Selasa, 07 Januari 2014

"+"


PERKEMBANGAN TEORI MANAJEMEN PENDIDIKAN


A.    Pendahuluan
Orang bijak berkata:  “tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan.”  Perubahan menunjukkan bahwa kehidupan ini semakin dinamis. Begitu juga dengan perjalanan teori. Bila merujuk pada teori atau paradigma Hegelian, di mana lahirnya satu teori maka akan dibantah oleh teori yang datang sesudahnya. Hal yang sama juga terjadi pada perkembangan teori manajemen. Lahirnya teori-teori tersebut tentu tidak lepas dari situasi atau setting sosial yang terjadi di saat munculnya konsep atau teori tersebut.
Perkembangan teori manajemen melahirkan peningkatan dan perbaikan kerja di setiap segmen di mana konsep tersebut digunakan. Lahirnya teori ini juga tidak lepas dari kepentingan perusahaan dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan untuk keberlangsungan produktivitas dan kinerja personalianya. Maka diperlukan perpaduan antara perpaduan konsep dengan manajemen, yaitu integrasi manajemen dan ilmu. Berikut perkembangan teori manajemen, namun sebelum berangkat pada perkembangannya, maka ada baiknya melihat sejenak pengertian manajemen itu sendiri.

B.     Pengertian
Sebelum kita melangkah kepada perkembangan teori manajemen, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang apa yang disebut manajemen. Manajemen oleh Sukiswa (1986: 13) didefinisikan sebagai suatu proses sosial, yang direncanakan untuk menjamin kerjasama, partisipasi, intervensi dan keterlibatan orang lain dalam mencapai sasaran terentu atau yang telah ditetapkan dengan efektif.
Manajemen, sebagai suatu proses sosial, meletakkan bobotnya pada interaksi orang-orang, baik orang-orang yang berada di dalam maupun di luar lembaga-lembaga formal, atau yang berada di atas maupun di bawah posisi operasional seseorang. Sedangkan manajer ialah seseorang yang ditempatkan dalam suatu posisi yang harus menjamin perubahan-perubahan perilaku orang lain dengan tujuan mencapai sasaran yang dipercayakan kepadanya. Manajemen merupakan seni pembimbingan kegiatan-kegiatan sekelompok orang terhadap pencapaian sasaran umum.
Stoner (dalam Sufyarma, 2003: 188-189) mendefinisikan manajemen sebagai seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan semua sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Artinya, manejemen bisa dikatakan seni dalam mengatur atau mengelola suatu kegiatan, aktivitas, organisasi dalam rangka mencapai tujuan.
Manajemen merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencapai sasaran yang telah dirumuskan sebelumnya yang kegiatannya banyak terdapat pada organisasi perusahaan, bisnis kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya Durbin (dalam Sufyarma, 2003: 189) mengemukakan bahwa manajemen memberi kemudahan khusus dalam pengetahuan orang banyak secara efektif sesuai dengan tujuan dan pencapaian hasil secara bersama yang telah ditetapkan.
Terkait dengan pengistilahan manajemen dan administrasi Forman dan Ryan dalam Sutisna berpendapat bahwa antara administrasi dan manajemen tidak memiliki perbedaan yang berarti, sehingga istilah tersebut dapat saja disejajarkan penggunaannya. Karena istilah administrasi dan manajemen tidak ada perbedaan menurut Formen dan Ryan maka Monroe, mengemukakan pengertian administrasi sebagai berikut:
Educational administration is the direction, control and management of all matters pertaining to school affairs, including business administrationsince all aspects of school affairs may be considered as considered as carried on for educational end” (Sufyarma, 2003: 189).
Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa manajemen pendidikan sebagai seluruh proses kegiatan bersama dan dalam bidang pendidikan dengan memanfaatkan semua fasilitas yang ada, baik personal, material, maupun spiritual untuk mencapai tujuan pendidikan. Manajemen dalam lingkungan pendidikan adalah mendayagunakan berbagai sumber (manusia, sarana dan prasarana, serta media pendidikan lainnya) secara optimal, relevan, efektif dan efisien guna menunjang pencapaian tujuan pendidikan.
Selanjutnya Engkoswara dalam Sufyarma (2003: 190) menjelaskan bahwa konsep administrasi pendidikan sejajar dengan konsep manajemen pendidikan (pengelolaan pendidikan). Fungsi dan ruang lingkup manajemen pendidikan diuraikan menjadi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Perencanaan berkaitan dengan perumusan kebijakan kebijakan awal sebagai pedoman dalam pelaksanaan. Pelaksanaan memerlukan pengawasan karena pengawasan atau penilaian untuk mengetahui kekurangan atau kesenjangan (gap) termasuk kemajuan yang telah dicapai.  Keberhasilan pengelolaan pendidikan memerlukan beberapa dukungan, terutama dukungan M = SDM (human resources) yang terdiri dari guru, murid, atasan dan orang tua. Perlunya memiliki proses = sumber beajar (SB) yang berintikan kurikulum, serta adanay F = WFD (waktu, fasilitas dan dana) yang dibutuhkan. Kesemuanya itu mendukung upaya mengoptimalkan tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.   
Adalah tugas Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) untuk mengelola unsur manusia seefektif mungkin agar diperoleh suatu satuan tenaga kerja yang puas dan memuaskan (a satisfied and satisfactory working force). MSDM merupakan bagian dari manajemen umum yang memfokuskan diri pada unsur sumber daya manusia. MSDM adalah perencanaan pengorganisasian, pengarahan dan penguasaan atas pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan tenaga kerja dengan maksud untuk membantu mencapai tujuan perusahaan, individu dan masyarakat (Tulus, 1996: 3).   

C.    Perkembangan Teori Manajemen
Kegiatan MSDM dimulai sejak sebelum Perang Dunia I sekitar tahun 1915. Lahirnya teori manajemen tidak terlepas dengan peristiwa yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia, di mana peperangan hampir terjadi di mana-mana. Industri, pabrik serta perusahaan dikembangkan dalam rangka mendukung kebutuhan militer. Untuk itu, diperlukan suatu pengaturan, pengawasan bagaimana keberlangsungan dari perusahaan tersebut. Selama Perang Dunia I, di Amerika, angkatan perang mengembangkan suatu korps pengujian psikologi, suatu seksi pengujian serikat buruh dan suatu seksi semangat kerja. Orang-orang yang telah terlatih dalam praktek-praktek tersebut kemudian menjadi manajer personalia di bidang industri. Mereka ini menerapkan pengalaman yang telah diperolehnya selama perang. Tuntutan-tuntutan yang semakin meningkat di bidang personalia menyebabkan tuntutan terhadap kualifikasi manajer personalia pun meningkat. Bahkan tidak jarang banyak manajer personalia yang akhirnya menduduki posisi pimpinan puncak perusahaan. 
Munculnya kegiatan manajemen juga berkaitan erat perkembangan administrasi di negara-negara maju. Kebutuhan industri yang mengharapkan laba (keuntungan yang banyak) menuntut perbaikan da peningkatan kerja (kinerja) melalui berbagai studi dan penelitian. Penelitian dilakukan terhadap model-model peningkatan kerja, pendayagunaan sumber daya, tenaga, dana, sarana, dan prasarana, metode dan system kerja. Sasaran akhir adalah efesiensi dan efektivitas kerja, sehingga keuntungan menjadi lebih besar (Atmoduwirio: 2000, 1).
Seiring dengan itu, lahirlah berbagai teori yang mengilhami kerja-kerja manajemen di lingkungan perusahaan, institusi pemerintah, lembaga-lembag public lainnya. Perjalanan teori manajemen sejak latar belakang munculnya tidak terlepas dari manajemen dalam perspektif dunia perusahaan (company), namun lambat laun berkembang pada ranah-ranah yang lain, baik institusi, organisasi serta layanan publik (public service) lainnya, termasuk dalam lembaga pendidikan—sebagai lembaga pelayanan publik. Dengan pandangan tersebut lahirlah beberapa teori majemen sesuai dengan masanya. Lahirnya teori-teori manajemen adalah disebabkan hubungan antara industri dengan teori manajemen dan perhatian terhadap metode, yaitu integrasi manajemen dan ilmu.
Ada sejumlah pandangan tentang tahap perkembangan teori manajemen pendidikan. Para ahli manajemen mengkalsifikasikan perkembangan teori manejemen sendiri dalam bentuk fase, ada juga berdasarkan tahap atau tahun, ada pula yang berdasarkan pendekatan. Menurut Nanang Fatah (2000: 22-32), bahwa teori manajemen dibagi menjadi tiga macam fase, yaitu:   

1.      Teori Klasik
Teori klasik berasumsi bahwa para pekerja atau manusia itu sifatnya rasional, berfikir logik, dan kerja merupakan suatu yang diharapkan. Oleh karena itu, teori klasik berangkat dari premis bahwa organisasi bekerja dalam proses yang logis dan rasional dengan pendekatan ilmiah dan berlangsung menurut struktur/anatomi organisasi.
Teori klasik ini juga dipelopori oleh beberapa tokoh. Salah satunya adalah Frederik Winslow Taylor (1856-1915), dia dikenal sebagai pelopor manajemen ilmiah (scientific management). Bapak manajemen ilmiah ini berpandangan bahwa yang menjadi sasaran manajemen adalah mendapatkan kemakmuran maksimum bagi pengusaha dan karyawannya. Untuk itu, manajemen harus melaksanakan prinsip-prinsip: 1) perlunya dikembangkan ilmu bagi setiap tugas, 2) pemilihan karyawan yang tepat sesuai dengan persyaratan kerja, 3) perlunya pelatihan dan pemberian rangsangan, 4) perlunya dilakukan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan. Taylor telah memuaskan perhatiannya pada lima langkah: seleksi orang, menemukan metode kerja yang paling baik, merancang sarana kerja yang cocok serta memanfaatkan, melatih  dan memotivasi karyawan (Tulus, 1996: 7-8).  
Taylor mempersamakan manusia dengan mesin. Mesin akan bekerja baik bila dipelihara dan dilumasi dengan baik, demikian pula halnya dengan manusia. Bila mengkritisi apa yang menjadi konsep Taylor tentang manajemen, maka ternyata Taylor telah kehilangan penglihatan terhadap hal-hal yang esensial, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif, memiliki perasaan, emosi, serta kecerdasan. Taylor memiliki perihal peranan manajemen dan kebutuhan akan peningkatan produktivitas, namun dia tidak tahu bagaimana menggugah semangat kerja para karyawan.
Pelopor manajemen klasik lainnya adalah Henri Fayol (1916), di mana dia menerbitkan Administration Industrielle et Generale yang berisi lima pedoman manajemen yaitu: 1) perencanaan, yaitu mempelajari masa yang akan datang dan  menyusun rencana kerja, 2) pengorganisasian, pengorganisasian tenaga kerja dan bahan, 3) pengkomandoan, yaitu menjuruskan para pegawai untuk melaksanakan pekerjaan mereka, 4) pengkoordinasian, yaitu menyatukan dan mengkorelasi semua kegiatan, dan pengawasan yaitu memeriksa bahwa segala sesuatu dikerjakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi-instruksi yang telah diberikan (Sukiswa, 1986: 14).
Teorinya ini kemudian dilengkapi oleh Gullick dan Urwick (1930) dengan tujuh prinsip teorinya, yaitu Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgetting. Di mana ketujuh istilah tadi merupakan sebuah proses dari kegiatan manajemen.
Di samping teori-teori di atas, masih banyak lagi teori-teori manajemen klasik lainnya yang memaparkan konsep-konsep manajemen yang menyatakan bahwa keterampilan manajemen dapat diterapkan pada sebuah jenis kelompok kegiatan atau institusi formal lainnya. Dengan perkembangan waktu, terjadi pergeseran nilai pengaruh dari globalisasi dimana organisasi-organisasi semakin berkembang. Dengan demikian, teori klasik inipun, terdapat kelemahan-kelemahan, seperti yang dikemukaan oleh Filley, Kerr, dan Hous (1976), sebagai berikut:
a.       Teori klasik adalah teori yang terikat waktu. Teori ini cocok diterapkan pada permulaan abad 20-an, karena motif pekerja waktu itu terutama memenuhi kebutuhan fisiologis.
b.      Teori klasik mempunyai ciri-ciri deterministik. Teori sangat menekankan pada prinsip-prinsip manajemen dan tidak memperhitungkan berbagai dimensi dalam manajemen seperti motivasi, pengambilan keputusan dan hubungan informal.
c.       Banyak asumsi yang lemah dan tidak lengkap secara implisit terdapat dalam teori klasik itu, antara lain: efisiensi hanya diukur oleh tingkat produktivitas yang hanya menyangkut penggunaan sumber secara ekonomis tanpa memperhitungkan faktor manusiawi. 

2.      Teori Neo-Klasik
Teori ini muncul sebagai respon atas kelemahan teori klasik dengan asumsi, bahwa manusia itu makhluk sosial yang mempunyai pengaruh besar terhadap produktivitas dalam dunia kerja. Dengan itu, kemudian Elton Mayo melahirkan teorinya tentang studi hubungan antarmanusia (Human Relationship) atau tingkah laku manusia dalam situasi kerja (Fatah, 2000: 25). Rekan Mayo juga seperti Roethlessberger dan Dickson dalam serial experiment yang terkenal di Howtherne Work of the Western Electric Company di Chicago menguraikan lebih luas lagi apa yang diinginkan karyawan, sebagai berikut: 1) mereka bisa melaksanakan tugasnya dengan senang dan merasakan bahwa tugasya penting bagi kemajuan perusahaan; 2) mereka ingin diperlakukan secara baik oleh atasannya, adanya penghargaan atau pujian atas pekerjaannya; 3) adanya suasana keterbukaan atas perubahan-perubahan yang terjadi dan bisa terlibat di dalamnya; dan 4) menyangkut pembayaran mereka lebih tertarik dengan system pembayaran paket daripada dengan total jumlah saja (Dale dan Michelon: 26-28).
Seperti yang dikemukakan Chester L Barnad (1976), yang menyatakan bahwa hakikat organisasi adalah kerjasama, yaitu kesediaan orang saling berkomunikasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama. Artinya, suatu manajemen dapat bekerja secara efisien dan tetap hidup jika tujuan organisasi dan kebutuhan perorangan yang bekerja pada organisasi itu dijaga seimbang (Fatah, 200: 25).
Tokoh dari aliran Neo-Klasik ini, menurut Filley, et.al., (dalam Fatah, 2000: 26) adalah Vromm dengan teori Harapan (Ekspektasi) mendasarkan pada dua asumsi, berikut:
a.       Manusia biasanya meletakkan nilai kepada suatu yang diharapkan dari hasil karyanya. Oleh karena itu ia mempunyai urutan kesenangan (preferences) di antara sekian banyak hasil ia diharapkan.
b.      Suatu usaha untuk menjelaskan tentang motivasi yang terdapat pada seseorang selain harus mempertimbangkan hasil yang dicapai, juga mempertimbangkan keyakinan orang bahwa yang dikerjakannya memberikan sumbangan terhadap tujuan yang diharapkan. 
        McClelland juga dengan teori prestasinya mengemukakan, pada dasarnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga kebutuhan, yaitu 1) kebutuhan akan kekuasaan (need for power), 2) kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation) dan 3) kebutuhan akan keberhasilan (need for achievement). Teori ini berusaha menjelaskan tingkah laku yang berorientasi kepada prestasi. Prestasi didefinisikan sebagai tingkah laku yang diarahkan kepada tercapainya “standard of exellent”. Menurut teori ini seseorang yang mempunyai needs achievement tinggi selalu mempunyai pola berpikir tertentu ketika merencanakan untuk melaksanakan sesuatu. Pekerjaan yang dilaksanakan baginya harus menantang. Ciri lain bagi mereka yang mempunyai N Ach yang tinggi adalah kesediaannya untuk memikul tangung jawab sebagai konsekuensi usaha mencapai prestasi. Demikian juga keberanian untuk mengambil risiko, kesediaan untuk mencari informasi untuk mengukur kemajuaanya, serta keinginan untuk mencapai kepuasan dari apa yang telah dikerjakannya merupakan karakteristik dari orang yang mempunyai N Ach tinggi (Fatah, 2000: 26-27).
        Menurut Fallet dan Barnotd sebagaimana dikutip oleh Stoner mengemu-kakan antara lain: 1) kepemimpinan tidak seharusnya datang dari kekuatan otoritas formal, tetapi dari keahlian dan pengetahuan manajer yang lebih tinggi, dan 2) organisasi dapat bekerja secara efisien bila kebutuhan perorangan diperlukan. Pendekatan perilaku manusia muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan klasik yang tidak dicapai secara efisiensi produksi dan keseragaman kerja yang sempurna. Selanjutnya produktivitas dapat ditingkatkan dengan upaya antara lain: 1) menemukan pekerja yang terbaik dengan kualitas mental yang berbeda terhadap pekerjaan tersebut, 2) menciptakan pekerjaan yang ideal untuk mencapai produktivitas yang maksimum, dan 3) menggunakan pengaruh psikologis untuk mendorong karyawan (Sufyarma, 2003: 198).
Dari model tersebut, secara jelas memberikan gambaran yang lebih lengkap. Seorang manajer harus menilai dan mempertimbangkan struktur imbalan dengan hati-hati melalui perencanan yang teliti, uraian yang jelas tentang tugas-tugas ini tangung jawab melalui penstrukturan organisasi yang baik. Sistem upaya, prestasi, imbalan, kepuasan hendaknya diintegrasikan ke dalam seluruh sistem pengelolaan.
Sedangkan dalam perspektif psikologis-sosial hubungannya dalam dunia kerja dan hubungan organisasi, menurut Marwan Asri, perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu: 1) variabel individual, mencakup faktor kemampuan dan keterampilan mental, fisik, latar belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, umur, dan jenis kelamin, 2) variabel organisasi, terdiri dari faktor sumber daya yang tersedia, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, struktur oragnisasi, dan disain pekerjaan, dan 3) variabel psikologis, terdiri atas beberapa faktor, berupa persepsi, sikap, kepribadian, proses belajar, dan motivasi (Fatah, 2000: 28).  
Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan antar manusiawi dalam suatu organisasi antara lain sebagai berikut: 1) membina hubungan antar manusiawi yang baik dalam suatu organisasi dapat merangsang kerja yang lebih baik yang keras, 2) harus diperhatikan faktor-faktor sosial dan psikologis yang dapat mendorong menciptakan hubungan antar manusiawi, 3) harus diperhatikan kesejahteraan pekarja dan penyedia harus mempunyai perhatian khusus terhadap karyawan, 4) harus diperhatikan kelompok kerja informal dalam lingkungan sosial karyawan sangat berpengaruh terhadap produktivitas organisasi, dan 5) harus diperhatikan sikap persahabatan dan keakraban dalam suatu organisasi yang dapat meningkatkan produktivitas organisasi. (Sufyarma, 2003: 190)      

  3.  Teori Modern
Teori manajemen modern bersifat situasional, maksudnya adalah disesuaikan menurut situasi yang dihadapi dan kondisi lingkungan. Menurut Murdick dan Ross, sistem itu terdiri dari individu, organisasi formal, organisasi informal, gaya kepemimpinan dan perangkat fisik yang satu dan lain saling berhubungan (Fatah, 2000: 28).
William A. Shrode dan D. Voich mendefinisikan sistem sebagai berikut: A sistem is a set of interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common objectives of the whole within a complecs environment. Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Fitz Gerald dan Stalling, sistem diartikan sebagai berikut: A sistem can be defined as a network of interrelated procedures that are joint together to perform activities or to accomplish a specific objectives. It is, in effect, all ingredient which make up the whole (Fatah, 2000: 29).
Dari pengertian tentang sistem dapat diidentifikasi bahwa sistem mempunyai makna: 1) terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan lainnya, 2) bagian-bagian yang saling berhubungan itu dapat berfungsi dengan baik secara independen secara bersama-sama, 3) berfungsinya bagian-bagian tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan umum secara keseluruhan, dan 4) suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian itu beada dalam suatu lingkungan yang kompleks.    
Secara eksplisit, uraian menunjukkan bahwa suatu sistem itu lebih cenderung bersifat terbuka. Hal ini dinyatakan dengan adanya aspek lingkungan yang berhubungan erat dengan bagian-bagian dari sistem yang berperan. 
Manajemen dipandang sebagai suatu sistem didasarkan pada asumsi bahwa organisasi merupakan sistem terbuka, tujuan organisasi mempunyai kebergantungan. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam manajemen berdasarkan sistem, mencakup: 1) manajemen berdasarkan sasaran, 2) manajemen berdasarkan teknik, 3) manajemen berdasarkan struktur, 4) manajemen berdasarkan orang, dan 5) manajemen berdasarkan informasi (Fatah, 2000: 30).
Hubungan manajemen terbuka pada ranah pendidikan, dimana pendekatan sistem merupakan suatu metode atau teknik yang secara khsusu disebut analisis sistem (sistem analysis) terutama berfungsi dalam memecahkan masalah (problem solving) dan pengambilan keputusan (decision making). Dalam hal ini pendekatan sistem dikaitkan dengan metode-metode ilmiah. Analisis sistem ini mencakup (1) menyadari adanya masalah, (2) mengidentifikasi variabel yang relevan, (3) menganilisis dan mensistensiskan factor-faktor, dan (4) menentukan kesimpulan dalam bentuk program kegiatan.
Pendekatan sistem ini diperlukan dalam dunia pendidikan, dimana cara-cara tradisional dalam pengelolaan kurang efektif karena semakin kompleksnya lembaga-lembaga pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam organisasi pendidikan semakin cepat, maka diperlukan pendekatan yang dapat memecahkan masalah-masalah tersebut. Di samping itu kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan perlu ditingkatkan. Untuk itu diperlukan pendekatan sistem agar efektivitas dan efesiensi juga meningkat. Maka manajemen dengan pendekatan sistem terbuka ini memungkinkan untuk perbaikan pengelolaan lembaga pendidikan ke depan.
Seperti yang dikemukakan Fattah (2000: 32) ada beberapa keunggulan pendekatan sistem dalam mengelola pendidikan, antara lain:
a.       Misi, sasaran, dan tujuan lembaga pendidikan dapat dijabarkan lebih jelas.
b.      Program-program yang dirumuskan selalu diarahkan pada tujuan dan sasaran.
c.       Orientasi kegiatan diarahkan kepada hasil akhir.
d.      Perencanaan dipandang sebagi bagian integral dari keseluruhan operasi lembaga atau organisasi pendidikan.
e.       Sumber-sumber daya dapat dialokasikan denagn lebih efektif berdasarkan skala prioritas yang disusun menurut besarnya sumbangan terhadap pencapaian tujuan.
f.       Informasi yang diperlukan untuk perencanaan dan pengambilan keputusan dapat dirancang dan dikelola secara terpadu.
g.      Segala kegiatan dapat difokuskan pada pencapaian sasaran, sehinga pemborosan dapat ditekan seminimal mungkin.
h.      Pimpinan pengelola dapat dinilai hasil pekerjaannya secara objektif, karena sasaran pekerjaannya jelas.
i.        Pengelola dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam batas kewenangan yang telah ditetapkan, sepanjang mereka tetap berorientasi pada tujuan akhir.
j.        Akuntabilitas dapat dirumuskan secara jelas dan operasional.
k.      Umpan balik dapat diperoleh pada semua tingkat otoritas pendidikan, sehinga penyimpanan dalam usaha pencapaian tujuan dapat secara cepat diidentifikasi.
l.        Komunikasi antarkomponen dapat terbina dengan lebih baik sehingga kesalahpahaman dapat dikurangi.
m.    Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dapat dilaksanakan secara lebih baik.
Pendekatan sistem ini memandang organisasi sebagai suatu sistem yang dipersatukan dan berguna, yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan. Pendekatan sistem tidak membahas bagian-bagian itu secara terpisah, tetapi memberikan kepada manajer untuk melihat organisasi secara keseluruhan atau holistik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan sistem antara lain sebagai berikut: 1) sub-sistem, berarti bagian-bagian yang membentuk keseluruhan suatu sistem yang disebut dengan sub-sistem dari kesatuan yang lebih besar, 2) sinergi, berarti keseluruhan itu lebih besar daripada hasil penjumlahan bagian-bagiannya. Suatu sistem yang bekerja sama dan salig berhubungan dalam berbagai sub-sistem dalam suatu organisasi akan meningkatkan produktivitas, bila dibandingkan dengan mereka bertindak sendiri-sendiri, 3) sistem terdiri dari: sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka bila organisasi berhubungan dengan lingkungan. Sistem tertutup bilaorganisasi tidak berhubungan dengan lingkungan, 4) batas sistem, setiap sistem mempunyai batas yang memisahkannya dari lingkungannya. Dalam sistem tertutup, batas sistem ini kaku. Dalam sistem terbuka batas sistem yang luwes, dan 5) arus, suatu sistem mempunyai arus informasi, bahan dan energi (termasuk manusia). Hal ini termasuk input, proses, output, dan feed-back.
Dalam fase manajemen modern, pendekatan yang dilakukan sangat beragam dan memungkinkan lahirnya konsep-konsep baru tentang manajemen. Di samping pendekatan system ada pula Pedekatan Kontijensi dan Pendekatan Perspektif Terpadu. Dalam pendekatan kontijensi para manajer bertugas untuk menetukan metode dan teknik yang tepat pada waktu dan situasi terpadu untuk mencapai tujuan organisasi yang baik, para manajer pula mendorong para karyawan untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Pendekatan ini berusaha memulihkan faktor-faktor yang menentukan tugas atau masalah tertentu, dia menjelaskan hubungan fungsional antara faktor-faktor yang saling berhubungan.
Dalam pendekatan Perspektif Terpadu, Engkoswara (1988: 31) mengemuka-kan tentang pendekatan perspektif terpadu disebut juga dengan pendekatan integrative. Pendekatan ini berdasarkan kepada norma dan keadaan yang berlaku, menelaah ke masa silam dan berorientasi ke masa depan secara cermat dan terpadu dalam berbagai dimensi seperti pemerintah, swasta, pengusaha, tenaga kerja, pendidik, ilmuwan, ulama, dan berbagai sector pembangunan (Sufyarma, 2003: 199-200).
Pendekatan perspektif terpadu merupakan sintesis terhadap kesan/fenomena bahwa penataan pendidikan di Indonesia pada saat ini masih bersifat pragmatik dan belum terintegrasi dan saling menunjang dalam suatu kurun waktu yang cukup jauh ke masa depan dan belum berjalan sebagaimana mestinya. Melalui pendekatan ini pendidikan dapat menghasilkan manusia terdidik, tetapi banyak yang tidak ke mana kelak bekerja. Jangan sampai menghasilkan tenaga terdidik yang jenis dan jumlahnya jauh menyimpang dari kebutuhan pembangunan (Sufyarma, 2003: 200).
Selanjutnya Engkoswara mengemukakan pentingnya orientasi pada masa depan yaitu: 1) kehidupan masa depan cenderung semakin kompleks dan cepat sekali berubah yang dapat menimbulkan masalah secara terus menerus, 2) kehidupan masa depan bukanlah kehidupan yang mati, tapi suatu kehidupan yang berkembang dan terbuka yang penuh kemungkinan, dan 3) kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, tidak dapat melepaskan diri dari dunia kawasan internasional (Sufyarma, 2003: 200).
Tilaar mengemukakan dalam kehidupan global dan milenium ketiga menuntut kualitas sumber daya manusia yang tinggi antara lain manusia yang dapat bersaing di dalam kehidupan global. Paradigma pendidikan di dunia maju sudah bergeser pada pemahaman bahwa belajar tidak hanya di kelas, melakinkan juga di luar sekolah. Pendidikan luar sekolah mengembangkan life skill and leadership skill education. Metode pendidikan luar sekolah akan mengajarkan pada masyarakat bahwa pendidikan itu tidak terpisah dari masyarakat bahwa sehingga pendidikan luar sekolah mudah menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi. Pendidikan luar sekolah harus menjadi leading sektor, sehingga tercipta kesempatan belajar secara countinue dan menjadi learning society (Sufyarma, 2003: 200-201). Masyarakat dan bangsa kita dalam ancang-ancang memasuki tahap pembangunan nasional yang penting, yaitu pembangunan nasional jangka panjang kedua. Untuk itu, diperlukan pemikiran-pemikiran mengenai kebijakan yang perlu dirumuskan dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, yang amat strategis dan vital (Tilaar, 2002:xi).
Dalam perkembangan dan kemjuan dunia pendidikan di Indonesia telah dilakukan perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975/1976 yang berorientasi pada tujuan, kemudian disempurnakan pada 1984 dan 1994. Hal tersebut dimaksudkan  agar tercapai keselarasan antara kurikulum dengan kebijakan baru di bidang pendidikan, meingkatkan efesiensi dan efektivitas pengajaran serta meningkatkan mutu lulusan, juga merelevansikan pendidikan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Prinsip-prinsip relevansi merupakan prinsip umum yang digunakan di Indonesia di samping prinsip efesiensi dan efektivitas, kontinuitas, fleksibelitas program, serta pendidikan seumur hidup (Iskandar, 1988: 137-139). Secara khusus prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Prinsip berorientasi pada tujuan, dengan menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai peserta didik dalam mempelajari pelajaran.
2.      Prinsip efesiensi dan efektivitas dalam penggunaan dana, daya, dan waktu dalam mencapai tujuan pendidikan.
3.      Prinsip fleksibelitas program, dalam pelaksanaan, suatu program hendaknya mempertimbangkan factor-faktor ekosistem dan kemampuan penyediaan fasilitas yang mendukung.
4.      Prinsip kontinuitas; dengan menyiapkan peserta didik agar mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
5.      Prinsip pendidikan seumur hidup, yang memandang bahwa pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi harus dilanjutkan dalam keluarga dan masyarakat. Jadi, peserta didik perlu memiliki kemampuan belajar sebagai persiapab belajar di masyarakat.
6.      Prinsip relevansi, suatu pendidikan akan bermakna apabila kurikulum yang dipergunakan relevan (terkait) dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Nasution (dalam Mulyasa, 2002: 9) mengemukakan bahwa dalam membica-rakan relevansi pendidikan perlu dijawab beberapa pertanyaan antara lain relevansi menurut siap, bagi siapa, dengan apa, dan pada saat mana. Dalam kerangka pendidikan di Indonesia, telah terjadi pergeseran kebijakan, yaitu dari pendidikan dengan konsep sentralistik kemudian berubah dengan Undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999. Undang-undang tersebut akan mengubah mekanisme pengambilan kebijakan, jika selama ini dilakukan dari pusat, akan berubah dan dilimpahkan menjadi kewenangan daerah kabupaten dan kota. Kebijakan tersebut tampaknya merupakan paradigma baru yang lebih memungkinkan pelaksanaan desentralisasi pendidikan untuk memperbaiki system sentralisasi yang terlalu kaku. Desentralisasi memberikan kewenangan kepada sekolah dan masyarakat setempat untuk mengelola pendidikan. Untuk itu, perlu dipahami fungsi-fungsi pokok manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan.
Pelaksanaan manejemen sekolah yang efektif dan efesien menuntut dilaksanakannya keempat fungsi pokok manajemen tersebut secara terpadu dan terintegrasi dalam pengelolaan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan. Melalui manajemen sekolah yang efektif dan efesien tersebut, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan seara keseluruhan.
         
Kesimpulan
Dalam perkembangan manajemen, setidak-tidaknya ada teori manajemen, yaitu: teori klasik, teori neo-klasik dan teori modern. Teori klasik berpijak pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk rasional dan mampu berpikir logis. Karenanya, manusia akan bekerja dalam proses yang logis dan rasional sesuai dengan struktur organisasi. Kemudian, sebagai kritik atas teori klasik, teori neo-klasik berpandangan bahwa manusia adalah makluk sosial selalu berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian, manajemen akan berhasil jika kebutuhan organisasi dan individu sama-sama terpenuhi. Sedangkan teori modern berpandangan bahwa organisasi adalah satu kesatuan sistem dengan tujuan tertentu atas bagian-bagian yang saling berhubungan. Jadi, semua bagian yang ada dalam organisasi sama-sama memiliki peran penting dalam pencapaian sebuah tujuan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar