Sabtu, 18 Januari 2014

Kajian Sistem Desentralisasi Pendidikan

"+"

Keutamaan Penerapan
GAGASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN


Pendidikan merupakan domain penting dalam dinamika peradaban sebuah bangsa. Sebuah bangsa akan maju apabila pendidikannya berkualitas. Tentunya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan kerja keras dan pro aktif semua kalangan. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Rendahnya mutu pendidikan nasional tidak bisa sepenuhnya divonis sebagai dosa pemerintah yang salah urus terhadap pendidikan, walaupun pemerintah memang menjadi aktor utama yang sangat menentukan terhadap mutu pendidikan Indonesia. Untuk itu, perlu diagnosis jitu untuk mengetahui penyebab mengapa pendidikan Indonesia terpuruk hingga titik nadir. Baru setelah itu bisa ditentukan ramuan apa yang paling mas untuk mengobati pendidikan yang sedang sakit itu.
Dari sejumlah analisis para pakar pendidikan ditemukan bahwa salah satu penyebab terpuruknya pendidikan di Indonesia adalah karena selama ini pendidikan ditangani oleh pusat. Mulai dari kurikulum, buku ajar, evaluasi, distribusi tenaga pendidik, bahkan biaya pun diurus oleh pusat. Daerah tidak memiliki wewenang apa-apa dalam pendidikan. Daerah harus menjalankan konsep tunggal yang sudah digariskan oleh pusat. Pada titik inilah daerah kehilangan kreatifitasnya. Daerah sudah terbiasa membeo dan menunggu kebijakan dari pusat. Pemerintah pusat seakan-akan memperlakukan daerah seperti anak kecil yang tidak bisa berbuat apa dalam sektor peting seperti pendidikan.  
Untuk itu, seiring diterapkannya desentralisasi pemerintahan, muncul pemikiran mengenai desentralisasi pendidikan. Secara sektoral, desentralisasi pendidikan diartikan sebagai sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebhinnekaan. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa setiap daerah memiliki sejarahnya sendiri, kondisi dan potensinya sendiri yang berbeda satu sama lain. Daerahlah yang lebih banyak mengetahui keadaan dirinya, permasalahan dan aspirasi masyarakatnya. Daerah yang bersangkutan seyogyanya mampu untuk menyusun rencana, merumuskan kebijakan dan mengambil keputusan serta menentukan langkah-langkah pendidikannya. Meskipun demikian, desentralisasi pendidikan tidak berarti menciutkan substansi pendidikan menjadi substansi yang bersifat lokal dan sempit, atau pendidikan menjadi berorientasi primordial yang dapat menumbuhkan sentimen kedaerahan.
Desentralisasi pendidikan bisa diartikan sebagai pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya dalam pendidikan, dengan tetap mengacu pada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Dalam pengertian ini, desentralisasi pendidikan akan mendorong terciptanya kemandirian dan rasa percaya yang tinggi dari pemerintah daerah yang pada gilirannya mereka akan berlomba meningkatkan pelayanan pendidikan bagi masyarakat di daerahnya sendiri. Persaingan yang sehat dan kerjasama antar daerah diharapkan terus tumbuh dalam suasana keterbukaan komunikasi antar daerah yang dijiwai dengan semangat persatuan dan kesatuan dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang bercirikan keragaman daerah. Sementara itu pemerintah pusat memainkan peranan yang sangat menentukan untuk memberikan perimbangan kepada daerah yang memiliki sumber daya yang terbatas. Dengan mekanisme penyelenggaraan pendidikan yang demikian, pelayanan pendidikan diharapkan lebih efektif dan efisien, karena daerah tidak tergantung atau menunggu kebijakan pusat untuk keperluan daerahnya.
H.A.R. Tilaar (2002) melihat ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan, yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pembangunan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa.
1.      Masyarakat Demokrasi
Masyarakat demokrasi atau dalam khazanah bahasa kita dikenal dengan civil society adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui akan hak-hak asasi manusia. Civil society adalah masyarakat yang terbuka di mana setiap anggotanya merupakan pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri. Pemerintahan di dalam civil society adalah pemerintahan yanh dipilih oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyatnya sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang baik (good government) dan pemerintahan yang bersih (celan governance).
Masyarakat terbuka mengakui akan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakatnya. Perbedaan-perbedaan itu justeru merupakan kekuatan dalam civil society. Perbedaan pendapat diakui dan oleh sebab itu diperlukan suatu sikap toleransi yang tinggi. Tanpa toleransi tidak mungkin terwujud suatu masyarakat demokratis. Dengan dalih untuk stabilisasi dan keamanan, hak-hak manusia kadang dikorbankan.
Masyarakat demokratis sangat menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan tunduk terhadap keputusan bersama yang telah diambil oleh semua anggota. Dalam masyarakat ini dituntut adanya tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial dari masing-masing anggotanya dalam melaksanakan keputusan bersama tersebut.
Sikap serta nilai yang telah diuraikan di atas yang merupakan ciri khas dari masyarakat demokrasi tidak datang dengan sendirinya tetapi merupakan suatu proses. Proses tersebut adalah proses pendidikan. Civil society tidak lahir dengan sendirinya karena memerlukan suatu sistem nilai yang berbeda dengan masyarakat otoriter. Oleh karena itu transisi dari masyarakat Orde Baru yang serba otoriter dan sentralistis menuju pada masyarakat demokratis yang mengakui akan hak-hak asasi manusia dan menghargai adanya perbedaan antar anggotanya memerlukan suatu proses yang bernama pendidikan.
Pendidikan dasar yang merupakan hak dari semua warga negara merupakan pondasi dari suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu, pendidikan dasar yang bebas (free basic education) harus dijadikan prioritas utama dalam membangun masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat yang demokratis.
Perubahan dari pemerintahan yang sentralistis ke pemerintahan yang memberikan otonomi luas kepada daerah menuntut suatu persiapan. Lembaga-lembaga sosial yang ada harus dirombak dengan menggunakan paradigma baru. Perubahan paradigma kehidupan bermasyarakat tersebut memang tidak mudah dicapai. Selama bertahun-tahun paradigma lama yang berdasarkan kekuasaan telah mengakar dan membudaya. Karenanya, perubahan kearah masyarakat yang demokratis memerlukan pemimpin-pemimpin baru.
Pemimpin-pemimpin masa Orde Baru tentu sulit untuk serta merta mengubah dirinya dengan menggunakan paradigma baru. Pembangunan masyarakat demokrasi meminta suatu generasi pemimpin yang baru, yaitu seorang pemimpin demokratis, yang terbuka, dan bebas dari virus KKN. Sebab itu, masa transisi sekarang ini meminta sekurang-kurangnya satu generasi di dalam pembinaannya. Akan muncul pemimpin-pemimpin masyarakat yang menghayati nilai-nilai demokrasi, dan sosok pemimpin yang demikian hanya dihasilkan melalui sistem pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan yang sesuai.          
2.      Pengembangan “Social Capital”
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, penenang hadian Nobel Ekonomi tahun 1998, menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital  yang menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital hanya dapat dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebasan berpikir kritis tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Sistem pendidikan yang sentralistis yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan penembangan suatu masyarakat demokrasi yang terbuka. Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai empunya pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokratis berarti pula rakyat ikut membnina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
 Selanjutnya para ahli seperti Fukuyama mengatakan bahwa social capital yang tidak kalah pentingnya dalam masyarakat demokratis adalah adanya rasa saling mempercayai (trust). Fukuyama memberi solusi kepada tesis Huntington yang mengatakan akan terjadi benturan-benturan kebudayaan manusia. Di dalam masyarakat dunia yang demokratis perlu ditumbuhkan sikap saling percaya, menghargai adanya perbedaan dan keyakinan akan adanya kesamaan-kesamaan terhadap nilai-nilai universal.
Peran pendidikan di dalam menumbuhkan keyakinan terhadap perlu adanya nilai-nilai universal seperti nilai-nilai persatuan bangsa adalah sangat besar. Di negara-negara maju seperti Masyarakat Bersama Eropa (European Union) sangat memperhatikan peranan pendidikan di dalam persatuan Eropa. Persatuan Eropa, menurut negarawannya, hanya dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai sarana kohesi sosial (social cohesiveness).       
3.      Pengembangan Daya Saing Bagsa
Di dalam suatau masyarakat demokratis setiap anggotanya dituntut partisipasi optimal dalam mengembangkan kehidupan pribadi dan masyarakatnya. Di dalam kehidupan bersama tersebut diperlukan kemampuan daya saing tinggi di dalam kerja sama. Di dalam suatu masyarakat otoriter dan statis, daya saing tidak mempunyai tempat. Oleh karena itu, perkembangan masyarakat sangat lamban. Masyarakat bergerak dengan komando dan oleh sebab itu sikap masa bodoh dan menunggu merupakan ciri dari suatu masyarakat otoriter.
Daya saing di dalam suatu masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain, tetapi dalam rangka kerja sama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuannya. Diantara faktor-faktor yang sangat menentukan daya saing tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru dan inovasi.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar