Kamis, 27 Februari 2014

Ketuhanan Al Farabi

"+"

PEMIKIRAN KETUHANAN AL-FARABI


Al-Farabi adalah filosof Muslim yang bergelar al-Muallim al-Tsani atau The Second Master (guru kedua) setelah Aristoteles yang bergelar al-Muallim al-Awwal atau The First Master (guru pertama),(Pradana Boy, 2004: 109 nama lengkapnya, Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarakhan ibn Uzalagh al-Farabi.(JWM.Bakker SY, 2003: 32) Ia  lahir di Wasij, suatu desa di Farab (tansoxania) di tahun 870 M. Menurut keterangan ia berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang jenderal. Ia sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab ia kemudian pindah ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu itu, di sana ia belajar pada Abu Bishr Matta ibn Yunus (penterjemah), dan tinggal di Bagdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di Istana Saif al-daulat memusatkan perhatiannya pada pengetahuan dan falsafat.
 Isi dari falsafat al-Farabi adalah falsafat emanasi atau pancaran, yaitu dengan falsafat ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan bersifat maha satu tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, maha sempurna dan tidak berhajat pada apapun, kalau demikian hakekat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang maha satu? menurut al-farabi alam terjadi dengan cara emanasi.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbullah maujud lain, Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbulah wujud kedua yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama, (first intelligence) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga disebut akal kedua, (second intellegence).
Wujud kedua atau akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah langit pertama (first heaven). Pada pemikiran wujud kesebelas/.akal kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Jadinya ada 10 akal dan 9 langit yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam (tidak bermula) atau baharunya alam, al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi alam terjadi dengan tidak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu.
Alam terjadi melalui ciptaan sekaligus tanpa waktu oleh Tuhan yang Maha Agung. Tidak jelas apa yang dimaksud al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi al-Farabi alam ini baharu. Tetapi De Boer mengatakan alam bagi al-Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancarkan dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam (Harun Nasution, 1994: 20)..
Jiwa manusia sebagai mana halnya dengan materi asal memancarkan dari akal kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya:  gerak,  mengetahui,  berpikir, akal potensial, akal aktual,  akal mustafad.
 Akal potensial menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat yang dapat ditangkap dengan pancaindra, aktual aktual menangkap arti-arti dan konsep. Sedangkan akal mustafad  mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari akal yang di atas dan di luar diri manusia yaitu akal kesepuluh yang diberi nama akal aktif (active intellect) yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan akal aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari akal aktif (Ahmad Hanafi, 1990: 18).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar