PROPOSAL
PENELITIAN
Relevansi Gagasan Pendidikan Paulo Freire terhadap
Pengembangan Masyarakat Madani di Indonesia
A. Latar
Belakang Masalah
Adalah Paulo Freire, salah satu pemikir
dan praktisi pendidikan yang paling berpengaruh di akhir abad ke-20 (one of
the most influential thinkers about education in the late twentieth century).
Pria kelahiran Recife, Brazil, 19 September 1921 ini mulai menarik perhatian
dunia sejak buah pikirannya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed terbit
pada tahun 1970. Konon, buku pertamanya itu terjual lebih dari setengah juta
eksemplar dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari duapuluh bahasa
(Sudiardja, 1977:107; McLaren, 2004: 15).
Sangat sedikit orang yang mendapat
apresiasi seperti yang diraih oleh mantan konsultan pendidikan dewan gereja-gereja
se-dunia di Jenewa, Swiss, ini. Dia begitu poluler dan karismatik, bahkan
hingga di kalangan remaja di berbagai pelosok dunia yang bisa jadi belum pernah
membaca pikiran-pikrannya. Mengenai popularitas Paulo Freire, Pater McLaren
(2004: 12-13) menulis:
“Tidak
banyak tokoh pendidikan kiri[1]
yang begitu terkenal dan begitu terhormat
seperti Paulo Freire. Sepanjang
perjalanan saya di Amerika Latin, Asia Tenggara dan Eropa, saya melihat
slogan-slogan karya Freire ditulis di tembok-tembok berdampingan dengan Che
Guevara. Setiap kali saya berbicara dalam forum-forum revolusioner atau
konferensi akademis baik di Malaysia, Jepang, Meksiko, Argentina, Brazil, Costa
Rika, Finlandia, Eropa atau tempat-tempat lainnya, nama Paulo Freire dan Che
Guevara selalu muncul. Mereka bukan hanya meminta perhatian mengenai krisis
pada masa itu, tapi juga memberikan satu harapan yang perlu bagi perjuangan ke
depan.”
Berbagai kegiatan ilmiah telah
dilaksanakan untuk menelaah, menganalisa dan/atau menguji gagasan-gagasan
pendidikannya. Termasuk Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh University
of California Los Angeles (UCLA) baru-baru ini. Bahkan, Department of
Adult Education and Counseling Psychology, The Ontario Institute for Studies in
Education of the University of Toronto me-launching website www.friere.org
yang didedikasikan untuk Freire. Ini menunjukkan bahwa profesor Sejarah dan
Filsafat Pendidikan di Universitas Recife ini telah menjadi salah satu icon
pendidikan alternatif yang banyak digandrungi oleh pengamat dan praktisi
pendidikan mutakhir, termasuk di Indonesia.
Sayangnya, menurut Alfred Alschuler (2001:
xii) dalam pengantarnya untuk buku William A. Smith, The Meaning of
Conscienticacao, The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy, meskipun Paulo Freire
cukup terkenal, teori-teorinya secara umum banyak disalahpahami. Ini terjadi
karena karya-karyanya masih “abstrak” dan banyak menggunakan istilah-istilah
yang sulit didefinisikan secara konkret, seperti: “pembebasan”, “penyadaran”,
“melek huruf”, “humanisasi” “pendidikan hadap masalah” dan lain-lain. Maka
tidaklah mengherankan apabila banyak orang lebih menghafalkan jargon-jargon dan
istilah-istilah yang digunakan Freire ketimbang memahami secara praksis ke
dalam proses belajar mengajar yang sesungguhnya (Fakih, 2003: 108-9).
Padahal, gagasan-gagasan Freire tidak
lahir dari kontemplasi yang jauh dari dunia empirik, akan tetapi muncul dari
pembacaan terhadap dunia, reading the world, yang kemudian diterjemahkan
dalam bentuk praxis (Friere & Shor, 2001: 208). Gagasan-gagasan
Freire merupakan respons terhadap kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan
penindasan yang dialami diri dan sebagian besar masyarakat Brazil saat itu.
Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menerima penderitaan itu
sebagai nasib atau takdir Tuhan yang harus diterima. Seolah-olah Tuhanlah
pencipta kekacauan-sistemik itu. Karenanya, Freire bertekad untuk mengembalikan
mereka kepada jati diri manusia yang sebenarnya.
Freire sendiri bukan hanya teoritisi
pendidikan yang umumnya hanya lugas dalam berbicara atau menulis, tetapi
sekaligus sebagai praktisi pendidikan yang mendedikasikan dirinya untuk
membebaskan dan menyadarkan orang-orang yang ter(di)tindas (oppressed),
yaitu orang-orang yang kehilangan hak-haknya, baik ekonomi, sosial, politik,
hukum, pendidikan, dan semacamnya.
Gagasan Freire berangkat dari sebuah
keyakinan bahwa manusia, yang bertindak atas dunia eksternal dan mengubahnya,
pada saat yang sama mampu mengubah dirinya sendiri. Karenanya, kata Freire (1996:
20-56), humanisasi maupun dehumanisasi merupakan pilihan-pilihan yang nyata.
Hanya yang pertama itulah yang merupakan fitrah manusia. Fitrah inilah yang
senantiasa diingkari melalui perlakuan
tidak adil, eksploitasi, penindasan, dan kekejaman kaum penindas. Lebih jauh ia
menulis:
“Dehumanization, which marks not only those whose
humanity has been stolen, but also (though in a different way) those who have
stolen it, is a distortion of the vocation of becoming more fully human.
This distortion occurs within history; but it is not an historical vocation.
Indeed, to admit of dehumanization as an historical vocation would lead either
to cynicism or total despair. The struggle for humanization, for the
emancipation of labor, for the overcoming of the alienation, for the
affirmation of men and women as persons would be meaningless. This struggle is
possible only because dehumanization, although a concrete historical fact, is not
a given destiny but the result of an unjust order that engenders violence
in the oppressors, which in turn dehumanizes the oppressed” (Freire, 1996: 26)
Praktik dehumanisasi juga terjadi di dalam
dunia pendidikan, di mana pendidikan acapkali dijadikan sarana kontrol sosial,
reproduksi norma-norma tertentu dan alat untuk mempertahankan kelanjutan
intergenerasi dengan relasi-relasi sosial yang secara fungsional menguntungkan
kelas yang berkuasa dan industri yang dominan.
Menurut Freire (1973: 33), pendidikan yang
dibutuhkan dalam situasi demikian adalah pendidikan yang membuat manusia berani
membicarakan masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan
tersebut; pendidikan yang mampu mengingatkan manusia akan bahaya-bahaya zaman
dan memberikan kekuatan yang menghadapi bahaya-bahaya tersebut, bukan
pendidikan yang menjadikan akal kita tunduk pasrah pada keputusan-keputusan
orang lain.
Itulah pendidikan kaum tertindas, yaitu
pendidikan yang dijiwai oleh kedermawanan sejati, kemurahan hati humanis dan
menampilkan diri sebagai pendidikan untuk seluruh umat manusia. Pendidikan
semacam ini tidak bisa dilaksanakan oleh kelas dominan dan kaum penindas.
Pasalnya, pendidikan yang diselenggarakan oleh mereka justru mengejawantahkan
dan memperta-hankan dehumanisasi itu sendiri. Adalah sesuatu yang sangat
kontradiktif apabila kaum penindas melaksanakan pendidikan yang membebaskan di
satu sisi, sementara ia juga mempraktikkan dan melestarikan dehumanisasi kepada
kaum tertindas di sisi lain.
Pendidikan yang membebaskan sama sekali
sepi sifat pendidikan gaya bank (banking education), di mana murid
diberi pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil yang berlipat ganda.
Jadi murid adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak
berbeda dari komoditi ekonomi lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau
investornya adalah guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan
dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang
diajarkan kepada murid, dengan harapan tabungan “pengetahuan” itu bisa dipetik
hasilnya di kemudian hari. Guru adalah subyek yang aktif, sedang murid adalah
obyek yang pasif.
Sebaliknya, pendidikan yang membebaskan
terletak pada usahanya ke arah rekonsiliasi. Pendidikan tersebut harus dimulai
dengan pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan murid, sehingga keduanya
sama-sama guru dan murid, mereka sama-sama subyek belajar (Freire, 1996: 53).
Adapun yang menjadi obyeknya adalah realitas sosial yang mereka hadapi secara
bersama-sama. Ini yang disebut Freire dengan pendidikan hadap masalah (problem-posing
education).
Dalam konteks ini, akan memunculkan proses
dialogis antara keduanya. Menurut Freire, melalui dialog ini maka tidak ada
lagi istilah guru-nya-murid dan murid-nya-guru (the teacher-of-the-students
and the students-of-the-teacher). Yang ada ialah guru-yang-murid dan
murid-yang-guru (teacher-students and students-teacher). Guru tidak lagi
menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog
dengan para murid, yang pada gilirannya di samping diajar, para murid juga
mengajar. “Manusia saling mengajar satu sama lain, ditengahi oleh dunia, oleh
obyek-obyek yang dapat diamati, yang dalam pendidikan gaya bank ‘dimiliki’ oleh
guru semata”, tambahnya (Freire, 1996: 61).
Hanya pendidikan semacam inilah yang mampu
mengantarkan manusia ke tangga kesadaran kritis (critical consciousness),
bukan hanya kesadaran magis (magical consciousness) atau kesadaran naif (naivel
consciousness). Kesadaran kritis adalah kesadaran yang menganggap semua
fakta sebagaimana adanya secara empiris dalam korelasi kausalitas dan
lingkungannya. Kesadaran magis adalah kesadaran masyarakat yang hanya menerima
fakta-fakta sebagai sesuatu yang given, yakni disebabkan dan
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan dari atas. Kesadaran ini ditandai
oleh fatalisme yang membuat manusia berpangku tangan, pasrah dan menganggap
musykil setiap usaha untuk mengubah fakta-fakta. Kemudian kesadaran naif adalah
kesadaran yang mengambang di atas realitas, di mana seseorang terus bergulat
dalam kondisi dilematis: antara menjadi diri sendiri atau mengimitasi seperti
penindas; antara melawan atau pasrah; antara menjadi penonton atau pelaku; dan
lain sebagainya (Freire, 1973: 44; 1996: 18).
Tampaknya menarik apabila gagasan
pendidikan Paulo Freire di atas dikaitkan dengan upaya pengembangan masyarakat
madani di Indonesia. Istilah masyarakat madani (al-mujtama’ al-madāni) sebetulnya
merupakan terjemahan lain dari civil society yang mengalami proses
“islamisasi”. Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat
yang berkualitas dan bertamaddun (civility). Civility ini meniscayakan
adanya toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai
pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.[2]
Konsep masyarakat madani seringkali
dikaitkan dengan mithaq al-madinah atau Konstitusi Madinah
sebagai konstitusi pertama yang berisi kesepakatan antara umat Islam dengan
beberapa agama dan suku di Madinah. “Konstitusi Madinah di zaman Nabi itu”,
kata Nurcholish, “sama halnya dengan konstitusi pada umumnya, yaitu hasil
pengikatan diri (‘aqd, kontrak) antaranggota masyarakat, dan meliputi
semua anggota masyarakat di situ tanpa memandang latar belakang primordialnya”.[3]
Konstitusi yang terdiri dari 47 pasal itu adalah profil masyarakat yang sangat
menjunjung tinggi toleransi, solidaritas sosial, keadilan, kesetaraan,
partisipatoris, dan, yang terpenting, berketuhanan. Di sana sangat tampak
sekali bahwa Nabi Muhammad ingin membangun masyarakat yang integral (ummah
wāhidah),[4] sebuah tatanan masyarakat
yang sebelumnya masih belum pernah ada.
Sekalipun kompleksitas persoalan yang
muncul di zaman Nabi berbeda dan persoalan-persoalan yang kini dihadapi umat
muslim Indonesia, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, tingginya buta
aksara, dan masalah-masalah lainnya, upaya pengembangan masyarakat madani di
Indonesia seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad di Madinah sangatlah penting.
Ini mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan sekaligus
sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Persoalannya sekarang,
bagaimana cara mengembangkan masyarakat madani yang sejak lama telah diusahakan
oleh para intelektual muslim Indonesia.
Oleh karena itu, ada baiknya kita
mempertimbangkan gagasan-gagasan revolusioner Paulo Freire. Tidak menutup
kemungkinan gagasan-gagasan Freire itu cukup revelan untuk diterapkan di bumi
pertiwi yang sedang sakit ini. Islam sendiri dengan jelas mendorong umatnya
untuk mengambil hikmah (kebijaksanaan) dari manapun asalnya, bahkan dari
mulut anjing sekalipun. Karenanya, Relevansi Gagasan Pendidikan Paulo Freire
terhadap Pengembangan Masyarakat Madani di Indonesia merupakan tema yang
penting dan menarik untuk diteliti secara serius.
à catatan tentang kiri
Saat ini beberapa negara di Amerika Latin
dipimpin oleh tokoh-tokoh kiri. Sebut saja, Luiz Inacio Lula dalam Silva
(Brazil), sahabat Freire di Partai buruh yang berkuasa hingga saat ini, Daniel
Ortega (Nikaragua), Rafael Correa (Ekuador), Hugo Chavez (Vinezuela), Michelle
Bachelet (Chile), Evo Morales (Bolivia), dan Nistor Kirchner (Argentina) (Kompas,
18 Desember 2006).
B. Rumusan Masalah
Mencermati seluruh uraian latar belakang
di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
- Bagaimana gagasan pendidikan Paulo Freire?
- Bagaimana konsep masyarakat civil society?
- Sejauh mana relevansi gagasan pendidikan Paulo Freire terhadap penguatan civil society di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan
gagasan pendidikan Paulo Freire.
2. Mendeskripsikan
konsep masyarakat madani.
3. Mendeskripsikan
sejauh mana relevansi gagasan pendidikan Paulo Freire terhadap pengembangan
masyarakat madani di Indonesia.
b.
Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat:
1. Memperkaya
khazanah kajian terhadap pemikiran pendidikan Paulo Freire di Indonesia.
2. Gagasan
pendidikan Paulo Freire bisa dijadikan konsep alternatif dalam ikhtiar
pengembangan masyarakat madani di Indonesia.
D.
Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang
tersaji di bagian ini dimaksudkan sebagai potret terhadap karya-karya terdahulu
mengenai gagasan Paulo Freire yang terkait dengan penelitian ini. Tujuan
akhirnya adalah untuk memposisikan penelitian ini di antara karya-karya
yang telah ada, sehingga akan lebih mempertajam fokus penelitian yang akan
dilakukan.
Sejauh ini telah banyak
karya tentang pemikiran Paulo Friere, baik yang berasal dari dalam maupun luar
negeri. Dari sejumlah karya itu, bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori,
yaitu: filosofis, komparasi, dan eksperimentasi.
Pertama, kategori
filosofis, yaitu suatu karya yang menguraikan ontologi, epistimologi dan
aksiologi pemikiran pendidikan Freire. Kategori semacam ini bisa diamati dari
tulisan Denis Collins yang berjudul Paulo Freire, His Life, Work and Thought;[5]
Anton Sudiardja, Filsafat Pendidikan Paulo Freire dalam Bunga Rampai
Sudut-Sudut Filsafat;[6]
Frietz Rusbert Tambunan, Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam
Martin Sardy [ed.], Kapita Selekta Masalah-Masalah Filsafat;[7]
Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan Teori Pendidikan Radikal
Paulo Freire;[8] Roem Topatimasang, et.al.,
Memahami Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam buku Pendidikan
Pupular Membangun Kesadaran Kritis;[9]
Mansour Fakih, Pendidikan Alternatif, Melihat Kembali Gagasan Paulo Freire di
dalam bukunya Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik;[10]
Mu’arif, Paulo Freire dan Wacana Pendidikan Kritis, bab dua dalam
bukunya Wacana Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa
Depan Pendidikan Kita.[11]
Kedua, kategori
komparasi. Ini bisa ditemukan dalam karya Pater Maclaren, Che Guevara, Paulo
Freire, dan Politik Harapan: Pandangan Kritis tentang Pendidikan.[12]
Di situ, McLaren mencoba menyandingkan pemikiran pedagogi Freire dengan
Che, sekalipun ranah praxis keduanya berbeda. Che Guevara (bersama Fidel
Castro) terjun langsung di medan laga untuk memimpin perjuangan kemerdekaan di
Kuba dan negara-negara Amerika Latin lainnya. Sedangkan Paulo Freire—meminjam
istilah McLaren—mengembangkan pedagogi revolusionernya di Brazil, Chili dan
Guine Bissau.
Termasuk dalam ketogori
ini ialah tulisan Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan.[13]
Karya ini berasal dari skripsi Dhakiri di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Salatiga yang semula berjudul Al-Fikratu at-Tarbawiyyatu li-Paulo Freire fi
al-Shohafiyyati al-Islamiyyati. Di sini, Dhakiri mengkomparasikan gagasan
pendidikan pembebasan Freire dengan konsep pembebasan dalam Islam. Dhakiri
menyimpulkan bahwa ada titik temu gagasan pendidikan pembebasan Freire dengan
konsep pembebasan menurut Islam, di antaranya: (1) keduanya sama-sama muncul
dalam setting sosio-kultural yang inhuman (tidak manusiawi) atau jahiliyah,
(2) nilai-nilai yang diperjuangkan melintasi perbedaan etnis, ras, bahasa,
dan semacamnya, (3) keduanya menekankan manusia dan struktur sebagai
elemen-elemen yang harus diubah, dan (4) keduanya sama-sama memposisikan
manusia sebagai entitas merdeka yang memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan-pilihan dalam memaknai kehidupan.
Hal serupa juga ditemukan
di dalam karya Abdul Latif dan Firdaus M. Yunus. Masing-masing menulis Studi
Komparasi Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Paulo Freire[14]
dan Pendidikan Berbasis Realitas Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya.[15]
Latif menyimpulkan bahwa baik Al-Ghazali dan Freire sama-sama menekankan
keharmonisan hubungan antara guru dengan peserta didik. Guru tidak boleh
memaksakan kehendaknya kepada peserta didik, sebaliknya ia wajib memperlakukan
peserta didik dengan perasaan kasih sayang. Sementara itu, Yunus menyimpulkan
bahwa konsep pendidikan hadap masalah Freire dan Mangunwijaya merupakan
konstruksi pendidikan yang berusaha mengintegrasikan realitas sosial dalam
pendidikan dengan mengusung tema-tema ketidakadilan, penindasan, dan pembodohan
dalam masyarakat.
Ketiga, kategori
eksperimentatif, seperti tulisan William A. Smith dalam bukunya The
Meaning of Conscienticacao, The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy yang diindonesiakan menjadi Conscienticacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire.[16]
Karya ini merupakan uraian dari hasil proyek
eksperimentasi yang diselenggarakan atas kerjasama antara Fakultas Pendidikan
Universitas Massachusetts, Agency for International Development dan Ecuadorian Ministry of Education. Salah satu tujuan dari proyek itu adalah untuk
menggunakan bentuk-bentuk metode pemberantasan buta aksara Freire yang telah
dimodifikasi dan sekaligus menunjukkan bahwa metode semacam itu lebih efektif
daripada sistem pemberantasan buta aksara yang sedang dilaksanakan. Selain itu,
Smith juga memaparkan tentang pergeseran kesadaran Malcom X dari kesadaran
magis menuju kesadaran naif hingga akhirnya sampai pada kesadaran kritis.
Mencermati karya-karya di
atas, penelitian ini jelas masih orisinil, sebab belum ada yang mengungkap
gagasan pendidikan Freire dan relevansinya terhadap pengembangan masyarakat
madani di Indonesia. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis gagasan-gagasan
pendidikan Freire yang dikembangkan di Brazil dan beberapa negara Amerika Latin,
dengan setting sosio-kulturalnya saat itu, kemudian menjelaskan titik
relevansinya terhadap ikhtiar pengembangan masyarakat madani di bumi
pertiwi ini.
E. Metode Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang sumber
datanya diperoleh dari buku, ensiklopedi, jurnal, majalah, internet, surat
kabar dan lain-lain.
Di dalam penelitian ini
terdapat dua macam sumber data, yaitu: sumber data primer dan sumber data
sekunder. Data primer adalah karya-karya yang ditulis sendiri oleh Paulo
Freire, sedangkan data sekunder adalah karya-karya orang lain mengenai
pemikiran Freire, terutama yang berkaitan dengan diskursus pendidikan, dan
data-data yang sesuai dengan penelitian ini.
b. Pengumpulan
Data:
Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Membaca dan memahami karya-karya Paulo Freire,
karya-karya tentang Freire, literatur-literatur pendidikan lainnya,
literatur-literatur tentang masyarakat madani dan data-data lain yang berkaitan
dengan penelitian ini,
2.
Mengklasifikasikan data-data yang dibutuhkan
sesuai dengan topik-topik yang dikaji, dan
3.
Menganalisa dan mendeskripsikan data-data
tersebut dalam bentuk uraian.
c.
Analisa Data
Analisa data penelitian
ini menggunakan analisa reflektif, yaitu analisa yang prosesnya mondar-mandir
antara yang empirik dengan yang abstrak. Berpikir reflektif tidak hanya bisa
berlangsung antara yang empirik dengan yang abstrak, tetapi juga dapat merefleksikan
wawasan masa lampau-kini-mendatang.[17]
Jadi, penelitian ini diawali dengan pembacaan terhadap dinamika masyarakat
madani di Indonesia saat ini yang dihubungkan dengan realitas pendidikan ketika
Freire melontarkan gagasan-gagasan pendidikannya dan kemudian kembali lagi
kepada realitas umat Islam Indonesia sekarang. Selanjutnya, dapat
dideskripsikan relevansi gagasan pendidikan Freire terhadap pengembangan
masyarakat madani di Indonesia.
F. Sistematika
Penulisan
Penelitian
ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua
mengemukakan tentang profil diri dan gagasan pendidikan Paulo Freire yang di
bagi menjadi dua sub bab, yaitu: pertama, profil diri Paulo Freire, yang
terdiri dari: latar belakang internal dan eksternal Paulo Freire, karya-karya
Paulo Freire, kiprah Paulo Freire di bidang pendidikan dan politik, pengaruh
pemikiran Paulo Freire ideologi pendidikan Paulo Freire; suatu upaya pemetaan. Kedua,
gagasan pendidikan Paulo Freire. Di dalamnya dibahas tentang definisi dan
tujuan pendidikan menurut Paulo Freire, hakikat kurikulum menurut Paulo Freire,
sekolah dalam perspektif Paulo Freire, relasi guru dan siswa dalam proses
pendidikan, dan aspek teologis gagasan pendidikan Paulo Freire.
Bab ketiga
menjelaskan tentang konsep masyarakat madani. Di sini diuraikan mengenai
definisi masyarakat madani, arkeologi konsep masyarakat madani; perbincangan
masyarakat madani di Indonesia; dan masyarakat madani sebagai konstruksi ideal
umat Islam.
Bab
keempat membahas mengenai relevansi gagasan pendidikan Paulo Freire terhadap
pengembangan madani di Indonesia. Di dalamnya terdiri dari dua sub bab, yaitu:
sketsa perbandingan kondisi Pendidikan di Brazil zaman Freire dan pendidikan di
Indonesia; dan gagasan pendidikan Freire sebagai alternatif baru dalam
pengembangan masyarakat madani di Indonesia.
Bab kelima
merupakan bagian terakhir merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran.
DAFTAR
PUSTAKA
Alsculer,
Alfred, “Kata Pengantar”, dalam William A Smith, Conscientizacao Tujuan
Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2001
Collins,
Dennis, Paulo Friere; His Life, Works and Thought, New York, Paulist
Press, 1977
Dakhiri,
Muh. Hanif, Paulo Friere, Islam dan Pembebasan, Jakarta, Djambatan dan
Pena, 2000
Hefner,
Robert W., Civil Islam: Muslim and Modernization in Indonesia, New
Jersey, Princeton University Press, 2000
http://en.wikipedia.org/wiki/paulofreire
Latif,
Abdul, Studi Komparasi Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Paulo Freire, Skripsi
Sarjana Pendidikan Agama Islam, Jember: Perpustakaan STAIN Jember, 2002
McLaren,
Pater, et.al., Che Guevara, Paulo Freire dan Politik Harapan Tinjauan Kritis
Pendidikan, terj. A. Asnawi, Surabaya, Diglossia Media, 2004
Mu’arif, Wacana
Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan
Kita, Yogyakarta, IRCiSoD, 2005
Muhadjir,
Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998
Murtiningsih,
Siti, Pendidikan Alat Perlawanan [Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire],
Yogyakarta, Resist Book, 2004
Sudiardja,
Anton, 1977, Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam Dari Sudut-sudut
Filsafat Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Kanisius
Tambunan,
Frietz Rusbert, “Filsafat Pendidikan Paulo Freire”, dalam Kapita
Selekta Masalah-masalah Filsafat, Bandung, Alumni Bandung, 1983
Topatimasang, Roem, et.al., “Memahami
Filsafat Pendidikan Paulo Freire”, dalam Pendidikan Pupular Membangun
Kesadaran Kritis, Yogyakarta, Insist Press, 2005
Yunus,
Firdaus M., Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan Y.B.
Mangunwijaya, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2004
[1] Istilah “kiri” di sini
sama sekali tidak berkonotasi sebagai paham kediktatoran seperti yang dilakukan
Hitler, Lenin, Stalin, Mussolini, dan lain-lain. Kiri di sini dimaknai sebagai
kesadaran dan sikap untuk membela orang-orang tertindas menuju tatanan sosial
yang adil dan manusiawi.
[2] Hendro Prasetyo, et.al.,
Islam and Civil Society Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta, Gramedia,
2002, hlm. 174
[3] Nurcholis Madjid, Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung, Mizan), 1998, Cet. XI, hlm. 73-4
[4] Pada Pasal 25-35 Piagam
Madinah menegaskan bahwa Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf, Bani An-Najjar, Bani
Al-Harits, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani Aus, Bani Ts’labah, Warga Jafnah,
Bani Syuthaibiah, berserta sekutu dan hamba sahaya-hamba sahaya mereka adalah
satu umat dengan Kaum Mukmin dengan kebebasan agama serta hak dan kewajiban
masing-masing. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta, UI Press), 1995, hlm. 10-15
[5] Dennis Collins, Paulo
Friere; His Life, Works and Thought, New York, Paulist Press, 1977
[6] Anton Sudiardja, “Filsafat
Pendidikan Paulo Freire”, dalam Bunga Rampai Sudut-sudut Filsafat, Yogyakarta,
Kanisius, 1977
[7] Frietz Rusbert Tambunan, “Filsafat
Pendidikan Paulo Freire”, dalam Kapita Selekta Masalah-masalah Filsafat,
Bandung, Alumni Bandung, 1983
[8] Siti Murtiningsih, Pendidikan
Alat Perlawanan [Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire], Yogyakarta, Resist
Book, 2004. Buku ini berasal dari tesis S2 di Fakultas Filsafat Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
[9] Roem Topatimasang, et.al.,
Memahami Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam Pendidikan Pupular
Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta, Insist Press, 2005
[10] Mansour Fakih, Jalan
Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan Insist
Press, 2002
[11] Mu’arif, Wacana
Pendidikan Kritis, Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan Pendidikan
Kita, Yogyakarta, IRCiSoD, 2005
[12] Pater McLaren, Che
Guevara, Paulo Freire, dan Politik Harapan: Pandangan Kritis tentang
Pendidikan, dalam Che Guevara, Paulo Freire dan Politik Harapan Tinjauan
Kritis Pendidikan, terjemahan A. Asnawi, Surabaya, Diglossia Media, 2004
[13] Muh. Hanif Dakhiri, Paulo
Friere, Islam dan Pembebasan, Jakarta, Djambatan dan Pena, 2000
[14] Abdul Latif, Studi
Komparasi Konsep Pendidikan Al-Ghazali dan Paulo Freire, Skripsi Sarjana
Pendidikan Agama Islam, Jember: Perpustakaan STAIN Jember, 2002
[15] Firdaus M. Yunus, Pendidikan
Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta,
Logung Pustaka, 2004. Buku ini berasal dari Tesis S2 di Fakultas
Filsafat UGM Yogyakarta.
[16] William A. Smith, Conscientizacao
Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta, LKiS,
2001
[17] Noeng Muhadjir, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, 1998, Cet. 8, hlm. 66-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar