TANTANGAN
PENDIDIKAN
ISLAM DI INDONESIA MASA KEKINIAN
(Studi
UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional)
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara1.
Pendidikan merupakan sebuah
proses dan sekaligus sistem yang membawa pada pencapaian tujuan tertentu, yang
dinilai dan dinyakini sebagai yang paling ideal2,
adapun tujuan tersebut yang hendak di capai melalui proses dari sistem
pendidikan ini adalah untuk berkembangnya potensi, agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab3.
Dalam sejarah pendidikan di
Indonesia maupun dalam studi kependidikan, sebutan pendidikan Islam semuanya
dipahami hanya sebatas “ciri khas” jenis pendidikan yang berlatar keagamaan4.
Secara termenologi menurut
ahli sejarah mengajukan rumusan konsep pendidikan Islam, diantaranya disebutkan
bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih perasaan murid-murid
dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pendidikan mereka terhadap segala jenis
pengetahuan mereka yang hal itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual
dan sadar akan nilai etis Islam5.
Pada saat ini pendidikan
nasional termasuk pendidikan Islam masih dihadapkan pada beberapa permasalahan
yang menonjol diantaranya pertama masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan, kedua masih rendahnya kualitas pendidikan, ketiga
masih lemahnya manajemen pendidikan. Disamping permasalahan tersebut juga
dunia pendidikan Indonesia menghadapi tiga tantangan besar, pertama akibat
krisis ekonomi, kedua tantangan era globalisasi, ketiga diberlakukannya otonomi daerah6.
Permasalahan dan tantangan
tersebut semakin jelas jika dilihat dari sudut pandang UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya bab 4 pasal 5 yang terdiri dari
lima ayat yang antara lain menyatakan bahwa setiap warga negara dimana pun
berada dan apa pun kondisinya mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan7.
Pada masalah ini penulis
akan menguraikan masalah dan tantangan pendidikan Islam di Indonesia masa
kontemporer ditinjau dari UU No. 20 tahun 2003.
B. Telaah Pustaka
Dari beberapa uraian tersebut diatas pendidikan Islam
dihadapkan pada beberapa tantangan dan permasalahan yang cukup signifikan
apalagi jika kita melihat fenomena yang berkembang di masyarakat dewasa ini,
dan berbagai aspek kelihatannya sangat kontras dengan idealisme atau cita-cita
bangsa Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
saat ini8.
Menurut Darmaningtyas bahwa Pro kontra terus bergulir silih
berganti menjelang disahkannya Undang-undang tersebut, hal ini mengindikasikan
masyarakat sangat antusias dan sangat peduli dengan perkembangan pendidikan di
tanah air. Pro kontra menjadi wacana, namun setelah disahkannya Undang-undang
tersebut paling tidak bisa menjadi rujukan bersama tentang arah pendidikan di
Indonesia9.
Meskipun demikian, Menurut Hujair AH. Sanaky ketika Rancangan
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tersebut telah disahkan menjadi ketetapan hukum
sebagai Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional untuk mengantikan
Undang-undang Nomor 2 tahun 1989, dalam prosesnya pun masih mengalami berbagai
permasalahan dan tantangan, terkait dengan hal tersebut salah satunya adalah
pendidikan Islam yang didalamnya tidak lepas dari Sistem Pendidikan Nasional.
Dari berbagai fenomena tentang pendidikan Islam masalah manajeman, kualitas,
sumber daya, tujuan, dikotomik merupakan masalah mendasar10.
Namun demikian, Menurut Azyumardi Azra usaha pembaharuan dan
peningkatan pendidikan Islam terus berjalan tetapi hal ini sering dilakukan
sepotong-sepotong, tidak komperhensif serta sebagian besar sistem dan lembaga
pendidikan Islam belum dikelola secara profesional11. selain itu juga Muslih berpendapat
bahwa usaha pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat oleh
berbagai masalah, mulai dari persoalan dana sampai pada tenaga ahli, sehingga
dewasa ini pendidikan Islam terlihat orientasinya yang semakin kurang jelas12. Dengan kenyataan tersebut Azyumardi
Azra menegaskan hendaknya sistem pendidikan Islam (khususnya sebagai bagian
dari Sistem Pendidikan Nasional guna dapat mengantisipasi tantangan yang
dimunculkan) senantiasa mengorientasikan diri untuk menjawab kebutuhan dan
tantangan yang muncul dalam masyarakat bangsa Indonesia sebagai konsekwensi
logis dari perubahan13,
karena pendidikan Islam Menurut Ishomuddin merupakan sistem pendidikan yang
hendaknya mampu memadukan 3 aspek fitrah manusia, yakni pertama aspek
ragawi (jismiyah), kedua aspek akal (aqliyah) dan ketiga
aspek spiritual (ruhiyyah)14.
C. Pembahasan
Terkait dalam suasana semangat reformasi ini, dan dengan
disahkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
agar tujuan dan harapan atas pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional bisa
berjalan dengan sukses maka pendidikan Islam hendaknya mampu mengaksentuasikan
dirinya sebagai “penjaga gawang” yang handal dalam menghadang
“serangan-serangan” musuh yang mebahayakan baik secara fisik maupun fisikis
terutama bagi generasi penerus.
Untuk mengukur seberapa jauh permasalahan dan tantangan
pendidikan Islam, terlebih dahulu perlu mengetahui apa yang menjadi tujuan
pendidikan Islam itu sendiri, dan seberapa jauh sinkronisasi antara
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
dengan aplikasinya di lapangan. Bila dilihat pada Bab II pasal 3, agar
diperoleh manusia-manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, tentunya peranan dan aktualisasi pendidikan Islam
harus lebih reflektif dan progresif yang artinya bahwa pendidikan Islam
hendaknya mampu memberikan corak yang Islami atas arus kebudayaan yang
berkembang dan pendidikan Islam mampu memperbaharui serta mengembangkan
kebudayaan agar dicapai kemajuan15, yang
diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih positif, baik bagi dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, yang pada akhirnya
mampu mengangkat harkat dan derajat bangsa Indonesia dimata dunia
internasional.
Setelah ditemukan beberapa indikator permasalahan dan
tantangan kemudian dicari pemecahannya. Untuk lebih jelasnya penulis mencoba
mengurai benang merah dari beberapa aspek yang saling terkait satu sama lain.
1.
Tujuan pendidikan Islam
Pada hakekatnya pendidikan Islam berhubungan erat dengan
agama Islam itu sendiri, lengkap dengan aqidah, syari’at dan sistem
kehidupannya. Keduanya ibarat dua kendaraan yang berjalan diatas dua jalur yang
seimbang baik dari segi tujuan maupun rambu-rambunya yang di syari’atkan bagi
hamba Allah yang membekali diri dengan takwa, ilmu, hidayah serta akhlak untuk
menempuh perjalanan hidup16.
Agama Islam menyeru manusia agar beriman dan bertakwa. Adapun
pendidikan agama Islam berusaha menanamkan ketakwaan itu, serta
mengembangkannya sejalan dengan pengembangan ilmu, karena agama Islam sangat
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan serta menyeru manusia agar banyak
berfikir tentang kekuasaan Allah. Selain itu agama Islam juga menekankan amal
saleh serta berakhlakkul karimah.
Dari paparan tersebut jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam
sejalan dengan tujuan agama Islam, yakni berusaha mendidik individu Mukmin agar
tunduk, bertakwa dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga mendapatkan
ridho-Nya dan memperoleh kebahagian dunia akhirat. Dari tujuan yang telah
diuraikan di atas dapat digali tujuan-tujuan yang lebih khusus antara lain
sebagai berikut:
a.
Mendidik individu yang saleh dengan memperhatikan
segenap dimensi perkembangannya, yakni rokhaniah, emosional, sosial,
intelektuan dan fisik.
b.
Mendidika angota kelompok sosial yang saleh, baik dalam
keluarga maupun masyarakat Muslim.
c.
Mendidik manusia yang saleh bagi masyarakat insani yang
besar17.
Jadi dengan demikian pendidikan Islam telah ikut andil dalam
mewujudkan tujuan-tujuan khusus agama Islam yaitu menciptakan kebaikan umum
bagi individu, keluarga, masyarakat dan seluruh umat manusia.
Dari uraian tersebut, mengandung pengertian bahwa dalam
mendidik individu maupun kelompok, pendidikan Islam berupaya agar ia atau
mereka mampu menjalin komunikasi yang seimbang antara komunikasi vertikal
dengan sang khaliq dan komunikasi horisontal dengan sesama mahluk sehingga akan
terwujud suatu kehidupan yang selaras dan seimbang antara kepentingan jasmani
dan rokhani, antara kepentingan individu maupun kelompok serta seimbangnya
ekosistem lingkungan hidup.
Jika diamati dalam kenyataannya sering dijumpai bahwa
keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan yang menjadi tujuan pendidikan
Islam sangat kontras dengan apa yang kadang-kadang terjadi dalam kehidupan
dimasyarakat, mereka cenderung arogan berfikir kepentingan sesaat, terjadi
konflik dan secara perlahan-lahan keseimbangan ekosistem lingkungan terjadi
pergeseran. Jika ini tidak cepat diatasi pada akhirnya akan terjadi krisis
akhlak yang dapat merusak tatanan kehidupan.
Kondisi tersebut kurang sejalan dengan Bab III pasal 4 ayat 1
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Disamping itu juga kurang
sejalan dengan bab II pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk
berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiridan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab18.
2.
permasalahan dan tantangan pendidikan Islam
Pada uraian sebelumnya telah sedikit disinggung tentang
permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini, antara
lain masih rendahnya pemerataan pendidikan, masih rendahnya kualitas pendidikan
dan masih lemahnya manajemen pendidikan.
Ketimpangan pemerataan pendidikan sangat dirasakan terjadi
antar wilayah geografis yaitu antara perkotaan dan pedesaan atau daerah
terpencil, antara kawasan Indonesia Timur dan kawasan Indonesia Barat, antara
tingkat pendapatan penduduk yang berpenghasilan tinggi dan berpenghasilan rendah, terutama sekali
diakibatkan oleh relatif masih mahalnya biaya pendidikan sementara kemampuan
ekonomi penduduk sebagian besar masih memperhatinkan sehingga kemampuan mereka
guna mengenyam pendidikan tidak sama dengan penduduk lainnya yang tingkat
ekonominya relatif tinggi sebagai akibat masih mahalnya biaya pendidikan,
bahkan antar jender pendidikan kita belum merata, ini lebih diakibatkan oleh
kultur masyarakat yang sebagian mengutamakan laki-laki diberi kesempatan yang
lebih luas dalam memperoleh pendidikan. Dengan demikian hak-hak warga negara
untuk memperoleh pendidikan belum merata, kondisi ini berarti belum sejalan
dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV pasal 5 dinyatakan bahwa
pertama setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu; kedua warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus; ketiga warga negara didaerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan lanyanan khusus; keempat
warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus; kelima setiap warga negara berhak mendapat
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Permasalahan pendidikan berikutnya adalah masih rendahnya
kualitas pendidikan. Hal ini tercermin antara lain dari hasil studi kemampuan
membaca untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) yang dilakukan oleh organisasi International
Educational Achievement (IEA) yang menunjukkan bahwa siswa Sekolah Dasar
(SD) di Indonesia berada pada urutan ke 38 dari 39 negara peserta studi.
Sementara untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) studi untuk kemampuan
matematika siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke 39 dari 42
negara, dan untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada
urutan ke 40 dari 42 negara peserta studi19.
Hal ini belum sepenuhnya sejalan dengan fungsi tujuan pendidikan yang tertuang
dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 yang menyakan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Sebelum diterapkannya otonomi daerah manajemen pendidikan
nasional secara keseluruhan masih bersifat sentralistis, termasuk pendidikan
agama di lembaga pendidikan formal tak terkecuali pendidikan Islam sehingga
kurang mendorong terjadinya demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan. Manajemen yang sentralistis tersebut telah menyebabkan kebijakan
yang seragam yang tidak dapat mengakomodir keragaman, kepentingan daerah,
sekolah dan peserta didik serta dapat “memasung” partisipasi masyarakat dalam
proses pendidikan, mendorong terjadinya pemborosan dan “kebocoran” alokasi
anggaran pendidikan20.
Setelah diterapkannya otonomi daerah melalui Undang-undang
nomor 22 dan 25 tahun 1999 serta PP nomor 25 tahun 2000 yang memberikan wewenang
dan hak yang seluas-luasnya bagi pemerintah kabupaten/ kota untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan pengembangan masyarakatnya dalam seluruh
aspek kehidupan, kecuali Hankam, kebijakan ekonomi, hukum, agama dan politik
luar negeri21. Dengan demikian secara
kelembagaan pendidikan Islam perlu melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem
pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi dan manajeman
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-undang No. 20 tahun 2003 pada
bagian umum point 5 yang menyatakan bahwa memberdayakan peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks
negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dilakukan karena pendidikan Islam
telah menjadi bagian dari sistem pendidikan Nasional22.
Namun dalam aplikasinya, secara struktural pendidikan Islam
tetap pada model gaya lama (sentralistik), ini terjadi karena pendidikan Islam
selama ini berada di bawah “payung” Departemen Agama. Padahal untuk persoalan
agama merupakan salah satu pengecualian dalam otonomi daerah23,
namun demikian prinsip pendidikan telah menjadi agenda dari proses
desentralisasi yang dijelaskan dalam Undan-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah pada pasal 11 ayat 2 menegaskan bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan
umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian perhubungan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertahanan, koperasi dan tenaga kerja.
Oleh karena landasan juridis tersebut pendidikan Islam tetap
sebagaimana seperti model gaya lama. Padahal bila dikaji persoalan pendidikan
merupakan persoalan tentang kebutuhan manusia itu sendiri24, dengan demikian manusialah yang
mengetahui dengan pasti tentang kebutuhan dari pendidikan yang diinginkan guna
masa depannya. Apabila sistem pendidikan Islam tetap sentralistik maka
eksistensi lembaga pendidikan Islam kurang berkembang dan kurang maksimal dalam
proses kemandiriannya25,
karena pendidikan Islam masih di “setir” oleh pusat.
Disamping pendidikan Islam menghadapi permasalahan seperti
yang telah dipaparkan di atas juga menghadapi beberapa tantangan diantaranya
sebagai akibat krisis ekonomi, menghadapi era globalisasi dan menghadapi
berlakunya otonomi daerah.
Tantangan yang diakibatkan oleh krisis ekonomi, dunia
pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan bidang
pendidikan yang telah dicapai serta memberdayakan potensi masyarakat dalam
menopang eksistensi pendidikan, disamping dukungan pemerintah perlu lebih
ditingkatkan.
Untuk menghadapi era globalisasi pendidikan Islam dituntut
untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang handal agar mampu bersaing dalam
menghadapi era globalisasi. Tantangan global pada hakekatnya tantangan
memerangi kebudayaan Islam yang kadang-kadang tampak dalam kedok politik,
pendudukan Militer dan yang lebih dasyat lagi kelihatannya perlahan tapi pasti
yaitu melalui perang kebudaayaan baik melalui interaksi sosial secara langsung
maupun melalui media masa.
Pada era globalisasi ini makin nampak bahwa kebudayaan Islam
berhadapan dengan kebudayaaan Barat. Tantangan ini apabila tidak direspon oleh
para pemikir Muslim yang ikhlas dapat meningkat menjadi ancaman bagi kebudayaan
Islam, mengingat kebudayaan Barat didukung dengan buku-buku, radio, bioskop,
televisi, internet, dan surat kabar yang tersebar kenegeri Muslim26. pendidikan Islam memiliki tugas untuk
melindungi generasi muda agar tidak diracuni oleh kebudayaan Barat, melalui
usaha terpadu para pembela kebudayaan Islam dengan berbagai spesialisasinya,
bahkan semua komponen umat Islam baik secara individu, kelompok, bangsa, negara
dan pemerintah saling bahu membahu untuk menghadapi tantangan tersebut.
Adapun untuk mengantisipasi diberlakukannya otonomi daerah,
perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan Islam sehingga
dapat mewujudkan proses pendidikan Islam yang lebih demokratis memperhatikan
keberagaman kebutuhan, keadaan daerah dan peserta didik serta mendorong
partisipasi aktif masyarakat.
D. Kesimpulan
Pada bagian ini penulis akan memberikan kesimpulan yang
berdasarkan pada dari uraian tersebut di atas diantaranya adalah:
1. saat ini bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada permasalahan pendidikan yakni pertama masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, kedua masih rendahnya kualitas pendidikan, ketiga masih lemahnya manajemen pendidikan. Disamping permasalahan tersebut bangsa Indonesia juga menghadapi tiga tantangan besar diantaranya, pertama akibat krisis ekonomi, kedua tantangan era globalisasi, ketiga diberlakukannya otonomi daerah.2. Terkait dengan disahkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional agar tujuan dan harapan dari Sistem Pendidikan Nasional berjalan sukses maka pendidikan Islam hendaknya mampu mengaksentuasikan dirinya sebagai “penjaga gawang” yang handal dalam menghadang “serangan-serangan” musuh yang mebahayakan baik secara fisik maupun pisikis terutama bagi generasi penerus, hal tersebut pantas dilakukan karena pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang hendaknya mampu memadukan 3 aspek fitrah manusia, yakni pertama aspek ragawi (jismiyah), kedua aspek akal (aqliyah) dan ketiga aspek spiritual (ruhiyyah). Untuk itu peranan dan aktualisasi pendidikan Islam harus lebih reflektif dan progresif.3. Dengan diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN, di bidang pendidikan yang salah satunya bahwa prinsip pendidikan dilakukan dengan cara desentralisasi hendaknya dilakukan secara penuh dan menyeluruh baik jalur, jenis, jenjang pendidikan yang ada (termasuk juga didalamnya adalah pendidikan Islam yang masih menggunakan sistem sentralistik terutama jalur pendidikan Islam Negeri yang berada di bawah naungan Depag).
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam,
Jakarta: LP3NI, 1998.
Abdul Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan
Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Abdul Halim Soebahar, Rekontruksi Pendidikan Islam
Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, Jember: Jurnal Al ‘Adalah Vol. 3
Desember, 2000.
Abdul Halim Soebahar, Reorientasi Pendidikan Islam
di Era Globalisasi, Jember: Materi
diskusi di STAIN Juni, 2000.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan
Modernisasi Menuju Melinium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional;
Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas 2002.
Darmaningtyas, et, al, Membongkar Ideologi
Pendidikan; Jelajah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta:
Resolusi Press, 2004.
Fuat anshori, Islam Kaffah Tantangan Sosial dan
Aplikasinya di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
H.A. R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu
Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, Magelang: Indonesia Tera, 2003.
Hery Noer Aly dan munzier S, Watak Pendidikan Islam,
Jakarta: Frika Agung Insani, 2000.
Hujair AH Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam;
Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi
Visi dan Aksi, Malang: UMM Press,
1996.
Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia
Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991.
Poulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan,
Kekuasaan, dan Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif
Fudiartanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-undang RI No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) tahun 2000 - 2004.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah.
1 Baca Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang SPN, Bab I pasal 1 point 1, (Jakarta, BP Darma Bakti, 2003), hal 3.
2 A. Malik Fadjar, Visi Pembaharuan
Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI,
1998), 30.
3 UU RI No. 20 Ibid, hal, 6.
4 A. Malik Fadjar, Ibid, hal. 3.
5 Baca Abdul Halim Soebahar, Wawasan
Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 12.
6 UU RI No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
tahun 2000-2004, (Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2001), 223-224.
7 UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN Bab 4,
pasal 5,Ibid, 6.
8 Baca UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN
BAB II Pasal 3 dinyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
9 Baca Darmaningtyas, et, al, Membongkar
Ideologi Pendidikan; Jelajah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta:
Resolusi Press, 2004). Dalam keseluruhan buku tersebut memuat tentang berbagai
pendapat, gagasan, kritik, analisis, saran atas isi Rancangan Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional sebelum disyahkan secara resmi.
10 Baca Hujair AH Sanaky, Paradigma
Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, ( Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2003), 9.
11 Baca Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 57.
12 Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam
di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), 11.
13 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam
Tradisi dan Modernisasi Menuju Melinium Baru, Ibid, 57.
14 Ishomuddin, Spektrum Pendidikan
Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 42.
15 Baca Abdul Halim Soebahar, Reorientasi
Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jember: Materi diskusi di STAIN Juni, 2000),
15.
16 Hery Noer Aly dan munzier S, Watak
Pendidikan Islam, (Jakarta: Frika Agung Insani, 2000), 138
17 Hery Noer Aly dan munzier S, Watak
Pendidikan Islam, Ibid, 143-144.
18 UU No. 20 Tahun 2003, Ibid, 6-7
19 UU No. 25 Tahun 2000, Ibid, 224.
20 Baca H.A. R. Tilaar, Kekuasaan dan
Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang:
Indonesia Tera, 2003), 278.
21 Abdul Halim Soebahar, Rekontruksi
Pendidikan Islam Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, (Jember: Jurnal Al
‘Adalah Vol. 3 Desember, 2000), 60.
22 Baca UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 2..
23 Baca UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah Bab IV pasal 7 ayat 1.
24 Baca Poulo Freire, Politik
Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Terj. Agung Prihantoro
dan Fuad Arif Fudiartanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), ix.
25 Baca Azyumardi Azra, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Kompas
2002), xv – xvii.
26 Hery Noer Aly dan Munzier .S, Ibid,
227, Bandingkan dengan Fuat anshori, Islam Kaffah Tantangan Sosial dan
Aplikasinya di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar