KAJIAN ILMU
LADUNI
DALAM PERSPEKTIF TEORI BELAJAR
MODERN
A.
Konsep Ilmu Laduni
Dalam Al Qur’an, hanya ada satu tempat yang menyebutkan
“ilmu Laduni” secara jelas, yaitu dalam surat Al Kahfi ayat 65.
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً
مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
Artinya:
Lalu mereka bertemu
dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami .
Ayat
diatas menyebutkan lafadh “Ladunna“ (huruf akhir adalah “ a”) , yang berarti : “ dari sisi Kami (Allah ) “ , Ilmu Ladunna berarti ilmu dari sisi Allah. Yang kemudian berkembang dan menjadi ilmu Ladunni ( pakai huruf “i“). Dalam beberapa
tafsir disebutkan, yang dimaksud dengan “min ladunna ‘ilman” adalah ilmu
gaib. Menurut kalangan tasawuf, untuk membenarkan mazhab mereka, ilmu laduni
ialah ilmu yang datang dengan sendirinya tanpa ada perantara. Memang secara
pasti kita belum mengetahui, mulai kapan istilah ilmu laduni itu muncul,
(walaupun sebenarnya bisa diprediksikan muncul setelah abad ke 3 hijriah, bersamaan
dengan munculnya kelompok-kelompok sempalan dalam Islam).
Tapi yang jelas, ilmu laduni dinisbatkan pertama
kalinya kepada Nabi Khidhhir as. Karena memang teks ayat diatas berkenan dengan
cerita Nabi Khidhir as.[1]
Ilmu
laduni-nya Nabi Khidhir menurut surat Al Kahfi – difokuskan pada satu masalah
saja, yaitu pengetahuan tentang masa depan, walau secara rinci digambarkan
dalam tiga peristiwa, yaitu merusak kapal yang sedang
berlabuh di pinggir pantai, membunuh anak kecil yang ditemukan di tengah jalan, dan memperbaiki dinding yang mau
roboh.
Kalau
kita padukan antara ilmu laduni dengan ketiga
peritiswa di atas, akan kita dapati benang merah yang
menghubungkan antara keduanya, yang konklusinya
sebagai berikut : Ilmu laduni adalah ilmu yang
bersumber dari Allah swt (dan
Allah sajalah Yang memegang
kunci-kunci alam ghoib ), sedang inti dari ilmu laduni yang
dimiliki Nabi Khidhir as adalah pengetahuan tentang masa depan yang nota benenya adalah ilmu ghoib , berarti ilmu laduni yang diajarkan kepada nabi Khidhir adalah ilmu ghoib.
Oleh
karenanya, kalau kita katakan bahwa Khidhir as adalah
seorang Nabi, maka Allah
telah mengajarkan kepada Nabi Khidhir sebagian ilmu ghoib, dan
ini tentunya sesuatu yang wajar-wajar saja, karena salah satu ciri khas wahyu
adalah pengetahuan tentang sebagian ilmu ghoib. Dan
hal ini hanya dimiliki oleh para nabi dan utusan Allah atau orang-orang yang
dikehendaki Allah swt, sebagaimana yang termaktub di dalam
firman-Nya :
(26).عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ
أَحَدًا
إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
Artinya:
“ Dia-lah Allah ) Yang mengetahui ghoib dan Dia tidak memperlihatkan tentang yang ghoib tersebut kepada siapapun juga. Kecuali kepada para Rosul yang diridhoi-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga ( Malaikat ) di muka dan di belakangnya “ ( QS. Jin : 26-27)
“ Dia-lah Allah ) Yang mengetahui ghoib dan Dia tidak memperlihatkan tentang yang ghoib tersebut kepada siapapun juga. Kecuali kepada para Rosul yang diridhoi-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga ( Malaikat ) di muka dan di belakangnya “ ( QS. Jin : 26-27)
Secara
dzahir mengenai keilmuan yang mengacu pada kata ta’lim atau pengajaran.
Kecuali pengajaran pertama yang diterima Nabi Adam di Surga. Memang ilmu
tersebut dikategorikan “daf’atan wahidah” terjadi sekali saja dan pada
waktu tertentu terjadi atas kekuasaan Allah. Hal itu sebagaimana yang tertuang
dalam beberapa ayat di Al Qur’an, diantaranya; Surat Al Baqarah: 151, Surat Ali
Imran: 48, dan Surat An Nisa: 113.
وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ
مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ....
Artinya:
…… dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al Baqarah: 151).
وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ
وَالْإِنْجِيلَ
Artinya:
Dan Allah akan
mengajarkan kepadanya Al Kitab , Hikmah, Taurat dan Injil. (QS. Ali Imran: 48).
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ
اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا….
Artinya:
……. dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan
adalah karunia Allah sangat besar atasmu.
Berdasarkan kesimpulan atas beberapa kajian tafsir
tersebut, persoalan ilmu laduni umumnya dikaitkan dengan ilmu gaib yang datang
secara langsung dari Allah tanpa melalui proses belajar mengajar (ilhamiyah). Kenyataan ini akan lebih transparan manakala
dihubungkan dengan laku-laku tertentu dalam proses untuk memperoleh ilmu
laduni.
B.
Perspektif
Ilmu Laduni dalam Pendidikan Islam
Berdasarkan kajian yang telah disampaikan pada bab
sebelumnya, apabila disimak secara mendalam bahwa ilmu laduni sangat berkaitan
dengan aktivitas proses pendidikan. Sebab apabila ditelaah lebih lanjut bahwa pendidikan
telah menjadi aktivitas rutin manusia, apakah itu disengaja atau tidak
disengaja. Pendidikan telah dilakukan seumur hidup manusia.
Dalam pandangan psikologi, pendidikan selalu berkenaan
dengan perubahan-perubahan pada diri orang yang melakukan aktivitas pendidikan.
Hal lain yang juga selalu terkait dalam proses pendidikan adalah mendapatkan
berbagai pengalaman, pengalaman yang berbentuk interaksi dengan orang lain atau
lingkungannya.
Dalam konteks pendidikan, seseorang akan memperoleh ilmu
pengetahuan dari proses pembelajaran yang telah dilakukannya. Semua itu
dilakukan dengan cara menelaah, memahami dan selanjutnya diimplementasikan atau
dilaksanakan dalam kehidupannya atas ilmu yang ia ketahui. Secara
normatif, proses pengajaran selalu terkait dengan perubahan tingkah laku
manusia, meskipun secara teologis juga dimungkinkan berlakunya nuansa spiritual
yang mengiringi perjalanan perubahan tersebut.
Pada ranah pendidikan terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi
perhatian, yaitu pada ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomorik.
Perjalanan ranah kognitif melahirkan perilaku yang meliputi pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis dan evaluasi. Ranah afektif mencakup kepekaan
terhadap hal tertentu. Hal ini berangkat dari pemahaman seseorang atas
pengetahuan yang dimilikinya. Sementara psikomotorik menyangkut aktivitas atas
pengetahuan yang dimilikinya. Apabila di telaah lebih lanjut, pendidikan yang
dilakukan oleh seseorang meliputi tiga fase, yaitu; pertama fase eksplorasi,
kedua fase pengenalan konsep, dan ketiga fase aplikasi konsep. Pada fase
pertama, seseorang mempelajari gejala dengan bimbngan. Kemudian di fase kedua,
mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala, pada fase yang ketiga
seseorang bisa menggunakan atau mengaplikasikan konsep yang dipelajarinya.
Pandangan atas pelaksanaan pendidikan yang demikian
tersebut, identik dengan ilmu laduni yang diberikan Allah kepada Nabi Nuh as
ketika membuat perahu di atas permukaan gunung. Allah berfirman yang artinya: Dan
buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah
kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya
mereka itu akan ditenggelamkan. Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap
kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah
Nuh: "Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek
. (QS. Hud: 37-38)
Ayat tersebut bila dikaitkan dengan teori pendidikan di
atas dapat dijelaskan bahwa Nabi Nuh as telah mengalami proses belajar tentang
fenomena perahu melalui bimbingan Allah SWT berupa wahyu atau ilham. Proses pendidikan
yang berlangsung itu menyangkut bagaimana cara membuat perahu. Setelah itu baru
ada gambaran dan pengenalan konsep tentang bentuk fisik sebuah perahu (bahtera)
itu, yang pada akhirnya Nabi Nuh as beserta para pengikutnya membuat dan
menggunakan bahtera tersebut sebagai sarana transportasi menuju kedamaian dan keselamatan.
Berdasar pada kajian sebelumnya, bila di telaah pada
konteks ini, ilmu laduni memiliki kesamaan proses dengan proses pendidikan. Kesamaan
prose situ dapat dilihat dengan fungsi pendidikan itu sendiri yaitu memelihara
dan mengembangkan fitrah dan sumberdaya manusia menuju terbentuknya manusia
yang paripurna/ insan kamil dengan kata lain yakni manusia berkualitas
sesuai dengan pandangan Islam. Dalam mengembangkan dan memberdayakan potensi
manusia (insan), fungsi pendidikan pada hakekatnya mempunyai tiga peran
yang prosesnya berjalan secara stimultan yaitu sebagai proses belajar, proses
ekonomi dan proses sosial buadaya.[2] Pendidikan
sebagai proses belajar, harus mampu menghasilkan individu dan masyarakat
religius secara personal memiliki integritas dan kecerdasan. Sementara
pendidikan sebagai proses ekonomi merupakan suatu investasi, oleh karena itu
pada tingkat tertentu pendidikan harus memberikan keuntungan bagi segi sumber
daya manusia. Dan pendidikan sebagai proses sosial budaya, pendidikan merupakan
suatu bagian integral dari proses sosial budaya yang berlangsung terus menerus
dan berkesinambungan. Dengan demikian fungsi pendidikan Islam diharapkan mampu
menghasilkan manusia religius, memiliki integritas, kecerdasan, dan memberikan
keuntungan bagi sumber daya manusia.
Ilmu laduni dalam perspektif pendidikan diasumsikan
sebagai pertama dipahami sebagai realitas mitologi dalam bingkai
pemahaman klasik. Artinya kepercayaan dan kebenaran terhadap eksistensi laduni
tidak didasarkan pada struktur dan metodologi keilmuan. Kedua ilmu
laduni diasumsikan dengan kesucian diri seseorang, ini biasanya dikaitkan
dengan laku-laku tertentu yang puncaknya melahirkan tingkah laku irrasional. Ketiga
laduni dianggap sebuah proses belajar yang metafisis dan trasendental.
Maksudnya secara intuitif semua jenis ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui
belajar dibarengi dengan bimbingan ilahi. Keempat ilmu laduni dapat
diperoleh setiap orang yang disertai dengan mensucikan diri dari perbuatan
tercela[3].
Dalam prosesnya, untuk memperoleh ilmu laduni seseorang
perlu melakukan ritual atau lelaku yang menjadi kenyakinan dalam setiap hati
seseorang. Kenyakinan dalam hati ini menjadi modal utama seseorang untuk
mencapai ilmu laduni atau dalam pandangan kalangan ahli makrifat di sebut makrifat.
Menurut Al Ghozali, pengertian hati dapat di lihat dari dua makna; pertama
hati adalah sepotong “daging” berbentuk buah sanubari yang terletak di
bagian kiri dada, yang didalamnya berisi darah hitam. Makna kedua, hati
adalah sebuah lathifah (sesuatu yang sangat halus dan lembut, tidak
kasat mata, tidak berupa, dan tidak dapat di raba), yang bersifat rabbani
ruhani. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau
hakekatnya.[4]
Komponen tersebut, menjadi bagian utama manusia yang
berpotensi menyerap (memiliki daya tanggap dan persepsi), yang mengetahui dan
mengenal. Hati yang seperti itu lebih dikenal dengan istilah qalb.[5]
Penyebutan kata “hati” begitu saja akan mengurangi makna dari kandungan lathifah
yang dimaksudkan. Hati juga berfungsi sebagai wadah bagi iman/kenyakinan
yang tumbuh didalamnya. Yang terpenting bahwa hati adalah pelantara yang menyebabkan
pemahaman terhadap sesuatu yang dinyakini. Untuk itu, hati merupakan pusat
pandangan, pemahaman, dan fokus ingatan kepada Allah.
Cahaya
hati (qalb) akan bersinar apabila Allah memberikan belas kasih, dengan
menurunkan pengetahuan. Ini bisa di peroleh dengan mensucikan qalb.
Pensucian qalb dilakukan dengan bermujahadah kepada Allah dengan
melepaskan selubung pikiran yang mampu menghalangi “pandangan” kepada Allah.
Itu dilakukan dengan mengendalikan kecenderungan hawa nafsu dan syahwat secara
proporsional.[6]
Yang
demikian itu juga sepadan dengan pandangan Imam Al Ghazali bahwa ilmu laduni
adalah rahasia-rahasia cahaya ilham yang trjadi setelah penyucian jiwa.
Cirinya, ia dapat meraih pengetahuan yang banyak meskipun belajarnya hanya
sebentar, lelahnya sedikit, senangnya lama. Hal ini didasarkan pada firman
Allah dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah Ayat 269, yang artinya: “Allah memberi
hikmah kepada orang yang Dia kehendaki, dan barang siapa yang diberi hikmah,
sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak dan tidaklah berdzikir kecuali
orang-orang yang memiliki pikiran.
Ilmu
laduni yang demikian itu merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang yang
saleh dari Allah melalui ilham dan tanpa dipelajari lebih dahulu melalui suatu
tahapan pendidikan tertentu. Karena itu pula, ilmu laduni adalah bukan hasil
dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya tergantung atas kehendak dan
karunia Allah. Ilmu laduni adalah Indra keenam yang diwujudkan melalui
perjalanan intuisi[7].
Pengetahuan intuisi sejenis pengetahuan yang dikaruniakan Allah kepada
seseorang yang dipatrikan kepada kalbunya, sehingga tersikap sebagian rahasia
dan tampak olehnya sebagai realitas. Laduni dalam proses pendidikan identik
dengan intuitive learning. Proses pendidikan yang dilakukan berdasarkan
intuisi adalah belajar dengan tepat, cepat, dan mudah, kesulitannya sedikit
sedang hasilnya sangat banyak dan mampu menyelesaikan berbagai problem[8].
Sementara
itu dalam pendidikan setiap orang diwajibkan untuk melakukan proses atau dengan
kata lain adalah melakukan usaha. Usaha yang dilakukan secara “konvensional”
(proses belajar pada umumnya). Pada usaha yang demikian, sama halnya seseorang
melakukan riadhoh untuk memperoleh ilmu laduni. Sebab untuk mencapai
pada tingkat makrifat --dalam ajaran tasawuf guna memperoleh ilmu laduni-- ada
tahap yang harus dilakukan. Secara konvensional, ajaran tasawuf telah dibakukan
dalam jenjang-jenjang spiritual berupa maqamat, sebagai fase-fase menuju
kesempurnaan spiritual yang harus dilalui dengan tahapan takhalli, tahalli, dan
tajalli. Untuk itu dalam pandangan tasawuf, ilmu laduni dianggap ilmu
yang paling tinggi dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu laduni merupakan
ilmu yang dikaruniakan Allah kepada seseorang secara tiba-tiba tanpa diketahui
bagaimana proses awalnya, sehingga orang yang menerimanya dapat langsung
menerima ilmu tersebut tanpa belajar. Alasan yang sering diungkapkan atas
keunggulan ilmu ini adalah perolehannya melalui intuisi, kontemplasi atau
ilham.
Dalam
pandangan para ahli sufi, qalb diumpamakan sebagai cermin, ia bisa
menangkap gambar didepannya dengan sempurna apabila ia terbebas dari hijab.
Ini yang kemudian perlu diupayakan melalui mujahadah atau riyadlah.[9]
Meskipun pengetahuan intuitif dikatakan tidak menggunakan rasio, tetapi pada
hakekatnya antara keduanya mempunyai hubungan interaktif. Oleh karenanya
pengetahuan intuitif sama dengan pengetahuan imajinatif.
Perbedaan
antara ilmu laduni dengan pendidikan pada umumnya hanya dalam metodologi dan
sistematikanya, sebab bagaimanapun keduanya ikut membentuk bangunan
pengetahuan. Pengetahuan intuitif dapat membuka pemahaman tanpa ada suatu
metodik yang terarah, dan sistematikanya yang tidak runtut sebagaimana lazimnya
dalam pengetahuan rasional. Sedangkan akal dalam menangkap pengetahuan melalui
pemahaman yang sistematis dan metodis.
[1] http://www.indogamers.com/f176/islam_ilmu_laduni-160272/
[2]
Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003, Hal. 133
[3]
Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta,Ibid, Hal. 32
[4] Al
Ghazali, Keajaiban-Keajaiban Hati, Bandung: Karisma, 2000, Hal. 26
[5]
Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, Jakarta: Patrap Thursina Sejati,
2006, Hal. 63
[6]
Muhtar Sholikhin dan Rosihon Anwar, Hakekat Manusia; Mengenali Potensi
Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, Ibid, Hal. 70
[7]
Intuisi adalah bisikan kalbu atau kesanggupan dalam mencapai pengetahuan dengan
pemahaman secara langsung tanpa melalui proses berfikir
[8] Khomisun,
Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta,Ibid, Hal. 32
[9]
Syukur, Amin dan Masharudin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme
Tasawuf Al Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar