Rabu, 08 Januari 2014

Kajian Kurikulum Pendidikan

"+"

Toeri Kurikulum




A.     Pendahuluan

         Persoalan pendidikan yang selalu menjadi sorotan adalah kurikulum. Ini tidak berarti bahwa dimensi-dimensi pendidikan lainnya menjadi tidak penting untuk diperbincangkan. Sorotan tajam pada kurikulum tidak lepas dari asumsi bahwa kurikulum merupakan domain inti (core domain) dalam proses belajar mengajar. Lebih dari itu, kurikulum diyakini sangat menentukan terhadap corak out put pendidikan suatu negara. Parahnya, setiap kali ada masalah sosial, misalnya: maraknya kurupsi, kekerasan, dekadensi moral, konflik SARA, dan lain-lain, maka yang kena getahnya adalah kurikulum. Para pemikir kemudian beramai-ramai mengusulkan perubahan isi kurikulum. Di antaranya, ada yang menginginkan perlunya memasukkan anti korupsi, wawasan multikulturalisme, dan anti terorisme dalam kurikulum pendidikan kita.
‘        Gonta-ganti’ kurikulum seberanya bukan hanya terjadi di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Negara yang sudah maju (developed country) seperti Amerika Serikat juga mengalami hal serupa. Setidak-tidaknya itulah yang diungkapkan oleh George A. Beauchamp dalam bukunya “Curriculum Theory” (1968: 1-2). Beauchamp mengungkapkan bahwa setiap kali ada tuntutan (cetak miring dari penyusun) transmisi elemen budaya tertentu terhadap generasi muda, maka elemen tersebut acapkali menjadi materi kurikulum baru sekolah. Sayangya, kata Beauchamp, masuknya materi itu tidak dibarengi dengan definisi yang jelas mengenai perubahan peran sekolah yang menuntut dimasukkannya beberapa materi kurikulum baru.   
       Disinilah letak signifikansi teori kurikulum. Teori kurikulum merupakan rujukan dalam penyusunan, pengembangan, pembinaan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum (Subandijah, 1996: 6). Disamping itu, teori kurikulum juga memuat pertimbangan-pertimbangan multidimensional yang merupakan sekelompok kepu-tusan tantang tujuan, struktur, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum. Tidak belebi-han bila saya menyatakan bahwa “makalah ini menarik untuk diperbincangkan”.    

B.      Teori, Definisi dan Fungsi

         Mengenai definisi “teori”, masing-masing pakar memiliki pandangan yang berbeda-beda. Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey (dalam Beauchamp, 1968: 11) mendefinisikan teori sebagai “a set of conventions that should contain a cluster of relevan assumptions systematically related to each other and set of empirical definitions”.
        Douglas A. Robert menegaskan bahwa term teori melabelkan sebuah aktivitas seseorang dengan tujuan menghasilkan pengetahuan yang valid. Menurutnya, pencarian teori merupakan aktivitas dalam dunia riil. Dimana dalam pencarian teori tersebut, seseorang menyeleksi dan menggambarkan suatu partikular tertentu sembari ‘mengabaikan’ partikular-partikular lainnya (Robert, 1980: 66). 
        Menurut Arnold M. Rose, teori bisa diartikan sebagai bentuk intergral dari definisi, asumsi dan proposisi-proposisi umum (general propositions) yang berisi masalah pokok, dimana dari situlah seperangkat hipotesis yang komprehensif dan konsisten bisa dideduksi secara logis (Beauchamp, 1968: 11). Sementara Travers (Sukmadinata, 2002: 18) menyebutkan “a theory consists of generalizations intended to explain phenomena and that the generalizations must be predictive”.
           Definisi yang lebih sempurna diungkpakan oleh Kerlinger (Beauchamp, 1968: 13) bahwa “a theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and proposition that presents a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena”. Teori adalah seperangkat interrelasi konsep, definisi dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis mengenai fenomena-fenomena dengan cara mengelompokkan hubungan berbagai variabel, untuk menggambarkan dan memprediksi fenomena yang akan terjadi selanjutnya.
       Dari beberapa definisi diatas dapat disenderhanakan bahwa setidak-tidaknya teori memiliki tiga karakteristik: 1) pernyataan dalam teori bersifat memadukan (unifying statement), 2) pernyataan tersebut berisi kaidah-kaidah umum (universal propositions), dan 3) pernyataan-pernyataannya bersifat meramalkan (predictive statement).
         Pemahaman kita mengenai makna teori mungkin akan lebih sempurna bila disertai dengan penjelasan fungsi teori. Walaupun para ahli teori memiliki arah yang berbeda dari teroi yang mereka susun  (Robert 1980: 66-7), namun terdapat kesepakatan umum bahwa teori, kata Kerlinger (dalam Beauchamp, 1968: 13), berfungsi sebagai: (1) deskripsi, (2) prediksi, dan (3) penjelasan.
       Rumusan fungsi teori yang paling sederhana dikemukakan Brodbeck yaitu “teori tidak hanya menjelaskan dan  membuat prediksi, namun juga menyatukan fenomena-fenomena”. Sementara Gowin mengemukakan bahwa teori membantu peneliti untuk: 1) menganalisa data, 2) membuat ringkasan-ringkasan kecil atau sinopsis mengenai data yang diperoleh, 3) memberikan prediksi terhadap apa yang akan dilakukan selanjutnya (Beauchamp, 1968: 13-4).    
        Dari pandangan di atas, bisa diketengahkan bahwa tujuan utama teori adalah menjelaskan fenomena-fenomena atau kejadian-kejadian yang telah dipilih. Artinya, sebuah teori di satu sisi untuk mengkalkulasi segala sesuatu yang telah terjadi, dan di sisi lain untuk membaca apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena itu, menurut Brodbeck (Beauchamp, 1968: 18), adalah sesuatu yang penting bagi teoritisi untuk tetap concern terhadap relasi fenomena-fenomena yang ada. Sebab ia harus mencari hukum-hukum atau koneksi fakta-fakta di lapangan untuk kemudian menjelaskan dan memberikan prediksi kira-kira fenomena-fenomena apa yang akan terjadi di kemudian hari.
        Tugas seorang teoritisi adalah merumuskan istilah-istilah dan pernyataan yang akan menjelaskan isi bagian-bagian dan hubungan antara bagian-bagian tersebut. Beauchamp (1966: 19) manambahkan bahwa kalaupun seorang teoritisi berhasil menemukan teori baru, ia tidak akan pernah puas (never satisfied) dengan apa yang ia peroleh itu. Ia tetap mencoba mengkombinasikan berbagai event pada kejadian universal (ABC) untuk menghasilkan relasi dan hukum baru dalam teori yang baru pula.
         Dalam konteks ini, ungkap Kaplan, “….hukum bisa berjalan manakala ia diintegralkan dalam sebuah teori: teori berfungsi sebagai ‘mak comblang’ (matchmaker), dukun beranak (midwife) dan wali (godfather) sekaligus. Karenanya, tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa apa yang dihasilakan oleh teori dalam perkembangan sains, jauh lebih besar dibanding dengan empirisme sendiri. Berkat fungsi generatif teorilah sains bisa berkembang pesat (Beauchamp, 19668 19).   
 

C.     Teori Kurikulum

       Teori kurikulum (Schubert, 1986: 41) sebenarnya memiliki berbagai varian yang kemungkinan besar merupakan derivasi dari berbagai aliran filsafat seperti: perennialisme, idealisme, realisme, ekperimentalisme, eksistensialisme, dan sebagainya. Namun, secara sederhana teori kurikulum bisa dibagi menjadi bentuk, yaitu: “prescriptive” dan “descriptive”.
      Teori preskriptif meliputi pertanyaan-pertanyaan: apa yang peting untuk diketahui? Bagaimana kita tahu bahwa hal itu penting dan bermanfaat? dan bagaimana cara merealisasikannya. Artinya, teori preskriptif berkompeten terha-dap dunia yang “seharusnya”, realm of ought. Sedangkan teori deskriptif mena-nyakan: bagaimana cara membaca realitas dan wujud aslinya, sehingga memungkinkan untuk menjelaskan, memprediksikan atau mengontol sebuah aktivitas dan perilaku terencana? Haruskah nilai-nilai yang saya yakini diajarkan kepada orang lain? Bagaimana cara mempertahankan, menvalidasi dan memper-baiki nilai-nilai tersebut? Pendek kata, teori deskriptif berhubungan dengan dunia yang sebenarnya, realm of is (Schubert, 1986: 41). Dari sini bisa disebutkan bahwa teori kurikulum meliputi apa yang “seharusnya” dan yang “terjadi” di lapangan.
        Teori kurikulum sendiri, menurut Beauchamp (dalam Schubert, 1986: 131), merupakan disiplin ilmu baru dibanding kajian-kajian kurikulum lainnya. Ada yang menyatakan bahwa teori kurikulum pertama kali muncul awal abad ke-20. Namun pastinya, tambah Beaushamp, “Konferensi Teori Kurikulum” yang diadakan Universitas Chicago tahun1947 merupakan “kelahiran” teori kurikulum. Komferensi itu memperbincangkan apa yang seharusnya menjadi tanggungjawab teori kurikulum.
        Nah, untuk mengetahui tanggungjawab teori kurikulum, kita terlebih dahulu perlu memahami definisi teori kurikulum itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan Schubert di atas, teori kurikulum meliputi an image of both what ‘is’ and ought to be in curriculum. Schubert (1986: 41) menambahkan bahwa curriculum theory refers to the act of theorizing and reflecting. Glattorn mengartikan teori kurikulum sebagai serangkaian konsepsi yang berhubungan dengan konsep-konsep pendi-dikan yang berusaha menjelaskan secara sistematis dan perspektif terhadap kurikulum (Subandijah, 1996: 10).
         Sementara itu, Kliebard (dalam Schubert 1986: 131) menyatakan bahwa esensi teori kurikulum terletak pada “prinsip-prinsip dasarnya yang rasional, konsisten dan koheren, sebagai bahan kajian dan pijakan dalam mengambil keputusan tentang segala seuatu yang akan diajarkan kepada peserta didik”. 
        Definisi yang lebih sempurna dikemukakan oleh Beauchamp (Subandijah, 1996: 10). Menurutnya, teori kurikulum adalah “hubungan antara unsur-unsur kurikulum sekolah dengan cara menjelaskan hubungan unsur-unsur tersebut dalam rangka menggunakan, mengembangkan dan mengevalusi kurikukum”.
         Dari beberapa definisi yang dikemukakan teoritisi kurikulum di atas, dapat ditegaskan bahwa teori kurikulum merupakan usaha untuk menberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) apa yang harus dipelajari oleh peserta didik? (2) bagaimana seharusnya bahan yang tersusun itu dipelajari? (3) ukuran apa yang seharusnya diterapkan untuk mengevaluasi hasil belajar dan kurikulum yang telah disajikan? dan (4) prinsip apa yang seharusnya ditetapkan untuk mengarahkan keputusan pada butir-butir a,b, dan c di atas? (Subandijah, 1996: 10-11).   
        Untuk itu, tambah Beauchamp (1968: 7), kurikulum harus didasarkan pada pembacaan prinsip-prinsip dasar pendidikan (the basic principles of education). Dalam pendidikan terdapat beberapa komponen, termasuk di antaranya adalah kurikulum. Teori kurikulum sendiri tidak lain merupakan sub-teori dari teori pendidikan. Tiga kotak teratas (level 1) terdiri dari tiga kategori teori dasar, yaitu: teori-teori kemanusiaan, teori-teori ilmu alam dan teori-teori ilmu sosial. Tiga teori ini kemudian berkembang manjadi berbagai disiplin ilmu (level 2), seperti: arsitektur, rekayasa, pendidikan, hukum, kesehatan, dan sebagainya. Disipin-sisiplin ilmu ini mengartikulasikan otoritas dasarnya masing-masing dan memiliki “induk” sendiri-sendiri. Taruhlah ilmu engineering yang lahir dari ilmu alam, ilmu hukum sebagai derivasi dari ilmu sosial, dan bagitu juga dengan ilmu-ilmu lainnya.
         Kemudian pada level 3 merupakan sub-teori pendidikan saja. Pada deratan level 3 ini tidak ada korelasi dengan teori arsitektur, engneering, hukum ataupun kesehatan. Yang termasuk sub-teori pendidikan adalah teori administrasi, teori konseling, teori kurikulum, teori instruksional dan teori evaluasi. Namun, fokus kajian kita saat ini terletak pada “teori kurikulum”. Garis yang dicetak tebal pada gambar di atas untuk menggambarkan hubungan langsung, direct connection, antara supra dan sub-teori kurikulum. Memang tidak menutup kemungkinan bahwa teori rekayasa, misalnya, memiliki kontribusi terhadap teori administrasi atau teori kurikulum. Namun, itu hanya kontibusi suplemen saja. Mengapa? karena semua teori pada level 3 adalah sub-sub teori pendidikan saja.
        Begitu juga dengan level 4 yang meliputi: teori desain (kurikulum), teori prosedur (kurikulum) dan teori isi (kurikulum), merupakan sub-sub teori kurikulum. Teori administrasi dan instruksional bisa jadi berpengaruh terhadap teori desain. Namun teori desain bukanlah sub-teori dari keduanya. Perlu ditambahkan, garis tebal tersebut menggambarkan bagaimana relasi teori pendidikan terhadap teori kurikulum, kemudian relasi teori kurikulum pada sub-sub teori yang ada di level 4. Ini, kata Beauchamp (1968 3-4) membuktikan bahwa teori kurikulum termasuk salah satu masalah pendidikan, educational problem.

D.     Pendekatan-Pendekatan Teori Kurikulum 
         Belajar, kata Mark K. Smith, adalah rencana dan petunjuk. Smith mengakui bahwa definisi ini memang terbatas pada konteks sekolah (Smith, 2000: 2). Untuk itu, rumusan pendekatan-pendekatan teori kurikulum yang diajukan Smith di sini harus dipahami dalam bingkai “sekolah”. Jika dikaji lebih dalam lagi, sebenarnya apa yang dirumuskan Smith tidaklah berlebihan. Pasalnya, istilah kurikulum ada pada lembaga formal seperti sekolah dan sejenisnya. Maksud saya, pendidikan yang tidak terjadi di sekolah mayoritas tidak memiliki kurikulum. Pendidikan berjalan secara alamiah dan di dalamnya tidak ada proses rekayasa.
        Smith (2000: 2) memetakan pendekatan-pendekatan teori kurikulum menja-di empat bagian, yaitu: 1) kurikulum sebagai silabus yang akan ditransmisikan kepada peserta didik, 2) kurikulum sebagai upaya untuk mencapai tujauan tertentu pada diri siswa (baca: kurikulum sebagai produk), 3) kurikulum sebagai proses, dan 4) kurikulum sebagai praksis.
      Pertama, kurikulum sebagai silabus yang akan ditransmisikan kepada siswa. Scumbert menyebut teori ini dengan istilah berbeda, Prescriptive Curriculum Theory. Di sini, menurut Blenkin (dalam Smith, 2005: 2) dan Schubert (1986: 132),  kurikulum dipahami tidak lain adalah seonggok materi ilmu pengetahuan, dan pendidikan merupakan proses dimana ilmu pengetahuan itu ditransmisikan kepada siswa dengan menggunakan metode yang paling efektif (the most effective mothods).
       Pemposisian kurikulum seperti ini membuktikan bahwa tujuan kurikulum adalah “to transmission of the culture heritage”, untuk mentransmisi-kan budaya yang diwariskan secara turun temurun atau untuk melestarikan norma-norma tertentu dalam masyarakat (Olive, 1982: 8; Schubert, 1986: 132). Dan insitusi pendidikan yang pas adalah sekolah, perguruan tinggi dan sejenisnya.
       Selanjutnya, menurut Smith, ketika orang memaknai kurikulum sebagai materi ajar yang ada di silabus, maka dengan sendirinya ia telah membatasi perencanaan mereka pada pertimbangan materi ilmu pengetahuan yang diharapkan mampu tersampaikan kepada peserta didik. Pandangan kurikulum yang demikian, sering diadopsi oleh guru-guru sekolah dasar.
      Oleh karenanya, Killy (dalam Smith, 2000: 2) mengklaim bahwa “guru-guru sekolah dasar tampaknya antipati terhdap isu-isu kurikulum. Sebab mereka merasa kalau tugas mereka hanya sebatas menyampaikan materi ilmu pengeta-huan”. Di Indonesia, hal demikian hingga saat ini masih terus berlangsung. Guru hanya diposisikan sebagai transformator materi pelajaran terkandung dalam buku kurikulum kepada siswa sesuai dengan petunjuk yang ada dalam GBPP (Sudjana, 2002: 17).
        Kedua, kurikulum sebagai produk. Teori ini digagas oleh Franklin Bobbitt dan Ralph W. Tyler. Bobbitt menyatakan bahwa “inti teori kurikulum sebenarnya sederhana, yaitu kehidupan manusia berikut segala aktivitasnya. Bila pendidikan diartikan sebagai usaha untuk mempersiapkan kehidupan, maka pendidikan juga mempersiapkan adanya aktivitas tertentu. Karena itu, seseorang harus menemukan bagian-bagian partikular dalam kehidupan manusia. Bagian-bagian tersebut bisa meliputi kemampuan, sikap, kebiasaan, apresiasi, dan bentuk-bentuk pengetahuan yang dibutuhkan manusia. Singkatnya, kurikulum harus disusun sesuai dengan kehidupan dan kebutuhan riil masyarakat.
         Pada titik ini, kurikulum merupakan serangkaian pengalaman yang harus dimiliki anak-anak dan/atau generasi muda dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Contoh yang paling sederhana adalah banyaknya program-program pelatihan dengan ‘seabrek’ daftar kompetensi yang bisa dimiliki seseorang (Smith, 2000: 4). Dengan harapan, setelah “rampung” dari program tersebut, ia memiliki kompetensi atau skill yang diinginkan. Sayangnya, skill yang diinginkan itu ‘hampir selalu’ mengikuti trend dunia kerja.
        Menurut Tyler, kurikulum bukanlah sesuatu yang spekulatif, melainkan produk dari kajian sistematis terhadap kebutuhan manusia. Teori kurikulm Tyler ini didasarkan pada beberapa pertanyaan fundamental, yaitu:
 
1)     What educational purposes should the school seek to attain?
2)     What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes?
3)     How can these educational experiences be effectively organized? 
4)     How can determine whether these purposes are being attained? (Smith, 2000: 5; Nasution, 1995: 17).
 
        Teori Tyler ini kemudian disusun menjadi rangkaian prosedur yang lebih apik oleh Taba (Smith, 2000: 5). Taba menyusun tujuh langkah agar sebuah kurikulum berjalan dengan baik, yaitu:
 
Step 1 : Diagnosis of need,
Step 2 : Formulation of objectives
Step 3 : Selection of content
Step 4 : Organization of content
Step 5 : Selection of learning experiences
Step 6 : Organization of learning experiences
Step 7: Determination of what to evaluate and of the ways and means of doing it.   
 
      Ketiga, kurikulum sebagai proses. Berbeda dengan pendekatan kurikulum sebagai produk yang menekankan pada setting behavioristik, pendekatan kuriku-lum sebagai proses memandang bahwa kurikulum bukanlah sesuatu yang terbatas pada sisi fisik saja, namun lebih pada interaksi hangat antara guru, siswa dan ilmu pengetahuan. Artinya, kurikulum adalah sesuatu yang benar-benar terjadi di ruang kelas dan apa yang dilakukan oleh orang untuk melakukan persiapan dan evaluasi diri (Smith, 2000: 7).
     Untuk itu, seorang guru ketika masuk kelas, menurut teori ini, harus memi-liki: 1) kemampuan berpikir kritis, 2) pemahaman akan peran dan penerimaan orang terhadap dirinya, dan 3) rancangan aksi yang berpijak pada prinsip-prinsip pendidikan. Sehingga, seorang guru mampu menciptakan proses dialogis antara dirinya dengan peserta didik, dan antar peserta didik sendiri. Ini akan melahirkan yang namanya “pikiran” dan “aksi”. Akhirnya, guru secara terus-menerus meng-evaluasi proses itu dan menunggu hasil dan apa yang akan terjadi selanjutnya (Smith, 2000: 8). 
         Keempat, kurikulum sebagai praksis. Dalam beberapa hal, kata Smith (2000: 13), kurikulum sebagai praksis merupakan pengembangan model kurikulum sebagai proses. Kurikulum sebagai praksis memandang bahwa kurikulum sebagai proses secara eksplisit masih belum memiliki statement untuk mewujudkan prinsip-prinsip itu. Artinya, kurikulum sebagai proses belum bisa dijadikan rujukan untuk “menyatukan manusia” dan tidak bisa menjadi “spirit emansipasi”. Karenanya, kurikulum sebagai praksis lahir untuk menjadi alat pemersatu dan semangat emansipasi.  
       Kurikulum seperti ini dengan mudah ditemukan dalam “pendidikan kritis”, critical pedagogy, yang dibidani oleh Pailo Freire atau pendidikan yang digerakkan oleh golongan reformis atau futurelogis seperti Ival Illich dan Harold G. Sgane (Nasuution, 2003: 25). Pendidikan kritis berjalan dibalik kondisi dimana pengalaman belajar ada pada pengalaman siswa dan guru. Hal itu merupakan proses yang menjadikan pengalaman guru dan murid (the experiences both the learner and the teacher) sebagai “masalah”. Dengan demikian, memungkinkan siswa dan guru mengkonfrontasikan masalah riil dalam kehidupan dan pengala-man keduanya.
         Ketika siswa mengkonfrontasikan masalah riil dalam hidupnya, maka ia akan sadar bahwa dirinya dihadapkan dengan penindasan. Penindasan yang dialami oleh dirinya ataupun orang lain. Pada saat itulah akan muncul hubungan dialogis antara guru dan murid. Adapun obyeknya adalah realitas. Ini yang dimaksud Freire dengan pendidikan pembebasan yang bermuara pada proses humanisasi.     
      Hubungan dialogis, kata Freire (2003: 71), mengandaikan sebuah kondisi dimana guru menghargai budaya dan pengetahuan siswa yang dibawa ke sekolah. Pendidikan yang dialogis adalah pendidikan untuk bertanya. Makanya, sekolah harus merangsang siswa untuk bertanya, mengkritik dan berkreasi. Dengan demikian, pengetahuan yang berkembang di sekolah akan relevan dan bermakna pada bagi siswanya. 
       Konsep paling radikal dari pendidikan kritis adalah “deschooling’ yang dimoroti oleh Ivan Illich (Wiles dan Bondi, 1993: 355, ). Ia dengan sinisnya menyebut sekolah sebagai alat sosial yang sejatinya beroperasi untuk mencabut eksistensi individu dalam dunia pendidikan dan proses belajar yang sebenarnya, schools are social tools that actually operate to deprive individuals of an education and real learning. Baginya, sekolah bukanlah obat mujarab yang menyembuhkan penyakit-penyakit sosial (social ills). Sekolah adalan lembaga otoritarian (authoritarian institutions) yang melanggengkan keteraturan sosial ke dalam berbagai fungsi yang variatif. Sekolah, dengan dominasi sosialnya, selalu mengontrol siswa. Ironisnya, kontrol tersebut acapkali berbau rasis dan jenis kelamin. Sehingga sekolah menjelma menjadi lembaga yang tidak demokratik dengan mencampur adukkan pengetahuan dengan kekuasaan.      
        Karenanya, posisi guru bagi teori kurikulum sebagai praksis adalah sebagai: (1) seorang pribadi, namun tetap sharing ide mengenai apa yang terbaik dan selalu komitmen terhadap emansipasi manusia, (2) orang yang memiliki kecakapan untuk berpikir kritis, (3) orang yang sadar sesadar-sadarnya akan peran dan penerimaan orang lain terhadap dirinya, dan (4) sosok yang memiliki rancangan aksi yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan aspek-aspek pendidikan. Dari sini, guru menciptakan ruang dialog baik antara dirinya dengan siswa ataupun antar siswa, dan kemudian melahirkan aksi yang berdiri di atas komitmen yang kokoh—komitmen emansipasi dan pembebasan. Akhirnya, guru secara terus-menerus mengevaluasi proses itu dan menunggu hasil dan apa yang akan terjadi selanjutnya (Smith, 2000: 14).     
         Keempat pendekatan tersebut berangkat dari setting sosialnya masing-masing. Semuanya sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan ketika diterapkan dalam proses pendidikan. Teori kurikulum yang menekankan pada transformasi nilai, budaya atau norma, amat pas untuk diterapkan dalam sekolah dasar, tidak untuk perguruan tinggi, apalagi program pascasarjana. Di Sekolah Dasar adalah masa-masa dimana siswa masih belum tahu banyak hal. Otaknya cemerlang, hatinya bersih dan sikapnya yang polos adalah momentum untuk menanamkan nilai-nilai, norma dan budaya. Sudah barang tentu, budaya yang ditransformasikan adalah budaya yang positif-konstruktif. 
         Sebaliknya, “kurikulum sebagai praksis” tidak akan maksimal bila diterapkan untuk siswa Sekolah Dasar, sebab teori ini menekankan pada pengalaman peserta didik. Lebih jauh, teori ini mengandaikan terciptanya ruang dialogis antara peserta didik dan guru dengan realitas sosial dan pengalaman yang menjadi obyek studinya. Pertanyaannya, mungkinkah anak didik seusia Sekolah Dasar  bisa diajak berpikir, berdialog dan menganalisa tentang pengalamannya? Jelas tidak mungkin. Kalaupun dipaksakan, hasilnya pasti jauh dari maksimal. Teori ini akan efektif bila diterapkan pada usia SLTP, SLTA dan PT. Hanya saja, pada masa SLTP mungkin sebatas warming up untuk berdialog dan menganalisa pengalaman sendiri dan realitas sosial. 

***
Daftar Rujukan


Beauchamp, George A., 1968, Curriculum Theory, 2nd edition, The KAGG Press, Illions
Freire, Paulo, 2003, Pendidikan Masyarakat Kota, terj. Agung Prihantoro, LKiS, Yogyakarta
Nasution, S., 2003, Pengembangan Kurikulum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Olive, Peter F., 1982, Developing the Curriculum, Little, Brown and Company, Canada
Robert, Douglas A., 1980, Curriculum Development and The Unique Events, dalam Hugh Munby et.al., Seeing Curriculum in a New Light: Essays form Science education, University Press of America, New York
Schubert, William A., 1986, Curriculum (Perspective, Paradigm, and Possibiity), Macmillan Publishing Company, New York
Smith, Mark K., 2000, Curriculum Theory and Parctice, http://www.infed.org/ biblio/b-curric.htm
Subandijah, 1996, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2002, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,  Remaja Rosda Karya, Bandung.

Wiles, Jon, and Bondi, Joseph, 1993, Curriculum Development, a Guide to Practice, Macmillan Publishing Company, New York 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar