan iklim sosial yang semakin kompetitif. Globalisasi akan menjadi sebuah kebaikan sekaligus menjadi tantangan kehidupan umat manusia.
Bila dikaji secara komperhensif, gerakan globalisasi akan membawa implikasi positif dan negatif. Implikasi petama akan memicu terciptanya masyarakat atau individu untuk selalu tampil secara lebih baik dalam persaingan global. Sementara implikasi kedua akan menimbulkan munculnya kapitalis internasional disamping itu bagi masyarakat yang tidak memiliki kesiapan SDM, akan memicu budaya konsumeristik dan mengejalanya budaya materialisme.
Dalam situasi yang demikian, keadaan oleh Bangsa Indonesia masih dihadapkan pada tantangan lokal; seperti persoalan disintegrasi, kondisi rendahnya kesejahteraan masyarakat, banyaknya tenaga kerja tanpa disertai dengan langan kerja, rendahnya mutu pendidikan yang berakibat turunnya kualitas SDM bila dibanding dengan negara-negara lain. Sementara disisi lain bangsa Indonesia telah menyatakan untuk membuka diri bagi perdagangan bebas di tingkat dunia. Dengan adanya kesepakatan AFTA yang telah dimulai tahun 2003 dan juga APEC guna berbaur dalam perdagangan bebas dunia pada tahun 2020.
Jelas dengan kesepakatan-kesepakatan itu akan mendatangkan dan memperkuat adanya tiga situasi, yakni;  pertama meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global, kedua semakin ketatnya persaingan sumberdaya antar bangsa dan ketiga semakin besar adanya kemungkinan terjadinya eksploitasi dari negara yang lebih maju dan lebih siap bersaing dengan negara-negara belum mampu atau belum siap bersaing (Kasih dan Suganda, 1999:5).
Apabila di cermati dan ditelaah lebih dalam realitas tersebut, apakah bangsa Indonesia mampu menyelesaikan agenda internal disamping menhadapi ancaman global? Padahal masih lemahnya kualitas SDM yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal itu terbukti munculnya berbagai persoalan internal bangsa Indsonesia. Pertanyaan itu merupakan dasar untuk melakukan konstruk perbaikan bangsa yang penting untuk diperhatikan agar dapat survive dengan negara-negara di dunia ditengah perubahan global. Yang tergambar dalam setiap benak elemen bangsa jawabanya tidak lain adalah menyiapkan kualitas SDM Indonesia merupakan agenda pertama dan utama untuk segelara dilakukan.
Penyiapan mutu SDM Indonesia yang berkualitas tidak saja diminati sebagai mitra dalam melakukan hubungan kerjasama tetapi juga mampu bersaing dan sumber daya dari berbagai manca negara. Sehingga SDM Indonesia mampu menerobos pada jarin-jaring global yang bertaraf internasional. Termasuk didalamnya adalah manusia-manusia Indonesia yang mampu berkiprah dan eksis di negara-negara lain.
Dalam memasuki abad 21 yang identik dengan bentuk masyarakat terbuka, komunikasi antar wilayah bahkan antara negara dalam berbagai kehidupan akan bebas dari hambatan-hambatan yang dimunculkan oleh sekat-sekat wilayah negara manapun. Sebagai contoh,  dalam bidang bisnis hambatan-hambatan berbagai izin semakin mudah dan bahkan mungkin seluruhnya akan dihilangkan. Dalam bidang politik demokratisasi semakin menjadi idola di seluruh penjuru negara, karena sifatnya yang fleksibel atas dasar kompromi bersama seluruh elemen masyarakat dan transparan. Contoh kongkrit ideologi demokrasi menjadi idola masyarakat dunia adalah hancurnya tembok Berlin yang melambangkan kediktaktoran di Eropa, hancurnya faham komunisme dengan leburnya Uni Sovyet, tersingkapnya tirai bambu dari Cina komunis yang menandai perubahan sistem sosial politik yang lebih transparan dan tumbangnya ditaktor penguasa Orde Baru di Indonesia. Dari sekian contoh itu menunjukkan bahwa proses demokratisasi tidak dapat dibendung lagi. Dalam bidang budaya nampaknya ada suatu gelombang besar berupa munculnya ide budaya global mengejala di seluruh penjuru negara-negara di dunia. Terlebih, di dukung oleh perkembangan ilmu dan teknologi khususnya kemajuan teknologi telekomunikasi. Tampaknya muncul fenomena bahwa seolah wilayah suatu negara telah kabur atau boleh dikatakan hilang tanpa memiliki sekat maupun daerah teritorial. Fenomena suatu negara tanpa memiliki batasan teritorial itu, maka manusia akan lebih mengenal kemampuan suatu bangsa, saling mengetahui kekayaan yang ada dan kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Sehingga manusia bebas memilih dan menentukan yang lebih bermanfaat bagi hidupnya.
Seiring dengan fenomena tersebut juga diimbangi semakin menguatnya pengakuan terhadap hak asasi manusia yang mulai ngetren di berbagai belahan dunia. Sehingga dalam pandangan Tilaar fenomena seperti itu menunjukkan bahwa era globalisasi telah menempatkan manusia pada titik sentral dari seluruh proses kehidupan.
Apabila demikian yang terjadi, tentu pembangunan yang dilaksanakan hendaknya berorientasi pada pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia itu sendiri. Sebab, manusia modern akan lebih responsif dan tidak akan tinggal diam untuk turut serta dalam perubahan dinamika sosial yang semakin kompleks. Mereka akan melayangkan pandangannya dengan luas sehingga bisa melakukan pilihan-pilihan untuk menentukan kehidupannya yang lebih baik. Disamping itu pula, kehidupan di era global menuntut manusia untuk mampu menghasilkan karya yang lebih baik. Dengan demikian, hanya manusia yang berkualitas saja yang mampu survive dalam kehidupan global.
Di konteks global, apa sebenarnya sumber daya manusia itu? menurut Ishomuddin menyampaikan bahwa sumber daya manusia adalah para intelektual yang mampu menciptakan gagasan dan disertai mampu mengerakkannya untuk mewujudkan gagasan itu secara nyata. Jadi manusia dalam konteks SDM tidak saja memiliki pengetahuan atas kekayaan intektualitasnya semata, tetapi seiring dengan pengetahuan yang dimilikinya mereka mampu mengaktualisasikan diri dengan berbagai karya nyata yang dihasilkan.
Secara historis munculnya istilah sumber daya manusia dimulai untuk keperluan kebutuhan industri yang saat itu tengah mengejala di daratan benua Eropa. Kemudian istilah itu menjadi idelogi dalam masyarakat industrialisme. Sumber daya manusia menjadi idelogi dari suatu visi dan versi pandangan mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Sehingga titik tekan dari ideologi ini memandang tentang makna SDM adalah tertuju pada kemampuan manajerial disertai dengan kemampuan profesional (sofrware-nya) dan dimbangi keterampilan kerja (hardwere-nya). Kedua hal itu, ditambah dengan faktor-faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme industri, yakni; etos kerja, disiplin, semangat untuk maju. Akhirnya konsep sumber daya manusia mampu mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk lebih produktif.
Berangkat atas berbagai fenomena tersebut, bangsa Indonesia perlu mempertegas untuk lebih konsisten dengan pembangunan manusia. Dengan kata lain bahwa pembangunan kedepan adalah pengembangan sumber daya manusia berkualitas. Upaya itu dilakukan agar terciptanya masyarakat yang memiliki motifasi untuk maju yang sekaligus terwujudnya mengembangkan potensi untuk mewujudkan demi kesejahteraannya secara lebih baik dan daya integritas bangsa dimata dunia internasional.
Dalam mengupayakan pembangunan manusia Indonesia menuju terwujudnya pengembangan SDM berkualitas, diperlukan sebuah proses. Proses itu tidak serta merta ada dengan sendirinya tanpa adanya suatu rekayasa. Rekayasa itu pun hendaknya di manaj dalam kawah candradimuka yakni sebuah pendidikan yang benar-benar kondusif.
Bagaimanapun, pendidikan merupakan upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia ---khususnya peserta didik. Disamping itu, pendidikan juga merupakan sebagai bentuk upaya ikhtiar dalam penyiapan generasi muda untuk mempengarui kehidupan yang akan datang, dimana hal itu sangat dibutuhkan oleh pembangunan (Marzuki Wahid, et al, 1999:32). Untuk itu ketika Presiden Suharto membuka konfrensi Dewan Menteri-Menteri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) ke -17 mengemukakan bahwa, pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap Bangsa, terlebih lagi bagi Bangsa yang sedang membangun (Furchan, 1982: vii). Untuk itu kecenderungan pembangunan memerlukan sumber daya manusia yang memiliki ilmu pengetahuan memadai sebagai instrumennya.
Secara implementatif, Bangsa Indonesia sadar ketika kran demokratisasi terbuka lebar di negeri ini. Ketika Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada pertengahan tahun 1998 tepatnya tanggal 21 Mei lalu, merupakan babak baru dalam sejarah Bangsa Indonesia yang selama 32 tahun di bawah sebuah rezim otoriter. Gerbang reformasi mengantarkan masyarakat Indonesia pada proses demokrasi secara nyata ---meskipun pada awalnya hingga sekarang masih mencari bentuknya. Sebuah fenomena sosial yang tidak saja menyangkut perubahan sistem politik, tetapi juga menyangkut seluruh bidang kehidupan sosial, ekonomi, keamanan, dan bahkan di bidang pendidikan masuk didalamnya sebagai bagian dari agenda reformasi.
Dalam sistuasi demikian ---khususnya di bidang pendidikan--- Bangsa Indonesia memberikan perhatian cukup besar terkait masalah-masalah sistem pendidikan nasional. Sebab diakui secara obyektif bahwa krisis yang terjadi di negara Indonesia akibat dari ketidak berhasilan bangsa dalam menatata sistem pendidikan nasional secara lebih obyektif.maka, pembangunan nasional akan diimbangi dengan penataan sistem pendidikan yang lebih baik. Sebagaimana tergambarkan dalam amanat GBHN tertuang pada TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004 dijelaskan dalam BAB I alinea ke-3 dan 4:
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengacu pada kepribadian Bangsa dan nilai-nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.
Pembangunan yang terpusat dan tidak merata yang dilaksanakan selama ini ternyata hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi serta tidak diimbangi kehidupan sosial, politik, ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Fundamental pembangunan ekonomi yang rapuh, penyelenggaraan negara yang sangat birokratis dan cenderung korup serta tidak demokratis telah menyebabkan krisis moneter dan ekonomi, yang nyaris berlanjut dengan krisis moral dan memprihatinkan. Hal tersebut kemudian menjadi penyebab timbulnya krisis nasional yang berkepanjangan telah membahayakan persatuan dan kesatuan, mengancam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, reformasi disegala bidang dilakukan untuk bangkit kembali dan memperteguh kepercayaan diri atas kemampuannya dan melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan dengan paradigma baru Indonesia masa depan yang berwawasan kesatuan dalam rangka mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945.

Hal tersebut juga dipertegas dalam BAB II Bidang pendidikan alinea ke-14 menyebutkan bahwa:
Di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.

Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam menghadapi kerja sama dan persaingan global.

Berdasarkan atas pemikiran dan kondisi umum dari Amanat GBHN tersebut, maka lahirl visi baru  sistem pendidikan Indonesia yang juga tertuang dalam GBHN yakni; terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknolog, memiliki etos kerja yang tinggi serta berkedisiplin. Untuk mengimplementasikan visi tersebut lahirlah misi sebagai perwujudan atas visi yang dicapainya. Misi itu adalah; perwujudan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab, berketarampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.
Berbekal dengan visi dan misi diatas, tercipta arah kebijakan dalam menentukan langkah demi terwujudnya idealitas Bangsa. Sehingga pada TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN di dalam arah kebijakan terkait dengan masalah pembangunan pendidikan nasional menyebutkan:
1.       Mengupayakan perluasa dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan upaya peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2.       Meningkatkan kemampuan akademik dan dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3.       melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi untuk melanyani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasionaldan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diverifikasi jenis pendidikan secara profesional.
4.       memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan serta serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang di dukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.
5.       Melakukan pembaharuan dan pemerataan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
6.       Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
7.       mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
8.       meningkatkan penguasaan, pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan serta teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengahdan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.

Berdasarkan kajian konstitusi yang tertuang dalam lembar negara sebagai landasan kebijakan untuk menata langkah menuju Indonesia Baru yang lebih baik utamanya bidang pendidikan, ini merupakan langkah berani. Keberanian langkah itu tidak pernah terjadi pada suatu kebijakan pendidikan yang berterbuka di pemerintahan sebelumnya. Kenyataan yang demikian menunjukkan perubahan padigma pendidikan secara lebih progresif dengan mengutamakan dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
Progresifitas sistem pendidikan nasional adalah hasil dari sekian akumulasi persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Pada waktu pemerintahan Orde Baru sistem pendidikan dijalankan dengan paradigma strukturalis tertutup. Artinya semua kebijakan dan pelaksanaan sistem pendidikan nasional diatur oleh pemerintah pusat. Sementara paradigma tertutup terletak pada pengendalian yang demikian sentralistiknya. Bisa dibayangkan, fenomena Indonesia yang terdiri dari berbagai macam ragam suku bangsa, etnis, ras dan agama hanya dikendalikan satu titik di pemerintah pusat. Aspirasi, kreatifitas, kebutuhan dipangkas dengan argumen demi menjaga stabilitas Bangsa. Akhirnya hasil dari proses pendidikan hanya dinikmati dan dirasakan oleh pemerintah pusat secara sefihak. Pemerintah daerah yang beragam tidak dapat menuai dari pendidikan yang dijalankan. Padahal bila dikaji tentang pendidikan dijalankan untuk merespons kebutuhan dan perkembangan masyarakat sekitar. Akhirnya, banyak para pakar berpendapat bahwa pendidikan yang tengah dijalankan oleh Bangsa Indonesia hanya sekedar untuk memuaskan penguasa pusat dan jauh dari tujuan sebagaimana mestinya.
Sejak pemerintahan Orde Baru berkuasa sistem pendidikan yang dijalankan sangat top down sehingga sangat kecil kemungkinan untuk menyerap aspirasi dari bawah. Ketika gerakan reformasi bergulir ---khususnya bidang pendidikan--- titik tekan pelaksanaan pendidikan berdasarkan aspirasi dari bawah. Sistem yang batem aup sebagaimana dalam kebijakan tersebut memberi ruang tertendiri bagi daerah untuk berlomba meningkatkan kualitas pendidikan. Sehingga proses pendidikan yang tengah dijalankan, hasilnya mampu dirasakan oleh daerah masing-masing. Awalnya aturan itu tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi adalah penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.



[1] Apabila dilihat dari faktor kesejarahan umat manusia, dalam pandangan Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berumur sangat tua. Dalam bentuk sederhana dapat dipahami pendidikan telah dijalankan sejak dimulainya (baca: awal) manusia ada di muka bumi ini. Gambaran sederhananya untuk membuktikan pandangan itu adalah penguasaan terhadap alam semesta bagi manusia sebagai salah satu contoh yang nyata. Tidak mungkin manusia secara langsung dapat menundukkan (baca: mengelola) alam semesta seperti saat ini dengan menggunakan alat yang bisa dikata lebih canggih. Alat yang digunakan saat ini, dalam mengelola alam tidak mungkin langsung secanggih sekarang.  Dapat dipastikan pengembangan pengunaan alat dalam mengelola alam melalui proses panjang, yakni dari sangat sederhana ke sederhana menuju pada kecanggihan. Baca Ahmad Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat, Jurnal Pendidikan Islam, No. 2, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UII, 1996), 6. Demikian halnya dalam pandangan Rusli Karim menyampaikan bahwa karena pentingnya pendidikan bagi manusia, hal ini sekaligus yang membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instink. Sedangkan bagi manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju “pendewasaan” guna meraih kehidupan yang lebih berarti terutama bagi pribadi (individu) manusia itu sendiri. M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, Dalam editor Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), 27.
[2] M. Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 77. Demikian juga dalam pandangan Soewito yang mengutip pendapatnya A. Malik Fadjar saat penggukuhan Guru Besar menyampaikan bahwa proses pendidikan juga dapat di fahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, Makalah Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah  Pemikiran  dan  Pendidikan  Islam,  (Jakarta: IAIN  Syarif  Hidayatullah, 2002), 1.