Senin, 30 Juni 2014

Orientasi Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini

"+"



ORIENTASI LEMBAGA
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI



            Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku. Segera setelah dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan.
            Pendidikan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan, jalur pendidikan terdiri atas; pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Selain jenjang tersebut dapat juga diselenggaran pendidikan anak usia dini yang diselenggarakan sebelum jenjang Pendidikan Dasar.[1]
            Taman Kanak-kanak (TK) didirikan sebagai usaha mengembangan seluruh segi kepribadian anak didik dalam rangka menjembatani pendidikan keluarga ke pendidikan sekolah. Ruang lingkup program kegiatan belajarnya meliputi: pembentukan prilaku melalui pembiasaan dalam pengembangan moral Pancasila, Agama, disiplin, perasaan/emosi dan kemampuan bermasyarakat, serta pengembangan kemampuan dasar melalui kegiatan yang dipersiapkan oleh guru, meliputi: penegembangan kemampuan berbahasa, daya pikir, daya cipta, ketrampilan dan jasmani.[2] Sedangkan program kegiatan di TK berorientasi pada pembentukan prilaku melalui pembiasaan dan mengembangan kemampuan dasar yang terdapat pada diri anak didik sesuai tahap perkembangannya.            
 Hal senada diungkapkan Moeslichatoen R bahwa karakteristik tujuan kegiatan di Taman Kanak-kanak biasanya diarahkan pada pengembangan kreativitas, pengembangan bahasa, pengembangan emosi, pengembangan motorik dan pengembangan nilai serta pengembangan sikap dan nilai. Hal tersebut dilandasi oleh latar belakang anak TK yang memiliki kecenderungan selalu bergerak, memiliki rasa ingin tahu yang kuat, senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi dan senang berbicara.[3] 
Pada prinsipnya bahan pelajaran dapat disajikan secara menarik sebagai upaya menumbuhkan motivasi belajar anak didik. Motivasi berhubungan erat dengan emosi, minat dan kebutuhan anak didik. Motivasi intrinsik yang berarti dorongan rasa ingin tahu, keinginan mencoba dan sikap mandiri anak didik dapat dijadikan landasan bagi pendidik untuk menentukan pola motivasi ekstrinsik, sehingga tujuan pembelajaran efektif. Dengan demikian dibutuhkan keterlibatan intelek-emosional anak didik dalam proses interaksi edukatif. Guru diharapkan mampu mengelola motivasi dengan menerapkan aktivitas anak didik, yaitu belajar sambil melakukan (learning by doing).[4] Dalam kontek pendidikan pra sekolah aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan latihan-latihan secara bertahap dan berkelanjutan.
Sebagaimana dikutip Dimyati dan Mudjiono dalam buku Belajar Dan Pembelajaran, Edga Dale berpendapat bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak sekedar mengamati, tetapi harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab terhadap hasilnya.[5]
Dimyati dan Mudjiono juga mengutip pendapat John Dewey yang mengemukakan Learning By Doing adalah belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung yang dilakukan langsung oleh siswa secara aktif baik individual maupun kelompok, dengan cara memecahkan masalah. Guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator.[6]
Lebih lanjut John Dewey mengemukakan bahwa persoalan pokok pendidikan adalah pengalaman, dimana pengalaman sekarang harus berpengaruh kreatif dan produktif dalam seluruh pengalaman berikutnya.[7] Sehingga mampu memberikan arah positif pada seleksi dan organisasi  terhadap berbagai materi dan metode pendidikan yang cocok. Dengan demikian belajar merupakan proses yang tidak bertujuan mengembangkan secara spontan segala potensi bawaan, melainkan bertujuan merangsang proses perkembangan yang berlangsung melalui suatu urutan tahap yang tetap, dengan cara menyajikan berbagai masalah dan konflik yang riil yang dapat diatasi atau diselesaikan oleh anak secara aktif "by doing it".[8]
Penyajian pembelajaran dalam hal ini lebih menekankan pada aspek pemahaman dan pelaksanaan materi pelajaran dengan tidak mengesampingkan aspek memorisasi. Karena peserta didik diarahkan pada eksplorasi pengalaman, dan mencoba mengalami pengalaman yang sama sekali baru. Beberapa pendekatannya adalah praktek di Laboratorium, di Bengkel, di Kebun/lapangan yang merupakan kegiatan dalam rangka terlaksananya "Learning by doing".[9]
Pendidik mengusahakan anak didik untuk mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan fisik dan segala macam gerakan atau aktifitas. Dengan serta merta anak didik mampu mengikuti proses pendidikan dan sekaligus mengembangkan minatnya dalam bidang lain. Usaha memunculkan minat dalam hal intelektual adalah dengan menyelesaiakan masalah, menemukan hal baru dan menggambarkan atau menjelaskan bagaimana sesuatu hal berlangsung, sedangkan minat yang bersifat sosial terdapat dalam hubungan interpersonal.[10] 
Peran guru dalam mendorong munculnya minat anak didik adalah mengeliminir budaya “cekokan” dalam arti instruksi dalam melakukan sesuatu sehingga kebutuhan aktualisasi diri terpenuhi dan membuka lebar kesempatan untuk kreatif. Karena pada dasarnya pendidikan menyediakan lingkungan  yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuanya secara optimal sesuai dengan pribadinya dan kebutuhan masyarakat.[11]
Sebagaimana diungkapkan Utami Munandar dalam bukunya Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Abraham Maslow mengemukakan bahwa terdapat keterkaitan antara kreativitas dengan aktualisasi diri. Aktualisasi diri dipahami ketika seseorang menggunakan semua bakat dan telentanya untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi-mengaktualisasikan atau mewujudkan potensinya.[12] Sedangkan pendapat Elliot yang dikutip Anna Craft  menempatkan kreativitas sangat dekat dengan imajinasi. Kreativitas adalah berkaitan dengan imajinasi atau manifestasi kecerdikan dalam beberapa pencarian yang bernilai. Lebih lanjut dikatakan kreativitas tidak mengikat pada hasil akhir, tetapi lebih mengedepankan proses. Karena proses yang dilakukan beberapa orang dapat dianggap sebagai kreatif.[13]
Dalam kontek pendidikan anak prasekolah terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu; kecenderungan aktif secara fisik, berkelompok untuk bermain, kecenderungan mengekspresikan emosinya dengan bebas, senang bicara karena umumnya telah terampil dalam berbahasa. Dalam hal ini kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi, dan kasih sayang.[14]



[1]  Undang-undang RI. Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, CV. Mini Jaya, Jakarta, 2003, Hlm. 21
[2]  Ibid., Hlm. 3
[3] Moeslichatoen R, Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 9
[4] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm.186
[5] Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 45
[6]  Ibid., Hlm. 45
[7] John Dewey, Experience and Education, alih bahasa John de Santo, Pengalaman dan Pendidikan, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2002, Hlm. 15
[8]  Ibid., Hlm. 133-134
[9] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 56
[10]  Soemiarti Padmonodewo, Pendidikan Anak  Pra Sekolah, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000, Hlm. 9
[11]  Utami Munandar, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999, Hlm. 6
[12]  Ibid., Hlm. 18
[13]  Anna Craft, Membangun Kreativitas Anak, Inisiasi Press, Depok, 2001, Hlm. 11
[14]    Soemiarti Patmonodewo, Op. Cit., Hlm. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar