Senin, 30 Juni 2014

Prilaku Belajar model Pembelajaran Learning By Doing

"+"




PRILAKU BELAJAR DALAM
MODEL PEMBELAJARAN "LEARNING BY DOING"


Belajar bagi kehidupan manusia menjadi bagian yang sangat penting, karena manusia diciptakan sebagai pengelola dunia (khalifah fil ardi). Secara bertahap mereka akan mengalami fase pembelajaran yang didasarkan pada pengalaman. Sebagai ilustrasi terdekat adalah bayi manusia yang dilahirkan, jika tidak mendapat bantuan dari manusia dewasa yang lain, tidak belajar, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu mengembangkan naluri/intrinsik dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya tanpa pengaruh dari luar.[1]
Beberapa pendapat tentang pengertian belajar banyak disebutkan, diantaranya, Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto dalam Psikologi Pendidikan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang dalam situasi tersebut, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya).[2] Lebih lanjut Piaget berpendapat seperti yang disadur Dimyati dan Mudjiono bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan yang selalu mengalami perubahan, sehingga fungsi intelek semakin berkembang. Pengetahuan dibangun atas dasar tiga bentuk, yaitu pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial. Sedangkan prosesnya didasarkan tiga fase, yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Fase eksplorasi mengarahkan siswa mempelajari gejala dengan bimbingan, fase pengenalan konsep adalah mengenalkan siswa akan konsep yang berhubungan dengan gejala, sedangkan fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut.[3]
Uraian tersebut merupakan proses internal yang kompleks dan melibatkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Kompleksitas belajar dapat dipandang dari dua subyek, yaitu dari siswa dan dari guru. Siswa secara lagsung mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar berupa; keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia dan bahan yang telah terhimpun dalam literatur. Proses belajar diamati dari prilaku belajar tentang sesuatu hal, proses ini dapat diamati secara tidak langsung, yaitu proses internal siswa tidak dapat diamati langsung, tetapi dapat dipahami oleh guru.[4]
Sebagai upaya merancang, mengelola dan mengembangkan program pembelajaran dalam kegiatan mengajar, guru diharapkan mampu mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran, diantaranya:
a. Karakteristik tujuan, yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau ditinggalkan sebagai hasil kegiatan.
b.  Karakteristik mata pelajaran/bidang studi, meliputi tujuan isi pelajaran, urutan, dan cara mempelajarinya.
c.  Karakteristik siswa, meliputi karakteristik prilaku masukan kognitif dan afektif, usia, jenis kelamin dan yang lain.
d. Karakteristik guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaanya, pengalaman kependidikanya dan yang lain.
Hubungan faktor-faktor penentu tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Peran guru dalam hal ini adalah tetap konsisten untuk mempertimbangkan faktor eksternal (diluar dari guru), faktor internal (dalam diri guru), sehingga teknik-teknik pembelajaran efektif dapat dilaksanakan.[5]
Pola pengajaran guru berkaitan erat dengan pilihan metode, jika bahan pelajaran disajikan secara menarik besar kemungkinan motivasi belajar siswa akan meningkat.[6] Sesuai yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa model adalah acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[7] Keterkaitan dengan pembelajaran sesuai ungkapan Ngalim Purwanto dalam Psikologi Pendidikan yang mengutip pendapat Morgan dalam bukunya Introduction to Psichology mengemukakan “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.[8] Metode yang dimaksud didasarkan pada model pembelajaran yang dipakai, model pembelajaran dalam hal ini diartikan sebagai acuan proses perubahan tingkah laku yang dihasilkan melalui pengalaman.
Keterlibatan langsung anak didik dalam proses edukatif menjadi pengalaman terarah yang diharapkan mengakar pada diri anak didik. Karena pengalaman memberikan arah positif pada seleksi dan organisasi terhadap berbagai materi dan metode pendidikan yang cocok, inilah upaya untuk memberikan arah baru bagi tugas sekolah.[9] Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak bertujuan mengembangkan secara spontan segala potensi bawaan, melainkan bertujuan merangsang proses perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan tahap yang tetap, dengan cara menyajikan berbagai masalah dan konflik riil yang dapat diatasi atau diselesaikan oleh anak secara aktif “by doing it”.[10]



[1]  Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, Hlm. 83
[2]  Ibid., Hlm. 84
[3]  Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, Hlm. 13-14
[4]  Ibid., Hlm. 18
[5]  Ibid., Hlm. 132
[6]  Syaiful Bahari Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 185
[7]  Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 885
[8]  Ngalim Purwanto, Op. Cit., Hlm. 84
[9] John Dewey, Experience and Education, alih bahasa John de Santo, Pendidikan dan Pengalaman, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 19
[10]  Ibid., Hlm. 133-134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar