Senin, 13 Januari 2014

Fenomena Budaya Pesantren

"+"

Dinamika masyarakat
Seiring Pertumbuan Pesantren di Indonesia




Fenomena pondok pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan dan keagamaan di daerah-daerah pedesaan di Indonesia yang tersebar luas di hampir seluruh tanah air. Dewasa ini memang sedang terjadi proses perubahan dalam tumbuh kembang pondok pesantren, baik perubahan karena pengaruh dari luar maupun dari dalam pesantren. Hal yang patut dipertanyakan ialah apakah lembaga pendidikan yang termasuk kategori lembaga pendidikan tradisional ini akan mampu bertahan terhadap perubahan sosial dan arus modernisasi yang sedang mengejala. Jawabannya tentu tergantung pada daya mampu dan tanggap lembaga itu sendiri dalam menjawab tantangan tersebut.
Adalah tidak berlebihan bahwa sampai dewasa ini di Indonesia masih dengan jelas dapat dibedakan adanya dua pola kebudayaan yang masih hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat Indonesia. Pola kebudayaan itu, yaitu pola kebudayaan santri dan non santri yang terkadang disebut sekuler, Abangan, dan Priyayi. Memang secara nyata, perbedaan tersebut sangat sukar untuk dibuktikan. Namun demikianbila diamati secara kultural tidak sulit untuk dibedakan. Perbadaan itu antara lain terlihat dalam cara hidup mereka, cara mengatur waktu, cara berfikir, cara bergaul, cara berekspresi dan lain sebagainya. Dalam kenyataannya, memang tidak setajam seperti digambarkan tetapi pada dasarnya ada perbedaan-perbedaan bahkan tidak jarang terjadi benturan nilai.
Sudah lama kalangan peneliti mencari jawaban apa sebabnya di Indonesia berkembang kelompok Santri, Abangan, dan Priyayi. Sebagaian dari mereka terburu mengambil kesimpulan bahwa faktor agama yang membentuk kelompok-kelompok tersebut. Contoh seperti Clifford Geertz menyebutnya dengan Santri Religion, Abangan Religion, dan Priyayi Religion. Alasan itu dijelaskan bahwa agama Santri adalah Islam, Abangan beragama Jawa asli sedangkan Priyayi lebih cenderung pada agama Budha atau Hindu. Pendapat ini sepintas memang ada unsur kebenarannya. Tetapi kenyataannya membuktikan bahwa perbedaan itutidak terletak pada perbedaan agama, tetapi lebih banyak terletak pada orientasi kebudayaan yang dianutnya. Sebab kelompok Santri yang dianggap sebagai pemeluk Agama Islam yang taat itu tidak seluruhnya berorientasi pada budaya dan cara hidup yang berbau “padang pasir”. Tidak sedikit mereka yang taat menjalankan ajaran Islam, namun cara hidup dan pola kebudayaan yang dianut adalah cara hidup ala Barat dan cara berfikir sekuler. Demikian pula mereka yang disebut kaum Abangan, mereka melaksanakan ajaran-ajaran kebatinan mereka sebagian besar adalah pemeluk Agama Islam. Begitu pula yang disebut kelompok Priyayi sama sekali tidak mengandung konotasi keagamaan didalamnya. Ia lebih banyak merupakan klas atau strata sosial tertentu berdasarkan keturunan Aristokrat, jenis pekerjaan atau pola kebudayaan yang dihayati. Banyak juga Priyayi yang justru taat menjalankan ajaran Islam namun berpola kebudayaan dan cara hidup Jawa asli yang umumnya tidak dianut kalangan Santri. Sebagaimana pula tidak sedikit Priyayi yang beragama Kristen, atau Priyayi penganut aliran Kepercayaan yang patuh namun tetap mengaku Islam.
Polarisasi kebudayaan seperti tersebut mungkin akan tetap berkembang dalam jangka waktu yang masih cukup lama, lebih-lebih apabila tidak mendapat penanganan dan pengarahan yang sungguh-sungguh dan bijaksana. Bagi mereka yang berpikir santai mengganggap polarisasi kebudayaan semacam itu tidak perlu dirisaukan. Biarlah masing-masing berkembang untuk memperkaya budaya Indonesia. Tetapi bagi mereka yang merindukan kekhususan jatidiri sebagai bentuk identitas suatu daerah, berpendapat polarisasi tersebut harus segera diakhiri. Sebab hal ini akan melemahkan kekhususan identitas itu sendiri ditengah derasnya arus globalisasi dengan membawa efek yang luar biasa disetiap sendi kehidupan.  
Pada perbincangan ini, penulis sependapat dengan pandangan kedua, bahwa polarisasi kebudayaan harus segera dipecahkan. Hanya caranya yang bagaimana. Alternative pertama tentunya secara drastis, keras dan dipaksa, semacam “Revolusi Kebudayaan”. Tapi, cara ini akan banyak mengandung resiko, melanggar hak asasi, terjadi disintegrasi, memicu pertentangan.
Memang benar bahwa polarisasi kebudayaan menjadi sebab atau sumber yang mewarnai kehidupan masyarakat saat sekarang maupun yang akan datang. Tetapi sebuah kebenaran juga bahwa polarisasi sosial budaya yang dimiliki sekarang tidak lain adalah hasil atau akibat dari sistem yang sudah diterapkan secara mapan. Di Indonesia sudah sejak lama adanya dualisme pendidikan. Dualisme pendidikan telah diterima sebagai kenyataan yang sudah berkembang di masyarakat. Dualisme pendidikan ini dikenal dengan pertama sekolah umum dan kedua sekolah agama (termasuk didalamnya adalah pesantren).

Sudah sejak lama dirasakan bahwa dari dua jenis lembaga pendidikan ini telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki orientasi, cara hidup, cara berpikir, dan cara menilai dan memcahkan sesuatu yang terkadang sama tetapi tidak jarang terjadi perbedaan bahkan sering terjadi benturan. Kelompok pertama dianggap modern, obyektif sekuler, inklusif. Sedangkan kelompok kedua dianggap konservatif, emosional, eksklusif, subyektif. Kelompok pertama mendapat kesempatan luas untuk mengatur negara di pemerintahan, sementara kelompok kedua masuk ke dalam usaha-usaha mandiri atau berwiraswasta kecil dan menengah. Namun sebagian besar kelompok kedua, memiliki pengaruh yang berakar dalam masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar