Senin, 30 Juni 2014

Bentuk-Bentuk Pembelajaran Learning By Doing

"+"



BENTUK-BENTUK
PEMBELAJARAN LEARNING BY DOING


            Interaksi edukatif selayaknya dibangun guru berdasarkan penerapan aktivitas anak didik, yaitu belajar sambil melakukan (Learning by doing). Melakukan aktivitas atau bekerja adalah bentuk pernyataan dari anak didik bahwa pada hakekatnya belajar adalah perubahan yang terjadi setelah melakukan aktivitas atau bekerja. Pada kelas-kelas rendah di Sekolah Dasar, aktivitas ini dapat dilakukan sambil bermain sehingga anak didik akan aktif, senang, gembira, kreatif serta tidak mengikat.[1]
             Lebih lanjut guru memposisikan sebagai penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku anak, dengan pengamatanya tersebut ia dapat menentukan masalah yang akan dijadikan pusat minat anak. Kondisi demikian merupakan perbaikan dari paradigma pendidikan lama, yang tidak memberikan ruang bagi siswa. Di Sekolah kuno murid hanya mendengarkan. It is made for listening! Kata Dewey seperti yang dikutip Muis Sad Iman dalam bukunya Pendidikan Partisipatif. Keadaan seperti itu wajib dirubah. Anak harus bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berfikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Tampaklah disini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Inilah makna istilah Learning by doing yang dikehendaki oleh Dewey dalam do school.[2]
             Keterlibatan siswa tidak hanya sebatas fisik semata, tetapi lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.[3]
          Pada aspek lain guru juga menkondisikan anak didik dengan menggunakan bentuk-bentuk pengajaran dalam konteks learning by doing, diantaranya:
a.       Menumbuhkan motivasi belajar anak
Motivasi berkaitan erat dengan emosi, minat, dan kebutuhan anak didik. Upaya menumbuhkan motivasi intrinsik yang dilakukan guru adalah mendorong rasa ingin tahu, keinginan mencoba, dan sikap mandiri anak didik. Sedangkan bentuk motivasi ekstrinsik adalah dengan memberikan rangsangan berupa pemberian nilai tinggi atau hadiah bagi siswa berprestasi dan sebaliknya.
b.      Mengajak anak didik beraktivitas
Adalah proses interaksi edukaktif melibatkan intelek-emosional anak didik untuk meningkatkan aktivitas sehingga motivasi akan meningkat. Bentuk pelaksanaanya adalah mengajak anak didik melakukan aktivitas atau bekerja di laboratorium, di kebun/lapangan sebagai bagian dari eksplorasi pengalaman, atau mengalami pengalaman yang sam sekali baru.
c.       Mengajar dengan memperhatikan perbedaan individual
Proses kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan memahami kondisi masing-masing anak didik. Tidak tepat jika guru menyamakan semua anak didik karena setiap anak didik mempunyai bakat berlainan dan mempunyai kecepatan belajar yang bervariasi. Seorang anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh. Kemudian menyimpulkan semua anak didik yang hasil belajarnya jelek dikatakan bodoh. Kondisi demikian tidak dapat dijadikan ukuran, karena terdapat beberapa faktor penyebab anak memiliki hasil belajar buruk, antara lain; faktor kesehatan, kesempatan belajar dirumah tidak ada, sarana belajar kurang, dan sebagainya.
d.     Mengajar dengan umpan balik
Bentuknya antara lain; umpan balik kemampuan prilaku anak didik (perubahan tigkah laku yang dapat dilihat anak didik lainnya, pendidik atau anak didik itu sendiri), umpan balik tentang daya serap sebagai pelajaran untuk diterapkan secara aktif. Pola prilaku yang kuat diperoleh melalui partisipasi dalam memainkan peran (role play).
e.      Mengajar dengan pengalihan
Pengajaran yang mengalihkan (transfer) hasil belajar kedalam situasi-situasi nyata. Guru memilih metode simulasi (mengajak anak didik untuk melihat proses kegiatan seperti cara berwudlu dan sholat) dan metode proyek (memberikan kesempatan anak untuk menggunakan alam sekitar dan atau kegiatan sehari-hari untuk bertukar pikiran baik sesama kawan maupun guru)  untuk pengalihan pengajaran yang bukan hanya bersifat ceramah atau diskusi, tetapi mengedepankan situasi nyata.
f.      Penyusunan pemahaman yang logis dan psikologis
Pengajaran dilakukan dengan memilih metode yang proporsional. Dalam kondisi tertentu guru tidak dapat meninggalkan metode ceramah maupun metode pemberian tugas kepada anak didik. Hal ini dilakukan sesuai dengan kondisi materi pelajaran.[4]



[1]  Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., Hlm. 186
[2]  Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 73-74
[3]  Dimyati dan Mudjiono, Op. Cit., Hlm. 46
[4]  Syaiful Bahari Djamarah, Op. Cit., Hlm. 186-187

Prilaku Belajar model Pembelajaran Learning By Doing

"+"




PRILAKU BELAJAR DALAM
MODEL PEMBELAJARAN "LEARNING BY DOING"


Belajar bagi kehidupan manusia menjadi bagian yang sangat penting, karena manusia diciptakan sebagai pengelola dunia (khalifah fil ardi). Secara bertahap mereka akan mengalami fase pembelajaran yang didasarkan pada pengalaman. Sebagai ilustrasi terdekat adalah bayi manusia yang dilahirkan, jika tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa yang lain, tidak belajar, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu mengembangkan naluri/intrinsik dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya tanpa pengaruh dari luar.[1]
Beberapa pendapat tentang pengertian belajar banyak disebutkan, diantaranya, Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto dalam Psikologi Pendidikan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang dalam situasi tersebut, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya).[2] Lebih lanjut Piaget berpendapat seperti yang disadur Dimyati dan Mudjiono bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan, sehingga fungsi intelek semakin berkembang. Pengetahuan dibangun atas dasar tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial. Sedangkan prosesnya didasarkan tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Fase eksplorasi mengarahkan siswa mempelajari gejala dengan bimbingan, fase pengenalan konsep adalah mengenalkan siswa akan konsep yang berhubungan dengan gejala, sedangkan fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.[3]
Uraian tersebut merupakan proses internal yang kompleks dan melibatkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subyek, yaitu dari siswa dan dari guru. Siswa secara lagsung mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar berupa; keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia dan bahan yang telah terhimpun dalam literatur. Proses belajar diamati dari prilaku belajar tentang sesuatu hal, proses ini dapat diamati secara tidak langsung, yaitu proses internal siswa tidak dapat diamati langsung, tetapi dapat dipahami oleh guru.[4]
Sebagai upaya merancang, mengelola dan mengembangkan program pembelajaran dalam kegiatan mengajar, guru diharapkan mampu mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran, diantaranya:
a. Karakteristik tujuan, yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau ditinggalkan sebagai hasil kegiatan.
b.  Karakteristik mata pelajaran/bidang studi, meliputi tujuan isi pelajaran, urutan, dan cara mempelajarinya.
c.  Karakteristik siswa, meliputi karakteristik prilaku masukan kognitif dan afektif, usia, jenis kelamin dan yang lain.
d. Karakteristik guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaanya, pengalaman kependidikanya dan yang lain.
Hubungan faktor-faktor penentu tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Peran guru dalam hal ini adalah tetap konsisten untuk mempertimbangkan faktor eksternal (diluar dari guru), faktor internal (dalam diri guru), sehingga teknik-teknik pembelajaran efektif dapat dilaksanakan.[5]
Pola pengajaran guru berkaitan erat dengan pilihan metode, jika bahan pelajaran disajikan secara menarik besar kemungkinan motivasi belajar siswa akan meningkat.[6] Sesuai yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa model adalah acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[7] Keterkaitan dengan pembelajaran sesuai ungkapan Ngalim Purwanto dalam Psikologi Pendidikan yang mengutip pendapat Morgan dalam bukunya Introduction to Psichology mengemukakan “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.[8] Metode yang dimaksud didasarkan pada model pembelajaran yang dipakai, model pembelajaran dalam hal ini diartikan sebagai acuan proses perubahan tingkah laku yang dihasilkan melalui pengalaman.
Keterlibatan langsung anak didik dalam proses edukatif menjadi pengalaman terarah yang diharapkan mengakar pada diri anak didik. Karena pengalaman memberikan arah positif pada seleksi dan organisasi terhadap berbagai materi dan metode pendidikan yang cocok, inilah upaya untuk memberikan arah baru bagi tugas sekolah.[9] Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak bertujuan mengembangkan secara spontan segala potensi bawaan, melainkan bertujuan merangsang proses perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan tahap yang tetap, dengan cara menyajikan berbagai masalah dan konflik riil yang dapat diatasi atau diselesaikan oleh anak secara aktif “by doing it”.[10]



[1]  Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, Hlm. 83
[2]  Ibid., Hlm. 84
[3]  Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, Hlm. 13-14
[4]  Ibid., Hlm. 18
[5]  Ibid., Hlm. 132
[6]  Syaiful Bahari Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 185
[7]  Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 885
[8]  Ngalim Purwanto, Op. Cit., Hlm. 84
[9] John Dewey, Experience and Education, alih bahasa John de Santo, Pendidikan dan Pengalaman, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 19
[10]  Ibid., Hlm. 133-134

Orientasi Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini

"+"



ORIENTASI LEMBAGA
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI



            Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku. Segera setelah dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan.
            Pendidikan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan, jalur pendidikan terdiri atas; pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Selain jenjang tersebut dapat juga diselenggaran pendidikan anak usia dini yang diselenggarakan sebelum jenjang Pendidikan Dasar.[1]
            Taman Kanak-kanak (TK) didirikan sebagai usaha mengembangan seluruh segi kepribadian anak didik dalam rangka menjembatani pendidikan keluarga ke pendidikan sekolah. Ruang lingkup program kegiatan belajarnya meliputi: pembentukan prilaku melalui pembiasaan dalam pengembangan moral Pancasila, Agama, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan bermasyarakat, serta pengembangan kemampuan dasar melalui kegiatan yang dipersiapkan oleh guru, meliputi: penegembangan kemampuan berbahasa, daya pikir, daya cipta, ketrampilan dan jasmani.[2] Sedangkan program kegiatan di TK berorientasi pada pembentukan prilaku melalui pembiasaan dan mengembangan kemampuan dasar yang terdapat pada diri anak didik sesuai tahap perkembangannya.            
 Hal senada diungkapkan Moeslichatoen R bahwa karakteristik tujuan kegiatan di Taman Kanak-kanak biasanya diarahkan pada pengembangan kreativitas, pengembangan bahasa, pengembangan emosi, pengembangan motorik dan pengembangan nilai serta pengembangan sikap dan nilai. Hal tersebut dilandasi oleh latar belakang anak TK yang memiliki kecenderungan selalu bergerak, memiliki rasa ingin tahu yang kuat, senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi dan senang berbicara.[3] 
Pada prinsipnya bahan pelajaran dapat disajikan secara menarik sebagai upaya menumbuhkan motivasi belajar anak didik. Motivasi berhubungan erat dengan emosi, minat dan kebutuhan anak didik. Motivasi intrinsik yang berarti dorongan rasa ingin tahu, keinginan mencoba dan sikap mandiri anak didik dapat dijadikan landasan bagi pendidik untuk menentukan pola motivasi ekstrinsik, sehingga tujuan pembelajaran efektif. Dengan demikian dibutuhkan keterlibatan intelek-emosional anak didik dalam proses interaksi edukatif. Guru diharapkan mampu mengelola motivasi dengan menerapkan aktivitas anak didik, yaitu belajar sambil melakukan (learning by doing).[4] Dalam kontek pendidikan pra sekolah aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan latihan-latihan secara bertahap dan berkelanjutan.
Sebagaimana dikutip Dimyati dan Mudjiono dalam buku Belajar Dan Pembelajaran, Edga Dale berpendapat bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak sekedar mengamati, tetapi harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.[5]
Dimyati dan Mudjiono juga mengutip pendapat John Dewey yang mengemukakan Learning By Doing adalah belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung yang dilakukan langsung oleh siswa secara aktif baik individual maupun kelompok, dengan cara memecahkan masalah. Guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator.[6]
Lebih lanjut John Dewey mengemukakan bahwa persoalan pokok pendidikan adalah pengalaman, dimana pengalaman sekarang harus berpengaruh kreatif dan produktif dalam seluruh pengalaman berikutnya.[7] Sehingga mampu memberikan arah positif pada seleksi dan organisasi  terhadap berbagai materi dan metode pendidikan yang cocok. Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak bertujuan mengembangkan secara spontan segala potensi bawaan, melainkan bertujuan merangsang proses perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan tahap yang tetap, dengan cara menyajikan berbagai masalah dan konflik yang riil yang dapat diatasi atau diselesaikan oleh anak secara aktif "by doing it".[8]
Penyajian pembelajaran dalam hal ini lebih menekankan pada aspek pemahaman dan pelaksanaan materi pelajaran dengan tidak mengesampingkan aspek memorisasi. Karena peserta didik diarahkan pada eksplorasi pengalaman, dan mencoba mengalami pengalaman yang sama sekali baru. Beberapa pendekatannya adalah praktek di Laboratorium, di Bengkel, di Kebun/lapangan yang merupakan kegiatan dalam rangka terlaksananya "Learning by doing".[9]
Pendidik mengusahakan anak didik untuk mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan fisik dan segala macam gerakan atau aktifitas. Dengan serta merta anak didik mampu mengikuti proses pendidikan dan sekaligus mengembangkan minatnya dalam bidang lain. Usaha memunculkan minat dalam hal intelektual adalah dengan menyelesaiakan masalah, menemukan hal baru dan menggambarkan atau menjelaskan bagaimana sesuatu hal berlangsung, sedangkan minat yang bersifat sosial terdapat dalam hubungan interpersonal.[10] 
Peran guru dalam mendorong munculnya minat anak didik adalah mengeliminir budaya “cekokan” dalam arti instruksi dalam melakukan sesuatu sehingga kebutuhan aktualisasi diri terpenuhi dan membuka lebar kesempatan untuk kreatif. Karena pada dasarnya pendidikan menyediakan lingkungan  yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuanya secara optimal sesuai dengan pribadinya dan kebutuhan masyarakat.[11]
Sebagaimana diungkapkan Utami Munandar dalam bukunya Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Abraham Maslow mengemukakan bahwa terdapat keterkaitan antara kreativitas dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri dipahami ketika seseorang menggunakan semua bakat dan telentanya untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi-mengaktualisasikan atau mewujudkan potensinya.[12] Sedangkan pendapat Elliot yang dikutip Anna Craft  menempatkan kreativitas sangat dekat dengan imajinasi. Kreativitas adalah berkaitan dengan imajinasi atau manifestasi kecerdikan dalam beberapa pencarian yang bernilai. Lebih lanjut dikatakan kreativitas tidak mengikat pada hasil akhir, tetapi lebih mengedepankan proses. Karena proses yang dilakukan beberapa orang dapat dianggap sebagai kreatif.[13]
Dalam kontek pendidikan anak prasekolah terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu; kecenderungan aktif secara fisik, berkelompok untuk bermain, kecenderungan mengekspresikan emosinya dengan bebas, senang bicara karena umumnya telah terampil dalam berbahasa. Dalam hal ini kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.[14]



[1]  Undang-undang RI. Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, CV. Mini Jaya, Jakarta, 2003, Hlm. 21
[2]  Ibid., Hlm. 3
[3] Moeslichatoen R, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 9
[4] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm.186
[5] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 45
[6]  Ibid., Hlm. 45
[7] John Dewey, Experience and Education, alih bahasa John de Santo, Pengalaman dan Pendidikan, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 15
[8]  Ibid., Hlm. 133-134
[9] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 56
[10]  Soemiarti Padmonodewo, Pendidikan Anak  Pra Sekolah, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 9
[11]  Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 6
[12]  Ibid., Hlm. 18
[13]  Anna Craft, Membangun Kreativitas Anak, Inisiasi Press, Depok, 2001, Hlm. 11
[14]    Soemiarti Patmonodewo, Op. Cit., Hlm. 35