Sabtu, 14 Desember 2013

Pendidikan Anak Jalanan

"+"

Menggagas Pendidikan Islam
untuk Anak Jalanan



A.    Pendahuluan

Sungguhpun tidak ada seorangpun yang tahu jumlah pastinya, di kota-kota besar fenomena anak jalanan bukan rahasia lagi. Rata-rata mereka adalah anak yatim atau piatu, anak-anak miskin yang sadar sendiri, atau sengaja digiring oleh orang tuanya untuk menjadi anak jalanan dengan pertimbangan ekonomi dan ketiadaan tempat tinggal sebagai pemicunya.
Misalnya, tatkala masih bayi mereka kerasan tinggal di “daerah kumuh” bersama orang tuanya, walaupun terpaksa tidur sekamar dengan beralaskan kardus. Namun tatkala mengerti apa makna hakikat ayah-ibu sebagai “suami-istri”, mereka mulai merasa rikuh untuk tidur bersama, sehingga memilih untuk berkelana atau tidur di bawah kolong jembatan, emperan toko, alun-alun kota, pos kamling, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit dari mereka yang berasal dari keluarga “berada”, tetapi mereka tidak menemukan ketenteraman di dalam keluarga itu. Pemicunya bermacam-macam, bisa karena disharmoni orang tua, kesibukan masing-masing ayah-ibu, atau karena faktor pengaruh teman. Dari situ mereka lebih baik hidup terlunta-lunta daripada tinggal di dalam rumah gedung dengan segala macam fasilitasnya.
Sebetulnya, masalah anak jalanan adalah masalah lama, dan semua orang pasti mengetahuinya. Bahkan banyak menjadi tema-tema Sinetron yang ditayangkan oleh sejumlah stasiun TV nasional. Akan tetapi persoalannya adalah bagaimana menyelesaikan masalah tersebut—walaupun tidak kesemuanya. Tidak seorang pun dari mereka yang meminta kepada Tuhan agar dirinya ditakdirkan sebagai anak jalanan. Semua manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah (suci), hanya lingkunganlah yang menjadikan mereka seperti itu. Jika demikian, status anak jalanan bukanlah “fitrah” yang wajib disandang mereka sejak lahir hingga akhir hayat nanti. Artinya, kondisi tidak manusiawi mereka masih bisa dirubah menjadi lebih manusiawi. Di sinilah tanggungjawab pendidikan yang —menurut Paulo Freire— merupakan media yang paling pas untuk memanusiakan manusia.
Dalam konteks yang lebih kecil lagi, ini merupakan tugas pendidikan Islam yang secara konsepsional bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sudah semestinya kalau pendidikan Islam turut mengambil bagian untuk mengentas mereka dari lembah “anak jalanan” menuju kehidupan yang lebih layak dan manusiawi.
 

B.     Sekilas Tentang Kehidupan Anak Jalanan 

Di dalam kehidupannya yang terlunta-lunta itu, ternyata mereka memposisikan diri selayaknya manusia kebanyakan yang memiliki keinginan dan berusaha sedemikian rupa untuk menolak apapun yang mengganggu eksistensinya. Fenomena ini, menurut Sudarwan Danim (2003: 113), dapat dikaji ketika pada bulan Juli sepuluh tahun yang lali (1996), sebanyak 248 anak miskin dan dari Jakarta dan Bekasi berkemah di Bumi Perkemahan Ragunan Jakarta. Mereka mewakili rekan-rekannya sesama gelandangan di kawasan ini yang bergulat melawan kekerasan sosial, himpitan ekonomi, kebuasan kaum homoseksual atau keganasan para penderita paedofilia, dan  uberan para petugas.
Lebih lanjut, Sudarwan Danim menyebutkan bahwa di dalam kesederhanaan perkemahan yang merak ikuti, mereka menggelar banyak tuntutan, yang diawali dengan kalimat “kami ingin” atau “kami tidak mau”, seperti: (1) kami ingin bebas menyemir; (2) kami ingin bebas mengamen; (3) kami ingin bebas bermain; (4) kami ingin bebas memulung; (5) kami tidak mau kebanjiran; (6) kami tidak mau dikejar petugas keamanan dan ketertiban; dan tuntutan-tuntutan lainnya.      
Terlepas dari tuntutan-tuntutan yang digambarkan Danim di atas, ada beberapa hal lain yang sangat penting untuk dicermati dan direfleksikan bersama perihal kehidupan, suka dan duka anak jalanan.
Pertama, dalam konteks mengais sumber-sumber ekonomi mereka mengamen, baik di lampu merah, bus kota, terminal, stasiun, dari rumah ke rumah atau yang lainnya. Pekerjaan itu mereka lakukan dari pagi hingga sore. Konon, dengan mengamen itu adakalanya mereka berpenghasilan sampai Rp 30.000 per hari. Namun angka yang wah untuk ukuran mereka itu bukanlah penghasilan riilnya, sebab hanya sebagian kecil yang dapat dinikmati oleh diri sendiri, saudara atau orang tuanya. Posisi mereka terlalu lemah di bawah dominasi kaum gembel dewasa. Bahkan oleh gembel dewasa ini mereka hanya diberi jatah sekitar Rp. 1.000 hingga Rp. 5.000 saja. Selebihnya masuk kantong gembel dewasa dan digunakan untuk aksi foya-foya si gembel itu.
Kedua, sebagian besar anak jalanan tidak lagi merasa memiliki ikatan dengan keluarganya. Mereka sedikit merasa aman dengan hadirnya “bapak angkat” (baca: para gembel dewasa). Namun hal itu sejatinya tidak menjadikan mereka aman, sebab “bapak angkat itu seringkali tidak lebih daripada seorang “pemerah” dan anak-anak jalanan itu menjadi “sapi perahan” belaka. Di mana, mereka dipaksa mengamen, memulung, dan bahkan mencuri, yang sebagian hasilnya justru ditilep oleh “bapak angkat” itu.      
Ketiga, anak-anak wanita jalanan lebih mengenaskan lagi. Dalam pergumulannya sehari-hari, tidak jarang menjadi ajang pelecehan dan kekerasan seksual, misalnya diperkosa. Tidak mengherankan apabila setelah menginjak dewasa, mereka terjerumus ke obyek-obyek lokalisasi, memadati are “lampu merah”, persimpangan rel kereta api, dan sebagainya. Mereka ini tidak jarang menjadi sasaran empuk penderita paedofilia, yaitu seseorang yang doyan menyalurkan hasrat libidonya kepada anak-anak hingga ke tingkat penganiayaan.   
Apa yang dipaparkan di atas hanyalah gambaran kecil saja dari sekian suka duka yang dialami anak-anak jalanan di tengah kehidupan mereka yang serba tidak menentu. Masih banyak persoalan-persoalan lain yang barangkali tidak cukup ditulis di dalam makalah yang sangat sederhana ini. Namun demikian, gambaran itu lebih dari cukup untuk membuka hati kita bahwa masih banyak hal yang harus kita lakukan sebagai makhluk sosial yang harus memiliki kepedulian kepada orang lain.
Memang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar merupakan tanggungjawab negara. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa sebagai warga negara kita menutup mata, cuek atau bahkan bersikap sinis terhadap anak jalanan. Segembel apapun mereka, tetap merupakan saudara-saudara kita yang wajib diperhatikan dan diperlakukan secara manusiawi.

C.    Pendidikan Islam untuk Anak Jalanan

Penggunaan term pendidikan Islam di sini tidak terbatas pada proses pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah formal, tetapi mencakup  seluruh kegiatan pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai Islam, baik yang dilaksanakan di keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Namun demikian, grand design pendidikan Islam tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar utama pendidikan Islam.
Pendidikan Islam untuk anak jalanan di sini merupakan suatu kewajiban dari agama. Allah menegaskan bahwa “manusia harus menjaga dan memperhatikan diri dan keluarganya dari Neraka”. Kata keluarga di sini cakupannya sangat luas, tidak hanya keluarga dalam arti sempit, akan tetapi keluarga yang seagama, sebangsa dan se tanah air. Selain itu, Allah memerintahkan kepada kita semua “agar menyeru kepada segenap manusia (bukan untuk umat Islam saja) agar berbuat baik dan mencegah dari perbuatan mungkar.” Dengan demikian, bisa dikemukakan bahwa mendidik anak-anak jalanan agar hidup secara manusiawi merupakan tanggungjawab kita sebagai umat Islam, dan secara umum tanggungjawab seluruh masyarakat Indonesia.
Selanjutnya, kurikulum pendidikan Islam untuk anak jalanan, dalam hemat penulis, sebaiknya adalah kurikulum yang berorientasi pada skill. Ini didasarkan atas asumsi bahwa pemicu utama mereka menjadi gembel dan anak jalanan adalah karena himpitan ekonomi. Dengan bekal kecakapan skill, saya optimis bahwa mereka bisa melepaskan diri dari dunia “jalanan” dan bisa hidup mandiri tanpa tergantung kepada gembel-gembel dewasa yang umumnya hama memeras dan memperalat mereka saja.    
Sudah barang tentu pendekatan pendidikan Islam bagi anak jalan berbeda dengan pendekatan pendidikan Islam bagi anak-anak sekolah pada umumnya. Pendidikan Islam untuk anak jalanan perlu pendekatan khusus mengingat kondisi psikis, mental dan pola pikir mereka sudah terkontaminasi oleh kehidupan jalanan yang tidak karuan.
Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan di dalam implementasi pendidikan Islam untuk anak jalanan ini, antara lain:
Pertama, pendekatan asimilatif, yaitu pendekatan di mana sebelum memulai proses belajar mengajar para pendidik terlebih dahulu memasuki dan menyesuaikan diri dengan alam pikiran, karakter, sikap dan perilaku anak jalanan. Dengan demikian, pendidik mengetahui metode apa yang paling pas untuk digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga mereka enjoy dan tidak merasa asing dengan dunia pendidikan yang baru saja mereka alami.
Kedua, pendekatan fasilitasi, dalam artian seorang guru adalah teman belajar mereka. Karena sebagai teman belajar, maka di dalam kegiatan belajar anak jalanan ini tidak ditemukan istilah guru yang superior dan murid yang inferior. Yang paling penting untuk dilakukan guru adalah bagaimana menggugah semangat mereka untuk memiliki ilmu pengetahuan yang sangat berguna terhadap masa depan mereka.
Pendekatan ini lebih efektif dari pada pendekatan konvensional yang biasanya dipakai di sekolah-sekolah. Di mana guru merupakan orang yang paling tahu terhadap pelajaran yang disampaikan, sedangkan hanyalah manusia-manusia kecil yang tidak tahun apa-apa, sehingga harus menuruti apa yang disampaikan oleh guru. Jika pendekatan konvensional ini dipakai dalam kegiatan belajar anak jalanan, maka mereka “kabur” dan tidak mau belajar lagi.
Ketiga, pendekatan gradualitas. Artinya, materi yang telah disusun harus disampaikan secara tahap demi tahap dan penuh kesabaran. Di sini tidak bisa di-planning bahwa dalam jangka waktu tertentu materi tersebut harus sudah selesai. Jadi, ketika mereka sudah kelihatan jenuh untuk belajar, maka secepatnya kegiatan belajar-mengajar diakhiri, sebab di dalam situasi yang semacam ini, apa yang disampaikan oleh guru tidak akan ada artinya.
Suksesi pendidikan Islam untuk anak jalanan ini pastinya membutuhkan keterlibatan berbagai pihak, seperti pemikir dan praktisi pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pondok pesantren, dunia usaha, pemerintah dan lain-lain. Tanpa keterlibatan elemen-elemen tersebut, saya pikir pendidikan Islam untuk anak jalanan sulit untuk direalisasikan dan berjalan sebagaimana kita inginkan bersama.   

D.    Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1) sebetulnya fitrah anak jalanan sama dengan anak-anak pada umumnya. Akan tetapi, karena situasi dan kondisilah yang menjadikan mereka terlantar di kolong-kolong jembatan, terminal, emperan toko dan lain sebagainya; 2) masa depan mereka, khususnya di dalam pendidikan, adalah tanggung jawab umat Islam dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Khusus bagi umat Islam, tanggungjawab itu sekaligus merupakan perintah Allah swt.; dan 3) orientasi pendidikan Islam untuk anak jalanan harus berorientasi pada skill dan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu, yaitu: pendekatan asimilatif, fasilitasi dan gradualitas.
Dari kesimpulan ini, ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan melalui makalah ini, antara lain: (1) mengingat pendidikan Islam untuk anak jalanan berbeda dengan pendidikan untuk anak-anak pada umumnya, maka para pemikir dan praktisi pendidikan perlu merumuskan konsep dan desain pendidikan Islam khusus buat anak-anak jalanan; (2) ke depan, pengabdian masyarakat —sebagai salah satu tri dharma perguruan tinggi—, hendaknya diarahkan untuk membina dan mendidik anak-anak jalanan. Ini tidak kalah pentingnya dibanding memberi pengajian umum di Masjid-masjid; dan (3) karena merupakan amanat konstitusi, pemerintah seharusnya memperhatikan nasib dan pendidikan anak jalanan dengan cara menyelenggarakan “pendidikan khusus” bagi mereka.       
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar