Senin, 13 Januari 2014

Sosrotan Pendidikan Nasional

"+"

BELENGGU 
MASALAH PENDIDIKAN NASIONAL


Terkait dengan mutu pendidikan Indonesia UNDP pernah mengeluarkan data tentang yang menjelaskan bahwa dari 173 negara di dunia, pendidikan Indonesia melorot ke peringkat 107 dari urutan ke-105 pada tahun sebelumnya. Parahnya lagi ada negara-negara yang tingkat pendapatannya di bawah Indonesia malah peringkatnya lebih baik dari Indonesia.
Sementara itu di dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional pada (Propenas) Bab VII masalah pembangunan pendidikan di bagian umum menyebutkan bahwa International Educational Achievement (IEA) menunjukkan data bahwa siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sedangkan untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan Matematika siswa SLTP Indonesia hanya berada di urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta studi.
Data tersebut menunjukkan betapa lemahnya pendidikan di negara ini. Djalal (2001) menyatakan “masalah pendidikan di Indonesia selama ini memang masih belum menemukan rumusan yang tepat dalam memodifikasi sistem pendidikan Indonesia, baik bersifat prinsip maupun wawasan idealisme kedepan. 
Pada hakikatnya, struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah kita laksanakan berdasarkan pada pembaharuan pendidikan yang lahir dari Amerika Serikat pada tahun 1950-an yang hanya menitikberatkan pada metode agar siswa menguasai basic skills dan mata pelajaran yang diajarkan. Sementara implementasi konsep pendidikan tersebut di negara berkembang akan menghasilkan pendidikan yang tidak sensitif terhadap ide-ide baru dan dinamika masyarakat, khususnya perkembangan pada dunia kerja (Zamroni, 2000: 24).
Di sisi lain, saat ini masyarakat Indonesia tengah berada di abad 21, abad yang disebut-sebut sebagai abad globalisasi yang ditandai dengan begitu cepatnya perubahan, bahkan banyak orang yang tidak mampu mengikuti dinamika perubahan di zaman globalisasi ini. Tentunya, globalisasi harus disambut dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni. Jika tidak, maka bangsa ini akan karam di tengah-tengah percaturan peradaban dunia yang kian kompetitif.
Krisis moneter yang berawal sejak tahun 1997 dan krisis kepercayaan yang tidak kunjung terselesaikan menjadi bukti bahwa negara kepulauan ini tidak memiliki sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan zaman. Ini sekaligus mempertegas bahwa pengembangan SDM yang tangguh, terampil dan marketable menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Tilaar berpendapat bahwa pembangunan di negara-negara berkembang dewasa ini, termasuk Indonesia, sedang memasuki masa-masa yang sulit akibat terjangan krisis moneter. Tentunya kita bisa mengambil ibrah dari pengalaman pahit ini dan mempekuat keyakinan kita bahwa tolok ukur utama keberhasilan pembangunan adalah terwujudnya SDM yang berkualitas. SDM seperti inilah yang dibutuhkan di abad 21.
Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia? Jawabannya adalah melahirkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan profesional. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan proses yang harus ditata sedemikian apik. Jadi, pendidikan memang dijalankan sebagai proses untuk membentuk dan mengembangkan SDM yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Artinya, semakin berkualitas proses dan out put pendidikan, maka dengan sendirinya masyarakat akan mampu menghadapi perubahan zaman. Untuk itu, lembaga pendidikan diharapkan:

1) mampu menggerakkan pikiran anak didik, 2) mampu mematangkan emosi anak didik, 3) mampu melatih anak didik untuk melihat permasalahan hidup dan berlatih memecahkan masalah itu dengan benar, 4) bersifat kontekstual sesuai dengan iklim akademik, 5) berorientasi mengembangkan potensi anak didik secara utuh, dan 6) menghasilkan budaya belajar dan budaya ilmu (Djohar, 1999). 

       Al-Attas mengemukakan, seandainya saya ditanya tentang apa itu pendidikan, saya akan menjawab bahwa pendidikan adalah suatu proses pemahaman sesuatu ke dalam diri manusia. Karenanya perlu disadari bahwa dalam setiap proses pendidikan, utamanya melalui lembaga sekolah, telah memunculkan berbagai bentuk penemuan baru yang berguna bagi kepentingan umat manusia. Untuk mencapai kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi mesti menggunakan instrumen pendidikan. Sehingga tidak berlebihan bila banyak orang yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan prasyarat kemajuan suatu bangsa.
 Karakter ilmu pengetahuan dan teknologi di suatu negara pada kenyataannya bisa dijadikan tolok ukur mekanisme proses pendidikan yang dijalankan. Apabila proses pendidikan suatu negara dikelola dengan profesional, maka ilmu pengetahuan dan teknologi di negara itu akan berkembang pesat. Terbukti, hampir di seluruh negara maju, proses pendidikannya selalu dikelola dengan profesional, sehingga out put proses pendidikan tersebut benar-benar berkualitas, khususnya dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ibrahim, 2002: 32).
Pendidikan dan penguasaan Iptek merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, dalam prosesnya, lembaga-lembaga pendidikan formal memiliki kecenderungan selalu diarahkan untuk mencapai penguasaan Iptek. Sebaliknya, untuk menguasai Iptek secara maksimal perlu wadah yang pas, yaitu pendidikan. Di lembaga pendidikan itulah peserta didik dilatih, diuji dan digembleng sesuai dengan tujuan negara dan visi misi lembaga yang bersangkutan. Salah satu indikator kesuksesan proses pendidikan di suatu lembaga adalah penguasaan anak didiknya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Indikator ini akan tercapai apabila lembaga pendidikan itu dikelola dan ditata dengan baik. Pengelolaan pendidikan yang tidak profesional akan berimplikasi pada inefektifitas dan inifesiensi proses pendidikan. Walaupun dengan dana minim, lembaga pendidikan wajib dikelola sebaik mungkin. Memang pada awal-awal kemerdekaan hingga runtuhnya rezim Orde Baru, pengelolaan pendidikan di Indonesia diwarnai dengan sistem top down, sehingga semua proses pendidikan dikendalikan oleh pusat. Daerah dan sekolah hanya berbuat sesuai dengan petunjuk dan pedoman yang telah digariskan oleh pusat. Pengelolaan pendidikan dengan sistem top down ini tentu tidak bisa diterapkan di era sekarang. Manajemen pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekarang adalah manajemen yang terbuka dan desentralistik. Dengan demikian, ruang partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan akan semakin luas.
Menurut Abdurrahman Mas’ud (2003), topik desentralisasi pendidikan paling tidak mengajak kita untuk mendiskusikan poin-poin berikut: pertama, deregulasi pendidikan secara menyeluruh sesuai dengan tuntutan zaman; kedua, diberikan kepercayaan yang lebih besar kepada masyarakat untuk bisa berperan secara konkret dalam kegiatan pendidikan; dan ketiga, peningkatan dana pendidikan dalam rangka pemerataan dan peningkatan kualitas.   
Desentralisasi pendidikan ini didasarkan pada UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2001. Artinya, dengan sistem desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar daripada pusat dalam pengelolaan pendidikan. Daerah memiliki wewenang yang luas untuk menentukan arah pendidikan di daerahnya masing-masing, tentunya dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi yang dimiliki daerah tersebut.
Ini jelas berbeda dengan sistem yang berjalan di masa Orde Baru. Sistem pendidikan ketika itu berdasar kepada aturan-aturan baku (untuk tidak mengatakan kaku) dari pemerintah pusat. Sistem pendidikan ini cenderung dipaksakan. Mengapa demikian? karena aturan-aturan pendidikan yang ada mau tidak mau harus dijalankan oleh daerah. Tidak peduli apakah peraturan dan kebijakan tersebut sesuai dengan kebutuhan daerah atau tidak. “Pokoknya” harus dijalankan. Titik. 
Di era desentralisasi, dunia pendidikan mengalami perubahan paradigma. Paradigma di masa Orde Baru, semua serba tersentral dan terstandarisasi, sekarang masing-masing lembaga pendidikan lebih diberi kekuasaan secara otonom dalam mengelola pendidikan. Dengan adanya otonomi daerah, diharapkan daerah-daerah yang ada mampu mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya sendiri. Ini tidak berarti bahwa dengan adanya sistem desentralisasi, daerah-daerah tersebut tidak peduli terhadap tujuan pembangunan nasional. Menurut hemat saya, desentralisasi itu justru untuk mempercepat tercapainya tujuan nasional. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan di daerah merupakan bagian integral dari tujuan pembangunan nasional. Dengan otonomi daerah ini, masyarakat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terlibat langsung dalam pembangunan masyarakat dan daerahnya sendiri, serta bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Saat ini pemerintah terus berjuang untuk menyukseskan program wajib belajar (wajar) 9 tahun. Sudah barang tentu pelaksanaan program ini akan berjalan optimal apabila diserahkan kepada daerah. Tidak berarti bahwa pemerintah pusat lantas lepas tangan terhadap program tersebut, tetapi pemerintah pusat dan pemerintah daerah beserta semua elemen masyarakat bahu membahu untuk menyukseskan program tersebut.
Ini terkait dengan peliknya masalah pendidikan di Indonesia. Dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, pada Bab VII mengenai masalah pendidikan disebutkan bahwa saat ini pendidikan nasional masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol, antara lain: 1) masih rendahnya pemerataan dalam memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi. Realitas itu menunjukkan masih rapuhnya sistem pendidikan kita. Hingga saat ini masalah ini masih belum di(ter)selesaikan.
Di sisi lain, pada tataran praksis menginginkan sebuah idealitas hasil pendidikan. Sebab, hasil pendidikan yang ada saat ini masih seperti ikan jauh dari panggang. Karena itu, kita dituntut untuk merekonstruksi dan mereformulasi sistem pendidikan yang ada saat ini. Tanpa itu jangan berharap Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia mampu bersaing di kancah global. Adapun kunci utama untuk menyukseskan upaya tersebut adalah peningkatan sistem pendidikan di Sekolah Dasar. Sekolah Dasar merupakan batu loncatan untuk melahirkan SDM bangsa yang berkualitas. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa keberhasilan pendidikan dasar merupakan pertanda kesuksesan menciptakan SDM yang berkualitas, sebaliknya kegagalan dalam pendidikan dasar akan menjadi petaka dalam proses pembangunan SDM bangsa Indonesia kedepan.
Setiap orang pasti mendambakan dan turut berupaya melahirkan generasi penerus yang mampu menjadi aktor dalam percaturan dunia dan ditopang dengan kepribadian yang baik, sehingga mampu menyeimbangkan antara kepentingan duniawi dan kebutuhan ukhrawi, berguna untuk dirinya sendiri di satu sisi dan berguna untuk masyarakat dan bangsa di sisi lain.
Langkah awal untuk mewujudkan hal itu adalah kita harus sadar sesadar-sadarnya bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan sembari diiringi dengan upaya-upaya konkret untuk membenahinya. Artinya, membenahi pendidikan Indonesia bukan hanya tanggungjawab pemerintah semata, melainkan kewajiban semua masyarakat Indonesia. Sudah berang tentu tanggung jawab dan kewajiban pada masing-masing orang berbeda-beda, sesuai dengan posisi dan kemampuan dirinya. Pintu partisipasi masyarakat dalam setiap proses pendidikan kini sudah terbuka lebar-lebar seiring munculnya sistem desentralisasi pendidikan.
Sistem desentralisasi pendidikan memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk mengatur proses pendidikan sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Lebih jauh lagi, desentralisasi pendidikan juga memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengangkat guru sesuai kebutuhan sekolah. Pemerintah pusat dalam hal ini hanya menjadi pengarah dan pengontrol hal-hal yang dianggap pokok saja. Dengan adanya desentralisasi ini diharapkan kekhasan daerah diperhatikan, dan pendidikan dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan suatu daerah (Suparno, 2002: 19-20).
Jadi, bisa ditegaskan bahwa desentralisasi pendidikan, dengan segala turunannya, hendaklah tidak diterjemahkan sebagai upaya “cuci tangan” semata dari pemerintah pusat. Desentralisasi pendidikan juga jangan dijadikan ajang coba-coba. Kelahiran kembali sistem pendidikan nasional yang baru ini hendaknya dijadikan titik pencerahan, keberdayaan, dan kejayaan pendidikan Indonesia, bukan sebaliknya malah menjadi awal kehancuran yang lebih dahsyat dari sistem pendidikan sebelumnya.
Disinilah pendidikan berbasis komunitas menemukan signifikansinya. Dengan adanya sistem desentralisasi pendidikan, sangat memungkinkan bagi suatu masyarakat untuk menciptakan corak dan warna pendidikan sesuai dengan komunitasnya sendiri. Sebab tidak mungkin sebuah proses pendidikan terlepas dari basis masyarakatnya. Proses pendidikan mesti “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.” Karena itu, pendidikan masa depan yang paling ideal adalah pendidikan yang segala prosesnya melibatkan masyarakat setempat.
Pendidikan berbasis komunitas merupakan salah satu platform penting dalam reformasi sistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan berbasis komunitas menurut Malik Fadjar dkk (dalam Azra, 2002) adalah: pertama, membantu pemerintah dalam memobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) setempat dan meningkatkan peranan masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan.
Kedua, mendorong berubahnya sikap dan persepsi masyarakat terhadap rasa kepemilikan lembaga pendidikan, tanggungjawab, kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya. Selama ini masyarakat terkesan acuh tak acuh terhadap lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan diasumsikan sebagai tanggungjawab pemerintah dan orang-orang yang kompeten di dalamnya. Padahal, jika dipikirkan secara jernih, pendidikan adalah milik masyarakat. Oleh karenanya masyarakat diharapkan bisa berbuat banyak dalam kegiatan-kegiatan pendidikan.
Ketiga, membuka partisipasi masyarakat dalam mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan, dan mengganti peran sekolah; dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi; pembukaan kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh pendidikan; peningkatan efisiensi manajemen pendidikan untuk menempuh pendidikan baik pada tingkat dasar, menengah dan tinggi.
Jika dirunut ke belakang, pendidikan berbasis komunitas sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia, bahkan bisa dikatakan setua sejarah perkembangan Indonesia di bumi Nusantara. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan, bahwa hampir secara keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak dari rangkang, dayah dan meunasah (Aceh), surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri. Menurut Azyumardi (2002), kenyataan ini tidak begitu mengherankan, karena pendirian lembaga-lembaga pendidikan itu berkaitan dengan semangat keagamaan untuk menyediakan pendidikan Islam guna mendidik putra-putri umat Islam.   
Paparan historis di atas menunjukkan bahwa gagasan pendidikan berbasis komunitas telah lama diterapkan di Indonesia, walaupun istilah yang dipakai ketika itu bukan community-based education. Artinya, upaya penerapan pendidikan berbasis komunitas yang saat ini tengah diwacanakan tidak akan menemukan hambatan berarti. Dengan keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam kegiatan pendidikan, idealnya akan menjadikan pendidikan nasional lebih baik dari sebelumnya. Pendidikan di Indonesia saat ini tidak menunjukkan dinamika yang berarti (untuk tidak mengatakan gagal), menurut sejumlah kalangan, salah satu penyebabnya adalah karena pendidikan nasional telah tercerabut dari basis komunitasnya. Untuk itu, ke depan pendidikan berbasis komunitas diharapkan memberikan hasil yang lebih optimal. 
Taruhlah pendidikan di daerah X, tentu akan berjalan lebih efektif dan efisien apabila proses pendidikannya memang berangkat dan melibatkan masyarakat setempat. Sebab orang diluar komunitas masyarakat tersebut tidak tahu dan tidak akan tahu menahu perihal pendidikan di daerah itu. Yang tahu pasti dan yang berkepentingan adalah masyarakat sekitarnya. Untuk itu memang sudah seharusnya apabila masyarakat terlibat atau dilibatkan dalam setiap proses pendidikannya. Ini tidak berarti bahwa proses pendidikan kemudian berjalan eksklusif atau tidak perlu interaksi dengan pihak-pihak diluar masyarakat itu. Walau bagaimanapun interaksi dengan pihak lain merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dan pendidikan akan semakin berkembang apabila jaringan yang dibangun oleh lembaga yang bersangkutan cukup luas. Sebab, suatu masyarakat pasti memiliki kekurangan yang perlu uluran tangan orang lain.
Dari sisi tenaga pendidik, misalnya, bisa jadi institusi pendidikan di suatu masyarakat tidak memiliki tenaga pendidik profesional untuk mata pelajaran tertentu yang berasal dari daerahnya sendiri. Padahal untuk menghasilkan out put pendidikan yang bagus salah satunya melalui tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional. Dengan demikian, institusi pendidikan tersebut harus menghadirkan tenaga pendidik dari daerah lain. Begitu juga dengan dimensi-dimensi yang lain. Pintu kerja sama tidak pernah tertutup, melainkan selalu terbuka lebar-lebar. Pendek kata, pendidikan berbasis komunitas tidak berarti bahwa proses pendidikan tersebut menutup peluang kerja sama dengan pihak-pihak lain. Kerja sama selalu dibutuhkan kapan saja dan dengan siapa saja. 
Selanjutnya, masalah dana pendidikan yang sering menyita banyak pikiran. Dana merupakan salah satu syarat yang ikut menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan bermutu (Mastuhu, 2003). Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikan nasional rendah karena dana yang sangat minim. Dalam forum-forum ilmiah, seperti seminar, lokakarya, sarasehan, dan lain-lain, acapkali yang menjadi sorotan utama adalah belum terealisasinya amanat konstitusi mengenai anggaran 20% dari APBN (atau APBD) untuk pendidikan. Pertanyaannya kemudian, benarkah jika jika dana telah terpenuhi, maka dengan sendirinya pendidikan bermutu akan dicapai? Penyelanggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana. Tanpa adanya dana tidak dapat diselenggarakan pendidikan. Namun, dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan mutu sebagaimana yang kita inginkan.
Dengan pendidikan berbasis komunitas, dana pendidikan tampaknya bukan masalah berarti. Bila kegiatan pendidikan benar-benar melibatkan masyarakat, biaya penyelenggaraan pendidikan akan tertalangi. Terbukti, pendidikan pesantren dan pendidikan swasta bisa eksis, walaupun tanpa adanya bantuan dana yang cukup berarti dari pemerintah.
Yang tidak kalah pentingnya untuk diuraikan adalah manajemen yang bagus. Dalam banyak hal, bangsa kita mengadopsi atau meniru sejumlah konsep yang berhasil diterapkan di negara lain. Tetapi, entah kenapa, konsep yang bagus itu tidak bisa diterapkan di Indonesia. Usut punya usut, persoalannya ternyata bukan karena perbedaan letak geografis, iklim atau tradisi antara negara di mana konsep itu diadopsi dengan negara kita. Yang menjadi kendala utama adalah “mismanagement”. Sebagus apapun konsep yang dibangun, tetapi tidak dikelola dengan benar, maka hasilnya akan nihil. Karana itu, gagasan pendidikan berbasis komunitas wajib ditopang dengan pengelolaan yang baik terhadap sumber daya-sumber daya yang dimiliki.   
Di sinilah urgensi seorang leader dan manager yang menjadi driver dalam mengantarkan proses pendidikan itu ke arah yang di cita-citakan. Dua kata sekilah memiliki arti yang sama, tetapi secara substansi keduanya mengandung makna berbeda. Soerang leader tahu dan mampu memilih bola yang harus dijemput, sedangkan seorang manager tahu bagaimana mengelola bola dengan benar.

Dari sini dapat dilihat bahwa pendidikan berbasis komunitas menjanjikan prospek yang cerah dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia. Tentunya, prospek itu bisa terwujud apabila semua stakeholder yang ada dalam masyarakat sama-sama proaktif untuk menciptakan pendidikan baik. Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat seperti guru, dosen, seniman, pengusaha, pemerintah, pemuka agama, LSM-LSM dan unsur-unsur lainnya mutlak diperlukan. Sangat tidak mungkin sebuah pendidikan hanya ditangani oleh dosen atau guru saja. Sama tidak mungkinnya apabila pendidikan dipasrahkan kepada pemerintah atau pengusaha saja. Sekali lagi, semua unsur tersebut harus bersama-sama bekerja keras untuk meningkatkan pendidikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar