Eksistensi Masa Depan Madrasah
A.
Pendahuluan
Tugas yang diemban madrasah di era kesejagatan ini semakin
berat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis nilai-nilai keagamaan, madrasah
tidak hanya dituntut untuk melakukan transfer of knowledge, tetapi juga transfer
of Islamic values. Padahal, lembaga madrasah sendiri saat ini masih
bergelut dengan sekian permasalahan yang tidak kunjung selesai (intellectual
deadlock).
Sekurang-kurangnya
ada empat persoalan penting yang dihadapi madrasah saat ini. Pertama, orientasi
madrasah pada prakteknya cenderung mengutamakan pembentukan ‘abd daripada
keseimbangan antara ‘abd dan khalīfatullāh fi al-ardl Kedua, sebagian
besar madrasah kurang peka terhadap ilmu-ilmu modern, bahkan ada yang apatis
sama sekali. Ketiga, model pembelajaran madrasah masih bersifat banking
education (pendidikan gaya bank), di mana pendidik mendepositokan
berbagai macam pengetahuan kepada peserta didik. Keempat, minimnya upaya
pembaharuan, dan kalaupun toh ada masih kalah cepat dengan perubahan
sosial, politik, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karenanya,
perubahan di tubuh madrasah merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa
ditunda-tunda. Apalagi madrasah saat ini tidak hanya bersaing dengan
lembaga-lembaga pendidikan umum, tetapi juga harus berkompetisi dengan
lembaga-lembaga pendidikan manca negara yang membuka cabangnya di Indonesia.
Realitas itu harus direspons dengan serius, terutama oleh pemikir dan praktisi
pendidikan madrasah sendiri. Jika tidak, madrasah tidak saja akan semakin ditinggalkan
“nasabahnya”, tetapi lambat laun ia akan gulung tikar dan segera memfosil.
B.
Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah
Kata
“madrasah” merupakan isim makan dari kata “darasa” yang berarti
tempat duduk untuk belajar. Istilah madrasah sekarang ini telah menyatu dengan
istilah sekolah atau perguruan (terutama perguruan Islam). Madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam mulai didirikan dan berkembang di dunia Islam sekitar
abad ke-5 H atau abad ke-10 hingga ke-11 M ketika penduduk Naisabur mendirikan
lembaga pendidikan Islam model madrasah tersebut untuk pertama kalinya. Tetapi,
tersiarnya madrasah justru melalui Menteri dari Kerajaan Bani Saljuk, Nizham
al-Mulk, yang mendirikan madrasah Nizhamiyah pada 1065 M (Hasbullah, 1999:
160).
Meskipun
madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di dunia Islam baru muncul
sekitar abad ke-10 M, ini tidak berarti bahwa sejak awal perkembangannya Islam
tidak mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran. A. Shalaby (1954: 21), dalam
History of Muslim Education, menyebutkan bahwa jauh sebelum era
khalifah bani Umayyah, umat Islam sudah mempunyai semacam lembaga pendidikan
Islam yang disebut kuttab. Guru-guru yang mengajar di kuttab ini
kebanyakan orang-orang non-Muslim, terutama dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
Fakta
ini bisa diamati setelah kemenangan kaum Muslim pada perang Badar tahun 624 M,
ketika Nabi Muhammad saw. meminta beberapa tawanan yang terdidik (dari kaum
Yahudi atau Nasrani) untuk mengajar anak-anak Madinah untuk membaca dan menulis
(Mas’ud, 2002: 186-208). Karenanya, pengajaran di kuttab tersebut hanya
difokuskan pada keterampilan membaca dan menulis saja, sedangkan untuk
pengajaran Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam diberikan dan diajarkan di
masjid-masjid oleh para guru khusus. Berikutnya, untuk kepentingan menulis dan
membaca bagi anak-anak, yang sekaligus juga memberikan pelajaran Al-Qur’an dan
dasar-dasar pengetahuan agama Islam, diadakanlah kuttab-kuttab yang
terpisah dari masjid agar tidak mengganggu ketenangan dan kebersihan masjid
(Shalaby, 1954: 21).
Selain
kuttab, ada juga institusi pendidikan Islam yang disebut suffah. Menurut
Ahmad D. Munir, suffah adalah satu bagian dari masjid yang dibangun oleh
Nabi di Madinah dan disediakan sebagai tempat pendidikan, khususnya untuk
belajar membaca, menulis, menghafal Al-Qur’an dan tajwid. M. Hamidullah
menyebut suffah sebagai “universitas” Islam pertama (Mas’ud, 2003: 189).
Tempat
ini juga dirancang sebagai pondok bagi para pendatang baru dan penduduk
setempat yang tidak memiliki rumah sendiri. Suffah memberikan pendidikan
tidak hanya bagi para pemondok tetapi juga bagi pengunjung yang diselenggarakan
dalam jumlah besar.
Jumlah pemondok di suffah berubah dari waktu ke
waktu. Catatan Ibn Hanbal menunjukkan bahwa pada suatu saat terdapat tujuh puluh
orang yang tinggal di suffah dengan bekerja pada waktu-waktu luang
mereka (Mas’ud, 2003: 189). Ini mengindikasikan bahwa tradisi belajar ala madrasah
sudah ada sejak zaman Nabi —sekalipun di zaman Nabi belum bernama madrasah— dan
terus berkembang hingga saat ini.
Jika melacak sejarah pendidikan Islam di Indonesia, kita akan ditemukan bahwa nama
“madrasah” sebetulnya muncul belakangan. Ada beberapa tempat yang diduga lebih
dahulu digunakan masyarakat Muslim nusantara sebagai tempat belajar, misalnya
masjid. Masjid saat itu mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai tempat ibadah dan
aktivitas sosial keagamaan lainnya, termasuk pendidikan. Selain itu,
rumah-rumah tokoh masyarakat, ulama, kiai, dan guru ngaji juga dijadikan
sebagai tempat pengajaran agama Islam. Tempat semacam ini jumlahnya sangat
banyak, khususnya di daerah pedesaan.
Bagi
Hasbullah, kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya
mempunyai empat latar belakang, yaitu: pertama, sebagai manifestasi dan
realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam; kedua, usaha
penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah sistem pendidikan yang lebih
memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum,
misalnya masalah kesamaan untuk memperoleh ijazah dan kesempatan kerja; ketiga,
adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri
yang terpukau pada Barat sebagai sistem mereka; dan keempat, sebagai
upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang
diselenggarakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil
akulturasi (Hasbullah, 1999: 163).
Proses
perpaduan tersebut, kata Hasbullah, berlangsung secara berangsur-angsur. Sistem
pengajian kitab kuning yang selama ini dilakukan diganti dengan bidang-bidang
pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Sementara
itu, kenaikan kelas pun ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang
pelajaran (Hasbullah, 1999: 170).
Akibat
pengaruh ide-ide pembaruan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan
bangsa Indonesia, pelajaran umum sedikit demi sedikit masuk ke dalam kurikulum
madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun sesuai dengan tingkatan
madrasah, sebagaimana buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di
sekolah-sekolah umum. Perubahan-perubahan ini kemudian melahirkan Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), di mana
sistem pendidikan dan pengelolaannya sama dengan sekolah-sekolah modern pada
umumnya.
Adanya
MI, MTs, dan MA ternyata memunculkan persoalan baru, yaitu rendahnya mutu
pendidikan lembaga-lembaga itu dibanding sekolah-sekolah pada umumnya.
Karenanya, pada 1974, muncul gagasan untuk membangun pendidikan satu atap, di
mana madrasah akan dilebur menjadi satu dengan sekolah-sekolah yang ada. Gagasan
semacam ini tentu ditolak oleh umat Islam. Alasannya, kalau mutu pendidikan
madrasah kurang berkualitas, langkah yang paling arif bukan meleburnya dengan
sekolah-sekolah umum, tetapi memperbaiki mutu pendidikan madrasah tersebut.
Untuk
menjembatani tarik-menarik dua gagasan tersebut, pada 1975, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah (Nata,
2005: 203). Menurut SKB itu, yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga
pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran
dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30 persen di samping mata pelajaran
umum. Artinya, perbandingan antara pendidikan agama dan pendidikan umum dalam
kurikulum madrasah adalah 30:70.
Guna
merealisasikan SKB tiga menteri tersebut, pada 1976, Departemen Agama
mengeluarkan sebuah kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh
madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun MA. Kurikulum itu juga dilengkapi dengan:
(1) pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada madrasah
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di sekolah-sekolah umum, dan (2)
deskripsi berbagai kegiatan dan metode penyampaian program untuk setiap bidang
studi, baik untuk bidang studi agama maupun bidang studi pengetahuan umum
(Hasbullah, 199: 182).
Hal terpenting dari SKB tiga menteri itu
adalah adanya ketetapan bahwa: (1) ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama
dengan sekolah umum yang sederajat, (2) lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
sekolah-sekolah umum setingkat lebih atas, dan (3) siswa madrasah dapat
berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
C. Paradigma
Qur’ani; Paradigma Alternatif Pengembangan Madrasah
Paradigma
secara etimologi berasal dari bahasa Inggris paradigm, yang berarti type
of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model, pola). Secara
terminologi, sebagaimana dikemukakan Robert Friedrichs, paradigma adalah sebuah
pandangan dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya,
paradigm is a fundamental image a discipline has of its subject matter (Ritzer,
202: 6). Sementara itu, Thomas Kuhn mengartikan paradigma sebagai
serangkaian konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang
dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan realitas sosial untuk
memberikan konsepsi dan menafsirkan realitas sosial tersebut (Haramain, 2003:
43).
Berdasarkan
rumusan di atas, dalam konteks pendidikan, paradigma bisa diartikan sebagai
serangkaian konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang
dikembangkan dalam rangka membangun suatu sistem pendidikan yang ideal.
Mengingat
umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber kegiatan umat
Islam (the prime source of Muslim activities) dan manusia pada umumnya,
maka paradigma madrasah yang paling ideal adalah paradigma Qur’ani. artinya,
semua kegiatan pendidikan madrasah didasarkan atas Al-Qur’an (dan Hadits),
bukan paradigma Barat yang belum tentu relevan dengan nilai-nilai Islam dan
lokalitas setempat.
Al-Qur’an,
kata Al-Ghazali, adalah tali-kokoh Allah, cahaya yang terang, obat yang
bermanfaat. Terpeliharalah orang yang berpegang kepadanya dan selamatlah orang
yang mengakuinya. Pandangan Al-Ghazali ini berpijak pada sabda Nabi Muhammad
saw., di mana suatu ketika Huzaifah bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah,
apa yang kau perintahkan kepadaku jika kami mengalami hal itu (perbedaan).” Rasul
berkata: “Pelajarilah Kitab Allah, dan amalkanlah apa yang ada di dalamnya.
Di situ, ada jalan keluarnya.” Menurut Huzaifah, “Aku ulangi pertanyaan
itu tiga kali, dan Rasul menjawabnya tiga kali juga: ‘Pelajarilah Kitab Allah,
dan amalkan apa yang ada di dalamnya, karena di situ ada keselamatan.” (Rahmat,
1998: 194).
Bagi
Ziauddin Sardar (1998: 9), Al-Qur’an secara esensial merupakan prinsip-prinsip
dan sebuah matriks mengenai konsep-konsep pandangan dunia Islam.
Prinsip-prinsip itu mengikhtisarkan ketentuan-ketentuan umum mengenai perilaku
dan perkembangan, serta menentukan batasan-batasan umum di dalam mana peradaban
Muslim harus tumbuh dan berkembang. Matriks konseptual tersebut memainkan dua
fungsi dasar: (1) sebagai standar barometer mengenai keislaman dari suatu
perkembangan institusi tertentu; dan (2) sebagai basis elaborasi pandangan
dunia Islam.
Senada
dengan Al-Ghazali dan Sardar, seorang intelektual Muslim (asal) Pakistan, Fazlur Rahman (1996: 1),
menulis bahwa Al-Qur’an merupakan sebuah dokumen yang menamakan dirinya sebagai
petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan lin-nas). Menurut Wahbah
Az-Zuhaili (1996: 10), Al-Qur’an merupakan way of life bagi umat
manusia, bukan hanya umat Muslim, yang berisi cara-cara bermasyarakat yang
humanis dan bisa dipergunakan di mana dan kapan saja.
Az-Zuhaili
menambahkan, Al-Qur’an diturunkan untuk memakmurkan, memajukan, dan
meningkatkan derajat dan martabat kehidupan umat manusia di dunia dan juga
memberikan keuntungan dan kejayaan di akhirat. Ia merupakan satu-satunya kitab
yang membangun, membina, dan memajukan secara komprehensif seluruh cita-cita
manusia.
Lihat
saja apa yang telah ditemukan oleh Dr. Maurice Bucaille. Ia adalah dokter bedah
Perancis yang tiba-tiba terkenal sebagai mufassir Al-Qur’an melalui
karyanya yang berjudul La Bible, la Coran. et la Science yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab, Turki, Serbo-Croat, Persia,
Gujarati dan Indonesia (Rahmat, 1998: 181).
Bucaille
bukan sekedar memberikan penafsiran baru, ia juga mengkritik
penerjemah-penerjemah Al-Qur’an yang berbuat kesalahan dalam penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an. “Mereka umumnya sastrawan,” kata Bucaille. Dari situ,
banyak orang Islam merasa terhibur dengan buku Bucaille dan menerima penafsiran
ilmiah yang dikemukakannya. Ayat-ayat Al-Qur’an seakan-akan mempunyai makna
baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern.
Sayangnya,
apa yang dikemukakan Bucaille di atas masih belum menjadi kesadaran kolektif
umat Muslim bahwa Al-Qur’an telah menyediakan “segalanya” untuk kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bidang-bidang lainnya.
Karena
itu, ketika diajukan pertanyaan limādzā taakhkhar al-Muslimūn wa tawqaddama
ghyaryhum? Jawabannya bisa ditemukan dalam pandangan Tanthawi Jauhari.
Menurutnya, keterbelakangan umat Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi karena umat Muslim yang tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk
dan pendorong pengembangannya. Ia yakin betul bahwa hanya dengan kembali kepada
Al-Qur’an-lah umat Muslim —yang sekarang termasuk golongan “mustadh’afīn”
di bumi ini— akan dapat memperbaiki nasibnya. Ia menyebutkan bahwa di dalam
Al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan,
dan hanya 150 ayat tentang ilmu fiqh. Anehnya, mengapa para ulama Muslim
menyusun puluhan ribu kitab fiqh? Menurutnya, ini jelas tidak rasional (Rahmat,
1998: 196-7).
Apa
yang dikemukakan Jauhari tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi kita
mengenai keterbelakangan umat Muslim dalam berbagai aspeknya. Karena itu, tidak
diragukan lagi bahwa cara yang terbaik untuk mendobrak stagnasi peradaban
Muslim (Moslem civilization) harus dimulai dari penyusunan konsep sistem
pengetahuan yang dinamis. Melalui sistem pengetahuan yang dinamis, pendidikan
Islam juga akan dinamis. Kalau pendidikan Islam maju, dengan sendirinya
peradaban Islam juga akan mengalami kemajuan. Itu semua akan bisa dicapai
apabila sistem pendidikan Islam, seperti madrasah, didasarkan kepada Al-Qur’an.
Dalam
penelusurannya mengenai worldview dan élan Al-Qur’an, Fazlur
Rahman menemukan tiga kata kunci etika Al-Qur’an, yaitu iman, Islam dan taqwa.
Ketiga kata kunci ini mengandung maksud yang sama, yaitu percaya, menyerahkan
diri, dengan mentaati segala yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala
yang dilarang-Nya (Sutrisno, 2006: 181).
Berangkat
dari ketiga kata kunci tersebut, Rahman menyatakan bahwa pangkal pendidikan
Islam adalah mengerahkan peserta didik untuk memiliki etika Al-Qur’an. Dengan
didasari oleh Al-Qur’an, peserta didik dapat mengembangkan segala potensi yang
ada pada dirinya dengan kemampuan untuk mengatur segala yang ada di alam ini
untuk kemaslahatan kehidupan seluruh umat manusia (Sutrisno, 2006: 181).
Paradigma
Qur’ani ini sangat penting dalam konteks kekinian di mana umat Islam menghadapi
arus globalisasi yang digulirkan oleh Barat. Globalisasi cenderung menjebak
manusia dalam kubangan materialisme dan mengesampingkan moralitas dan keadilan.
Moralitas dan keadilan versi globalisasi ditimbang dengan neraca kapitalisme
yang menjadikan kebebasan pasar sebagai pujaannya. Tidak mengherankan apabila
manusia masa kini lebih bersikap individualistik, acuh tak acuh terhadap
penderitaan orang lain, dan bahkan melupakan kehidupan akhirat sebagai
kehidupan yang abadi.
Karenanya,
paradigma Qur’ani ini merupakan paradigma alternatif bagi umat Islam yang saat
ini mengalami keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sebagaimana disebutkan di atas, Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan segala
sesuatu yang dibutuhkan umat Islam, termasuk dalam hal pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui sistem pendidikannya. Jika Al-Qur’an sudah
menyediakan semuanya, mengapa umat Islam merasa silau dengan paradigma yang
dikembangkan Barat. Bukankah akan lebih “terhormat” apabila umat Islam bisa
menampilkan paradigmanya sendiri di dalam kegiatan pendidikannya.
Melalui
paradigma Qur’ani ini, saya yakin madrasah akan mampu melahirkan sosok generasi
Muslim yang kreatif dan berbudi luhur yang menjadikannya bisa memanfaatkan
sumber daya alam dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan umat manusia dan untuk
menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia. Jika paradigma Qur’ani ini
terus diterapkan dan dikembangkan secara konsisten, maka tidak mustahil di masa
mendatang umat Islam mampu menciptakan “peradaban Qur’ani”.
D.
Ijtihad Pengembangan Madrasah di Era Globalisasi
Seorang
kolega berkata kepada saya, “Jika kita datang ke sebuah rumah sakit, dan
kemudian kita datang lagi sepuluh tahun kemudian, maka kita akan merasa asing,
sebab telah terjadi berbagai perubahan dalam rumah sakit itu. Tetapi berbeda
kalau kita datang ke sebuah institusi pendidikan, lalu kita kembali lagi sepuluh
tahun kemudian, maka kita tidak akan menemui perubahan yang berarti dalam
institusi tersebut.”
Stagnasi
institusi pendidikan sebagaimana dikemukakan kolega tadi merupakan realitas
yang kita dapati di sekeliling kita. Dalam konteks ini saya akan menguraikan
tentang perjalanan salah satu institusi pendidikan Islam yang bernama madrasah.
Selama beberapa tahun, praktis tidak ada perubahan signifikan dalam lembaga
pendidikan ini. Madrasah semakin lama cenderung semakin menurun. Ia seakan-akan
berjalan di tempat di saat perubahan zaman berubah dengan cepatnya.
Barangkali
kita bertanya, ada apa dengan madrasah? Mengapa lembaga ini tidak memiliki
kemajuan berarti, padahal umat Islam menaruh harapan besar di pundaknya? Apa
ada yang salah dengan pengelolaannya, sehingga madrasah tampak statis? Lantas
apa yang harus dilakukan madrasah dalam menghadapi era kesejagatan ini? Inilah
serangkaian pertanyaan yang coba diuraiakan dalam bagian ini.
KH.
M. Sahal Mahfudh, yang akrab dipanggil Mbah Sahal, menyebutkan bahwa sedikitnya
ada tiga masalah penting yang saat ini dihadapi madrasah. Pertama, masalah
identitas diri madrasah dalam hubungannya dengan karakteristik dan
independensinya terhadap lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat. Kedua,
masalah jenis pendidikan yang dipilih sebagai alternatif dasar yang
dikelola untuk menciptakan satu sistem pendidikan yang masih memiliki titik
tekan keagamaan, tetapi pengetahuan umum tetap diberi porsi yang cukup sebagai
basis mengantisipasi perkembangan masyarakat. Ketiga, masalah sumber
daya dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri di masa mendatang
(Syukur, 2002: 256).
Ada
dua hal yang menarik dari pandangan Mbah Sahal di atas, yaitu mengenai
keseimbangan kurikulum masyarakat dan responnya terhadap dinamika zaman. Tokoh
NU asal Pati ini sebetulnya hendak menyatakan bahwa saat ini kurikulum madrasah
masih kental dengan nuansa akhirat, sekalipun sudah ada pelajaran-pelajaran
umum di dalamnya. Pembelajaran madrasah saat ini masih lebih memfokuskan pada
masalah-masalah keagamaan, sehingga unsur pengembangan IPTEK cenderung kurang
mendapat porsi yang seimbang.
Hal
ini sekaligus berdampak pada kurangnya kepekaan madrasah terhadap dinamika
zaman dan kebutuhan masyarakat. Sistem pendidikan madrasah yang ada saat ini
tidak jauh berbeda dengan apa yang diterapkannya dalam satu dasawarsa
sebelumnya. Padahal, perubahan zaman berikut budayanya terus berkembang silih
berganti, dan kini masyarakat dunia tengah berada di sebuah zaman yang dikenal
dengan sebutan globalisasi.
Menurut
William Montgomery Watt (2002: 169), globalisasi ini merupakan konsekuensi
kemajuan yang dicapai dunia Barat sejak dua abad silam. Kereta uap, kapal uap,
mobil, dan pesawat mempercepat transportasi baik barang maupun orang. Telepon,
radio, internet, pertelevisian dan media cetak lainnya menyebabkan suatu berita
dapat menyebar kepada setiap orang dalam waktu sekejap di hampir setiap penjuru
dunia.
Parahnya,
globalisasi mengakibatkan ketergantungan Dunia Ketiga terhadap negara-negara
kuat. Ketergantungan ini, kata Abdurrahman Mas’ud, merupakan sebuah kenyataan
yang merisaukan. Arus informasi globalisasi yang ada ternyata tidak seimbang
dengan dominasi informasi dan kultur Barat. Keadaan ini menimbulkan dominasi
kultural atau imperialisme budaya. Globalisasi, lanjut Rahman, berimplikasi
pada westernisasi yang berakibat pada tergilasnya budaya lain (Mas’ud, 2003:
198). Kondisi ini sekaligus menuntut institusi pendidikan seperti madrasah,
untuk dapat berperan besar dalam mengatur irama perubahan tersebut (Shaleh,
2004: 79-80).
Karenanya,
kita membutuhkan madrasah yang peka zaman, bukan madrasah yang ketinggalan
zaman. Artinya, madrasah di tuntut untuk menjadikan dirinya sebagai pelayan
pendidikan yang memuaskan umat Muslim. Hal ini tentunya dilakukan dengan tanpa
melacurkan identitas dan ciri khas madrasah sebagai institusi pendidikan Islam
yang bernuansa religius.
Justru
di era globalisasi seperti sekarang ini, di mana masyarakat mulai kering dengan
hal-hal yang berbau keagamaan, eksistensi madrasah sebagai lembaga bernuansa
keagamaan mutlak dipertahankan. Hal ini tidak cukup apabila tidak diiringi
dengan ijtihad pengembangan masyarakat sebagai bentuk respons dirinya atas
perkembangan dan kebutuhan masyarakat global.
Ada
lima hal penting yang perlu dilakukan madrasah agar menjadi lembaga pendidikan
Islam yang peka zaman, antara lain:
1. Reorientasi Pendidikan Madrasah
Kata
reorientasi mengandaikan bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam pendidikan
madrasah sehingga ia perlu diorientasikan kembali. Ketidakberesan itu terletak
pada ketidakseimbangan antara orientasi duniawi dan ukhrawi. Madrasah tampaknya
terlalu memprioritaskan orientasi ukhrawi daripada keseimbangan antara
keduanya. Bagi penulis, madrasah saat ini seyogyanya berorientasi pada
humanisme-transendental, sehingga ia bersifat kekinian dan kedisinian,
sekaligus tetap mempertahankan spirit ketuhanannya.
Masalah
humanisasi memang merupakan sesuatu yang penting untuk diperhatikan secara
serius. Pasalnya, eksploitasi ekonomi, represi politik, dan hegemoni budaya di
era globalisasi ini tampaknya semakin menegasikan fitrah kemanusiaan kita.
Melalui mantra globalisasi dan jurus pasar bebas, saat ini terdapat gap
yang begitu lebar antara konglomerat dan si melarat; antara aghniya’ dan
fuqara’. Kekacauan ini seakan semakin lengkap dengan menjamurnya
pemimpin-pemimpin korup, baik dalam skala lokal, nasional, maupun
internasional.
Ini
tentu saja berseberangan dengan élan vital Islam yang menurut Fazlur
Rahman menekankan pada keadilan sosial-ekonomi dan persamaan esensial manusia.
Bahkan, lima rukun Islam yang dipandang sebagai ajaran Islam par excellence juga
mempunyai tujuan keadilan sosial dan pembangunan masyarakat egalitarian.
Sayangnya, sebagian umat Muslim tampak kurang peduli terhadap dehumanisasi yang
menimpa umat Muslim yang lain dan manusia pada umumnya.
Betul apa yang dikemukakan oleh Jalaluddin
Rahmat bahwa umat Muslim selama ini cenderung mengartikan ibadah dengan
membatasinya pada ibadah-ibadah ritual saja. Betapa banyak untuk Muslim yang
disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah, tetapi mengabaikan kemiskinan,
kebodohan, kesehatan, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang
diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang Muslim kaya yang dengan
khusyu’ meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh
layu yang digerogoti gizi buruk dan kelaparan semakin lama semakin meningkat.
Betapa mudahnya uang jutaan atau bahkan miliaran rupiah dihabiskan untuk
upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak tidak melanjutkan sekolah,
ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi yang tidak
tahu akan diperoleh di mana, ribuan orang sakit menggelepar menunggu jemputan
maut karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit yang luar biasa mahalnya,
dan bahkan ribuan umat Muslim terpaksa jual iman dan keyakinannya kepada
tangan-tangan kaum lain yang “penuh kasih” (Ramhat, 1998: 57).
Karenanya, output yang harus
dilahirkan dari rahim madrasah bukan sosok manusia yang hanya mementingkan
kesejahteraan dan kebahagiaannya pribadi, tetapi manusia yang peka terhadap
penderitaan, ketimpangan terstuktur, dan kebutuhan masyarakat. Sosok manusia
seperti inilah yang akan menjadi pelita zaman dan selalu membawa obor
pencerahan kepada masyarakat, terutama kaum mustadl’afīn.
Hal ini tentu saja bukan perkara gampang
mengingat institusi pendidikan madrasah selama ini cenderung mempertahankan
kultur feodalistik, di mana peserta didik hanya disuruh menghafal dan memahami
seonggok mata pelajaran yang disampaikan oleh para guru. Sementara kritisitas
mereka, sengaja atau tidak, tidak pernah dimunculkan.
Artinya, reorientasi pendidikan madrasah ke
arah humanisme-transendental membutuhkan keberanian untuk merombak kejumudan
sistem feodalistik yang telah mengakar dalam madrasah. Ia harus digantikan
dengan sistem yang humanis pula, di mana terdapat ruang yang luas bagi siswa
untuk berpikir secara bebas dan kritis. Bagaimana mungkin madrasah mampu
melahirkan sosok manusia yang humanis, sementara sistem pendidikannya sendiri
masih jauh dari nilai-nilai humanis. Bila hal itu telah dilakukan dengan baik,
kita dapat optimis bahwa madrasah akan menjadi ujung tombak humanisasi dalam
masyarakat global ini.
2. Pengembangan Kurikulum Madrasah
Sebelum
masuk pada perbincangan pengembangan kurikulum madrasah di era globalisasi, ada
baiknya diuraikan terlebih dahulu mengenai pendekatan-pendekatan yang digunakan
dalam pengembangan kurikulum tersebut. Setidak-tidaknya ada enam pendekatan
yang dapat ditawarkan terhadap pengembangan kurikulum, yaitu:
Pertama,
pendekatan
rasionalisme akademik. Ini merupakan pendekatan yang paling rasional di antara
pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan ini menganut suatu asumsi bahwa
kurikulum merupakan transmisi budaya dalam arti spesifik. Kecerdasan peserta
didik akan terpupuk dalam pengembangannya jika ia diberikan atau dibekali
kesempatan-kesempatan untuk mendapatkan the most powerful product of man’s
intelligence yang terhimpun dalam disiplin-disiplin ilmu. Kurikulum tidak
diorientasikan pada mata pelajaran yang bersifat praktis, tetapi bersifat liberal
yang menggunakan latihan dan pengasahan intelektualitas. Kurikulum harus
mampu membuat peserta didik menggunakan kaidah-kaidah berpikir yang ketat dan
terkendali dalam menguasai disiplin ilmu yang diajarkan.
Kedua,
pendekatan
pengembangan proses kognitif, yaitu pendekatan yang tidak hanya mengutamakan
muatan pendidikan tetapi juga bagaimana mengolah muatan tersebut. Setiap
aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa dan proses yang terjadi di ruang
kelas. Dasar pikiran yang digunakan adalah bahwa peserta didik harus dilihat
sebagai unsur yang interaktif dan adaptif dalam sistem. Jika peserta didik
diberi alat intelektual yang benar, perkembangan berpikirnya akan
berkelanjutan, dan yang kelak akan memampukannya untuk menafsirkan situasi yang
dihadapi diluar konteks persekolahan.
Ketiga,
pendekatan
struktur pengetahuan. Asumsinya, penekanan yang benar dalam proses pembelajaran
akan membuka wawasan peserta didik terhadap struktur pengetahuan. Peserta didik
harus memahami ide-ide yang fundamental, konsep-konsep dasar, dan mampu
menggunakan cara-cara para ahli dalam menganalisis dan menata data. Materi yang
diajarkan (informasi, konsep, fakta, atau prinsip) diorganisasikan dalam pola
hubungan satu sama lain, baik hubungan di dalam disiplin ilmu maupun
interdisipliner.
Keempat,
pendekatan
teknologis, yaitu pendekatan yang menekankan pada teknologi bagaimana ilmu
pengetahuan itu ditransfer dan bagaimana memberi kemudahan-kemudahan dalam
proses pembelajaran.
Kelima,
pendekatan
aktualisasi diri. Kurikulum diasumsikan sebagai alat untuk memperoleh
pengalaman yang terbaik dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis
secara keseluruhan. Sebagai alat, kurikulum harus mempunyai daya pembebas untuk
pembentukan integritas personal peserta didik. Dilihat dari sudut muatan.
kurikulum adalah tujuan itu sendiri, tahap dari proses kehidupan dan alat untuk
pemenuhan diri.
Keenam,
pendekatan
relevansi rekonstruksi sosial. Pendekatan ini mengupayakan tumbuhnya reformasi
dalam pendidikan, yaitu mendudukkan pendidikan sebagai alat yang mamampukan
individu untuk berperan sebagai reformis sosial yang bertanggungjawab terhadap
masa depan. Pendidikan juga sebagai alat untuk memampukan individu untuk
beradaptasi dalam perubahan sosial budaya itu sendiri dan mampu melakukan
intervensi secara aktif membangun perubahan-perubahan. Menurut pendekatan ini,
kurikulum harus mencerminkan hubungan-hubungan permasalahan sosial masa kini
dan masa depan dengan perkembangan peserta didik. Perkembangan, perubahan sosial,
dan pengaruh timbal balik terhadap kualitas mentalitas dan kualifikasi diri
peserta didik harus dijadikan dasar pemikiran dalam pengembangan kurikulum.
Berpijak
kepada pendekatan-pendekatan pengembangan kurikulum di atas, gagasan mengenai
kurikulum madrasah yang peka zaman harus dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat
saat ini. Harus jujur kita akui bahwa umat Islam Indonesia, dan umat Islam pada
umumnya, sangat ketinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sehingga, masyarakat Muslim secara tidak langsung masih tetap dijajah oleh
Barat yang saat ini berbentuk globalisasi.
Sebetulnya,
pengembangan IPTEK dalam madrasah sudah digagas sejak diturunkannya SKB tiga
Menteri pada tahun 1974, di mana komposisi pendidikan umum dan pendidikan agama
adalah 70:30. Hanya saja, implementasi kurikulum tersebut tidak seperti yang
telah digariskan. Terbukti, banyak madrasah yang masih mendominankan pendidikan
umum. Karenanya, hal semacam ini harus diperbaiki agar kurikulum madrasah lebih
adaptif terhadap dinamika zaman dan kebutuhan riil masyarakat.
3. Perbaikan Manajemen Madrasah
Mengelola
suatu lembaga pendidikan, seperti madrasah, kata A. Malik Fadjar, bukanlah
pekerjaan mudah. Apalagi yang dimaksud mengelola tidak sekedar dalam pengertian
“mempertahankan” yang sudah ada, tetapi melakukan pengembangan secara
sistematik dan sistemik. Sekedar mempertahankan mungkin relatif lebih mudah
untuk dilakukan, tetapi hal ini akan segera mendatangkan petaka bagai sebuah
lembaga madrasah. Secara perlahan tapi pasti, madrasah semacam ini akan
tertinggal dalam buritan sejarah akibat ketidakmampuannya mengadakan hubungan
dialektis dengan zaman dan realitas yang selalu menuntut sikap transformatif
(Fadjar, 1998: 91).
Karenanya,
dalam rangka mewujudkan madrasah yang peka zaman perlu ditetapkan program
manajemen madrasah yang meliputi empat unsur. Pertama, school review, yaitu
suatu proses yang di dalamnya seluruh pihak madrasah bekerja sama dengan
pihak-pihak yang relevan untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas kebijaksanaan
madrasah, program, pelaksanaan, dan mutu lulusannya. School review ini
diharapkan dapat menghasilkan suatu laporan yang membeberkan
kelemahan-kelemahan, kekuatan-kekuatan, dan prestasi madrasah serta memberikan
rekomendasi untuk menyusun perencanaan strategis pengembangan madrasah pada
masa-masa mendatang, tiga atau lima tahun berikutnya.
Kedua,
quality assurance, yaitu sebagai jaminan bahwa proses yang
berlangsung telah dilaksanakan sesuai dengan standar dan prosedur yang
ditetapkan. Proses diharapkan bisa menghasilkan output yang memenuhi
standar pula. Untuk itu, kita perlu mekanisme kontrol agar semua kegiatan yang
dilaksanakan di madrasah terkondisi dalam standar proses yang ideal. Melalui quality
insurance ini, pihak sekolah dapat meyakinkan masyarakat bahwa madrasah
senantiasa memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh murid-muridnya.
Ketiga,
quality control, yaitu suatu sistem untuk mendeteksi
terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan
standar. Standar kualitas ini dapat dipergunakan sebagai tolak ukur untuk
mengetahui maju mundurnya madrasah. Semua madrasah baik yang tergolong excellence,
normal, maupun rendah dapat melakukan quality control, antara lain
dengan jalan membandingkan nilai Ujian Nasional (UN) murni ketika masuk
madrasah tersebut dengan rata-rata UN sesudah lulus dari madrasah itu.
Ketiga,
bench marking, yaitu kegiatan untuk menetapkan suatu
standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai pada periode tertentu.
Standar ini direfleksikan dari realitas yang ada. Misalnya, untuk mengetahui
perilaku mengajar guru, maka standar yang ditetapkan adalah dengan
merefleksikan salah seorang guru yang dikenal baik dalam mengajarnya (internal
bench marking). Demikian halnya dengan standar kualitas pendidikan, ia direfleksikan
dari suatu madrasah atau sekolah yang baik (external bench marking).
4. Perbaikan
Kepemimpinan Madrasah
Peran
pemimpin dalam setiap organisasi sangatlah vital. Pemimpin ibarat lokomotif
yang akan menarik gerbong di belakangnya. Kepemimpinan adalah seni untuk
mempengaruhi orang lain. Inilah definisi yang umum digunakan. Dalam sebuah
organisasi seperti madrasah, seni tersebut digunakan untuk mempengaruhi
individu dan kelompok guna mencapai tujuan organisasi secara optimal. Supaya
kepemimpinan bisa efektif, maka dituntut kemampuan seorang pemimpin untuk
secara terus-menerus mempengaruhi perilaku bawahan untuk mencapai tujuan
organisasi secara optimal.
Jika
paradigma kepemimpinan lama bisa diibaratkan dengan perahu yang meluncur di
sungai yang tenang, di mana tugas kepemimpinan bisa relatif lebih stabil dan
linear, maka kepemimpinan di era kesejagatan ini bisa diibaratkan seperti
perahu yang mengarungi jeram, di mana situasi bisa berubah setiap saat. Untuk
model yang kedua ini, setiap unsur yang ada di dalam perahu tersebut harus
mampu bertindak sebagai pemimpin. Artinya, mereka tidak selalu menunggu
perintah dari atasan.
Membangun
peranan baru kepala madrasah adalah persyaratan penting untuk membangun
madrasah yang peka zaman. Kepala madrasah dan ketua Yayasan (jika ada)
merupakan top leader di madrasah, yang diharapkan mampu menjadi
lokomotif dalam upaya mewujudkan tujuan madrasah. Manajemen madrasah dapat
berjalan dengan baik manakala kepala madrasah mampu mengelola segenap sumber
daya yang dimiliki madrasah tersebut secara profesional dan proporsional.
Karena itu, mereka harus memiliki wawasan jauh ke depan dan keberanian untuk
menentukan sikap.
Dalam
mengorganisasikan madrasah, kepala madrasah harus memiliki keterampilan yang
memadai. Pertama, keterampilan mengidentifikasi dan memecahkan
permasalahan dengan melibatkan seluruh komponen madrasah. Kedua, keterampilan
memanfaatkan daya dan dana untuk menghasilkan keputusan yang berkualitas dalam
mencapai target yang optimal. Ketiga, keterampilan mengelola dan
menyajikan informasi dengan\secara akurat, cepat dan mudah dicerna oleh para
pelaksana. Keempat, keterampilan berkomunikasi dengan berbagai pihak. Kelima,
keterampilan mengoptimalkan partisipasi seluruh komponen madrasah maupun
pihak lain untuk ikut memikirkan madrasah.
Adapun
karakteristik kepemimpinan madrasah yang peka zaman, antara lain: pertama, memiliki
kredibilitas dan dapat dipercaya oleh pengikutnya; kedua, memiliki
integritas tinggi terhadap pekerjaannya; ketiga, kompeten di bidangnya
dalam mampu membangun komunikasi yang baik; keempat, konsisten dan
loyal, yakni memiliki ketaatan pada visi dan misi organisasi; dan kelima. inklusif,
yakni tidak menutup diri dari input atau kritik membangun yang berasal dari
luar.
Menurut
Tri Darmayanti (2001: 203-13), setidaknya ada lima peran yang bisa dimainkan
oleh kepala madrasah dalam menetapkan kepemimpinan yang peka zaman. Pertama,
merumuskan visi (the vision role). Peran ini dimaksudkan untuk
memberi kejelasan arah organisasi madrasah. Meski gagasan datang dari kepala
madrasah, namun peran ini tidak dilakukan sendiri, melainkan bisa melibatkan
atau membentuk tim untuk merumuskannya.
Kedua,
menjalin
relasi (the relationship role). Sebagai seorang kepala madrasah atau
ketua yayasan tentu tidak dapat mengabaikan arti penting menjalin hubungan
dengan siapa saja dalam rangka mengembangkan madrasah, sebab eksistensi
madrasah akan sangat ditentukan oleh bagaimana kepiawaian mereka menjalin
hubungan dengan semua pihak.
Dalam
konteks internal madrasah, kepala madrasah harus mampu membangun team work (kerja
tim) yang solid, dengan individu-individu yang memiliki kemampuan komplementer.
Di samping itu, ia juga perlu menyusun struktur personal yang mendeskripsikan
pola hubungan kerja antar mereka. Sementara itu, untuk lingkup eksternal
madrasah, kepala madrasah maupun ketua yayasan harus mampu membangun jaringan
dengan berbagai pihak terkait.
Ketiga,
mengendalikan
(the control role). Kepala madrasah harus mampu berperan sebagai
konsultan bagi bawahannya. Fungsi konsultasi ini akan berjalan efektif jika
kepala madrasah mampu menjabarkan tujuan yang hendak dicapai oleh madrasah.
Fungsi ini bisa dilakukan dengan mendefinisikan masalah dan jalan keluarnya,
pembuatan keputusan, mendelegasikan, deskripsi kerja yang jelas, dan yang tidak
kalah pentingnya adalah mengelola konflik yang lazim disebut manajemen konflik.
Keempat,
memberi
motivasi (the encourage role). Peran ini bisa dilakukan dengan beberapa
variasi teknik seperti sistem penggajian yang adil, pengakuan prestasi kerja,
dan penerapan reward and punishment). Pastinya, peran ini diarahkan
untuk memacu dan menggairahkan iklim kerja yang produktif dalam madrasah.
Kelima,
pemberi
informasi (the information role). Dalam memainkan peran ini, kepala
madrasah harus memiliki akses yang luas baik ke dalam maupun ke luar madrasah.
Artinya, ia harus mampu membangun dan memelihara jaringan informasi yang dapat
dijadikan saluran komunikasi internal maupun eksternal madrasah.
5. Peningkatan
Partisipasi Masyarakat
Lahirnya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang pendidikan sangat
berarti terhadap institusi-institusi pendidikan, termasuk madrasah, untuk
meningkatkan dirinya tanpa tergantung kepada pemerintah pusat. Desentralisasi
pendidikan tersebut bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik untuk
memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat memberikan
kontribusi kepada masyarakat.
Keterlibatan
masyarakat dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan sebetulnya bukan
sesuatu yang baru bagi madrasah, sebab lembaga ini sejak semula didirikan dan
dikelola atas swadaya masyarakat (self supporting). Artinya, masyarakat
memang memiliki andil terhadap survive tidaknya madrasah.
Sebagai
lembaga pendidikan Islam yang lahir dari masyarakat, madrasah lebih mudah
mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi pendidikannya,
sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan, kepemilikan, dan keterlibatan
yang tinggi dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas
seperti peranan orang tua siswa yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya
sekolah, melainkan keterlibatan yang didasarkan atas kepemilikan milieu
sekolah.
Sesuai
dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasi masyarakat
dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut
untuk memiliki kepedulian tinggi terhadap madrasah-madrasah yang ada di
lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi
dengan memberikan kontribusi penting, baik dalam bidang material, kontrol
manajemen, pembinaan, dan bentuk-bentuk partisipasi lainnya dalam rangka
menjadikan madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang peka
zaman.
E.
Penutup
Merujuk
kepada fokus kajian di atas, terdapat beberapa simpulan yang dapat dikemukakan.
Pertama, embrio madrasah ternyata sudah dalam sejak zaman Nabi dalam
bentuk kuttab dan suffah. Embrio ini kemudian berkembang ke
berbagai negara Muslim, termasuk di Indonesia. Dinamika madrasah di Indonesia
juga melalui metamorfosa yang panjang sebelum terlembaga sebagai sistem
pendidikan Islam yang kita kenal sekarang.
Kedua,
umat
Muslim yakin bahwa Al-Qur’an merupakan way of life dan sumber berbagai
kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun pendidikan. Karenanya,
paradigma Qur’ani tampaknya merupakan paradigma paling ideal dalam upaya
pengembangan madrasah di era globalisasi ini. Selain membuang
paradigma-paradigma Barat yang belum tentu sejalan dengan spirit Islam,
paradigma Qur’ani pada akhirnya dapat mengantarkan masyarakat Muslim kepada
sebuah peradaban yaitu peradaban Qur’ani.
Ketiga,
adalah
sebuah keharusan bagi madrasah untuk merespon dinamika zaman yang begitu cepat
dan kebutuhan manusia kontemporer yang semakin kompleks. Respons ini akan
menjadikannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang peka zaman. Madrasah peka
zaman ini bisa diupayakan melalui beberapa hal, antara lain: reorientasi
pendidikan madrasah, pengembangan kurikulum madrasah, perbaikan manajemen
madrasah, perbaikan kepemimpinan madrasah, dan peningkatan partisipasi
masyarakat
DAFTAR PUSTKA
Az-Zuhaili,
Wahbah, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Yogyakarta, Dinamika, 1996
Darmayanti,
Tri, Organisasi, Manajemen dan Kepemimpinan, dalam Modul Inservice
Training KKM, MTs/MI, Jakarta, PPIM, 2001
Fadjar,
A. Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta, LP3NI, 1998
Haramain,
A Malik, Sketsa Gerakan (Kritik-Otokritik Gerakan PMII), Yogyakarta,
Fajar Pustaka, 2003
Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, LSIK dan Raja Grafindo
Persada, 1999
Mas’ud,
Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta, Gama Media,
2003
______,
“Tradisi Learning Pada Era Pra-Madrasah”, dalam Ismail SM, (ed.),
Dinamika Pesantren dan Madrasah, Kerjasama IAIN Walisongo Semarang dan
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Nata,
Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 2005
Rahman,
Fazlur, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Bandung,
Pustaka, 1996
Rahmat,
Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung, Mizan, 1998
Ritzer,
George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2002
Sardar,
Ziauddin, Jihad Intelektual (Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, Surabaya,
Risalah Gusti, 1998
Shalaby,
A., History of Muslim Education, Beirut, Daar al-Kashaf, 1954
Shaleh,
Abdul Rahman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Visi, Misi dan Aksi), Jakarta,
Rajawali Pers, 2004
Sutrisno,
Fazlur Rahman, Kajian terhadap Metodologi, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan , Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006
Syukur,
Fatah, “Madrasah di Indonesia: Dinamika, Kontinuitas dan Problematika”, dalam
Ismail SM, (ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta, Pustaka
Pelajaran dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2002
Watt,
William Montgomery, Islam, terj. Imron Rosyadi, Yogyakarta, Jendela,
2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar