Sabtu, 21 Desember 2013

Pendidikan Islam di Era Global

"+"

REVITALISASI PENDIDIKAN ISLAM
DI ERA GLOBAL*
Moch. Marjuki**




Pendahuluan
Di era globalisasi, terjadi pergesekan nilai-nilai budaya dan akulturasi yang tidak bisa dihindarkan. Globalisasi mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi mudah dijangkau. Kenyataan ini disertai dengan dampak yang luas di segala aspek kehidupan manusia1. Pergaulan global sudah tidak dapat lagi dihindari oleh seseorang. Untuk itu, siapapun perlu mempersiapkan segala sesuatu dengan baik, agar  mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi2.
Ditinjau dari epistemologi, kata globalisasi berasal dari kata “Globe” yang berarti “baca dunia”, sehingga globalisasi disebut pula sebagai gerakan mendunia, yakni suatu perkembangan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global3. Saat ini dunia seolah tanpa memiliki lagi batas-batas wilayah dan waktu. Tiada lagi sekat-sekat yang membatasi pergaulan antarbangsa, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Jika kita telusuri, gerakan globalisasi pada awalnya diorientasikan pada persoalan yang berhubungan dengan ekonomi.4 Dalam perkembangannya, bidang ekonomi melaju lebih ekspansif (meluas) ke seluruh penjuru dunia. Arus barang, jasa, teknologi5, dan informasi tidak terbendung lagi. Hal ini karena sebagian besar negara semakin terbuka. Dampak yang paling dirasakan adalah timbulnya jurang pemisah yang semakin melebar antara negara-negara maju dan negara-negara ketiga (berkembang), lebih lagi negara miskin (termasuk negara konflik).
Dengan kemajuan teknologi komunikasi yang sangat cepat, jarak jauh bukan kendala. Tidak ada lagi tempat yang terisolasi. Hal ini menjadikan manusia yang hidup di belahan dunia manapun seakan dalam satu tempat. Batas-batas negara seolah musnah. Kondisi demikian menciptakan suatu sistem interaksi komunikatif antar-manusia secara lebih intensif, tentunya dalam dimensi yang lebih luas.
Akibat meluasnya interaksi antar-manusia terjadi bentuk jaringan kerjasama yang berpotensi menimbulkan persaingan bebas yang ekstra ketat. Artinya kekompleksitasan lingkungan akibat persaingan global akan menimbulkan tantangan tersendiri. Untuk menghadapi situasi tersebut, perlu strategi untuk meningkatkan strandar produk, jasa, dan sumber daya manusia (SDM) agar mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Sebagaimana digambarkan oleh Sukiswo Dirdjosuparto yang dikutip oleh Ishomuddin, hal tersebut merupakan progressive problem yang memerlukan kemampuan belajar dan kreatifitas lebih tinggi. Ibarat pertandingan tingkat nasional berubah menjadi tingkat internasional. Konsekuensinya, persaingan tentu akan lebih berat6.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa globalisasi akan membawa implikasi terhadap pergeseran sistem dan nilai di setiap dimensi kehidupan umat manusia. Implikasi itu menimbulkan aspek positif dan aspek negatif. Positifnya akan menciptakan masyarakat yang mega kompetitif. Artinya menumbuhkan semangat bagi setiap individu untuk selalu tampil secara unggul dan kreatif. Sedangkan negatifnya adalah akan menciptakan tekanan dominan dari sistem kapitalisme internasional. Bagi kelompok yang tidak ditopang oleh kesiapan SDM7 yang memadai, akan tertekan dan menjadi obyek sehingga menimbulkan budaya konsumerisme dan materialisme.
Untuk mengantisipasi dampak negatif globalisai, masyarakat membutuhkan sumber daya manusia (SDM)  yang tidak hanya berwacana, tetapi mampu berkompetisi; SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan zamannya.

Pendidikan Sebagai Fitrah

Untuk menciptakan manusia yang berkualitas, diperlukan sebuah proses pendidikan.8 Untuk itu pendidikan merupakan cara strategis dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspeknya. Dalam sejarah umat manusia, pendidikan sudah dijalankan sejak manusia ada di muka bumi ini.10 Dengan demikian,  hampir dipastikan setiap bangsa mendambakan generasi  penerus  yang  selain  memiliki keunggulan dan daya saing cukup, juga memiliki kepribadian yang utuh11, sehingga dapat memakmurkan dan mensejahterakan kehidupan, baik untuk pribadi, keluarga, maupun masyarakat.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut, lembaga pendidikan sampai  saat ini masih dipandang sebagai institusi yang sangat potensial dan strategis untuk menciptakan dan mengembangkan SDM yang berkualitas. Dalam setiap proses pendidikan, utamanya melalui sekolah, terjadi berbagai bentuk penemuan baru yang berguna bagi kepentingan umat manusia. Tidak berlebihan apabila kita sepakat bahwa pendidikan merupakan prasyarat (indikator) sebuah kemajuan.
Menurut M. Natsir, pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan manusia12. Pernyataan tersebut didasari oleh indikasi tentang pentingnya pendidikan dalam  kehidupan umat manusia. Posisi pendidikan itu sendiri memegang peranan utama dalam mendorong kemajuan setiap individu untuk meningkatkan kualitas di segala aspek kehidupannya. Dengan tercapainya kualitas pendidikan, akan tercapai pula tujuan hidup seseorang dan akan menunjang perannya sebagai subyek dalam kehidupan.
Terkait dengan fenomena liberalisasi dan globalisai, proses pendidikan yang terjadi diharapkan mampu memenuhi dua unsur kehidupan, yakni pemenuhan terhadap unsur jasmani dan unsur rokhani. Unsur pertama adalah penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sementara unsur yang kedua adalah pemenuhan terhadap Iman dan Taqwa (IMTAQ).13
Pendidikan yang di dalamnya diajarkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang disertai dengan pendalaman Iman dan Takwa (IMTAQ), diharapkan menghasilkan output yang tidak saja berintelektual tinggi, tetapi memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap diri, keluarga, masyarakat dan lingkungannya.  Dengan demikian, institusi lembaga pendidikan Islam14 menjadi pilihan yang tepat.

Modernisasi Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia. Karenanya, pendidikan hendaknya selalu memiliki orientasi ke depan. Oleh karena itu, proses pendidikan tidak bisa bersifat statis, tetapi harus mampu merespons perubahan.15 Dengan demikian, wajar kalau pendidikan harus selalu didesain mengikuti irama perubahan.
Tuntutan pembaharuan pendidikan menjadi suatu keharusan di setiap jenis dan jenjang pendidikan (termasuk di dalamnya adalah pendidikan Islam). Pembaharuan pendidikan harus selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum, proses, fungsi, tujuan, manajemen lembaga, hingga sumber daya pengelola pendidikan.
Secara mendasar, desain modernisasi16 sistem pendidikam Islam berawal dari kalangan kaum non Islam17. Pada awalnya, sistem pendidikan Islam dilakukan dengan sangat sederhana. Kesederhanaan ini ditunjukkan dengan menggunakan masjid, musholla (dalam bahasa Jawanya langgar) sebagai tempat belajar, bahkan ada juga menggunakan rumah kiainya untuk melakukan proses belajar. Karena semakin banyak murid yang berdatangan, terutama dari luar daerah, dibuatlah sebuah asrama dengan melibatkan perpaduan di antara ketiganya. Yakni, masjid, asrama, dan rumah kiai dalam satu lingkungan.
Semua proses pendidikan yang dilakukan, hanya untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman dan kurikulumnya pun belum bersifat klasikal/berjenjang secara teratur. Dengan kata lain, sistem dan orientasi pendidikan di masyarakat Islam masih sangat sederhana (tradisional).
Pada perkembangan berikutnya, modernisasi pendidikan Islam dimulai dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan Barat dianggap ideal untuk mengantisipasi dan menyiapkan generasi untuk menghadapi perubahan zaman yang lebih kompleks.
Pembaharuan pendidikan Islam dilakukan tidak hanya bertujuan untuk meraih kebahagian ukhrawi, tetapi untuk merespon tuntutan masyarakat yang semakin kompetitif. Kondisi inilah yang membedakan sistem pendidikan Islam tempo doeloe dengan sistem pendidikan Islam di masa sekarang19.

Madrasah Sebagai Institusi Pendidikan Islam
Dari segi bahasa, istilah madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar (lembaga pendidikan).20 Dalam Shorter Encyclopedia of Islam, madrasah diartikan sebagai sebuah nama bagi suatu tempat lembaga ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Mengacu pada istilah itu, madrasah di tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah atau lembaga pendidikan secara umum. Namun, hal itu berbeda dengan keberadaan istilah madrasah di Indonesia.
Di Indonesia, sebutan madrasah ditujukan kepada sekolah atau lembaga pendidikan yang memberikan materi agama Islam lebih banyak dan dilakukan secara sistematis22 ---mulai dari tingkat dasar sampai menengah.
Cikal bakal keberadaan madrasah tidak lepas dari lembaga pesantren.24 Namun demikian sebagian ahli berpendapat bahwa latar belakang tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia disebabkan oleh dua faktor, yakni; pertama faktor internal Indonesia dan kedua faktor eksternal di luar Indonesia.25
Faktor internal bisa dilihat dari sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia, di mana masyarakat Indonesia telah memiliki norma atau nilai tersendiri dari kepercayaan sebelumnya yang dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, aliran kepercayaan Animisme, dan aliran kepercayaan dinamisme. Ajaran/aliran kepercayaan yang sudah berkembang lama itu telah mengakar dalam pola kehidupan masyarakat.
Ketika ajaran agama Islam menyebar ke sebagian wilayah nusantara dan dianut oleh sebagian masyarakat setempat, masih tampak ajaran/aliran kepercayaan lama terbawa ke dalam ajaran agama Islam. Atas dasar itu, jalur pendidikan menjadi pilihan untuk terus dioptimalkan sebagai sarana dakwah.  Termasuk faktor internal yang mendorong tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia adalah sistem pendidikan Kolonial pada masa itu.26
Faktor kedua yakni pengaruh luar negeri. Dalam perjalanan sejarah, pada abad ke-19 sebagian besar dunia Islam dihadapkan pada kekuasaan penjajah bangsa Barat. Realitas demikian menjadikan umat Islam terpeta-petak dalam tiga pandangan, yakni; pertama mereka yang menutup diri terhadap modernisasi (menolak sepenuhnya/anti Barat). Kedua, mereka yang membuka diri terhadap modernisasi Barat (menerima sepenuhnya peradaban Barat). Ketiga, mereka menerima modernisasi Barat dengan penuh selektif.27
Realitas di atas memengaruhi pendidikan Islam. Akibatnya lahir pola-pola pembaharuan pendidikan Islam ke dalam sistem madrasah yang merupakan bentuk alternatif sebagai model pembaharuan pendidikan Islam.28

Paradigma Pembaharuan Pendidikan Islam

Menindaklanjuti perkembangan kebutuhan hidup masyarakat yang demikian kompleks, setidaknya pendidikan Islam harus melakukan pembaharuan paradigma. Perubahan paradigma ini diharapkan mampu menghasilkan manusia yang berkualitas tinggi. Dengan demikian, pendidikan Islam tetap survive dan tetap diidealkan masyarakat.
Bila dikaji lebih lanjut, paradigma pembaharuan pendidikan Islam akhir-akhir ini lebih mengarah pada pembaharuan yang bersifat sistemik. Karena itu, akan dihasilkan suatu construct hasil pembaharuan pendidikan Islam yang secara konseptual dapat diterima oleh logika, secara kultural sesuai dengan budaya bangsa, dan secara politis dapat diterima dikalangan masyarakat luas.
Dalam proses perubahan tersebut, pendidikan Islam diharapkan mampu mengembangkan dua peran strategis, yakni: pertama, pendidikan Islam bisa mempengaruhi terhadap perubahan masyarakat; dan kedua, pendidikan Islam mampu memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi menuju terwujudnya masyarakat yang berdaya. Dengan demikian, maka pendidikan Islam secara kultural perlu mempertegas kembali orientasinya.
Reorientasi yang perlu dilakukan adalah perlunya mempertegas kembali posisi dan peran pendidikan Islam, baik dalam gerak transformasi sosial, kultural, dan struktural yang demikian cepat dan bersifat universal seperti sekarang ini.
Dalam konteks global, pendidikan Islam dituntut merumuskan kembali visi dan misinya31. Dengan visi pendidikan Islam yang baru, setidaknya akan memberikan inspirasi dan mendorong seluruh komponen lembaga untuk bekerja lebih giat dan efektif32. Dengan demikian, visi pendidikan Islam hendaknya dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif, dan realistis.
Kalau visi pendidikan Islam merupakan pernyataan tentang masa depan, maka misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama yang akan direalisir. Jadi visi merupakan ide, cita-cita, wawasan, dan gambaran di masa depan. Karena itu, misi merupakan kongkritisasi visi yang akan diwujudkan.
Visi dan misi pendidikan Islam tersebut pada akhirnya akan terus menjadi acuan bagi pimpinan, pendidik, peserta didik, dan wali peserta didik, sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing untuk bekerja efektif.

Kesimpulan
Dari uraian tersebut, ada beberapa hal yang dapat dismpulkan, yakni: pertama, dalam menghadapi globalisai, dibutuhkan SDM yang berkualitas tinggi. Kedua, proses pendidikan merupakan cara yang strategis untuk menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas, dalam arti SDM yang menguasai IPTEK dan IMTAQ yang dibutuhkan di era globalisasi dan liberalisasi. Hal ini akan terwujud salah satunya dengan melakukan revitalisasi pendidikan Islam. Ketiga, Pendidikan Islam harus mempunyai orientasi ke depan  sehingga dapat mengikuti irama perubahan. Keempat, pendidikan Islam dianggap tepat untuk mewujudkan SDM yang handal.


DAFTAR PUSTAKA

Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah, Suarabaya, Arkola, 1994.

Anshori, Dadang S., Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung, Al Qopriat Jatinangor, 2000.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.

Deppenas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional, 2001.

Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999.

Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995.

Furchan, Arief, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, 1982.

Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang, UMM Press, 1996.

Kasih, Eka Wahyu dan Suganda, Azis, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, Jakarta, Grasindo, 1999.

Kadir, Sardjan dan Ma’sum, Umar, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya, Usaha Nasional, 1982.

Ma’arif, Syafi’i, Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat, Jurnal Pendidikan Islam, No.2, Fakultas Tarbiyah UII, Oktober, 1999.

Madjid, Nurchalish, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.

Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, Jakarta, Bulan Bintang, 1980.
Nasrib, Ibrahim, Keteladanan Pendidik Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, Mimbar Depaq Jatim, No. 175, April 2001.

Soewito, Pendidikan Yang Memberdayakan; Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam Disampaikan di Hadapan Sidang Senat Terbuka IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 2001.

Soebahar, Abdul Halim, Reorientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi, Makalah Diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah Oleh HMJ T. STAIN Jember, 2000.

____________________, Rekonstruksi Pendidikan Islam; Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, Jurnal Al ‘adalah STAIN Jember, Vol. 3, Desember 2000.

____________________, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Materi Diskusi Pendalaman Dalam Upaya Peningkatan Kinerja Bidang Komisi “E” DPRD Kabupaten Situbondo, November 2001.

Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif Abad 21, Magelang, Tera Indonesia, 1999.

UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wahid, Marzuki, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999.







**Penyaji adalah Dosen di beberapa PT Swasta  di Semarang
1. Baca: Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), hlm. 52.
2. Globalisasi dan liberalisasi ingin menciptakan suatu bentuk jaringan internasional. Realitas yang demikian akan memudahkan hubungan komunikasi baik dibidang politik, sosial, dan budaya seingga antar-manusia akan semakin lebih dekat,  seolah telah menghilangkan batas wilayah. Kenyataan ini akan mendatangkan dan memperkuat adanya tiga situasi,  yakni: pertama, meningkatnya hubungan sosial ekonomi secara global. Kedua, persaingan sumber daya antarbangsa semakin ketat. Ketiga, semakin besar kemungkinan terjadinya eksploitasi bagi negara maju kepada negara-negara yang belum maju (belum mampu bersaing). Lihat Kasih dan Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 5.
3 Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), hlm. 16. Demikian juga penterjemahan dalam Kamus Ilmiah. Kalimat globalisasi memiliki makna gerakan pengglobalan pada seluruh dimensi kehidupan/perwujudan (perombakan/peningkatan/ perubahan) secara menyeluruh di segala aspek kehidupan. M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 203.
4 Sebenarnya gejala globalisasi pada awal mulanya adalah membuat jaringan bisnis (perdagangan internasional) secara luas, tanpa mempertimbangkan status di mana dan dari mana mereka berasal. Yang terpenting arus barang dan jasa mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia dengan kendali kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa. Bagi bangsa yang memiliki daya saing, akan mendapat peluang untuk bermain dalam jaringan ekonomi global yang sangat berarti bagi bangsanya kedepan. Bagi bangsa yang tidak memiliki daya saing yang memadai hal tersebut akan mendatangkan masalah baru, terutama dalam perkembangan selanjutnya sebagai bangsa yang memiliki ketergantungan yang cukup tinggi kepada bangsa lain.
5 Ada dua hal yang bisa dihadirkan oleh kemajuan teknologi di era globalisasi, di antaranya; pertama, mudahnya perkembangan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya yang diakibatkan oleh luasnya dan cepatnya jaringan komunikasi bekerja. Kedua, semakin meningkat (menonjolnya) peranan satuan-satuan kecil dalam masyarakat.   Baca: Ishomuddin, Op. Cit.,hlm.  17.
6 Ibid., hlm.  18.
7 Istilah Sumber Daya Manusia lahir dari wilayah dan keperluan industri. Industrialisasi, yang kemudian menjadi ideologi industrialisme, yang lahir dari suatu visi dan versi pandangan yang dominan mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Maka tekanan makna Sumber Daya Manusia itu sendiri adalah daya manajerial (software-nya) dan profesionalisme serta ketrampilan kerja (hardware-nya). Kedua hal tadi ditambah dengan faktor-faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme industri; etos kerja, disiplin, semangat untuk maju. Pada akhirnya konsep Sumber Daya Manusia mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk produktif. Anshori, Dadang S., Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, (Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000), hlm. 50. Bandingkan juga pendapat yang menyatakan bahwa SDM yang berkualitas adalah kaum intelektual yang mampu menciptakan gagasan dan mampu menggerakkannya untuk mewujudkan gagasan itu kepada kerja nyata. Ishomuddin, Op. Cit., hlm. 12.
8 Melalui pendidikan, masyarakat akan belajar untuk mengerti dan merubah hubungannya dengan alam serta lingkungan sosialnya secara kontruktif. Kadir dan Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 15; Proses pendidikan juga dapat dipahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Baca: Soewito, Pendidikan Yang Memberdayakan, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000), hlm. 1. Bandingkan pula pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia, khususnya peserta didik, dan proses pendidikan merupakan bentuk ikhtiar dalam menyiapkan generasi muda untuk mempengaruhi kehidupan yang akan datang. Lihat: Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 171; Bandingkan juga pernyataan Presiden Soeharto ketika membuka Konfrensi Dewan Mentri-mentri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang ke-17. Menurutnya, pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap bangsa, lebih-lebih bagi yang sedang membangun. Lihat:  Arief Furchan,  Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. vii.
10 Apabila ditelusuri dari segi sejarahnya, pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berumur sangat tua. Hal ini dapat dipahami bahwa pendidikan sebenarnya telah dijalankan sejak manusia tercipta di muka bumi ini. Penguasaan terhadap alam semesta memberikan contoh pendidikan kepada manusia. Dan dilanjutkan dengan mendidik keluarganya. Baca:  Syafi’i Ma’arif, ”Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, (No. 2. Fak. Tar. UII, Oktober 1999), hlm. 6.
11 Kepribadian yang utuh dimaksudkan adalah kepribadian yang memiliki dua dimensi; yakni kepribadian moral dan intelektual.
12 Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 78.
13 Sebagaimana harapan Bangsa Indonesia yang termaktub dalam UU No. 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab I Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Demikian juga pada Bab II Pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
14 Karena bila ditinjau dari tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam secara umum hendaknya memiliki 3 (tiga) unsur yang bisa memenuhi fitrah manusia yaitu pemenuhan unsur ragawi (jismiyah), pemenuhan unsur akal (aqliyah), dan pemenuhan unsur spiritual (ruhiyyah). Baca: Ishomuddin, Op. Cit., hlm. 42. Bandingkan juga hasil konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 bahwa yang hendak dicapai dalam pendidikan Islam adalah pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui pelatihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan, dan indra. Karena itu, pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individu maupun secara kolektif dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Islam terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 57.
15 Sebagaimana disampaikan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa Penyelenggaraan pendidikan yang relevan bagi kehidupan masyarakat adalah menjadi tuntutan utama yang tidak bisa dihindari oleh setiap lembaga pendidikan yang ada, baca: Nurchalish Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 122.
16 Perkataan “modern” merupakan suatu pengertian yang kurang menentu, sehingga dapat digunakan untuk mensifati segala macam ide, cita-cita, atau keinginan-keinginan. Istilah “modernisasi” lebih sering digunakan untuk menunjukkan pertumbuhan pemikiran atau penemuan-penemuan yang serba rasional. Dalam pandangan masyarakat Barat, modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern.
17 Bisa disimak di dunia Islam ketika pertama kali Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir (manyoritas umat Muslim), ia memperkenalkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh bangsa Eropa kepada kaum Muslimin. Dan, ketika Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali Pasya, dia mengirimkan banyak pemuda-pemuda  Mesir untuk belajar ke Eropa guna mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang nanti diharapkan bisa dikembangkan guna kesejahteraan dan kemakmuran Mesir. Dari sini muncul tokoh pembaharu Mesir (khususnya bagi dunia Islam) seperti Al Tahtawi yang pada akhirnya diikuti oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam lainnya seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Amir Ali, Iqbal, dan lain-lainnya berusaha melakukan pembaharuan di berbagai bidang kehidupan lewat gerakan diplomatis maupun gerakan pemberdayaan,. Baca:  Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
19 Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 65.
20 Hal yang sama juga disampaikan oleh Sumardi bahwa istilah madrasah dalam bahasa Arab ditujukan untuk lembaga sekolah atau tempat belajar, Sumardi Mulyanto, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975, (Djakarta: Dharma Bhakti, 1978), hlm. 49. Baca juga Ibrahim Anis, et,al, Al Mu’jam al Wasit, (Kairo: al Ma’arif, 1972), hlm. 280.
22 Sistematisisasi penyelenggaraan madrasah di Indonesia karena pada masa awal-awal perkembangan dan penyebaran agama Islam, sistem pengajarannya pun diselenggarakan secara tradisional. Tidak memiliki tata aturan yang jelas/baku, baik dari segi tempat pelaksanaan, kurikulum, ukuran penguasaan/ketercapaian/keberhasilan bagi para santri. Dalam artian pelaksanaan tidak dilakukan dengan sistematis, sehingga menjadi tidak teratur. Bahkan penyelenggaraan pengajaran ini hanya dilakukan secara monoton, yakni di masjid-masjid, mushalla atau surau/langgar, ataupun bisa jadi di tempat rumah para kiai atau ustadz.
24 Lahirnya lembaga madrasah dipandang sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan pesantren yang dimodifikasi menurut model penyelenggaraan sekolah-sekolah umum dengan sistem klasikal. Di samping memberikan pengetahuan agama, diberikan juga pengetahuan umum sebagai pelengkap. Baca: M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2005). Baca juga Abdul Halim Soebahar, Bagaimana Memahami Kurikulum SMTP dan SMTA, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1993), hlm. 137-141.  Pendapat senada disampaikan oleh Fatah Syukur bahwa madrasah di Indonesia dianggap sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau. Fatah Syukur, Dinamika Madrasah dalam Masyarakat Industri, (Semarang: PKPI2  dan PMDC, 2004), hlm. 32. Dalam pandangan Hasbullah, kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya dilatarbelakangi oleh usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum lainnya. Baca: Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet. ketiga, (Jakarta: LSIK dan Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 162-163.
25 Baca Fatah Syukur, Op. Cit., hlm., 32-35, dan Hasbullah, Op. Cit., hlm.  163-170.
26 Diakui oleh Nurcholish Madjid bahwa modernisasi paling awal dari sistem pendidikan Islam di Indonesia bukan bersumber dari kalangan Muslim, tetapi justru diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dengan model sistem pendidikan modern ini pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam. Usaha pemerintah kolonial Belanda melalui politik etis/ politik pendidikan dan direspons oleh kalangan umat Islam. Pesatnya lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda kemudian diimbangi dengan berdirinya madrasah-madrasah, yang dalam batas-batas  tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang hanya diberi tambahan pelajaran keagamaan sebagai bentuk ciri khusus pendidikan Islam. Baca: Nurcholish Madjid, OP. Cit., hlm. xii.
27 Hasbullah, Op. Cit., hlm. 165-166. Hal yang sama juga disampaikan oleh A. Qodri Azizy bahwa munculnya dominasi kekuasaan bangsa Barat atas bangsa Timur (Dunia Islam) menjadikan umat Islam memiliki 3 sikap politis yang berbeda, yakni: Pertama, sebagian Muslim merespons secara berbalikan, yaitu dengan sikap anti Barat. Kedua, sebagian Muslim yang lain terpengaruh oleh arus peradaban Barat dengan munculnya modernisasi dan sekulerisasi. Hal ini berakibat pada anggapan pemisahan antara agama dan politik, antara masalah ukhrawi dan duniawi. Kelompok ini menjadikan Barat sebagai kiblat dan role model dan bahkan dijadikan sebagai way of life. Ketiga, sebagian dari mereka bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti Barat. Konsekuensi dari sikap ketiga ini, diperlukan modifikasi agar tidak bertentangan prinsip Islam. Kelompok yang ketiga ini menganggap Barat tidak secara otomatis sebagai musuh dan dalam waktu bersamaan tidak pula menganggap Barat sebagai role model yang hebat. Bagi mereka, Barat juga memiliki unsur kebaikan, sehingga mereka tidak keberatan untuk menerima eclecticism, selama tidak harus mengorbankan agama. Namun demikian, dalam sisi lain mereka juga sadar dan perlu kejelian untuk membaca secara tepat dan cepat kejelekan-kejelekan yang muncul sebagai bentuk kekurangan yang dimiliki oleh Barat. Dan, pada bagian ini harus mampu disikapi secara kritis serta mendalam pada batas tertentu untuk di tolak.  Lihat: A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 28.
28Pendapat lain menyatakan bahwa madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga pendidikan umat Islam, seperti dayah, surau, rangkang, dan pesantren yang tumbuh subur sejak abad ke 13. Baca: M. Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Edisi Empat, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 52.
31 Abdul Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, (Situbondo, Materi Diskusi Pendalaman dalam Upaya Peningkatan Kinerja Bidang Komisi E DPRD Kabupaten Situbondo, November 2001), hlm. 2.
32 Visi pada umumnya dirumuskan dalam kalimat yang filosofis dengan memberikan inspirasi kepada misi sebagai realisasi dari visi. Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar