Kamis, 12 Desember 2013

Politik Pendidikan

"+"

PERGULATAN  POLITIK
LAHIRNYA UU NO.20 TAHUN 2003
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
DI INDONESIA


Abstrac
Ketika gelombang reformasi telah menggejala di tengah masyarakat Indonesia, kran demokrasi terbuka di bumi Nusantara ini, maka muncul berbagai macam tuntutan-tuntutan pembaharuan secara mendasar. Tuntutan tersebut tidak hanya terfokus pada politik, melainkan merambah pada bidang-bidang lain, termasuk di bidang pendidikan. salah satu aspirasi yang diharapkan adalah terjadinya perubahan-perubahan sistemik secara mendasar terhadap sistem pendidikan nasional, yang dalam term pembaharuan disebut reformasi. Namun demikian diakui bahwa agenda reformasi harus disertai platform yang jelas, agar reformasi tidak menjadi bola liar, tetapi menjadi agenda yang memiliki arah dan koridor yang jelas. Tulisan ini mengkaji pergumulan politik lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SPN sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. Ternyata, realisasi agenda reformasi pendidikan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, disamping adanya konstitusi sebagai bentuk legalitas formal atas wujud kesepakatan bersama juga menuntut komitmen dan peran serta semua lapisan masyarakat baik warga eksekutif, yudikatif, legislatif maupun masyarakat. Keterlibatan diantara elemen ini, dituntut keaktifannya baik secara finansial maupun moral demi terlaksanakannya sistem pendidikan nasional yang mampu mewujudkan cita-cita yang di idealkan.





A. Pendahuluan

Ketika gelombang reformasi telah menggejala ditengah masyarakat Indonesia, maka muncul berbagai tuntutan-tuntutan pembaharuan secara mendasar. Aspirasi yang diharapkan adalah terjadinya perubahan-perubahan sistemik sehingga dalam term pembaharuan ini disebut reformasi. Tuntutan tersebut tidak hanya berfokus pada satu bidang politik semata, melainkan merambah pada bidang-bidang lain, termasuk bidang pendidikan1.
Dengan pembaharuan di bidang pendidikan ini, diharapkan terjadi perubahan sistem pendidikan nasional sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Amanat tersebut hendaknya mampu terimplementasikan semenjak mulai pertama kalinya pembangunan Bangsa ini dilakukan. Namun sejak Bangsa Indonesia sudah “menghirup udara” kemerdekaannya selama lebih dari setengah abad, harapan tersebut masih belum terwujudkan secara optimal sebagaimana yang diidealkan. 
Pada garis besarnya, pendidikan tidak lepas dari agenda reformasi karena pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan2, apalagi untuk bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan di tengah masyarakat global, sungguh hanya menjadi impian belaka jika perubahan dan pembaharuan pendidikan tidak sesegera mungkin dilakukan reformasinya.
Lihat beberapa tahun lalu, UNDP (2001) pernah mengeluarkan data tentang kualitas hasil pendidikan yang menjelaskan bahwa dari 173 negara di dunia, sektor pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan sampai pada rengking ke 107 dari urutan rengking ke 105 pada lima tahun sebelumnya, parahnya lagi ada negara-negara yang tingkat pendapatannya berada di bawah Indonesia tapi justru menempati rengking lebih baik dari pada Indonesia3. Sementara itu, tertulis juga dalam data UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 pada bagian bab VII masalah Pembangunan Pendidikan di bagian umum dinyatakan bahwa organisasi International Educational Achievement (IEA) menjelaskan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada rengking ke 38 dari 39 jumlah negara peserta studi4.
Data tersebut menunjukkan betapa naif-nya sistem pendidikan di Indonesia. Untuk itu ada benarnya jika ungkapan Mishad menyatakan bahwa, “masalah pendidikan di Indonesia selama ini memang masih belum menemukan rumusan yang tepat dalam memodifikasi sistem pendidikan Indonesia, baik bersifat prinsip maupun wawasan idealisme kedepan”5. Apabila dicermati, pada hakekatnya struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah dilaksanakan ini berdasar pada pembaharuan pendidikan yang lahir dari Amerika Serikat pada tahun 50-an. Proses pembaharuan sistem pendidikan itu hanya menitik beratkan pada metode bagaimana peserta didik menguasai “basic skills” di dalam mata pelajaran yang diajarkan. Sementara struktur dan mekanisme praktek pendidikan tersebut dalam implementasinya akan menghasilkan sistem pendidikan yang tidak sensitif terhadap ide-ide baru dan perkembangan sosial masyarakatnya6.
Ditambah lagi bahwa dalam praktek sistem pendidikan nasional selama ini menurut Tilaar telah terkontaminasi antara garapan politik dengan garapan pemberdayaan7. Padahal dalam dunia politik sarat dengan kekuasaan, didalamnya memiliki karakter untuk menguasai dan dikuasai, sementara pendidikan yang seharusnya murni pemberdayaan dan bebas dari praktek politik harus menjadi “korban” dari “keganasan” praktek politik itu sendiri. Akibatnya, praktek pendidikan yang dilakukan hanya mengorientasikan pada sistem kekuasaan semata dan akhirnya menghasilkan manusia-manusia yang tidak kritis, manusia “robot”, berfikir dan bertindak sesuai dengan “program data” yang telah direncanakan oleh sang penguasa, manusia yang tidak sensitif terhadap kebutuhan dilingkungannya sendiri.
Sementara di sisi lain, Bangsa Indonesia juga tengah dihadapkan pada terbukanya gerbang abad 21, era globalisasi yang penuh dengan tantangan yang mau tidak mau harus di bayar dengan pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia yang berkualitas8, tidak saja bertaraf lokal namun lebih dari itu hendaknya bertaraf internasional. Di sisi lain, masyarakat Indonesia dihadapkan pada persoalan krisis moneter yang berkepanjangan dengan berimplikasi pada rendahnya tingkat pendapatan ekonomi, meningkatnya pengangguran ---bahkan juga sampai pengangguran kelas “elit” yakni adanya pengangguran bagi lulusan sarjana--- meningkatnya kemiskinan yang disertai dengan banyaknya tingkat kriminalitas ---mulai dari pencopetan, penodongan, perampokan, penganiayaan, sampai pemerkosaan, perkelahian antar sekolah, bahkan bentrokan antar masyarakat---. Ini merupakan bukti nyata, perlunya Bangsa Indonesia untuk mempertegas kembali peningkatan SDM yang tangguh, berwawasan unggul dan trampil (kualified).
Dengan mempertimbangkan fenomena SDM Indonesia yang demikian rapuh dan sama sekali belum bermutu serta munculnya berbagai tantangan lokal serta tantangan global yang begitu bahayanya apabila dibiarkan, pentinglah kiranya bahwa pembenahan pada pendidikan menjadi salah satu agenda reformasi, ini merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bila menginginkan sebuah kemajuan. Mengapa harus dunia pendidikan? Karena, Nasrib berpendapat bahwa pendidikan di belahan dunia manapun (negara berkembang ataupun negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk mengembangkan dan membentuk SDM yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat sekitar8.
Dalam upaya melakukan reformasinya agar tidak menjelma sebagai “bola liar”, maka diperlukan platform, sehingga agenda reformasi di pendidikan memiliki arah dan koridor yang jelas, selanjutnya akan dihasilkan suatu konstruk hasil reformasi sistem pendidikan yang secara konseptual dapat diterima oleh logika, secara kultural sesuai dengan nilai budaya bangsa dan secara politis dapat diterima oleh masyarakat luas.
Sebuah platform justru merupakan sebuah keharusan karena mainstream sekarang sedang transisi. Transisi karena pertimbangan yuridis yang kala laju dengan konteks empirisnya, transisi karena proses otonomisasi yang melahirkan kebijakan desentralisasi dan transisi karena konteksnya yang dinamis9.

B. Reformasi Sistem Pendidikan Nasional

Sebagaimana dijelaskan di bagian pendahuluan, ketika euforia demokrasi terbuka, maka muncul berbagai macam tuntutan, termasuk reformasi pendidikan. Sistem Pendidikan Nasional yang sejak tahun 1989 dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dipandang sudah tidak sesuai lagi dalam era reformasi karena berbagai alasan, yang antara lain adalah Sistem Pendidikan Nasional tersebut lebih menitik beratkan pada penyelenggaraan pendidikan yang lebih berbasis pemerintah, sementara itu masyarakat kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan kemandiriannya.
Selain itu, ada beberapa alasan berdasarkan fenomena yang ada bahwa mengapa perlu dilakukan reformasi pendidikan? berdasar pada analisis menunjukkan bahwa pendidikan belum mendapatkan perhatian yang semestinya, sehingga kurang berdaya dalam memberikan sumbangan pada pembentukan masyarakat Indonesia Baru. Sistem Pendidikan Nasional juga belum sepenuhnya menunjukkan keperpihakan pada penerapan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup, pendidikan untuk semua dan dengan sistem yang terbuka (multi exit/ multi entry). Sistem Pendidikan Nasional juga kurang mendukung pengembangan kemandirian sehingga lulusan yang dihasilkan belum banyak bermanfaat sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Maka tidaklah mengherankan jika Sistem Pendidikan Nasional belum mampu menjawab tantangan dan perubahan zaman yang dibutuhkan saat ini. Kiranya dengan berbagai macam alasan atas fenomena itu, reformasi pendidikan perlu dilakukan dan sudah tidak dapat lagi ditunda  pelaksanaannya.
Sebagaimana juga pada amanat Tap MPR RI Nomor IV Tahun 1999 tentang GBHN dan Tap MPR RI Nomor VII tentang Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, bahwa Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan belum menunjukkan arah yang jelas dan perlu diperbaharui serta dimantapkan kembali berdasar pada prinsip demokratisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
Lebih dari itu, dalam konteks otonomisasi pengembangan di bidang pendidikan perlu dilakukan yang awalnya berbentuk sentralisasi perlu diwujudkan dalam bentuk otonomi atau dengan istilah desentralisasi. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab IV Pasal 11 Ayat 210. Berdasarkan pada dokumen tersebut jelas bahwa implementasi proses pendidikan nasional yang dijalankan atas dasar prinsip desentralisasi dan pada praktek sebelumnya berdasarkan prinsip sentralisasi, hal ini kemudian populer dengan istilah dentralisasi pendidikan. Upaya pemerintah dalam mendesentralisasikan pendidikan pada sistem aturan memang menjadi harapan bagi setiap warga masyarakat, dengan alasan agar terciptanya pemerataan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan11.
Dasar pemikiran dari otonomi ini dilakukan karena: 1) wilayah Indonesia yang secara geografis sangat luas dan beraneka ragam, 2) aneka ragam golongan dan lingkungan sosial, budaya, agama ras, etnis maupun bahasa, disebabkan oleh perbedaan sejarah perkembangan penduduk dengan segala aspeknya, 3) besarnya jumlah dan banyaknya jenis populasi sekolah yang tumbuh sesuai dengan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya, 4) perbedaan lingkungan yang mungkin saja menimbulkan aspirasi dan gaya hidup yang berbeda antara wilayah satu dengan lainnya12.

C. Reformasi pendidikan Menuju rekonstruksi SPN

Upaya kearah terwujudnya rekonstruksi secara mapan agar memiliki platform yang jelas adalah membentuk perangkat aturan yang mampu mengakomodir semua kelompok yang terkait dengan sistem pendidikan lewat sebuah konstitusi. Hal ini dipandang efektif karena Indonesia sendiri merupakan negara konstitusi, negara hukum yang artinya bahwa setiap penyelesaian masalah harus merujuk pada aturan yang berlaku.
Penyelesaian yang dilakukan berdasar pada aturan yang berlaku juga hendaknya didasari atas sebuah komitmen bersama. Artinya semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap dunia pendidikan, hendaknya mendukung ---baik dalam arti finansial maupun moral--- akan terlaksanakannya proses pendidikan yang berlangsung dengan baik. Komitmen bersama itupun tidak hanya dilakukan oleh salah satu elemen kelompok tertentu saja, tetapi kemanunggalan antara semua fihak sangat diharapkan (legislatif, eksekuti, yudikatif, masyarakat, lembaga pendidikan).
Perhatian yang cukup ekstra dari semua lapisan, karena hal itu terkait dengan proses pendidikan yang selalu terkait dan masuk dalam konteks nyata, dinamis serta akan terus mengalami dinamikanya. Ini disebabkan bahwa hasil pendidikan selalu bersentuhan dengan lingkungan sosialnya secara langsung. Ketika dinamika perubahan begitu cepat, maka secepat itu pula pendidikan akan mengalami upaya-upaya dekonstruksi, bahkan akan berlanjut ke rekonstruksi. Dan lebih dari itu, ketika hasil rekonstruksi telah disepakati, ia secara otomatis telah menjelma sebagai konstruksi tahab kedua dan demikian seterusnya. Hal itu akan terjadi selama proses sosial terus berlangsung dan tampaknya suatu proses sosial takkan pernah mengenal henti dalam suatu masa tertentu sekalipun, dia akan berkembang dan berkembang sesuai dengan kebutuhan jamannya akibat dari kontrak sosial itu sendiri13.
Pemikiran tersebut muncul ketika disadari bahwa pendidikan memang tidak bisa melepaskan diri dari realitas sosialnya sebagaimana terkait dengan tujuan pendidikan itu sendiri yang didalamnya terjadi proses pelatihan, pengembangan, dan pembekalan bagi potensi manusia dalam mengarungi kehidupan selanjutnya14, sehingga konstruksi pendidikan merupakan realitas obyektif yang harus dilakukan dalam setiap pemenuhan kebutuhannya, terutama di era sekarang dengan tuntutan untuk perlunya pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang masih memerlukan proses pengembangan guna terwujudkan harapan yang di idealkan. Rekontruksi ini selanjutnya menjadi langkah berpijak dalam mengimplementasikan Sistem Pendidikan Nasional selanjutnya.

D. Sistem Desentralisasi dalam Pelaksanaan Pendidikan

Seiring dengan bergulirnya semangat reformasi tersebut, dimana dibarengi dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru mencoba melakukan perubahan secara mendasar di segala bidang. Sebagaimana dituangkan dalam paket Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, didalamnya telah dijelaskan berkeinginannya bersatu padu dengan segenap masyarakat untuk menyelenggarakan pembangunan secara holistik15.
Berawal dari landasan Propenas tersebut, kiranya yang ingin diraih oleh bangsa Indonesia ialah sebuah kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain di dunia. Guna terwujudkan keinginan itu, tidak serta merta ada dengan sendirinya. Hal itu harus melewati sebuah proses sebagai media agar bisa mewujudkan sebuah cita-cita yang diharapkan.
Kiranya tepat jika institusi pendidikan dijadikan sebagai media guna mewujudkan cita-cita luhur bagsa Indonesia. Sebab, segala macam bentuk proses pendidikan di belahan dunia manapun (baik negara berkembang maupun negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk mengembangkan dan membentuk SDM yang berkualitas16, untuk itu Seowito menjelaskan bahwa proses pendidikan juga dapat difahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang17, oleh karenanya melalui pendidikan masyarakat dapat belajar untuk mengerti dan mampu mengubah alam serta lingkungan sosialnya secara konstruktif18. Maka pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu hal yang pertama dan utama guna mempersiapkan SDM yang berkualitas tinggi.
Meskipun sistem pendidikan Indonesia masih jauh ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain akan tetapi, minimal ada sebuah usaha guna mengejar ketinggalan tersebut sebagai modal investasi kedepan guna terwujudnya cita-cita yang mulia. Hal ini terbukti secara konstitusi adanya ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004 untuk lebih memperbaiki mutu pendidikan Indonesia, sesuai dengan semangat dan agenda reformasi. Demikian juga di dukung oleh UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional19.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, sistem pendidikan yang dulunya sentralistik dengan landasan konstitusi Undang-undang No. 2 tahun 1989, dipandang tidak relefan lagi dalam era otonomi daerah, karena Sikdiknas tersebut lebih menitik beratkan pada penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah, sementara masyarakat kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas dan kemandiriannya20.
Selanjutnya bagaimana wujud sistem desentralisasi dalam pendidikan tersebut? Sebagaimana secara juridis telah ditegaskan dalam GBHN pada BAB IV (Arah Kebijakan) di bagian pendidikan point ke 5 juga pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di bagian penjelasan di uraian umum yang menegaskan tentang misi pendidikan nasional menggunakan prinsip otonomi dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia21.
Dengan demikian desentralisasi pendidikan merupakan kewenangan lembaga pendidikan dengan dukungan peran masyarakat dan pemerintah daerah guna menenentukan langkah terbaik dalam proses pendidikannya. Dalam arti setiap lembaga  pendidikan di beri hak kebebasan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri, yang tetap berdasar pada aspirasi masyarakat sebagaimana peraturan atau perundangan yang telah ditatapkan22. Kewenangan tersebut adalah segala macam usaha untuk mengembangkan mutu pendidikan sebaik mungkin23.

E. Memahami Kebijakan Pendidikan Dalam Desentralisasi

Secara mendasar dengan mengacu pada kebijakan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hakekat otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan atau perundang-undangannya24. Jadi ada pengakuan kewewenangan pemerintahan yang luas kepada daerah otonom, sebagaimana menjadi  prinsip dalam sistem desentralisasi25.
Dalam konteks pendidikan, otonomi daerah identik dengan istilah desentralisasi pendidikan yang memiliki makna sama sebagaimana dimaksudkan pada otonomi daerah sebagaimana tertulis di atas26. Untuk itu diharapkan dari kebijakan pendidikan nasional dalam sistem desentralisasi ini, memiliki tujuan untuk lebih pertama mengoptimalkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah tentang kebutuhannya terhadap penyelenggaraan pendidikan, kedua mampu menciptakan output pendidikan yang tanggap terhadap realitasnya, terutama dalam menghadapi tantangan global, ketiga  terciptanya pendidikan yang demokratis serta bertanggung jawab, keempat mampu memperkuat mental jasmani dan rokhani lebih intensif27.
Dengan memahami konteks otonomi daerah sebagai bagian dari prinsip desentralisasi yang akhirnya bekelanjutan pada pelaksanaan sistem desentralisasi pendidikan, maka berbagai perangkat peraturan sebagai juridis formal tentunya harus dijalankan secara menyeluruh, apabila Indonesia mengakui dirinya sebagai negara konstitusi ataupun negara hukum. Konsekwensinya adalah apapun hasil kebijakan konstitusi sebagai perwujudan dari kesepakatan bersama hendaknya diwujudkan secara nyata.

F. Kesimpulan

Berdasar pada uraian tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa:
1.  Ditengah eforia dekmokratisasi Indonesia muncul berbagai macam tuntutan termasuk didalamnya adalah tuntutan tentang pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional.
2.  Pembaharuan terhadap Sistem Pendidikan Nasional ini menjadi penting, ketika melihat kondisi obyektif realitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang secara kualitatif masih jauh dari harapan yang diidealkan disamping juga terkait dengan berbagai tuntutan jaman yang semakin kompleks.
3.  Pendidikan dipandang perlu dilakukan pembenahannya karena hasil dari proses pendidikan selalu bersentuhan dengan realitas sosial masyarakat yang ada dan juga didasari atas pemikiran bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dalam proses mengembangkan kualitas SDM Indonesia guna menjawab tuntutan jaman.
4.  Dalam kerangka pemenuhan tersebut, proses pendidikan yang sebelumnya mengunakan paradigma sentralisasi diubah atas dasar paradigma desentralisasi.
5.  Upaya dalam pembenahan ini, agar memiliki platform yang jelas dan mampu berjalan secara efektif hendaknya dituangkan dalam sebuah konstitusi sebagai perwujudan atas kesepakatan bersama.
6.  Dengan wujud konstitusi sebagai peraturan tersebut, akan memiliki makna apabila mampu teraktualisasikan secara nyata dengan didukung oleh segenap unsur lapisan masyarakat Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA


Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekontruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Buku Kompas, 2002.

Abdul Halim.S., Platform Reformasi Pendidikan Islam: Membedah Wacana Baru Sistem Pendidikan Nasional, makalah MUSDA FKMTI Wil. V di STAI Ibrahimi Genteng Banyuwangi, 2 Junli 2001.

Abdul Ghofir, Implementasi Otonomi Daerah dan Implementasinya Terhadap Pendidikan Madrasah; Analisis Banding Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat, Depag Jatim: Mimbar, 179 Agustus 2001.

Abdul Halim .S., Pengembangan Pendidikan Dalam Iklim Transisi, Makalah Pendalaman dalam Upaya Peningkatan Kinerja Bidang Tugas Komisi “E” DPRD Kabupaten Situbondo, 14 November 2001.

Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Darmaningtyas, et, all, Membongkar Ideologi Pendidikan; Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Resolusi Press, 2004.

Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentris Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung: Al Qopriat Jatinagor, 2000.

Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta: Deppennas, 2001.

Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999.

Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998.

Ika, Islam Tawarkan Solusi Pendidikan, Depag Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001.

Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1996.

Marzuki Wahid et, al, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, Depag Jatim: Mimbar, No. 195 Desember, 2002.

Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, Depag Jatim: Mimbar No. 175 April, 2001.

Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.

Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah; Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, Jakarta: Makalah Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan  Guru  Besar  Sejarah  Pemikiran  dan  Pendidikan  Islam  di  IAIN  Syarif  Hidayatullah, 2002.

TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN tahun 1999-2004.

Undang-Undang RI No. 25 tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004, ------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.

Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Wuri Soedjatmiko, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Publishing, 2000.









1 Baca Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Buku Kompas, 2002), xiii; Baca Wuri Soedjatmiko, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, (Yogya: Kanisius, 2000), 49.
2 Baca Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999), 96.
3 Baca Ika, Islam Tawarkan Solusi Pendidikan, (Depag Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001), 38.
4 Undang-undang RI No. 25 tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004, (------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001).
5 Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, (Depag Jatim: Mimbar, No. 195 Desember, 2002), 40.
6 Baca Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Publishing, 2000), 24.
7 Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998) 4.
8 Sumber Daya Manusia berkualitas adalah kaum intelektual yang mampu menciptakan gagasan dan mampu menggerakkannya guna mewujudkan gagasan itu kepada kerja nyata, Baca Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 12. Demikian juga dengan istilah Sumber Daya Manusia memiliki makna sebagai dijelaskan oleh Emha Ainun Najib, bahwa Istilah Sumber Daya Manusia lahir dari wilayah untuk keperluan industri. Industrialisasi, yang kemudian menjadi ideologi industrialisme, lahir dari suatu visi dan versi pandangan yang dominan mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Maka tekanan makna Sumber Daya Manusia itu adalah memiliki daya manajerial dan profesionalisme (software-nya) serta keterampilan kerja (hardware-nya). Kedua hal tadi ditambah dengan faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme industri, didalamnya terdapat etos kerja, disiplin, semangat untuk maju, yang pada akhirnya konsep  Sumber Daya Manusia mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk bersikap produktif. Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentris Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, (Bandung: Al Qopriat Jatinagor, 2000), 50.
8 Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, (Depag Jatim: Mimbar No. 175 April, 2001), 32. Bandingkan H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformas Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999),3 mengungkapkan bahwa pembangunan di negara-negara berkembang dewasa ini termasuk Indonesia sedang memasuki masa yang cukup sulit akibat krisis ekonomi yang parah, tentunya sebagai bangsa yang baik hendaknya bisa belajar dari pengalaman masa lalu serta menambah kenyakinan bahwa yang menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan ialah perwujudan SDM yang berkualitas tinggi dan ini merupakan konsekwensi logis yang harus dihadapi oleh masyarakat dan Bangsa Indonesia sebagai akibat dari proses globalisasi yang sedang bergulir
9 Baca Abdul Halim.S., Platform Reformasi Pendidikan Islam: Membedah Wacana Baru Sistem Pendidikan Nasional, makalah MUSDA FKMTI Wil. V di STAI Ibrahimi Genteng Banyuwangi, 2 Junli 2001, 1.
10 Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa, “Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
11 Darmaningtyas, et, all, Membongkar Ideologi Pendidikan; Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Resolusi Press, 2004), 19.
12 Baca Abdul Ghofir, Implementasi Otonomi Daerah dan Implementasinya Terhadap Pendidikan Madrasah; Analisis Banding Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat, (Depag Jatim: Mimbar, 179 Agustus 2001), 29.
13 Baca Abdul Halim .S., Pengembangan Pendidikan Dalam Iklim Transisi, Makalah Pendalaman dalam Upaya Peningkatan Kinerja Bidang Tugas Komisi “E” DPRD Kabupaten Situbondo, 14 November 2001, 3
14 Baca Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 1-8.
15 “…. Penyelenggaraan negara dilakukan melalui pembangunan dalam segala aspek kehidupan bangsa, oleh penyelenggara negara, yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pembangunan nasional dilakukan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahab dan berlanjut untuk mengacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju”. Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, di BAB I point c.
16 Nasrib Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, Ibid, 32; Bandingkan Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), vii, dalam teks pidato Presiden Soeharto ketika membuka Konfrensi Dewan Mentri-mentri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang ke 17 menegaskan bahwa proses pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap bangsa-bangsa di dunia, bagi negara yang sedang membangun atau bahkan terlebih bagi negara miskin (terbelakang).; Bandingkan juga Marzuki Wahid et, al, Pesantren Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantre, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 171, menjelaskan bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia, karena proses pendidikan itu merupakan bentuk upaya ikhtiar dalam mempersiapkan generasi muda untuk mengarungi bahtera kehidupan yang akan datang, dimana sangat dibutuhkan oleh pembangunan.
17 Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, (Jakarta: Makalah Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan  Guru  Besar  Sejarah  Pemikiran  dan  Pendidikan  Islam  di  IAIN  Syarif  Hidayatullah, 2002), 1.
18 Baca Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 15.
19 Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diverifikasi kurikulum untuk untuk melanyani keberagaman peserta didik, menyusun kurikulum yang berlaku nasional dan lokal guna kepentingan setempat serta diverifikasi jenis pendidikan secara profesional. TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN tahun 1999-2004, pada BAB IV (Arah Kebijakan) di bagian pendidikan point ke 3, demikian juga pada point ke 5 dinyatakan: Melakukan pembaharuan pendidikan dan penetapan Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
20 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Ibid, 4.
21 Baca TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN tahun 1999-2004, pada BAB IV (Arah Kebijakan) di bagian pendidikan pada point ke 5, dan Salah satu misi pendidikan Nasional di point ke 5  yang disebutkan pada bagian penjelas UU No. 20 tahun 2003 ini menegaskan “Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
22 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Ibid, 4.
23 Baca Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, (Jakarta: Deppennas, 2001),  9.
24 Baca Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah; Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 29.
25 Baca UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada BAB IV (Kewenangan Daerah); bandingkan juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa  desentralisasi diartikan juga sebagai sebuah tata pemerintahan yang lebih banyak memberikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah otonom. Lihat Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), 227.
26 Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagaian atau seluruhnya wewenang di bidang pendidikan agar menjadi lebih baik mutu dan kualitas. Pendidikan  yang awal mulanya dilakukan oleh pemerintah pusat di intruksikan kepada pemerintah daerah, ini dirasakan justru merugikan banyak fihak. Pendidikan yang seharusnya memiliki sifat ekslatisitas (sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat dan manusia itu sendiri) akhirnya sifat kebijakan pendidikan menjadi kaku dan hasil dari pendidikannya pun menjadi generasi yang tidak bisa diharapkan sebagai generasi yang bisa dihandalkan baik skala lokal, nasional  terlebih dalam skala internasional. Baca Abdul Ghofir, Implementasi Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Pendidikan Madrasah; Analisis Banding Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat,  Ibid, 29.
27 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Ibid, 4-6. Demikian juga bandingkan dengan  UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SPN BAB III pasal 4 menyebutkan: (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultural dan kemajemukan bangsa; (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayaakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Dari kesekian prinsip penyelenggaraan pendidikan tentunya akan mudah tercapai bila mana sistem pendidikan dilakukan dengan prinsip desentralisasi sebagaimana yang dicita-citakan dalam semangat reformasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar