Rabu, 11 Desember 2013

Implentasi Pengelolaan Lembaga Pendidikan

"+"

IMPLEMENTASI
PENGELOLAAN LEMBAGA PENDIDIKAN



A.  Pengantar Manajemen Pendidikan 
  1. Pengertian Manajemen
Istilah manajemen sangat tidak asing dalam kehidupan sekarang. Dalam banyak kesempatan manajemen banyak disinggung, diucapkan, dan diterapkan. Di kalangan bisnis, perkantoran, kepemerintahan, pendidikan dan bahkan di setiap perkumpulan atau organisasi, manajemen banyak dibicarakan dan dilaksanakan. Istilah manajemen penjualan, manajemen rumah-sakit, manajemen sumberdaya air, manajemen publik, manajemen ilmiah, manajemen rumah tangga, dan sebagainya merupakan pengertian yang sudah akrab.
Pengertian manajemen sebenarnya sangat luas. Banyak pendapat dari pemikir manajemen yang memberikan arti tentang manajemen. Sedemikian banyak pendapat yang mencoba menjelaskan pengertian manajemen namun masih terdapat kesulitan untuk memperoleh kesepakatan untuk menen­tukan definisi manajemen yang benar-benar dapat diterima secara umum. Kesulitan ini bisa dipahami, mengingat manajemen termasuk dalam ilmu-ilmu sosial yang obyeknya adalah manusia.   Terry (1977:4) menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengontrolan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain. Menurut Stoner (1978:7) manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan dari anggota organisasi dengan menggunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kaitannya dengan fungsi manajemen yang lain perencanaan berusaha mencapai produktivitas, dan merupakan dasar dari fungsi-fungsi manajemen, karena perencana­an melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan dalam menentukan lang­kah-langkah lebih lanjut. Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang dinamis. Dengan demikian  perencanaan tidaklah tetap,  melainkan berubah karena perkembangan waktu, ling­kungan dan kepentingan.
Perencanaan merupakan suatu program yang melibatkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Perencanaan melibatkan tindakan-tindakan sekarang dengan tindakan-tindakan di masa depan. Selain itu, perencanaan sebenarnya merupakan kegiatan memilih, sekaligus menyediakan beberapa alternatif untuk dipilih.
Hasil dari kegiatan perencanaan adalah rencana. Rencana dapat dibedakan atas dasar berbagai kebutuhan (Tjiptono, 2005:4).  Penggolongan jenis-jenis rencana sebenarnya sulit dilakukan karena batas pembedanya tidak sangat tegas.  Tujuan pembedaaan ini disamping mengetahui karakteristik masing-masing rencana juga mengetahui penanggung jawab dan  pelaksana masing-masing rencana tersebut.
1.    Menurut jangkauan waktu yang dikendalikan, maka rencana dapat dibedakan atas rencana jangka panjang (long-range plans) dan rencana jangka pendek (short-range plans)
2.    Menurut lingkup kegiatan yang dikendalikan, maka rencana dapat dibedakan atas rencana strategis (strategic plans) dan rencana operasional (operational plans).
3.    Menurut spesifikasi penggunaannya maka rencana dapat dibeda­kan atas rencana tetap (standing plans) dan rencana sekali pakai (single-use plans).     
Perencanaan merupakan penentuan bagaimana meraih tujuan, apa yang harus dikerjakan, serta kapan harus mengerjakan hal tersebut. Langkah atau aktivitas dalam perencanaan meliputi: (1) menetapkan sasaran, (2) menentukan faktor-faktor yang membantu dan menjadi rintangan aktivitas meraih tujuan, (3) mengembangkan rencana alternatif, (4) menyeleksi rencana yang terbaik serta merevisi rencana berdasar pengalaman.
Dikaitkan dengan fungsi manajemen keberadaan   pengorganisasian muncul sejak dimulainya proses sosialisasi sekelompok orang. Artinya pengorganisasian merupakan alat atau kendaraan yang digunakan untuk meraih apa yang telah direncanakan. Aktivitas pengorganisasian ini diantaranya adalah (1) menyusun struktur organisasi yang efektif, (2) merumuskan uraian tugas secara jelas dan detail, (3) memilih orang yang tepat untuk melaksanakan tugas, (4) pemberian motivasi pelaksanaan tugas.
            Akuntabilitas sebagai bagian dari aktivitas manajemen merupakan tahapan proses manajemen dalam rangka mempertanggungjawabkan kinerjanya. Nilai pertanggungjawaban mem­punyai dua aspek yakni tanggung jawab atas penyusunannya dan tanggung jawab pada pelaksanaannya. Tanggungjawab atas penyusunan dimaknai sebagai langkah untuk mengetahui baik dan tidaknya perencanaan yang telah disusunya, sedangkan tanggungjawab atas pelaksanaannya berarti bagaimana melaksanakan rencana yang telah ditetapkan dikaitkan dengan hasil yang dicapai.
Pengawasan sebagai fungsi manajemen terakhir merupakan proses yang dilakukan untuk mengetahui apakah aktivitas yang dijalankan organisasi sesuai rencana atau tidak. Aktivitas pengawasan ini meliputi (1) penetapan standar dan metode untuk mengukur kinerja, (2) pengaturan kinerja pelaksanaan, (3) membandingkan kinerja dengan standar yang telah ditetapkan serta, (4) mengadakan evaluasi atau koreksi.
Pengawasan sebagai salah satu fungsi utama dalam proses manajemen mempunyai kaitan erat dengan istilah kekuasaan, dimana apabila penggunaannya tidak tepat, maka akan ber­kesan mempunyai konotasi negatif. Terdapat kesan umum, bahwa kegiatan orang yang diawasi oleh orang lain akan menimbulkan rasa kurang nyaman. Kesan yang ditangkap disini adalah bahwa pengawasan mempunyai unsur kecurigaan, atau dalam pengertian lain, suatu pekerjaan yang tidak terkontrol dan terkendali adalah pekerjaan yang tidak baik. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian, pengawasan mempunyai pengertian yang lebih luas. Kegiatan pengawasan terdapat dalam setiap jenis organisasi dan pengawasan merupakan bagian integral dari setiap tugas seorang manajer.
Terkait dengan beberapa fungsi manajemen, Tjiptono (2005:6) lebih menegaskan lagi hubungan  antara perencanaan dan pengawasan, organisasi dan pengawasan, akuntabilitas dan pengawasan dalam sebuah institusi.
Perencanaan memberikan arah kepada organisasi sebagai keseluruhan serta kepada pribadi dan kelompok untuk bekerja dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, pengawasan terhadap strategi dan tujuan organisasi hanya dapat dilaksanakan apabila perilaku kerja telah diarahkan kepada pencapaian hasil dan tujuan organi­sasi. Apabila tujuan telah ditentukan dengan jelas, maka kemungkinan untuk terjadi penyimpangan karena kesalahan pengarah­an adalah kecil. Ini menunjukkan bahwa perencanaan yang baik akan memperkecil penyimpangan karena kesalahan pengarahan. Kebijakan dan prosedur yang ditetapkan dengan baik akan merupakan pedoman bagi perilaku kerja dan termasuk aturan-aturan khusus untuk pemecahan suatu masalah.
Pengorganisasian akan merupakan pendukung kegiatan peng­awasan melalui rancangan struktur organisasi, pemilihan dan pendidikan  serta perancangan tugas yang baik. Rancang­an struktur organisasi yang tepat akan memberikan kemudahan kepada pengawasan untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Pemilihan dan pendidikan  akan memberikan jaminan kualifikasi pribadi-pribadi yang mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Selanjutnya penyusunan rancangan pekerjaan yang sesuai dengan kapabilitas orang per orang akan mengurangi kemungkinan kesalahan karena ketidakmampuan karyawan melakukan tugasnya masing-masing.
        Pertanggungjawaban  atas pelaksanaan suatu rencana  erat kaitannya dengan apakah rencana yang dimaksud sudah sesuai atau masih ada perlu mendapatkan perubahan-perubahan. Oleh karena itu, fungsi pengawasan sangat mutlak diperlukan dalam tahapan ini. Dengan pengawasan yang baik penyimpangan terhadap pelaksanaan rencana dapat ditekan serendah mungkin.



  1. Pengertian Biaya Satuan
Berkenaan dengan manajemen pembiayaan pendidikan atau dana sekolah, kajian ini lebih memfokuskan pada pengelolaan pembiayaan (unit cost) pada tingkat organisasi (satuan pendidikan). Berbagai pendapat tentang biaya pendidikan telah disampaikan oleh para pakar dan peneliti. Abbas Ghozali mendefinisikan biaya pendidikan sebagai nilai rupiah dari seluruh sumberdaya (input) yang digunakan untuk suatu kegiatan pendidikan. (Abbas Ghozali, 2003: 9).
Coombs dan Hallak (ADB, 1987:51 dan 1998: 18) mendefinisikan biaya satuan sebagai biaya satu bangku/tempat di sekolah yang ditempati oleh seorang siswa untuk satu tahun ajaran. Namun demikian definisi tersebut tidak mengatakan apapun tentang kehadiran (misalnya apakah siswa benar-benar mengambil tempatnya di sekolah yang dialokasikan bagi mereka). Definisi tersebut juga belum mengatakan apapun tentang kualitas mengajar atau belajar. Pengkajian tentang dimensi kualitatif mengisyaratkan untuk menghitung biaya perubahan dalam pengetahuan, skill, dan/ atau sikap daripada pengadaan tempat belajar di sekolah. Lebih jauh lagi, beberapa analisis memfokuskan pada satuan biaya per lulusan yang mengharuskan memasukkan penghitungan angka mengulang dan drop-out.

Cohn dan Geske (1989:71) mengelompokkan biaya pendidikan sebagai (1) biaya langsung (direct cost) yaitu biaya yang dikeluarkan oleh sekolah, siswa dan keluarga siswa, dan (2) biaya tidak langsung (indirect cost) seperti forgone earning. Pengertian serupa biaya pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost) (Cohn, 1979; Thomas Jone, 1985; Alan Thomas, 1976 dalam Nanang Fattah, 2004: 23). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orangtua, maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa pendapatan yang hilang (forgone earning) dari siswa.
Senada dengan pendapat di atas adalah pendapat Koch yang menyatakan bahwa biaya pendidikan terdiri dari (1) pengeluaran langsung dari siswa, (2) pengeluaran langsung dari masyarakat, dan (3) pendapatan yang hilang (forgone earnings) karena sekolah (Koch, 1970: 7; dalam Abbas Ghozali, 2003: 9). Pendapat Koch tampak merujuk pada pihak-pihak yang mengeluarkan biaya. Sedangkan Richardson menguraikan jenis-jenis biaya menurut keperluan penyelenggaraan pendidikan. Richardson menjabarkan biaya langsung ke dalam (1) pengeluaran untuk administrasi, pengajaran, serta operasi, dan (2) pengeluaran untuk gedung dan perlengkapan (Richardson, 1972: 45; dalam Abbas Ghozali, 2003: 9).
Woodhall mengklasifikasikan biaya pendidikan ke dalam private cost yaitu biaya yang dikeluarkan oleh pribadi siswa/orang tua dan social cost yaitu biaya yang ditanggung oleh masyarakat (pemerintah). Menurut Woodhall, private cost mencakup pengeluaran untuk sumbangan pendidikan, buku, perlengkapan, transportasi, dan penghasilan siswa yang tidak jadi diterima karena sekolah (forgone earning); sedangkan social cost meliputi selain private cost yang telah diuraikan di muka juga biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti biaya-biaya departemen (pusat dan daerah), gedung, gaji tenaga kependidikan, peralatan, buku paket, dll. Pada dasarnya, social cost ini sama dengan cycle cost. Berkaitan dengan biaya forgone earning, Verry memperjelas bahwa dalam private cost, forgone earning itu adalah forgone earning setelah pajak; sedangkan dalam social cost, forgone earning yang dianggap biaya adalah forgone earning sebelum pajak yang merupakan proksi dari nilai output yang tidak jadi diproduksi karena siswa sekolah dan tidak bekerja sehingga disebut juga output forgone (Woodhall, 1987: 393; Verry, 1987: 401 dalam Abbas Ghozali, 2003: 10).
Woodhall juga membedakan biaya lancar (recurrent cost) dan biaya kapital (capital cost). Biaya lancar mencakup semua pengeluaran untuk barang-barang konsumtif (seperti bahan-bahan, buku, dll.) dan jasa-jasa yang memberikan manfaat jangka pendek dan secara diperbarui. Biaya kapital meliputi pembelian barang-barang tahan lama seperti gedung atau perlengkapan yang memberikan manfaat dalam jangka panjang. (Woodhall, 1987: 393 dalam Abbas Ghozali, 2003: 10).
Sejalan dengan Woodhall, BPS mengelompokkan jenis pengeluaran pendidikan menjadi: (1) biaya lancar (recurrent expenditure) yang merupakan pengeluaran yang bersifat berulang-ulang tiap tahun atau tiap 2 atau 3 tahun, seperti: gaji dan tunjangan, buku-buku wajib, barang-barang yang harus sering diganti dengan yang baru, beasiswa dan bantuan dari dalam maupun luar negeri, pelayanan kesejahteraan, seperti kantin, transpor, penginapan dan olahraga, pemeliharaan gedung dan peralatan, serta pengoperasian gedung, seperti listrik, air, dan telepon, dan (2) biaya modal (capital expenditure) yang merupakan pengeluaran untuk barang-barang tahan lama, seperti pembelian tanah, pengembangan gedung sekolah, kelas, laboratorium, peralatan tetap, perlengkapan pelajaran lain yang tahan lama, tempat tinggal dan sebagainya. (BPS, 2000: 51).
Selain itu, Hallak (1999: 25-27) mengelompokkan biaya berdasarkan (1) jenis pendidikan (umum dan swasta), dalam hal ini pengeluaran dibandingkan dengan jumlah pendaftaran, (2) tingkat pendidikan dan jurusan, (3) tujuan yaitu biaya langsung (pengeluaran berulang untuk gaji dan bahan) dan biaya tak langsung (untuk manajemen umum) serta biaya untuk menganjurkan kehadiran di sekolah (biaya intervensi; menjelaskan perbedaan antara biaya rata-rata antar negara/tingkat pendidikan), biaya sosial serta biaya pemindahan atau transfer cost (kantin, asrama, transpor dan beasiswa), dan (4) sifat pengeluaran (penggajian).
Secara lengkap, Tsang mengklasifikasikan biaya pendidikan ke dalam biaya publik (public costs), biaya pribadi (private costs), biaya sosial (social costs), biaya langsung (direct costs), biaya tidak langsung (indirect costs), biaya personel (personnel costs), biaya bukan personel (non-personnel costs), biaya operasional/ lancar (operational/ recurrent costs), biaya modal/ pengembangan (capital/ development costs), biaya institusi (institutional costs), biaya domestik (domestic costs), dan biaya eksternal (external costs) (Tsang, 1994: 34). Jenis–jenis biaya pribadi, biaya sosial, biaya langsung, biaya tidak langsung, biaya operasional/ lancar, dan biaya modal/pengembangan telah disebutkan sebelumnya dan definisi atau pengertiannya juga telah dibahas.
Jenis biaya yang diungkapkan tetapi belum disebut oleh peneliti lain, adalah biaya publik, biaya personel, biaya bukan personel, biaya institusi, biaya domestik, dan biaya eksternal. Biaya publik adalah biaya yang dipikul oleh pemerintah. Biaya personel adalah biaya-biaya untuk guru, kepala sekolah, dan pegawai sekolah lainnya yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Biaya bukan personel adalah biaya-biaya untuk bahan, peralatan, perlengkapan, pemeliharaan dan perbaikan ringan, dll. yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Biaya institusional adalah biaya yang timbul untuk menunjang kelembagaan pendidikan yang mencakup biaya operasional dan biaya investasi lembaga. Biaya domestik adalah biaya yang ditanggung oleh pemerintah dalam negeri. Biaya eksternal adalah biaya yang ditanggung oleh lembaga-lembaga donor luar negeri (Tsang, 1994: 34).
Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa biaya  pendidikan adalah nilai rupiah dari seluruh sumberdaya (input) atau seluruh pengeluaran dalam bentuk natura atau berupa uang yang digunakan untuk kegiatan pendidikan.

  1. Sumber Dana Sekolah
Dari dokumentasi RAPBS (Rencana Anggaran  Pendapatan dan Belanja Sekolah) beberapa sekolah, terdapat  tiga sumber dana utama yang dimiliki sekolah saat ini, yaitu dana rutin yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS dan BOS buku)  serta dana dari komite sekolah  (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan).       
            Selain dari tiga  sumber utama tersebut, khususnya bagi sekolah-sekolah yang kualitasnya baik, seringkali juga memperoleh bantuan dana dari para donatur (orang tua siswa, yayasan, atau lembaga-lembaga lain).  Selain itu untuk sekolah yang berstandart nasional dan internasional memperoleh dana tambahan khusus.
            Dana yang bersumber dari anggaran rutin dan dana BOS alokasinya ditentukan oleh pemerintah dengan memakai peraturan/rumus yang berlaku umum di semua sekolah dan semua wilayah yaitu berdasarkan jumlah siswa, jumlah kelas, jumlah guru, dan   jenis sekolah. Dari peraturan tersebut,   pengalokasian dana rutin dan dana BOS di sekolah kurang memperhitungkan tersedianya dana komite sekolah  yang ada di sekolah.
          Penggunaan dana rutin ini sebagian besar untuk alokasi belanja pegawai, belanja barang, belanja jasa, belanja perjalanan dan belanja pemeliharaan yang cenderung kaku dilihat dari aspek pertanggungjawaban. Kemudian penggunaan dana BOS dipergunakan untuk mengurangi biaya pendaftaran siswa baru, biaya buku pelajaran pokok dan buku penunjang untuk perpustakaan, biaya pemeliharaan sekolah, biaya ujian sekolah ulangan umum bersama dan ulangan harian, biaya honor guru serta biaya transportasi bagi siswa kurang mampu namun penggunaannya perlu mendapat persetujuan dengan pihak komite sekolah. Untuk menjamin pengelolan dana BOS berjalan secara transaparan, laporan penggunaan dana BOS yang dibuat oleh pihak sekolah, akan diaudit oleh pengawas internal dan BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan). Sangsi yang tegas akan dikenakan bagi sekolah-sekolah yang menarik pungutan pada komponen-komponen yang sudah ditanggung oleh dana BOS dan melakukan penyalahgunaan dana BOS.
            Cara seperti itu sering kali dirasakan menimbulkan ketidak-adilan bila dilihat dari segi kebutuhan riil sekolah dilihat dari kemampuan sekolah yang beragam dalam hal pembiayaan pendidikan. Lebih lanjut pengalokasian dana dengan cara demikian juga kurang memperhitungkan sekolah yang memiliki kondisi khusus. Selain itu, jumlah dana yang di alokasikan ke sekolah memang sangat terbatas, sehingga jumlahnya secara keseluruhan dirasakan masih kurang.
                        Dana yang bersumber dari komite sekolah  pemanfaatannya dapat lebih luwes sesuai dengan kebutuhan sekolah. Bagi sekolah-sekolah yang kondisi ekonomi orang tua siswanya lebih mampu, pengumpulan dana komite sekolah   ini boleh dikatakan sangat berhasil. Selain untuk membiayai kebutuhan rutin sekolah, dana komite sekolah ini juga dipakai untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sekolah.  Sebaliknya, di wilayah yang penduduknya kurang mampu (miskin) pengumpulan dana komite sekolah  ini sangat sulit dilakukan. (Balitbang Diknas, 1993:6).
            Tersedianya dana komite sekolah  yang sangat bervariasi antar sekolah ini tidak diperhitungkan oleh pemerintah dalam pengalokasian dana rutin dan dana BOS ke sekolah-sekolah. Hal ini semakin memperbesar kesenjangan antar sekolah dalam pemiilikan dana. Dengan demikian  dapat dikatakan bahwa keadaan tersebut menjadi salah satu sumber penting yang mengakibatkan rendah dan bervariasinya kualitas pendidikan antar sekolah dalam rangka mewujudkan sekolah yang efektif. 

                                          i.    Kaidah Pengalokasian Dana
Pada bagian ini akan diuraikan distribusi atau pengalokasian dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah baik pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten secara normatif. Selanjutnya akan dikaji pula bagaimana dana yang sudah diterima pemerintah kota atau pemerintah kabupaten dialokasikan ke setiap satuan pendidikan.
Dana pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota ini merupakan bagian dari DAU, yang memasukkan unsur gaji guru. Menurut McMahon dan Boediono (2001:105), rumus alokasi dana ini dapat dijabarkan sebagai berikut  
B = F + α ( L/Y) +  βN (1/P) F
di mana
B = Pengeluaran per siswa keseluruhan yang dianggarkan
F= Standar biaya minimal (foundation level).  Dana ini disediakan oleh Pemerintah Pusat dan didasarkan pada penghitungan pendidikan yang memadai bagi setiap siswa (Rumus Tipe Strayer-Haig). Standar minimal ini di dasarkan pada apa yang menurut pendidikan memadai dan berapa biayanya, dan unsur dalam rumus tersebut memberikan keadilan dan transparansi.
 α (L/Y) = Dana insentif, pemberian dana kepada kabupaten/  kota atas bantuannya dalam pembiayaan sekolah.
 α = Proporsi dana yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. (Jika α=1 berarti kontribusi pemerintah daerah adalah benar-benar sama besarnya dengan kontribusi Pemerintah Pusat. Jika α > 1, berarti jumlah insentif yang diberikan oleh Pemerintah Pusat adalah lebih besar daripada kontribusi Pemerintah Daerah. Jika  α < 1, berarti jumlah insentif yang diberikan oleh Pemerintah Pusat adalah lebih kecil daripada kontribusi Pemerintah Daerah).
L = Anggaran daerah yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota menurut dasar per siswa. Insentif tersebut (α) mendorong daerah untuk meningkatkan dukungan dana pendidikan.
Y = Pendapatan per kapita kabupaten/kota berdasarkan data konsumsi SUSENAS yang disesuaikan dengan klasifikasi keluarga BKKBN.
L/Y = Upaya fiskal Pemerintah Kabupaten/Kota yang miskin dengan L yang rendah
βN (1/P)F = Tambahan/suplemen karena faktor kemiskinan, β disediakan oleh pemerintah pusat.
N = Persentase keluarga miskin (Pra Keluarga Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1 data BKKBN).
P = Kepadatan Penduduk.
F = Standar minimal.
          Dana dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Sekolah termasuk dalam dana ini adalah gaji guru, meskipun pembukuannya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/ kota. Dengan demikian, masih menurut McMahon dan Boediono (2001:106), formula yang digunakan adalah:
D = B (ADAp) + 1,5 B(ADAj) + 2,0 B(ADAs)
di mana,
D =  Dana dari Pemerintah Pusat ke Pemeritah Kabupaten/Kota
ADA/(Average Daily Afterdance)     = Rata-rata tingkat kehadiran harian siswa di SD (p), SLTP (j), dan SLTA (s)
1,5 dan 2,0 = Besarnya perubahan pada biaya per siswa pada tingkat SLTP dan SLTA yang dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.

Sejak desentralisasi, rumus pendanaan pendidikan dipertimbangkan dalam sistem DAU (Dana  Alokasi Umum).  Hal ini  memang bermanfaat, namun rumus-rumus itu tidak tampak komprehensif, karena hanya mengatur aspek-aspek terbatas dari anggaran pendidikan.  Sistem DAU hanya mengatur arus dana dari Pemerintah Pusat ke Pemeritah Kabupaten/ Kota dan tidak mengatur arus dana dari Pemerintah Kabupaten/ Kota ke sekolah atau kepada setiap siswa. Arus dana yang terakhir ini diperlukan untuk aspek transparansi, karena yang menarik perhatian orang tua siswa yang bersedia dan dapat membantu mengawasi sistem pendanaan tersebut adalah masalah arus dana ke tingkat sekolah. Selain itu, rumus pendanaan pendidikan dalam sistem DAU tidak mempertimbangkan efisiensi ekonomi atau keadilan dalam sistem pendidikan. Seharusnya, jumlah dana per siswa berbeda untuk setiap sekolah dan setiap siswa secara nasional. Selanjutnya terkait dengan keadilan dan persamaan (equity dan equality) antar siswa, keluarga, atau daerah, McMahon dan Boediono (2001:107) melakukan modifikasi terhadap rumus pendanaan pendididikan dari Pemerintah Kabupaten/ Kota ke sekolah, sebagai berikut.
 Bs = Fs + α s (L/Y)s + βs Ns (1/P)s Fs + γ ( ΔT )
di mana,
s    = Menunjukkan semua variabel merujuk ke sekolah
Fs = Standar anggaran minimal untuk setiap siswa
αs  (L/Y)s = Insentif yang disediakan kabupaten/kota untuk sekolah yang membantu pembiayaan
αs = Koefisien untuk besarnya insentif yang diberikan kepada sekolah atas usahanya membantu pendanaan. ( Jika  α = 1 berarti jumlah insentif yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota sama besarnya dengan usaha sekolah).
(L)s = Penerimaan sekolah yang diperoleh dari orang tua siswa (hanya daerah yang berpendapatan tinggi), yayasan, desa dan/atau organisasi plus nilai tertentu dalam bentuk jasa.
(Y)s = Pendapatan per kapita orang tua siswa di sekolah
βs Ns (1/P)s Fs = tambahan untuk kondisi sekolah khusus seperti miskin dan ada penyandang cacat atau lokasinya terpencil.
βs = koefisien untuk pembobotan atas suplemen (tambahan)
Ns = persentase siswa miskin dari jumlah siswa keseluruhan di sekolah
(P)s = kepadatan penduduk disekitar sekolah.
Fs = Standar anggaran minimal per siswa menurut rata-rata kehadiran di tingkat sekolah.
ΔT = Perubahan rata-rata NEM, dan pembobotan (γ ) atas perubahan tersebut untuk penghargaan finansial.
Selanjutnya, McMahon dan Boediono (2001: 107) juga memformulasikan anggaran sekolah berdasarkan rata-rata tingkat kehadiran siswa harian.
 Bs = (ADA) + [ 1 – αs (L/Y) s ]
dimana
ADA (average daily attendance) = rata-rata tingkat kehadiran siswa harian yang diukur dari hari tertentu pada akhir cawu. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa (a) penghitungan rata-rata kehadiran merupakan insentif untuk efisiensi. Sekolah dihargai atas usahanya mempertahankan tingkat kehadiran siswa dan mencegah siswa putus sekolah; dan (b) anggaran yang di bawah kontrol sekolah jika bentuk sekolahnya sekolah ‘charter’ merupakan jumlah anggaran per siswa dikalikan dengan rata-rata kehadiran hariannya, ditambah penerimaan yang dibayarkan oleh orangtua, yayasan, dan desa.
(1-(a) (L/Y) = dukungan anggaran kabupaten/kota untuk masing-masing siswa dan kontribusi kabupaten/kota untuk membantu setiap siswa, yaitu 85% dari jumlah anggaran pendidikan yang tersedia di kabupaten/kota.  Dana ini perlu diberikan ke sekolah dalam rangka penyelenggaraan pendidikan dan untuk menghindari penyimpangan dana. Dengan demikian, rumus yang dapat digunakan adalah:
 Bs = (85%) [B + (1-α) (L/Y)]
di mana:
L = kontribusi kabupaten/kota terhadap pendanaan per siswa di sekolah dari pendapatan daerah sendiri.
αs = besarnya insentif tambahan yang disediakan oleh kabupaten/kota ke sekolah untuk mendorong desa, orang tua (khusus daerah pendapatan tinggi), yayasan, dan organisasi untuk membantu pembiayaan.
γ =  besarnya insentif yang diberikan oleh kabupaten/kota kepada sekolah atas peningkatan prestasi siswa yang diukur dengan ∆T.

Sementara itu, UGM dan Dikmenum (2002: 8) membuat rumus pendanaan di tingkat sekolah, khususnya untuk satuan pendidikan SMU,   sebagai berikut:
TCsi = OCsi + PCsi
di mana:
TCsi = biaya standar total penyelenggaraan pendidikan per siswa.
OCsi = biaya operasional (rutin, operasional, dan biaya lain) pendidikan per siswa.
PCsi = biaya standar pengeluaran pribadi siswa per SMU.
Komponen OCsi atau biaya operasional pendidikan SMU terdiri atas pengeluaran untuk: (i) gaji, (ii) pemeliharaan, (iii) pengadaan sarana penunjang, (iv) penyelenggaraan PBM, (v) kegiatan ekstrakurikuler, (vi) lain-lain. Sedangkan komponen PC atau biaya pribadi siswa SMU terdiri dari: (i) uang pangkal/masuk, (ii) iuran BP3, (iii) ulangan/TPB, (iv) kegiatan ekstrakurikuler, (v) praktikum, (vi) buku pelajaran/latihan/LKS, (vii) buku dan alat-alat tulis, (viii) tas sekolah, (ix) sepatu sekolah, (x) transportasi ke dan dari sekolah, (xi) pakaian seragam sekolah, (xii) pakaian olahraga, (xiii) les di sekolah oleh guru, (xiv) kursus/les di luar sekolah, (xvi) karyawisata siswa, (xvii) sumbangan insidental, (xviii) uang saku/jajan, (xix) biaya lainnya.
Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa yang menjadi indikator manajemen dana sekolah  adalah proses perencanaan, pengorganisasian, akuntabilitas dan pengawasan biaya pendidikan pada unit instansi masing-masing.

b.      Kualitas Pelayanan
         2.2.1   Kinerja Sektor Publik
 Dalam organisasi sektor publik termasuk di dalamnya lembaga pendidikan  sebagai organisasi lembaga pelayanan publik, maka pengukuran kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai misinya. Informasi mengenai kinerja selain berguna untuk melihat seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organiasi iitu dalam memenuhi harapan dan kepuasan pengguna atau pemakai jasa (customer), juga akan bermakna di dalam memberikan masukkan kepada para pejabat atau penyelenggara publik untuk melakukan berbagai perubahan atau perbaikan dalam organisasinya. Dengan melakukan pengukuran kinerja, maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematik sehinga bisa diperoleh informasi untuk lebih mendorong perbaikan kerja.
                Pengukuran kinerja organisasi publik bisa bersifat  multiple measure yaitu menyangkut kemampuan internal institusi, produk yang dihasilkan dan pencapaian hasilnya   Oleh karena itu,   pengukuran kinerja lembaga-lembaga publik tidaklah cukup dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada entitas publik tersebut, seperti keefektifan dan efisiensi tetapi harus dilihat juga indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pelanggan jasa, akuntabilitas dan responsivitas.
Dengan demikian pengukuran kinerja sektor publik khususnya organisasi pelayanan publik seharusnya melibatkan ukuran internal dan eksternal yang dapat dipandang dari dua dimensi yaitu kinerja finansial dan kinerja kualitas. Ukuran fiansial internal biasanya meliputi efisiensi produksi dan utilitas. Sedangkan kriteria kualitas internal biasanya dipertimbangkan dengan konstruk kualitas proses pelayanan. Kriteria finansial eksternal biasanya dievaluasi dengan menggunakan kondisi keuangan atau informasi yang berhubungan dengan aspek keuangan. Kemudian kriteria kualitas eksternal difokuskan pada persepsi dan kepuasan konsumen dari produk atau jasa yang dihasilkan (Li dan Benton,1996:444-468).
 Selanjutnya Lenvine menyatakan untuk mengukur kinerja organisasi pelayanan publik dapat digunakan beberapa indikator yakni produktivitas, responsivitas, responsibilitas, akuntabilitas dan kualitas pelayanan (Dwiyanto, 2002: 7-8). Produktivitas adalah ukuran seberapa besar pelayanan publik  menghasilkan yang diharapkan dari segi efisien dan keefektifan, sedangkan kualitas pelayanan adalah ukuran citra yang diakui masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan, masyarakat puas atau tidak puas. Selanjutnya responsivitas adalah ukuran kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsibilitas adalah ukuran apakah pelaksanaan kegiatan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar. Kemudian akuntabilitas merupakan ukuran seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau konsisten dengan kehendak rakyat. Kemudian kualitas pelayanan merupakan penyesuaian apa yang telah dikerjakan lembaga dengan harapan pengguna.

2.2.2 Kualitas Jasa Sektor Publik
                      Kualitas adalah keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat (Kotler, 1997:49). Goetsch dan Davis mendefinisikan kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2000:51). 
                     Mengacu pada pengertian kualitas di atas, maka kualitas dapat diartikan sebagai keseluruhan ciri serta sifat dinamis suatu produk atau jasa yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memenuhi atau melebihi harapan yang dinyatakan atau yang tersirat. Memberikan jasa bekualitas lebih tinggi dari pesaing secara konsisten merupakan salah satu cara utama untuk mendiferensasiasikan suatu lembaga yang bergerak di bidang jasa untuk memenuhi kepuasan pelanggan. Kuncinya adalah memenuhi atau melebihi harapan kualitas jasa pelanggan sasaran.
                     Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk, dan harapan-harapannya (Kotler, 1997:36). Day menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja actual produk atau layanan yang dirasakan setelah pemakaiannya (Tjiptono, 2000:146). Engel, Blackwell, Miniard (1995:210) mendefinisikan kepuasan sebagai evaluasi pascakonsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi atau melebihi harapan. Sedangkan Oliver mendefinisikan kepuasan sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya (Supranto, 1997:233).
                      Dari serangkain pemahaman di atas dapat dimaknai lebih jelas bahwa kualitas pelayanan erat kaitannya dengan jasa yang diberikan oleh organisasi kepada pengguna dalam rangka memenuhi kepuasannya.
 .                   Philip Kotler (1997:83) mendefinisikan  jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada satu produk fisik.  Selanjutnya  (Tjiptono, 2000:6) memberikan pengertian   Jasa merupakan aktivitas, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual.
                     Berdasarkan definisi-definisi yang diberikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jasa adalah setiap kegiatan, manfaat, atau proses yang pada dasarnya tidak berwujud dan mudah lenyap, yang melibatkan pelanggan sebagai co-producer yang ditawarkan sebagai jawaban atas kebutuhan pelanggan.  
                     Fitzsimmons & Fitzsimmons mengemukakan karakteristik jasa sebagai berikut (Fitzsimmons & Fitzsimmons, 2001:25):
          1.      Customer’s Participation in the Service Process. The presence of the customer as a participant in the service process requires an attention to facility design. Artinya proses jasa tidak terlepas dari partisipasi pelanggan. Kehadiran pelanggan sebagai partisipan dalam proses jasa menuntut perhatian terhadap desain fasilitas. Dekorasi interior, mebel, tampilan, kebisingan, bahkan warna sekalipun, dapat memepengaruhi persepsi pelanggan terhadap jasa.
          2.      Simultaneity. The fact that services are created and consumed simultaneously and, thus, cannot be stored, is a critical feature in the management of services. Bahwa jasa tercipta dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan ; oleh sebab itu jasa tidak dapat disimpan. Proses penciptaan jasa dan konsumsinya yang bersamaan ini, bisa menghapuskan celah-celah yang mengganggu (intervensi) quality-control.

 2.2.3. Kualitas Pelayanan           
            Menurut Kotler (2003:57) kualitas pelayanan adalah: Quality is the totality of features and characteristics of a product or service that mean on its ability to satisfy stated or implied needs.” Artinya kualitas merupakan keseluruhan sifat-sifat dan karakter-karakter suatu produk atau jasa, berdasarkan kemampuannya untuk menyatakan kepuasan atau kebutuhan secara tidak langsung. 
Menurut  Tjiptono (2001:59) kualitas pelayanan adalah Tingkat keunggulan yang diharapkan (expected) dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.”
            Zeithaml (2000:19) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai berikut: ”Service quality can be defined as the expert or discrepancy between customer expectations or desired and their perceptions.” Artinya kualitas pelayanan dapat didefiniskan sebagai tingkat perbedaan antara harapan dan keinginan pelanggan dengan tingkat persepsi mereka.
            Dari semua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan adalah penilaian secara keseluruhan baik sifat dan karakteristik yang dilakukan oleh pelanggan terhadap suatu produk dan pelayanan, dimana usaha pelayanan yang diberikan oleh pihak lain yang memiliki nilai komersial dan memiliki karakteristik utama yaitu tidak berwujud dan tidak memberikan hak kepemilikan apapun bagi penerimanya.
                     Gronross menyatakan kualitas total dari suatu jasa atau pelayanan terdiri atas tiga bagian utama  (Tjiptono 2001:455), yaitu Technical Quality, Functional Quality dan  Corporate Image. Technical Quality  adalah  komponen yang berkaitan dengan kualitas output (keluaran) jasa yang diterima pelanggan, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu Search Quality, Experience Quality dan Credence Quality. Kemudian Functional Quality adalah  komponen yang berkaitan dengan kualitas cara penyampaian suatu jasa. Selanjutnya  Corporate Image  merupakan  profil, reputasi, cerita umum dan daya tarik khusus suatu organisasi.
 Menurut (Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1990:62)  menyatakan  bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu: expected service (layanan yang diharapkan) dan perceived service (layanan yang diterima). Apabila layanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan konsumen, maka kualitas layanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan konsumen, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Tetapi sebaliknya jika layanan yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas layanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas layanan bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia layanan, melainkan berdasarkan persepsi dari konsumen.  
Kotler (2003:52), menyoroti hal-hal yang dapat dilakukan organisasi untuk menjaga kualitas pelayanan agar tetap unggul, adalah konsep strategis yakni    jasa yang baik memiliki pikiran yang jelas mengenai pasar sasaran dan kebutuhan pelanggan yang ingin dipuaskan. Mereka mengembangkan strategi yang berbeda dalam memuaskan pelanggan sehingga pelanggan menjadi setia.
Senada dengan itu,  Hermawan Kertajaya (1997:123) dalam mewujudkan pelayanan yang baik kepada pelanggan terdapat empat macam bentuk pelayanan yang harus dikelola secara bersama-sama guna memperoleh hasil yang maksimal, yaitu:
a.    Pelayanan Itu Sendiri Sebagai Produk yang Dijual.
                Dalam hal ini seorang marketer harus mampu  menganggap pelayanan yang dijual itu sebagai bentuk yang terdiri dari beberapa eleman seperti features, quality dan style untuk pelayanan yang dijual.


b.    Before Sales Services
Merupakan pelayanan yang diberikan sebelum dilakukannya penjualan.
c.    In Sales Service
Merupakan pelayanan yang diberikan selama penjualan berlangsung. Sikap dari petugas yang memberikan pelayanan kepada pelanggan pada saat terjadi transaksi pembelian.
d.    After Sales Service
Merupakan pelayanan yang diberikan sesudah penjualan berlangsung. Jika telah dilakukan pembelian oleh pelanggan, maka   harus tetap menunjukkan sikap yang baik kepada pelanggannya agar pelanggan tidak kecewa.
Kebanyakan organisasi penyedia jasa, karyawan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pemberi jasa. Salah satu alasan ini yaitu, perusahaan jasa selalu memperhatikan insentif bagi karyawan. Biaya tenaga kerja yang tinggi untuk perusahaan jasa dibandingkan dengan karyawan yang memproduksi barang akan memberikan dorongan bagi karyawan. Selanjutnya   tujuan umum dari pelayanan yang berkualitas menurut Kotler (2003:455) adalah Pemeliharaan Pelanggan (Customer Maintenance),  mengingatkan Pelanggan (Customer Retention)dan  mengembangkan Pelayanan Baru (New Customer Development)
Zeithaml, Berry dan Parasuraman,  (1990:60) menyatakan bahwa terjadinya retensi (bertahan) atau defeksi (berpindah) merupakan konsekuensi perilaku yang dapat timbul akibat dari kualitas. Kedua hal tersebut dapat berakibat pada kondisi finansial.. Bila terjadi defeksi atau konsumen hilang atau berpindah, organisasi harus menarik konsumen yang baru untuk menggantikannya dan penggantian tersebut membutuhkan biaya yang tinggi. Mencari konsumen baru mahal karena melibatkan biaya iklan, promosi, penjualan dan biaya operasional lainnya. Mencari dan meyakinkan pelanggan  juga membutuhkan peningkatan pelayanan yang lebih besar dibandingkan untuk mempertahankan pelanggan yang sudah ada. Sedangkan jika terjadi retensi, konsumen yang setia lebih berkemungkinan untuk membeli layanan tambahan dan meyebarkan komunikasi  yang positif dibandingkan dengan konsumen-konsumen jangka pendek.    
                        Dalam mengukur kepuasan Pelanggan (Gerson, 2001:3) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan bahwa harapannya telah terpenuhi atau terlampaui.        Engel, Blackwell dan Miniard (1995:210) mendefinisikan kepuasan sebagai “evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih, setidaknya memenuhi atau melebihi harapan”. Singkatnya, alternatif tersebut setidaknya bekerja sebaik yang diharapkan. Jadi, kepuasan dapat disimpulkan sebaga perbandingan antara  harapan pelanggan dan kinerja (atau hasil) yang dirasakan. Apabila kinerja (atau hasil) tersebut setidaknya memenuhi atau melebihi harapan, maka dapat dikatakan seseorang tersebut merasakan kepuasan.  
                             Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kepuasan menyangkut perbandingan antara harapan seseorang dengan kinerja atau hasil yang dirasakan. Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan antara lain oleh pengalaman dimasa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan janji-janji sebuah organisasi.
               Konsistensi kualitas suatu jasa untuk ketiga orientasi yakni   kepuasan, pemenuhan kebutuhan dan profitabilitas dapat menyumbang pada keberhasilan suatu institusi  ditinjau dari kepuasan dan pemenuhan kebutuhan pelanggan, kepuasan karyawan, dan profitabilitas organisasi.
Menurut Sviokla  (1997; 116) kualitas memiliki delapan dimensi pengukuran yang terdiri dari aspek-aspek kinerja (performance), keragaman produk (features), keandalan (reliability), kesesuaian (conformance), daya tahan/ketahanan (durability), kemampuan pelayanan (serviceability), estetika (aesthetics), dan kualitas yang dipersepsikan (percieved quality).
                 Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan, maka layanan dapat dikatakan bermutu sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan maka dikatakan tidak bermutu. Apabila kenyataan sama dengan harapan dan kebutuhan maka pelayanan tersebut memuaskan. Dengan demikian service quality dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang mereka terima/peroleh. Dalam salah satu studi mengenai SERVQUAL oleh Parasuraman menyimpulkan bahwa terdapat lima dimensi SERVQUAL sebagai berikut ( Lupiyoadi, 2001):
1.    Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu organisasi dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan disekitarnya adalah buktinyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa, yang meliputi fasilitas fisik (gedung, infrastruktur ekonomi dan lain sebagainya), kelengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2.    Reliabilitas,  atau keandalan yaitu kemampuan organisasi untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan dan kebutuhan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang tinggi.
3.    Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat pada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan.
4.    Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan dan kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai   untuk menumbuhkan rasa percaya para  pelanggan. Jaminan ini terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy).
5.    Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual dan pribadi yang diberikan pada para pelanggan dengan berupaya memahami keingingan dan kebutuhan konsumen. Suatu organisasi diharapkan memiliki suatu pengertian dan pengetahuan  tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan  secara spesifik.
Berdasarkan uraian di atas maka  yang menjadi indikator kualitas pelayanan diknas  adalah   tangible, reliability, responsiveness, assurance dan empathy yang telah dilakukan oleh dinas pendidikan setempat.

c.       Gaya Kepemimpinan
Perilaku kepemimpinan mempengaruhi motivasi kerja dan produktivitas (performadance) dapat dijelaskan dengan dengan Path-goal theory (Viccio, 2006:172) sebagai berikut:
“Path-goal theory suggest that leader can affect satisfaction, motivation, and performadance by basing rewards on the accomplishment of performance goals and by clarifying the path to these goals and removing obstacles to performance. Depending on situation, the leader does this by choosing one of four types of leader behavior.”

Menurut William G. Scott dalam (Munir, 2000:150) antara perilaku dan sikap adalah dua hal yang selalu berdampingan bahkan artinya pun sering disalahgunakan. Ini wajar karena perilaku dan sikap adalah suatu perbuatan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sikap adalah suatu proses cara berpikir dan perasaan terhadap suatu obyek tertentu sebagai akibat menerima stimulus baik dari dalam atau dari luar, sedangkan perilaku adalah suatu bentuk nyata dari suatu perbuatan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki berwujud benda atau kepuasan tertentu.
Sedangkan Paul J. Peter et al, dalam (Rangkuti, 2002:58) mengemukakan perilaku adalah interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, kejadian sekitar dimana manusia melakukan pertukaran di dalam hidup mereka.
Gibson et.al., (1991:9) mengemukakan bahwa perilaku organisasi mengikuti prinsip perilaku manusia. Keefektifan setiap organisasi sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia. Manusia merupakan sumber daya yang umum bagi semua organisasi. Pekerja sekarang tidak melihat, berpikir, atau bertindak seperti pekerja masa lalu. Untuk menjadi efektif, manajer suatu organisasi harus memandang masing-masing karyawan atau anggota sebagai sosok yang memiliki keunikan perilaku dan kultur. Banyak kultur kelompok yang berbeda di seluruh dunia terdapat pada pekerja.
Menurut (Kreitner Kinicki, 2005; 106) tingkah laku dan tindakan etis merupakan produk dari kombinasi pengaruh yang kompleks (gambar 2.1). Pada bagian tengah model gambar tersebut adalah pembuat keputusan individu, yang memiliki kombinasi karakteristik kepribadian, nilai, dan prinsip moral yang unik, yang berlandaskan pada perilaku etis dan tidak etis. Pengalaman pribadi mendapatkan penghargaan atau diperlakukan berbeda dan dihukum juga mendorong individu untuk bertindak secara etis maupun tidak etis.
Sementara itu (Greenberg, 2005;49) berpendapat bahwa perilaku etika yang baik dari pegawai akan mencerminkan kebaikan dari organisasi. Perilaku etika yang baik akan memberi keuntungan antara lain meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi biaya operasional, mempertinggi reputasi organisasi dan meningkatkan kemampuan untuk menarik dan menahan pegawai.

    Pengaruh Budaya
·          Keluarga
·          Pendidikan
·          Agama
·          Media Massa/Hiburan
      Peran yang diharapkan
 


Organisasi                                                          Individu
·       Kode Etik                                                             * Kepribadian
·       Budaya Organisasi                                            * Nilai
·       Model Peran Perilaku                                         * Prinsip Moral                                                                                                                                                       * Sejarah yang menguatkan Etis                
·       Tekanan untuk mencapai                                  * Gender
·       Hasil yang diharapkan                                     
·       Sistem Penghargaan
 


                        Pengaruh ekonomi/politis/Hukum

Sumber : Perilaku Organisasional (Kreitner Kinicki, 2005, hal. 106)

 Gambar 2.1. Model Etika Berperilaku di Tempat Kerja

Gambar 2.1. di atas menggambarkan tiga sumber pengaruh utama terhadap peran yang diharapkan pada seseorang. Orang-orang memainkan banyak peran dalam kehidupan, seperti pimpinan dan kepemimpinannya. Harapan seseorang mengenai peran tersebut harus dimainkan dibentuk oleh faktor budaya, organisasi, dan lingkungan umum.
Sedangkan perilaku pemimpin disebut leader attitude, yang akar katanya adalah to lead. Dalam kata itu terkandung beberapa arti yang saling erat berhubungan: bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntut, menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya dengan demikian seorang pemimpin adalah orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntun dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya (Mangunharjana, 2001;11).
Kepemimpinan dalam pandangan Mangunharjana (2001;23), terdiri atas beberapa beberapa pengertian, yakni sebagai berikut:
Pemimpin pada intinya adalah tugas pengabdian. Dia ada bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi orang lain. Dia dipanggil bukan untuk memuaskan hobby pribadi, melainkan demi tercapainya tujuan dan cita-cita bersama. Dia ada bukan demi kepentingan sendiri, melainkan demi kepentingan umum. Pemimpin adalah orang yang tahu apa yang mau dicapai, mengerti jalan menuju ke sana, dapat menunjukkan tujuan dan jalan yang harus ditempuh itu kepada orang lain dan bersedia menempuh jalan itu bersama mereka yang dipimpinnya. Pemimpin dibebani tugas membawa mereka yang dipimpin menuju ke tujuan dan cita-cita bersama”.

Selanjutnya, kepemimpinan didefinisikan oleh Horner (Horner, Melissa, 1997:270) sebagai suatu sifat, kualitas dan perilaku dari seorang pemimpin, di mana banyak orang memiliki kecenderungan untuk menerima saja sebuah keadaan seperti apa adanya sekarang sebagai suatu cara hidup yang cukup nyaman, tanpa berupaya untuk merubahnya menjadi lebih baik.
Fungsi kepemimpinan dibutuhkan untuk merubah suatu keadaan menjadi lebih baik, yang dalam pandangan (Bagshaw, 1999: 238) kepemimpinan dapat menciptakan sebuah keadaan yang pada akhirnya mendorong orang untuk berfikir bahwa ia harus berubah dari keadaan tersebut, dan berupaya menjadi lebih baik dari sebelumnya meskipun terkadang mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya untuk memperbaiki keadaannya. Oleh karena itu, mereka membutuhkan seorang pemimpin untuk dapat menjabarkan hambatan-hambatan yang ada, kemudian merubahnya menjadi sebuah kreativitas dan mendorong pertumbuhan setiap orang.
Stoner sebagaimana dikutip oleh Husein Umar (2000:31), mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses pengarahan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok.
Kepemimpinan memerlukan sebuah pemahaman yang tajam dari tabiat seseorang, seperti kebutuhan dasar, keinginan, dan kemampuan seseorang. Agar menjadi lebih efektif, seorang pemimpin menurut Besterfield, et al. (1995;15) perlu untuk mengenal dan memahami hal-hal sebagai berikut: 1) Seseorang memerlukan keamanan dan kebebasan pada saat yang bersamaan; 2) Seseorang akan sangat sensitif terhadap kebijakan reward and punishment, meskipun memiliki motivasi diri yang kuat; 3) Seseorang suka mendengar kata-kata pujian: 4) Seseorang akan tidak percaya pada retorika seorang pemimpin, jika kata-katanya tidak konsisten dengan perbuatannya; 4) Seseorang hanya dapat mengerjakan sedikit pekerjaan, seorang pemimpin perlu untuk memberikan contoh yang sederhana dalam menyelesaikan pekerjaannya; 5) Kepemimpinan bukanlah fungsi dari kharisma.
Oleh karena itu, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan kharisma yang ia miliki semata dalam usaha memimpin suatu kelompok tertentu. Bila seorang pemimpin mencoba menggunakan citra dan kharismanya semata untuk memimpin suatu organisasi, maka ia bukanlah seorang pemimpin, tetapi misleader.
Ada beberapa karakteristik yang membedakan seorang pemimpin dengan misleader Nasution (2001:151), mengemukakan sebagai berikut: 1) Pemimpin menentukan dan mengungkapkan misi organisasi secara jelas; 2) Pemimpin menetapkan tujuan, prioritas dan standar; 3) Pemimpin lebih memandang kepemimpinan sebagai tanggung jawab daripada suatu hak istimewa dari suatu kedudukan; 3) Pemimpin bekerja dengan orang-orang yang berpengetahuan dan tangguh, serta dapat memberikan kontribusi kepada organisasi; 4) Pemimpin memperoleh kepercayaan, rasa hormat dan integritas. Pendapat Robbins (1996:39) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan sumber dari pengaruh ini bisa formal, seperti misalnya yang disediakan oleh pemilikan peringkat manajerial dalam suatu organisasi. Karena posisi manajemen muncul bersama suatu tingkat wewenang yang ditunjuk secara formal, seseorang dapat menjalankan suatu peran kepemimpinan semata-mata karena kedudukannya dalam organisasi itu. Menurut Winaryo (2001:59) kepemimpinan merupakan suatu kemampuan yang memberikan kesan tentang keinginan pemimpin, sehingga dapat menimbulkan kepatuhan, rasa hormat, loyalitas dan kerjasama dari para anggotanya.
Yukl (1988:3) berpandangan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses pengaruh sosial yang terjadi secara alamiah di dalam sebuah sistem sosial yang dirasakan bersama di antara berbagai anggota dari sistem tersebut. Dalam pandangannya tersebut ia percaya bahwa lebih berguna untuk mempelajari “kepemimpinan” sebagai sebuah proses daripada mempelajari “pemimpin” sebagai seorang individu.
Menurut pandangan tersebut, setiap anggota dari sebuah sistem sosial dapat memperlihatkan kepemimpinanya setiap saat, dan tidak ada perbedaan yang jelas antara para pemimpin dan para pengikutnya. Berbagai fungsi kepemimpinan dapat dilakukan oleh orang-orang yang berbeda yang mempengaruhi apa yang dilakukan kelompok tersebut, bagaimana dilakukannya, dan bagaimana cara orang di dalam kelompok tersebut saling berhubungan.
Kepemimpinan berperan penting dalam meningkatkan produktivitas (Wiradinata, 2004:87-90). Kepemimpinan memainkan peran yang dominan, krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja baik pada tingkat individu, pada tingkat kelompok dan pada tingkat organisasi. Seorang yang menduduki jabatan pimpinan dalam suatu organisasi memainkan peran penting tidak hanya secara internal bagi organisasi yang bersangkutan akan tetapi juga dalam menghadapi berbagai pihak dari luar organisasi yang kesemuanya dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan organisasi mencapai tujuannya. Peran tersebut dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu bersifat (a) interpersonal, (b) informasional, dan (c) dalam kancah pengambilan keputusan (Sondang, 2002:62).

i.                Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah merupakan sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat unsur manajemen dan dalam manajemen terdapat sebuah kegiatan; pelaksanaannya disebut managing dan orang yang melakukannya disebut manajer. Manajer adalah pemimpin pada suatu kelompok orang yang perlu diatur dan dikendalikan guna mencapai suatu tujuan. Demikian halnya dengan sekolah, yaitu suatu lembaga yang di dalamnya terdapat orang-orang yang harus dipimpin agar sampai pada tujuan yang diharapkan. Tugas utama pemimpin ialah memanfaatkan usaha-usaha kelompok secara efektif.
                      Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Yukl, 1994:2). Kepemimpinan merupakan bagian integral dalam manajemen yang harus dilakukan dalam rangka mempengaruhi orang lain atau bawahan untuk tidak melakukan hal-hal yang salah melainkan sebaliknya diarahkan untuk melakukan aktivitas yang mendukung tercapainya tujuan organisasi.
                      Davis and Newstrom (1985: 152)  mendefinisikan pemimpin sebagai kemampuan untuk membujuk orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara antusias. Dengan demikian, kepemimpinan merupakan kecakapan atau kemampuan seseorang untuk membujuk orang lain agar bersedia bekerja keras dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sedangkan Terry dan Frankin dalam (Robbin, 2002: 15-18) mendefinisikan kepemimpinan dengan hubungan di mana seseorang (pemimpin) mempengaruhi orang lain untuk mau bekerjasama  melaksanakan tugas-tugas yang saling berkaitan guna mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin dan atau kelompok. Definisi tersebut menekankan pada permasalahan hubungan antara orang yang mempengaruhi [pemimpin] dengan orang yang dipengaruhi (bawahan).
                       Dalam menggerakkan orang lain, seorang memiliki teknik dan seni yang berbeda satu sama lain, ada yang berorientasi pada pegawai dan ada pula yang berorientasi pada job kerja, dilakukan secara demokratis bahkan ada pula dengan sikap otoriter. Hal demikian merupakan gaya bagi setiap pemimpin dalam melakukan tugas kepemimpinannya.
                      Gaya kepemimpinan merupakan sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi dapat tercapai (Timpe,1992;134) Sedangkan pendapat lain bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pimpinan. (Castetter, 1984: 337) menjelaskan bahwa  “Leadership is a very personal process between two people, in which the one attempts to guide and motivates the other to make plans for achieving aims of the school system”.
           Kepemimpinan adalah suatu proses yang sangat    pribadi di antara dua orang dimana seseorang mencoba mengarahkan dan memotivasi yang lain untuk membuat perencanaan dalam mencapai tujuan dari sistem persekolahan.
Atas dasar pengertian tersebut dapat diungkapkan bahwa unsur-unsur yang terlibat dalam kepemimpinan adalah orang yang dapat mempengaruhi orang lain, orang yang berpengaruh, adanya maksud-maksud tertentu yang hendak dicapai, adanya serangkaian tindakan tertentu untuk mempengaruhi dan untuk mencapai tujuan tertentu.
                 Terry mengatakan bahwa “Leadership is the activity of influencing exercised to strive willingly for group objectives”. Kepemimpinan menurut (Wahjosumidjo, 1987:5) adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok. Keberhasilan pemimpin dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin menggunakan kewibawaan tersebut dengan bawahannya.
Menurut Hersey & Blanchard (1982:157) pada dasarnya gaya kepemimpinan seseorang terbagi pada dua kecenderungan, yaitu berorientasi pada tugas (task behavior) dan berorientasi pada hubungan (relationship behavior). Gaya yang pertama ditandai dengan adanya beberapa hal seperti : pemimpin memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahan, selalu mengadakan pengawasan secara ketat, meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dapat dilaksanakan sesuai dengan keinginanan pemimpin dan pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan. Sedangkan gaya kepemimpinan yang kedua, sebaliknya ditandai dengan beberapa gejala sebagai berikut: pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan terhadap bawahan, pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan, pemimpin lebih bersikap penuh kekeluargaan, percaya, hubungan kerjasama yang saling hormat menghormati diantara sesama anggota kelompok.
Selanjutnya Hersey dan Blanchard membedakan dua kecenderungan tersebut ke dalam empat gaya kepemimpinan, yaitu: telling, selling, participating dan delegating. Gaya kepemimpinan telling, ditandai dengan ciri-ciri : tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan perintah khusus, pengawasan dilakukan secara ketat, pemimpin menerangkan kepada bawahan apa yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakan, kapan harus dilaksanakan pekerjaan itu, dan di mana pekerjasan itu harus dilakukan. Gaya kepemimpinan selling, ditandai dengan ciri-ciri: tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menerangkan keputusan, pemimpin memberikan kesempatan untuk penjelasan, pemimpin masih banyak melakukan banyak pengarahan, pemimpin melakukan komunikasi dua arah. Gaya kepemimpinan participating ditandai dengan ciri-ciri tinggi hubungan dan rendah tugas, di mana pemimpin dan bawahan saling memberikan gagasan dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan delegating merupakan gaya kepemimpinan yang ditandai dengan ciri-ciri : hubungan dan tugas rendah, pemimpin melimpahkan pembuatan keputusan dan pelaksanaan kepada bawahan.
           Menurut pendekatan behavior, gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan juga menunjukkan secara langsung dan tidak langsung, keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannya (Newstrom, 1997:205).

                                        ii.    Gaya Kepemimpinan Yang Berorientasi Pada Karyawan dan Berorientasi Pada Tugas.

Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe pemimpin. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu gaya kepemimpinan yang mementingkan pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerjasama dan yang mementingkan hasil yang dicapai. Ketiga pola gaya di atas saling mendukung. Kombinasi dari tiga pola dasar tersebut menghasilkan tiga tipe utama kepemimpinan, yaitu otokratis, demokratis dan kendali bebas (laissez-faire).
        Dalam kepemimpinan yang otokratis, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota kelompoknya. Baginya pemimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokratik. Penafsiran otokratik tidak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah. Kewajiban bawahan atau anggotanya hanyalah mengikuti dan menjalankan tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota kelompok bukan sebagai majikan dengan buruh, melainkan sebagai saudara di antara teman-teman sekerjanya, atau sebagai kakak terhadap saudaranya. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama, dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya. Tipe ketiga adalah kepemimpinan Laizes faire dalam Timpe, (1992:130) sebenarnya tipe pemimpin yang tidak memberikan pimpinan, membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin yang seperti ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya. Pembagian tugas dan kerjasama diserahkan kepada anggota-anggota kelompok tanpa petunjuk dan saran-saran dari pemimpin. Kekuasaan dan tanggung jawab bersimpang siur, berserakan di antara anggota kelompok, tidak merata, dengan demikian mudah terjadi kekacauan dan bentrokan.
       Menurut hasil riset kepemimpinan pada perilaku kepemimpinan pada Universitas Michigan terdapat dua dimensi perilaku kepemimpinan yang disebut dengan gaya kepemimpinan berorientasi pada karyawan dan berorientasi pada produksi (tugas) (Robbins, 1998: 351). Gaya kepemimpinan berorientasi pada karyawan adalah pimpinan cenderung menekankan hubungan antar pribadi, memperhatikan kebutuhan manusiawi para karyawan, bisa mengerti perbedaan-perbedaan sifat yang dimiliki oleh karyawannya. Pemimpin selalu berusaha untuk menciptakan komunikasi dua arah dan suasana yang menyenangkan, serta selalu mengupayakan diri terhadap orang yang dipimpinnya. Harmonisasi hubungan yang tercipta merupakan media untuk penyampaian gagasan atau ide-ide yang perlu mendapat dukungan bersama. Pimpinan seperti ini berusaha membina kerja tim dan membantu para pegawai untuk menanggulangi masalah mereka.
Gaya kepemimpinan berorientasi pada produksi atau tugas, cenderung menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan, perhatian utamanya adalah bagaimana menyelesaikan pekerjaan, membuat orang selalu sibuk dan mendesak anak buah untuk selalu berproduksi. Pemimpin yang berorientasi pada tugas cenderung memusatkan perhatian kepada organisasi, seperti memberikan rincian tentang tugas-tugas yang harus dilaksanakan, kapan dilaksanakan dan bagaimana melaksanakannya serta tidak mau mengerti kesulitan-kesulitan yang dialami oleh bawahan dalam menyelesaikan pekerjaan.

 2.3.3 Gaya Kepemimpinan Transaksional
              Menurut Shriberg & lloyd (2002:208) Transactional leadership is a berter, an exchange of wants batween leader and follower. The transactional leader satisfies followers’ needs by ebtering into a relationship of mutual dependece in which the contributions of both sides are recognized and rewarded. Artinya kepemimpinan transaksional adalah barter, yang merupakan pertukaran dari kebutuhan antara pemimpin da karyawan. Pemimpin transaksional memusakan kebutuhan para karyawan dengan  memasuki hubungan saling ketergantungan, dimana kontribusi dari kedua sisi diakui dan dihargai.
                       Daft (1999:427) mendefinisikan pemimpin transaksional sebagai  The transactional leader recognizes specific follower desires and provides goods that meet those desires in exchange for followers meeting specified ebjectives or performing certain duties. Artinya  pemimpin transasksional mengakui apa yang diinginkan karyawan dan menyediakan semua kebutuhan itu untuk meningkatkan tujan dan prestasi karyawan dalam menjalankan setiap tugas.

         Sedangkan menurut Robbins (2006:427) definisi pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi para karyawan menuju ke sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas mereka. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemimpin transaksional adalah pemimpin yang menekankan proses transaksi antara atasan dan karyawan, di mana karyawan akan memperoleh penghargaan atas kinerja terbaiknya dan atasan memperoleh keuntungan dai kinerja terbaik tersebut.
            Bass & Riggio (2006:8-9) mengemukakan empat dimensi dalam gaya kepemimpinan transaksional, antara lain
a.   Pemberian Imbalan (Contingent Reward)
      Pemimpin melakukan transaksi dengan karyawan atas pencapaian kinerjanya.
      Karyawan diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya      tujuan yang telah disepakati. Imbalan diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

      b. Manajemen Aktif dengan Pengecualian (Active        Management by Exception)
      Pemimpin memonitor terus kinerja karyawan untuk mengantisipasi kesalahan. Pemimpin secara aktif dan terus menerus mencari permasalahannya dan penyimpangan serta menjelaskan standar kerja sejak permulaan. Pada umumnya pemimpin dapat mendorong kinerja karyawannya dengan menjelaskan standar kerja atau memodifikasi kinerja yang kurang baik dengan cara-cara yang dapat diterima.
c.   Manajemen Pasif dengan pengecualian (Passive Management by Exception) Pemimpin melakukan intervensi dengan kritik serta mengoreksi setelah terjadi kesalahan. Pemimpin menunggu setelah tugas selesai dikerjakan dan menjelaskan standarnya setelah terjadi kesalahan. Pada umumnya pemimpin mengandalkan kritik dan teguran sebagai pernyataan ketidaksetujuannya.
d.   Laissez-faire
      Pemimpin bersikap mengabaikan tugas dan karyawan, hal ini ditunjukan dengan mengabaikan masalah (menyerahkan tanggung jawab kepada karyawan, menghindari pembuatan keputusan) dan mengabaikan kebutuhan karyawan.
          
Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas yang dengan bawahan. Pemimpin adalah orang yang mendesain pekerjaan beserta mekanismenya, dan staf adalah orang yang melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan dan keahlian (Aan dan Cepi, 2005).
            Kepemimpinan transaksional lebih difokuskan pada peranannya sebagai manajer karena ia sangat terlibat dalam aspek-aspek prosedural manajerial yang metodologis dan fisik.  Sistem kerja yang jelas dan  merujuk kepada tugas yang diemban dan imbalan yang diterima sesai dengan derajat pengorbanan dalam pekerjaan maka kepemimpinan transaksional yang diterapkan ditengah staf yang belum matang dan menekankan pada tugas untuk mendapatkan insentif bukan pada aktualisasi diri. Oleh karena itu, kepemimpinan ini dihadapkan pada orang yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya secara primer.
Kepemimpinan ini tidak mengembangkan hubungan laizess fair  atau membiarkan personel menentukan sendiri pekerjaannya karena dikhawatirkan dengan personel yang perlu pembinaan, pola ini dapat menyebabkan mereka menjadi pemalas dan tidak jelas apa yang dikerjakannya. Pola yang dikembangkan kepemimpinan ini adalah berdasarkan suatu sistem timbal balik (transaksi) yang sangat menguntungkan (mutual system of reinforcement)  yakni pemimpin memahami kebutuhan dasar para pengikutnya dan pemimpin menemukan penyelesaian atas cara kerja dari pengikutnya.

2.3.4   Gaya Kepemimpinan Situasional
McNamara (2000:2) menyatakan bahwa “Gaya kepemimpinan tergantung pada situasi, bersamaan dengan perputaran kehidupan organisasi. Contigency Theory Leadership adalah teori yang menguatkan bahwa ada kaitan antara kepemimpinan dengan situasi tertentu yang dipersyaratkan. Seorang pemimpin akan efektif jika gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang terjadi (Bednar, 1991: 392-393).
Pendapat lain yang mendukung teori kepemimpinan situasional juga disampaikan oleh Hersey dan Blanchard, yang mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif itu berbeda-beda sesuai dengan “kematangan” bawahan (Freeman, 1992: 470-472). Kematangan atau kedewasaan bawahan bukan sebatas usia atau stabilitas emosionalonal, melainkan keinginan untuk berprestasi dan menerima tanggung jawab, dan kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas.
2.3.5     Gaya Kepemimpinan Transformasional
          Menurut Daft (1999:427): Transformational leaders have the ability to lead changes in the organization’s vision, strategy, and cultureas well as promote innovation in products and technologies. Artinya pemimpin transformasional mempunyai kemampuan untuk memimpin perubahan dalam visi organisasi, strategi, dan budaya sama seperti memperbaharui promosi dalam produk dan teknologi.
             Hughes, Ginnet, Curphy (220:416) mendefinisikan pemimpin tranformasional adalah Transformation leaders possess good visioning, rhetorical (heighten followers emotional levels and inspire them to embrace the vision), impression management skills, and they use these skills to develop strong emotional bonds with followers.
             Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa pemimpin transformasional memiliki pandangan ke depan yang baik, gaya retoris (mempertinggi level emosi karyawan dan menginspirasi mereka untuk selalu memiliki visi kedepan), memberikan kesan yang baik pada keterampilan manajemen, dan mereka menggunakan keterampilan ini untuk mengembangkan ikatan emosi yang kuat dengan para karyawan.
                        Robins (2006:472) menyatakan bahwa Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para karyawan untuk melampaui kepentingan pribadi mereka dan yang mampu membawa dampak mendalam dan luar biasa pada para karyawan.”
             Dari  beberapa pendapat para ahli di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa pemimpin transformasional merupakan seorang pemimpin yang mengkonsentrasikan usaha mereka pada tujuan jangka panjang dan pengembangan visi, membangun kepercayaan diri karyawan, serta berusaha untuk menciptakan suatu hubungan yang erat dengan pada karyawan. 
           Yukl (2005:305), menyatakan bahwa seorang pemimpin transformasional merasa adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan penghormatan terhadap pemimpin, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan dari mereka. Pemimpin transformasional mengubah dan memotivasi para pengikut dengan: (1) membuat mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas, (2) membujuk mereka untuk mementingkan kepentingan tim atau organisasi mereka dibandingkan dengan kepentingan pribadi, (3) mengaktifkan kebutuhan mereka pada tingkat yang lebih tinggi.
               Bass & Riggio (2006:6-7) mengemukakan empat dimensi dalam gaya kepemimpinan transformasional, antara lain:


a.   Pengaruh Idealis (Idelaized Influence)
      Pemimpin berperilaku dalam cara-cara yang mengijinkan mereka untuk bertindak sebagai contoh bagi para karyawan. Pemimpin dapat menciptakan rasa kagum (admire), rasa hormat (respect), dan rasa percaya diri (trust) dari orang yang dipimpinnya. Pemimpin berupaya mempengaruhi karyawan melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai moral, komitmen, dan keyakinan dalam memiliki tekad untuk mencapai tujuan serta mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap keputusan yang diambil.
b.  Motivasi Inspirasional (Inspirational Motivation)
      Pemimpin berperilaku dalam cara-cara yang dapat memotivasi dan menginspirasi para karyawan dengan menyediakan tantangan dalam pekerjaan mereka. Pemimpin dapat mengkomunikasikan visinya dengan penuh keyakinan diri, mereka mendemonstrasikan keteguhan dan komitmen untuk mencapai tujuan dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Gaya kepemimpinan ini dapat memperbesar optimisme dan membangkitkan gairah karyawan dalam bekerja. Dimana hal ini dapat menimbulkan perasaan pada karyawan bahwa mereka mampu melakukan pekerjaan dan mampu untuk menyelesaikan tugas yang berisiko tinggi dengan hasil yang memuaskan.
c.   Rangsangan Intelektual (Intellectual Stimulation)
      Pemimpin merangsang usaha para karyawan untuk bertindak secara inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, meninjau ulang masalah, dan menangani permasalahan dalam cara-cara yang baru. Pemimpin mengajak para karyawan untuk berpikir secara rasional serta menggunakan data dan fakta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Para karyawan juga didorong untuk berpikir dengan cara mereka sendiri dalam menghadapi tantangan dan mempertimbangkan cara-cara yang kreatif untuk mengembangkan diri mereka sendiri.
d.  Pertimbangan Pribadi (Individualized Consideration)
      Pemimpin memperlakukan setiap karyawannya sebagai pribadi yang unik, yang memiliki kecakapan, kebutuhan dan keinginan yang berbeda satu sama lain. Pemimpin memberikan perhatian yang khusus kepada setiap karyawan dalam usaha untuk meningkatkan prestasi dan mengembangkan kemampuan mereka, dengan bertindak sebagai palatih atau penasehat. Pemimpin tidak hanya mengenali kebutuhan mereka dan meningkatkan perspektif mereka, tetapi pemimpin juga menyediakan sarana untuk mencapai tujuan secara lebih efektif.
                      
Kepemimpinan transformasional menjawab tantangan zaman yang penuh dengan perubahan. Zaman yang dihadapi saat ini bukan zaman ketika manusia menerima segala apa yang menimpanya, tetapi zaman di mana manusia dapat mengkritik dan meminta yang layak dari apa yang diberikannya secara kemanusiaan.Bahkan dalam terminologi motivasi Maslow, manusia di era ini adalah manusia yang memiliki keinginan mengaktualisasikan dirinya, yang berimplikasi pada bentuk pelayanan dan penghargaan terhadap manusia itu sendiri.
Kepemimpinan tranformasional tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan diri, tetapi menumbuhkan kesadaran pada pemimpin untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian perkembangan manajemen dan kepemimpinan yang memandang manusia, kinerja, dan pertumbuhan organisasi adalah sisi yang saling berpengaruh.
                               Kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses yang pada dasarnya para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin adalah seorang yang sadar akan prinsip perkembangan oganisasi dan kinerja manusia sehingga ia berupaya mengembangkan segi kepemimpinannya secara utuh melalui pemotivasian terhadap staf dan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan, atau kebencian.
   Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memiliki wawasan jauh ke depan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan organisasi bukan untuk saat ini tapi dimasa datang. Oleh karena itu, pemimpin transformasional adalah pemimpin yang dapat dikatakan sebagai pemimpin yang visioner.
Pemimpin transformasional adalah agen perubahan dan bertindak sebagai katalisator, yaitu memberi peran mengubah sistem kearah yang lebih baik. Katalisator adalah sebutan lain untuk pemimpin transformasional karena ia berperan meningkatkan segala sumber daya manusia yang ada. Berusaha memberikan reaksi yang menimbulkan semangat dan daya kerja cepat semaksimal mungkin, selalu tampil sebagai pelopor dan pembawa perubahan.
Menurut Covey (1989) dan Peters (1992), seorang pemimpin transformasional memiliki visi yang jelas, memiliki gambaran holistis tentang bagaimana organisasi dimasa depan ketika semua tujuan dan sasarnnya telah tercapai. Inilah yang menegaskan bahwa pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mendasarkan dirinya pada cita-cita di masa depan, terlepas apakah visinya itu visioner dalam arti diakui atau tidak diakui oleh semua orang sebagai visi yang hebat dan mendasar (Aan dan Cepi,2005:78).

2.3.6  Gaya Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan memiliki kedudukan yang menentukan dalam organisasi. Pemimpin yang melaksanakan kepemimpinannya secara efektif dapat menggerakkan orang/personel kearah tujuan yang dicita-citakan, sebaliknya pemimpin yang keberadaannya hanya sebagai figure, tidak memiliki pengaruh, kepemimpinannya dapat mengakibatkan lemahnya kinerja organisasi, yang pada akhirnya dapat menciptakan keterpurukan.
Kepemimpinan begitu kuat mempengaruhi kinerja organisasi sehingga rasional apabila keterpurukan pendidikan salah satunya disebabkan karena kinerja kepemimpinan yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan juga tidak membuat strategi pendidikan yang adaptif terhadap perubahan. Tilaar mengungkapkan bahwa keterpurukan bidang pendidikan nasional adalah salah satunya disebabkan karena belum adanya visi strategis yang menempatkan pendidikan sebagai leading sector. Hal ini memberikan makna betapa kuatnya visi pendidikan mempengaruhi kinerja pendidikan. Visi menjadi pemicu (trigger) semangat meraih kemenangan pendidikan. Visi dapat mengisi kehampaan, membangkitkan semangat, meningkatkan kinerja, bahkan mewujudkan prestasi pendidikan, apalagi di tengah-tengah tuntutan kemandirian berpikir dan bertindak.
Seorang yang bertanggungjawab nerumuskan visi adalah pemimpin melalui kinerja kepemimpinannya. Visi dirumuskan bukan semata-mata untuk menciptakan sistem pendidikan berkualitas yang mampu bertahan dan berkembang memenuhi tuntutan perubahan dan idealisme, tetapi dapat mengakomodasi kepentingan hubungan baik di antara personel dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta dalam meniti kariernya.
Kepemimpinan yang relevan dengan tuntutan school based management dan didambakan bagi peningkatan kualitas pendidikan adalah kepemimpinan yang memiliki visi (visionary leadership), yaitu kepemimpinan yang kerja pokoknya difokuskan pada rekayasa masa depan yang penuh tantangan. Lantas, menjadi agen perubahan yang unggul dan menjadi penentu arah organisasi yang memahami prioritas, menjadi pelatih yang profeional, serta dapat membimbing personel lainnya kearah profsionalisme kerja yang diharapkan.
Kepemimpinan visioner salah satunya ditandai oleh kemampuan dalam membuat perencanaan yang jelas sehingga dari rumusan visinya tersebut akan tergambar sasaran apa yang hendak dicapai dari pengembangan lembaga yang dipimpinnya. Dalam konteks kepemimpinan pendidikan, penentuan sasarn dari rumusan visi tersebut dikenal dengan penentuan sasaran bidang hasil pokok.
Kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpinan dalam mencipta, merumuskan, mengomunikasikan/menso-sialisasikan/mentransformasikan, dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi social di antara anggota organisasi dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa yang harus diraih atau diwujudkan melalui komitmen semua personel (Aan dan Cepi, 2005:80).

Berdasarkan uraian di atas, maka   gaya kepemimpinan kepala sekolah adalah sikap, gaya dan sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang kepala sekolah sebagai pemimpin yang mempengaruhi bawahan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam penelitian ini, mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional dengan indikator pengaruh idealis, motivasi inspirasional, rangsangan intelektual dan pertimbangan pribadi.

2.4    Keefektifan Sekolah (School Effectiveness)
2.4.1   Pengertian Keefektifan                                                                        
Keefektifan merupakan ukuran pada suatu unit organisasi apakah mampu melaksanakan tugas-tugas manajerial yang dapat dilaksanakan dengan berhasil mencapai tujuan lembaga (Yukl, 1994:5). Sedangkan menurut Koontz (1988:8) Effectiveness is the achievement of objevtives. Artinya keefektifan diukur dengan tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan dengan kegiatan yang dilakukan.
            Suatu kegiatan dikatakan efektif bila telah mencapai tujuan yang ditentukan. Kegiatan dimaksud dikatakan efisien bila prosesnya memuaskan pelaksana, sehingga menjadi pendorong untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Keefektifan dari usaha kerja sama  antar individu atau unit kerja berkaitan erat dengan pelaksanaan tugas untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu sistem yang didominasi dengan pandangan dapat memenuhi kebutuhan sistem dimaksud. Sedangkan efisiensi dari suatu sistem kerja adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya setiap individu. Jelasnya bahwa keefektifan dari kelompok/organisasi adalah bila tujuan organisasi tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan (Newstrom, 1985: 216).
         Berdasarkan uraian di atas bahwa organisasi dapat dikatakan efektif apabila pencapaian tujuan sesuai dengan rencana yang dibuat berdasarkan kebijakan organisasi. Keefektifan organisasi dapat dilihat sejauh mana anggota organisasi  tersebut melaksanakan tugas pokoknya atau pencapaian semua sasaran. Apabila tujuan suatu kegiatan yang telah direncanakan dapat diwujudkan maka dapat dikatakan bahwa pegawai bekerja secara efektif dan memiliki prestasi baik. Sedangkan apabila terdapat akibat yang tidak diinginkan dari proses kegiatan tersebut, maka berarti kegiatan dimaksud kurang efektif.
Keefektifan biasanya terkait dengan kriteria waktu untuk menunjukkan hasil tindakan dalam kurun waktu tertentu (Suwarto:1991: 9-11). Pendapat lain menyebutkan bahwa keefektifan berkaitan erat dengan pencapaian unjuk kerja secara maksimal, yaitu dalam arti pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Keterkaitan ini menunjukkan pada suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh tujuan telah dipenuhi semenjak proses hingga akhir kegiatan (Mulyasa: 2004: 132-133). Menurut (Robbins: 1989: 20)
 Effectiveness refer to the successful achievement of organizational goals. Thus effectiveness has been described as a measure of wheater managers are “doing the right things”, whereas efficiency gauges the extent to which managers are “doing things right”. A company is effective when it achieves its objectives. When it fails to achieveits objectives because they were poorly chosen, the plan for achieving them was poorly designed or executed, or the hostility of the competitive environment was greatce than the company had anticipated, the firm is ineffective.

Konsep keefektifan menurut Robbins di atas menyangkut pencapaian tujuan organisasi secara sukses, diartikan sebagai suatu ukuran bahwa tindakan yang dilakukan manajer adalah benar. Efisiensi menyangkut seberapa jauh para manajer melakukan hal-hal yang benar. Suatu perusahaan dikatakan efektif bila tercapai tujuannya. Sebaliknya perusahaan dikatakan tidak efektif apabila gagal mencapai tujuannya. Kegagalan pencapaian tujuan disebabkan karena kekeliruan di dalam menetapkan tujuan, merumuskan atau melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan tersebut.
Prokopenko (1987:5) mengatakan bahwa: Effectiveness is the degree to which goals are attained. Artinya bawah keefektifan merupakan pencapaian terhadap tujuan yang diinginkan.
Uraian di atas menjelaskan bahwa keefektifan merupakan ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang dapat dicapai, mengarah kepada pencapaian yang maksimal yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Keefektifan adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana tindakan yang dilakukan menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Ini berarti bahwa apabila suatu tindakan dapat diselesaikan dengan perencanaan baik waktu, biaya maupun mutunya maka dapat dikatakan efektif.
Keefektifan suatu organisasi dicapai melalui keefektifan individual anggota organisasi dan keefektifan kelompok dalam organisasi tersebut. Keefektifan individual merupakan landasan utama bagi terbentuknya keefektifan kelompok, karena individu tidak bekerja seorang diri. Tumbuh dan berkembangnya keefektifan kelompok merupakan sinergi dari keefektifan individu-individu yang bekerjasama dalam sebuah kelompok. Selanjutnya keefektifan berbagai kelompok dalam organisasi akan bersinergi membentuk keefektifan organisasi.

2.4.2. Pengukuran Keefektifan Sekolah
Lembaga persekolahan sebagai suatu organisasi atau institusi pendidikan juga bertujuan mengoptimalisasikan sumberdaya, pengelolaan dan pengendalian. Oleh karena itu perlu adanya profesionalisme manajemen sekolah, yang secara teoritis akan bisa mewujudkan keefektifan sekolah. Maekenzie dalam kajiannya tentang School Culture mengemukakan bahwa the literate on school culture make it clear that effective schools, school that demonstrate high standards of achievement in academics, have a culrure characterized by a well-defined set of goals that all member of the school administration, faculty, and student-value and promote (Aan dan Cepi, 2005:35). Sejalan dengan itu,  Koster (1999:2) mengkaji keefektifan sekolah dilihat dari korelasi antara input sekolah, kepuasan kerja guru, partisipasi orangtua siswa dan iklim sekolah dengan hasil pengajaran. Dari kajian ini diperoleh temuan terdapat korelasi yang posistip dan signifikan antara berbagai variabel yang dimaksud.
Keefektifan merupakan suatu dimensi tujuan manajemen yang berfokus pada hasil, sasaran, dan target yang diharapkan. Sekolah yang efektif adalah sekolah yang menetapkan keberhasilan pada input, proses, output, dan outcome yang ditandai dengan berkualitasnya komponen-komponen sistem tersebut. Dengan demikian, keefektifan sekolah bukan sekedar pencapaian sasaran atau terpenuhinya berbagai kebutuhan untuk mencapai sasaran, tetapi berkaitan erat dengan saratnya komponen-komponen sistem dengan mutu, dengan kata lain ditetapkannya pengembangan mutu sekolah.
 Asas terpenting dan menjadi landasan bergerak dalam pengelolaan pendidikan menuju sekolah efektif adalah pernyataan bahwa “semua anak dapat belajar”. Hal ini mengisyaratkan pada kita bahwa sekolah merupakan wahana yang menyediakan tempat yang terbaik bagi anak untuk belajar, a place for better larning. Artinya, semua upaya manajemen dan kepemimpinan yang terjadi di sekolah diarahkan bagi usaha membuat seluruh peserta didik belajar. Apabila mencari relevansi lain sehubungan dengan pernyataan di atas maka definisi Taylor (1990) tentang sekolah efektif cukup sepaham sebagai sekolah yang mengorganisasikan dan memanfaatkan semua sumber daya yang dimilikinya untuk menjamin semua siswa (tanpa memandang ras, jenis kelamin, maupun status social ekonomi) biasa mempelajari materi kurikulum yang esensial di sekolah.
Keefektifan adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana sasaran/tujuan (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk persamaan, keefektifan adalah sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan. Sekolah efektif menunjukkan kesesuaian antara hasil yang dicapai dengan hasil yang diharapkan. Abun (1999:11) menegaskan bahwa keefektifan sekolah pada dasarnya menunjukkan tingkat kesesuaian antara hasil yang dicapai berupa achievements atau observed outputs dengan hasil yang diharapkan berupa objectives, targets, intended outputs sebagaimana telah ditetapkan.
Keefektifan sekolah menunjukkan adanya proses perekayasaan berbagai sumber dan metode yang diarahkan pada terjadinya pembelajaran di sekolah secara optimal. Keefektifan sekolah merujuk pada pemberdayaan semua komponen sekolah sebagai organisasi tempat belajar berdasarkan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam struktur program dengan tujuan agar siswa belajar dan mencapai hasil yang telah ditetapkan, yaitu memiliki kompetensi.
Menurut Aan dan Cepi (2005:38)  yang diadaptasi dari berbagai  sumber, ciri sekolah efektif adalah :
    CIRI-CIRI
INDIKATOR
Tujuan sekolah dinyatakan secara jelas dan spesifik
Tujuan Sekolah :
·      dinyatakan secara jelas
·      digunakan untuk mengambil keputusan
·      dipahami oleh guru, staf, dan siswa
Pelaksanaan kepemimpinan pendidikan yang kuat oleh kepala sekolah
Kepala Sekolah :
·      bisa diubungi dengan mudah
·      bersikap responsife kepada guru dan siswa
·      responsife kepada orangtua dan masyarakat
·      melaksanakan kepemimpinan yang berfokus kepada pembelajaran
·      menjaga agar rasio antara guru/siswa sesuai dngan rasio ideal
Ekspektasi guru dan staf tinggi
Guru dan staf :
·      yakin bahwa semua siswa bisa belajar dan berprestasi
·      menekankan pada hasil akademis
·      memandang guru sebagai penentu terpenting bagi keberhasilan siswa
Ada kerjasama kemitraan antara sekolah, orang tua, dan masyarakat
Sekolah :
·      komunikasi secara positif dengan orangtua
·      memelihara jaringan serta dukungan orangtua dan masyarakat
·      berbagi tanggungjawab untuk menegakkan disiplin dan mempertahankan keberhasilan
·      menghadiri acara-acara penting di sekolah
Adanya iklim yang positif dan kondusif bagi siswa untuk belajar
Sekolah :
·      rapi, bersih, dan aman secara fisik
·      dipelihara secara baik
·      memberi penghargaan kepada yang berprestasi
·      memberi penguatan terhadap perilaku positif siswa
Siswa :
·      menaati aturan sekolah dan aturan pemerintah daerah
·      menjalankan tugas/kewajiban tepat waktu
Kemajuan siswa sering dimonitor
Guru memberi siswa :
·      tugas yang tepat
·      umpan balik secara cepat/segera
·      kemampuan berpartisipasi di kelas secara optimal
·      penilaian hasil belajar dari berbagai segi
Menekankan kepada keberhasilan siswa dalam mencapai keterampilan aktivitas yang esensial
Siswa :
·      melakukan hal terbaik untuk mencapai hasil belajar yang optimal, baik yang bersifat akademis maupun nonakademis
·      memperoleh keterampilan yang esensial
Kepala Sekolah :
Menunjukkan komitmen dan mendukung program keterampilan esensial
Guru :
Menerima bahan yang memadai untuk mengajarkan keterampilan yang esensial
Komitmen yang tinggi dari SDM sekolah terhadap program pendidikan
Guru :
Membantu merumuskan dan melaksanakan tujuan pengembangan sekolah
Staf :
·      memperkuat dan mendukung kebijakan sekolah dan pemerintah daerah
·      menunjukkan profesionalisme dalam bekerja

Selanjutnya   keefektifan sekolah sebagai sebuah studi juga diungkap dengan mengkaji faktor input, proses, output/outcome dan hubungan antara faktor-faktor tersebut yang merupakan telaah terhadap keberadaan sekolah pada tingkat mikro. Hal ini telah dibuktikan secara empirik diberbagai negara, yang menunjukkan bahwa studi keefektifan sekolah telah banyak membantu dalam memecahkan masalah pendidikan termasuk peningkatan mutu pendidikan  (Murni: 2005: 2). Pada umumnya kerangka teori yang sering digunakan dalam penelitian keefektifan sekolah (school effectiveness) merujuk pada (Patricia, 2004;6) dengan membandingkan ukuran output yang didapat dengan output yang ditargetkan antara lain dalam bentuk: 1) etos kerja atau budaya mengenai pendidikan dan kenyamanan sekolah; 2) tingkat ekspektasi pada murid; 3) penetapan standar termasuk karakteristik sekolah; 4) pengambilan keputusan dan profesionalisme para guru; 5) pengaturan yang jelas mengenai tugas-tugas/ pekerjaan rumah, kelakuan para murid di sekolah dan sebagainya; 6) kepemimpinan (manajemen sekolah) dan 7) partisipasi peran serta para staf, masyarakat dan unsur lainnya).
                      Keefektifan sekolah juga dapat diharapkan untuk mencapai standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan. Hal ini berhubungan dengan sembilan hal yang menjadi ciri sekolah efektif (Squires, et.al, 1983: 145) yakni: a) adanya standar disiplin yang berlaku bagi kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan di sekolah; b) memiliki suatu keteraturan dalam rutinitas kegiatan di sekolah; c) mempunyai standar prestasi sekolah yang sangat tinggi; d) siswa diharapkan mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan; e) siswa diharapkan lulus dengan menguasai pengetahuan akademik; f) adanya penghargaan bagi siswa yang berprestasi; g) siswa berpendapat kerja keras lebih penting dari faktor keberuntungan dalam meraih prestasi; h) para siswa diharapkan mempunyai tanggung jawab yang diakui secara umum; dan i) kepala sekolah mempunyai program in service, pengawasan, supervisi, serta menyediakan waktu untuk  membuat rencana bersama para guru sehingga memungkinkan adanya umpan balik demi keberhasilan prestasi akademik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yang dimaksud dengan keefektifan sekolah adalah adanya kesesuaian antara tujuan-tujuan di pendidikan di sekolah dan hasil-hasil yang dicapai dengan standar nasional pendidikan yang terdiri dari: 1) standar isi; 2) standar proses; 3) standar kompetensi kelulusan; 4) standar pendidikan dan tenaga kependididkan; 5) standar sarana dan prasarana; 6) standar pengelolaan; 7) standar pembiayaan; 8) standar penilaian pendidikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar