Kamis, 27 Maret 2014

Pendidikan Anak dalam keluarga

"+"



KEWAJIBAN MENDIDIK ANAK DALAM KELUARGA
(Dalam Konteks Pandangan Islam)



Al-Qur’an menjelaskan, pada mulanya Allah menciptakan Adam, jenis laki-laki sebagai manusia pertama. Menyusul kemudian Hawa, jenis perempuan yang menjadi ibunda pertama umat manusia. Tidak ada pengecualian, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan untuk melaksanakan tugas khalifah sebagai wakil Allah di bumi (khalifah fil-ardh). Yaitu suatu  fungsi jabatan untuk mengurus bumi dengan segala isinya atau menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.
Sesungguhnya sejak pertama kali hadir dimuka bumi, Islam memandang posisi perempuan pada dasarnya sama dengan laki-laki. Islam tidak membeda-bedakan seseorang karena perbedaan jenis kelamin, suku dan kebangsaan. Hanya satu yang dianggap mempunyai nilai lebih, yaitu orang yang paling taqwa kepada-Nya.[1] Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13:
Artinya : Hai manusia, sesungguhmya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah yang maha mengetahui lagi maha mengenal (QS. Al-Hujurat ayat 13).[2]


Untuk melaksanakan tugas kekhalifahan dan menciptakan kehidupan yang sejahtera lahir dan bathin, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan pria dan wanita dalam pernikahan. Sebuah pernikahan yang didirikan berdasarkan azas-azas yang Islami adalah bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah dan baik-baik serta mendapatkan ketenagan dan kebahagian di dalam kehidupan manusia. Keluarga yang didirikan oleh sepasang suami isteri tersebut tentu telah memiliki “kedewasaan diri” yang baik, sehingga suatu pernikahan itu akan bahagia dan penuh dengan  kesejahteraan, kerharmonisan dan keserasian yang menyeluruh. Kondisi tersebut akan diperoleh bila kedua belah pihak telah menyetujuinya dan berbualat hati untuk bersatu dalam membina sebuah rumah tangga dengan kesiapan mental guna menanggung segala resiko yang akan dihadapi dalam perjalanan pernikahan selanjutnya.[3]
Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak dan kepentingan pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah, dan dalam kedudukan seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya (isterinya). Isteri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik.[4]
   Hubungan suami isteri dalam keluarga adalah hubungan raja dengan ratunya. Keduanya saling membutuhkan secara timbal balik yaitu agar saling mencintai dan  mengasihi dalam mahligai yang sakinah untuk beranak pianak dan berkembang biak mengisi dunia yang luas ini.[5]
Dalam keluarga, seorang isteri adalah juga pemimpin di rumah suaminya. Ia bertanggung jawab mengatur suasana rumah tangga yang kondusif bagi terciptanya kesejahteraan keluarga. Sebagaimana hadits Nabi SAW[6]
Artinya: Dari Abdilah bin Umar r.a sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: kalian semua adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabanya atas kepemimpinan, seorang imam menjadi pemimpin atas rakyatnaya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinanya, seorang laki-laki adalah pemimpin keluarga dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga suami dan akan diminta pertanggungjawaban kepemimpinannya, seorang hamba menjadi pemimpin atas harta tuannya dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinanya. (HR. Bukhari)

Dengan demikian, seorang isteri diperbolehkan berusaha dan menerima penghasilan yang diperlukan untuk menjaga standar kehidupan serta berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuan dirinya.
Suami dan isteri dalam pandangan Islam sama-sama bertanggungjawab dan berkewajiban terhadap pendidikan anak-anak serta kesejahteran keturunan dan keluarga mereka. Sebagaimana  firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 9 disebutkan:
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatirkan terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah mengucapkan perkataan yang benar. (QS. 4: 9) [7]


Firman Allah di atas mempertegas tanggungjawab suami isteri harus bermitra dalam rangka mempersiapkan generasi yang kuat dan handal baik dalam iman dan taqwa maupun dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, generasi mendatang akan lebih mampu beramal shalih bagi kesejahteraan umat dan bangsa.[8] 
Awal mula proses pendidikan anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan pernikahan, yaitu melaksanakan sunnah Rasul, lahirnya keturunan yang dapat meneruskan risalah. Pernikahan yang baik, seyogianya dilandasi keinginan untuk memelihara keturunan, tempat menyemaikan bibit iman, melahirkan keluarga sehat, serta memenuhi dorongan rasa aman, sejahtera dan sakinah, penuh mawaddah dan rahmah.. Oleh karena itu, pemilihan pasangan sebelum nikah pun menjadi kepedulian utama dalam merancang pendidikan anak.[9]
Sebagi suami-isteri yang kemudian disebut orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama terhadap perkembangan anak-anak, yang perannya sangat menentukan bagi perkembangan anak. Orang tua hendaknya menumbuhkan kesadaran untuk mendengar dan mengingat hal-hal yang positif pada diri anak, yaitu dengan cara menyampaikan seluk beluk pendidikan agama Islam secara bertahap. Hal ini merupakan tanggung jawab orang tua yang benar-benar memerlukan perhatian. Terutama sekali untuk menerapkan pola hidup yang sesuai dengan ajaran Tuhan yang telah berkenan mengkaruniakan anak kepada mereka. Maksudnya agar anak kelak menjadi anak yang shalih, anak yang sanggup dan lkhlas membela agama, nusa, dan bangsa.[10] 
Mendidik anak harus dimulai sejak dini, karena perkembangan jiwa anak telah mulai tumbuh sejak dia kecil sesuai dengan fitrahnya. Karena anak dilahirkan di dunia dalam keadaan fitrah. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:[11]
Artinya: Dari Abu Harairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “setiap anak yang dilahirkan, dalam keadaan fitrah (kesucian agama yang sesuai dengan naluri). Tinggal kedua orang tauanyalah yang akan menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Muslim)


Jadi anak dilahirkan masih perlu pembinaan dan pendidikan sebagai penyempurnaan atas kejadiannya. Dalam ajaran Islam “fitrah” itu tidak berarti kosong seperti tabularasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya insani yang potensial. [12] 
Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang anak didik. Oleh karena itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Dan disini yang ditekankan adalah pendidikan oleh orang tua. Sebagian dari usaha pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain, seperti kepada sekolah dan guru agama misalnya. Tetapi yang sesungguhnya dapat dilimpahkan kepada lembaga atau orang lain terutama hanyalah pengajaran agama, dan wujud latihan dan pelajaran membaca bacaan-bacaan keagamaan, termasuk membaca al-Qur’an dan ritus-ritus. Sebagai pengajaran, peran orang lain seperti sekolah dan guru hanyalah terbatas, terutama kepada segi-segi pengengetahuan dan bersifat kognitif meskipun tidak berarti tidak ada sekolah atau guru yang juga sekaligus berhasil memerankan pendidikan yang bersifat afektif. Namun jelas bahwa segi afektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak di rumahtangga melalui orang tua. Karena peran orang tua adalah peran tingkah laku dan pola-pola hubunganya dengan anak baik itu ayah maupun ibunya yang dijiwai dan disemangati oleh kebersamaan dan nilai-nilai keagamaan.[13]
Di dalam Islam kewajiban timbal balik antara suami dan isteri pun telah diberikan tuntunan yang sebaik-baiknya. Contoh: suami-isteri berkewajiban mendidik anak-anak mereka secara Islami. Mereka perlu selalu menjaga kehormatan keluarga. Agar pelaksanaan kewajiban timbal balik tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka kerukunan, kedamaian, saling memaafkan, bantu membantu dalam kebaikan,  ketaqwaan, lapang dada, dan penuh pengertian senantiasa dibina dan dikembangkan terus menerus. Demikian pula tentang hak keduabelah pihak harus senantiasa dipahami.[14]
Antara suami isteri dalam membina rumah tangganya agar terjalin cinta yang lestari, maka antara keduanya itu perlu menerapkan sistem keseimbangan peranan, maksudnya peranannya sebagai suami dan peranan sebagai isteri disamping juga menjalankan peranan-peranan lain sebagai tugas hidup sehari-hari.[15]
Hal ini sesuai dengan pendapat K.H.A. Wahid Zaini et.al, bahwa dalam hubungan  antar suami isteri dalam Islam dasarnya adalah ma’ruf, artinya cara yang dianggap baik oleh urf.[16] Aturan ini sangat tepat sekali,berarti mendudukan hubungan suami isteri sebagai kemitrasejajaran yang lentur dan tidak kaku sesuai pandangan baik masyarakat setempat. Selain itu ,dapat dikemukakan untuk memperkuat terjalinnya kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan agar masing-masing tidak saling mendominasi.[17]
Apalagi seorang ibu yang paling banyak dapat mempengaruhi anak, ini disebabkan karena hubungan emosional ibu dengan  anak. Sebuah sabda Rasullullah SAW yang seringkali dikutip berkenaan dengan ini yaitu:[18]
Artinya: “sorga berada di bawah telapak kaki ibu”. (HR. Ahmad)
Tetapi tentu saja yang bertanggungjawab atas pendidikan anak tidak hanya ibu. Meskipun tidak memiliki hubungan emosional dengan anak sehangat ibu, peran bapak pun juga sepenuhnya ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak. Faktor yang paling menentukan dalam peranan bapak ialah kedudukannya sebagai kepala keluarga. Para ahli umunya mengatakan bahwa dalam jiwa anak yang ingin mencari suri tauladan sang ayah selalu menempati urutan pertama baru orang lain. Oleh karena itu pendidikan anak pun akan ikut ditentukan, berhasil atau gagalnya, oleh “penampilan” sang ayah dalam penglihatan anak.
Oleh karena itu, supaya pengaruh mereka terhadap pertumbuhan anak bernilai positif, ayah ibu harus kritis dan harus dengan penuh kesadaran melakukan pilihan jenis arah pendidikan anaknya, dan mewujudkan kemitraan mereka dengan tulus dan nyata.[19] Untuk mendidik anak yang optimal tentu perlu adanya kemitraan antara suami dan isteri. Sebab suami dan isteri berkedudukan sama dalam mendidik anaknya.



[1] Wahid Zaini, et.al, Memposisikan Kodrat Perempuan Dan Perubahan Dalam Perspektif Islam, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 136.
[2] DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surya cipta aksara, 1993, hlm. 845.
[3] Hasan Basri, Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi Dan Agama, Pustaka Pelajar,, Yogyakarta, 1997, hlm. 24.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cet. 3, Mizan, Bandung, 1996, hlm. 211.
[5] R A. Gunadi, et. al, Sederhana Itu Indah, Republika, Jakarta , 2000,  hlm. 79.
[6] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari Jilid II, Syirkah Nur, Toha Putra Semarang, tt, hlm. 84.
[7] Depag RI, Op. Cit., hlm. 116.
[8]  R A. Gunadi, Op.Cit, hlm. 80.
[9] Djawaj Dahlan, Pendidikan Agama Dalam Keluarga, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 67.
[10] Boehari, Agama Sumber Nilai-Nilai Pembinaan Anak, Ramadhani Jakarta, 1993, hlm. 24.
[11] Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz IV, Dar al-Kutub, Bairut, Libanon, tt, hlm. 2047.
[12] Ahmad, Islam Sebagi Paradigma Ilmu Pendidikan, CV. Aditya Media, Yogyakarta, 1992, hlm. 53.
[13] Nur Kholis Majid, Masyarakat Religius, Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat, Paramadina, Jakarta , 2000, hlm. 92.
[14] Hasan Basri, Op. Cit., hlm. 31.
[15] Ibnu M. Rasyd, Mahligai Perkawinan, CV Bahagia, Pekalongan, 1989, hlm. 75.
[16] Menurut Abdul Wahab Khallab urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka baik berupa perkataan, atau pebuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut adat. Sedang menurut istilah para ahli sara, tidak ada perbedaan antara urf dan adat kebiasaan. Lihat Abdul Wahhab Khallab, Ilmu Ushul al- Fiqh,  Maktabah al-Dakwah Islamiyah Syabab al-Azhar, Jakarta, 1410 H/1990 M, hlm. 89.
[17] Wahid Zaini, et.al, Op. Cit, hlm. 139.
[18] Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani Al Marwazi,  Musnad Ahmad, Juz 3, Tijariyah Kubra, Kairo, tt, hlm. 458.
[19] Nur Kholis Majid, Op.Cit, hlm. 88.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar