Selasa, 07 Januari 2014

Allah: Guru yang ideal

"+"



DIMENSI ALLAH
(Maha Guru Yang Sejati)



A.    Latar Belakang
Dalam perbincangan teologi, Allah SWT merupakan pusat dari segalanya.[1] Secara realistik, alam raya dengan segala macam isinya adalah wujud ciptaan-Nya. Sebagaimana dalam Al Qur’an surat Ibrahim ayat 19 telah dijelaskan bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah SWT. Maka, wujud realitas yang ada merupakan bentuk yang tidak dapat disangsikan kebenaran-Nya oleh siapa pun. Demikian juga, sifat keagungan Allah yang salah satunya sebagai pendidik dari para Nabi dan pengajar bagi umat manusia              ---khususnya kejadian Nabi Adam dengan segala kemampuannya. Kenyataan itu, mempertegas bahwa sifat keagungan-Nya juga menjadi sumber segala sumber ilmu pengetahuan.[2]
Apabila demikian, berarti idealitas bimbingan dan sosok Maha Guru yang tepat adalah Allah SWT. Sekarang pertanyaannya, bagaimana caranya Allah mampu menjadi pembimbing dan Maha Guru bagi umat manusia pada umumnya? Pertanyaan itu seolah sangat mustahil untuk didapatkan. Dalam konteks rasionalitas, memang sangat sulit diwujudkan. Namun dalam kajian tasawuf, jika manusia ingin meraih derajat kesempurnaan (al-insan al kamil/ manusia yang sempurna) atau dalam ungkapan lain disebut ma’rifat ---dimana dimensi ketuhanan (uluhiyyah) teraktualisasikan secara penuh---, hendaknya manusia harus melewati sebuah pintu, yang dikenal dengan latihan (lelaku) spiritual.[3]
Latihan spiritual (riyadhah) tersebut, akan menggantarkan manusia pada usaha mendekatkan diri dengan Tuhannya, kemudian sampai pada tahab yang disebut tajalli,[4] yakni; tersikapnya hijab antara seorang hamba dengan Allah. Sebelum masuk pada tahab tajalli ---dalam kajian tasawuf--- ada tahab pertama yang disebut takhalli, yakni; pengosongan diri dari kesadaran nilai-nilai yang secara psikologis melingkupinya. Kemudian tahab kedua disebut tahalli, yakni; pengisian diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji dan diorientasikan hanya untuk-Nya. [5]
Apabila kedua hal tersebut telah dilalukan oleh manusia, bukan tidak mungkin hijab yang menghalangi hubungan manusia dengan Allah akan hilang.[6] Maka pada titik akhir sebagai buah atas hasil riyadlahnya, dengan mudahnya manusia senantiasa mendapat petunjuk dan hidayah dalam kehidupannya              ---meskipun kadar itu tidak seperti yang di dapat Nabi Muhammad SAW. Petunjuk dan hidayah itu bukan dalam pengertian sempit. Artinya hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat uhkrowi. Boleh jadi, hidayah dan petunjuk itu berupa ilmu pengetahuan yang sifatnya duniawi. Karena --- mengingat sifat-sifat Allah Yang Serba Maha--- demikian Maha luas pengetahuan Allah, yang bahkan apabila ditulis dengan menghabiskan air laut sebagai tintanya, maka pengetahuan Allah demikian Maha Luasnya tidak akan pernah habis.[7]
Untuk itu, spiritualitas adalah puncak pengalaman (peak experiences) manusia yang dapat juga dikatakan sebagai kesadaran akan satu kesatuan antara alam mikro-kosmos, makro-kosmos dan supra-kosmos.[8] Sebagai contoh bisa dipahami sosok Nabi Muhammad SAW yang memiliki kualitas spiritualitas dalam catatan sejarah umat manusia.[9] Beliau, dengan aktivitas ber-khalwah-nya di Goa Hira secara total telah mencabut kesenangan dunia dan kemudian mengembalikan seluruh jiwanya kepada Tuhan untuk memperoleh pencerahan spiritual ditengah kondisi ketidak beradaban masyarakat Arab yang terkenal dengan sebutan masyarakat jahiliyah. Proses itu lambat laun menghantarkan pada terbukanya qolbu (Bahasa Pencerahan diganti terbukanya qolbu/ penyinaran) manusia berupa kesadaran tentang hakekat kebenaran. Dari sini, kemudian Nabi SAW dapat secara mudahnya ber-tajalli dengan Allah SWT. Bahkan daya spiritualitasnya telah mencapai puncak kualitasnya dengan perwujudan di malam mi’raj Beliau.


[1] Disampaikan bahwa pengalaman yang paling esensial bagi seorang Muslim ialah sikap bertauhid kepada Sang Khaliq. Baca Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 17.
[2] Dalam Al qur’an banyak ayat yang menjelaskan keikutsertaan Allah untuk membimbing umat manusia diantara; QS. Al Baqarah: 269, QS. Asy Syams: 8,9,10, Qs. Al Anbiya: 80, QS. Al A’raf: 26, QS. Yusuf: 6, QS. Al Kahfi: 65, QS. Al Baqarah: 31 dan lain-lain.
[3] Baca Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi; Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), viii. Istilah spriritualitas dalam Islam didefinisikan sebagai sebuah proses yang menghantarkan salah satu unsur manusia yang transendensi dan imanensi kepada realitas Illahi. Untuk itu spiritualitas Islam senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu dan mengenali Yang Satu. Yakni Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nyayang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam Al Qur’an dengan nama Allah. Baca Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam; Manifestasi, Terj. Tim Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), xxiii-xxiv.
[4] Dalam terminologi kaum Sufi, istilah tajalli berarti proses pengisian ruh/jiwa manusia dengan pancaran cahaya Illahi. Min Valiuddin, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, Cet. Keenam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 251.
[5] Baca Amin Syukur dan Fathimah Usman, Insan Kamil, Cet: II, (Semarang: Al Muhsinun, 2006), 6.
[6] Baca Fariduddin Al Attar, Warisan Para Wali, Terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), 2.
[7] Baca di dalam Al qur’an surat Al Khahfi: 109.
[8] Syafrodin  Halimi, Spiritualitas Muhammad SAW, (Semarang: Putra Media Tama, 2004), 37.
[9] Baca Abu al Wafa’ al Ghanimi al Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman; Suatu Pengantar tentang Tasawuf, (Bandung: Pustaka, 1985), 39-46. Disampaikan oleh Fariduddin Al Attar bahwa dalam kenyataan Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah merupakan realitas tersendiri dari sebuah prose perjalanan spiritual yang tidak bisa disangkal. Baca Fariduddin Al Attar, Warisan Para Wali, Terj. Anas Mahyuddin, Ibid, 2. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar