ILMU LADUNI
Dalam Perspektif Pendidikan Islam
A.
Pemahaman Ilmu laduni
Kaum
sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang
paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan
dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah
seluruh rahasia-rahasia “alam ghaib” bahkan bisa “berkomunikasi langsung”
dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir as.
Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat
melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu. Hal itu
wajar, karena setiap agama (Islam) memiliki potensi untuk melahirkan bentuk
keagamaan yang bersifat mistik. [1]
Ini
bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari pandangan para
tokoh-tokoh kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi,
Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya
tulis mereka sendiri.
Imam
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin Juz 1/11-12 menyampaikan:
“Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam
setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata
kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak
dibahas … “[2].
Beliau juga menyampaikan bahwa, “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah
dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau
berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan
mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil
ilmu-ilmu dari mereka”.[3]
Ibnu
Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu
sampai hari kiamat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali
mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada
mereka.”.[4]
Jadi
secara etimologis atau makna bahasa, ilmu laduni adalah ilmu pengetahuan yang
datang dari sisi Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Ilmu laduni sangat
ditentukan dan didasari oleh pengalaman batin yang secara khusus diberikan
Allah kepada hamba-Nya di diinginkan. Dari fenomena itu, ada sebagian orang
yang mengganggap sacral keberadaan ilmu laduni, ini karena tidak sembarang
orang bisa mendapatkannya.[5]
B. Proses Ilmu Laduni
Ungkapan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”
(siapa yang mengenal jiwanya, ia mengenal tuhannya) merupakan upaya penting
dalam proses pensucian diri. Dengan kata lain, ungkapan itu bermakna “orang
yang berhasil mengetahui rahasia dirinya berarti ia telah mnemukan Tuhannya”.
Bagaimana mengenal nafs ternyata harus di awali oleh pengenalan pada
hati (qalb) karena mengingat fungsi dan peran pentingnya. Oleh karena
itu, harus ada upaya mengenal hati agar ia terfungsikan sebagai pusat kesadaran
diri.
Bagaimanapun pengetahunan tentang hati/ qalb
manusia merupakan kunci awal menuju pengetahuan Tuhan.[6] Hati
sebagai jiwa rasional ketika mencapai kesempurnaan sepenuhnya, merupakan
cita-cita dari penciptaan. Karena di buat dari citra Tuhan, ia mencakup seluruh
realitas. Hanya melalui kesucian hati manusialah, keseimbangan sejati antara
hamba dan Tuhan akan menjadi sambung.
Menurut Al Ghozali, pengertian hati dapat di lihat dari
dua makna; pertama hati adalah sepotong “daging” berbentuk buah sanubari
yang terletak di bagian kiri dada, yang didalamnya berisi darah hitam. Makna kedua,
hati adalah sebuah lathifah (sesuatu yang sangat halus dan lembut, tidak
kasat mata, tidak berupa, dan tidak dapat di raba), yang bersifat rabbani
ruhani. Lathifah tersebut sesungguhnya adalah jati diri manusia atau
hakekatnya.[7]
Komponen tersebut, menjadi bagian utama manusia yang
berpotensi menyerap (memiliki daya tanggap dan persepsi), yang mengetahui dan
mengenal. Hati yang seperti itu lebih dikenal dengan istilah qalb.[8]
Penyebutan kata “hati” begitu saja akan mengurangi makna dari kandungan lathifah
yang dimaksudkan. Hati juga berfungsi sebagai wadah bagi iman/kenyakinan
yang tumbuh di dalamnya. Yang terpenting
bahwa hati adalah pelantara yang menyebabkan pemahaman terhadap sesuatu yang
dinyakini. Untuk itu, hati merupakan pusat pandangan, pemahaman, dan fokus
ingatan kepada Allah.
Cahaya
hati (qalb) akan bersinar apabila Allah memberikan belas kasih, dengan
menurunkan pengetahuan. Ini bisa di peroleh dengan mensucikan qalb.
Pensucian qalb dilakukan dengan bermujahadah kepada Allah dengan
melepaskan selubung pikiran yang mampu menghalangi “pandangan” kepada Allah.
Itu dilakukan dengan mengendalikan kecenderungan hawa nafsu dan syahwat secara
proporsional.[9]
C. Ilmu laduni dalam Islam
Dikalangan
komunitas santri pondok pesantren, ilmu laduni tidaklah asing di telinga
mereka. Banyak orang yang terkesima sekaligus skeptis antara percaya dan tidak
percaya terhadap eksistensi ilmu laduni. Sebab dengan orang yang memiliki ilu
laduni, maka dia dengan mudah untuk memiliki berbagai macam pengetahuan yang
dia inginkan, tanpa bersusah payah untuk mempelajarinya. Sebab ilmu itu datang
langsung dari Allah masuk kedalam manusia yang telah memiliki ilmu laduni
tersebut.
Kalau
diteliti, kata laduni dalam Al Qur’an yang tertera pada Surat Al Kahfi Ayat 65
jelas di dahului kata “wa’alamnahu”, artinya “kami telah memberikan
pelajaran” belum lagi ayat lain yang sepadan makna dan penjabarannya. Misalnya,
proses pembelajaran Allah kepada Nabi Adam as, Nabi Sulaiman as, dan para
nabi-nabi lainnya. Ini menujukkan bahwa tidak ada ilmu pengetahuan yang datang
kepada manusia secara tiba-tiba. Sebaliknya tetap dalam koridor pembelajaran
yang konsisten terhadap sistem yang mengikat di dalamnya, minimal terjadinya
komunikasi antara guru dan murid. Hanya memang diakui ada yang prosesnya
terlihat secara zhahir dan ada pula yang abstrak, tidak kelihatan atau
tampak di depan mata. [10]
Secara
alamiah atau sunatullah, ada beberapa faktor yang mempengaruhi belajar
seseorang, yakni debedakan 3 (tiga) macam, yaitu; pertama faktor
internal (faktor dari dalam seorang pelajar); kedua faktor eksternal
(faktor dari luar seorang pelajar); ketiga faktor pendekatan belajar,
yaitu jenis upaya belajar seorang pelajar yang meliputi strategi dan metode
yang digunakan seorang pelajar untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Ketiga
faktor itu, lazim dilalui seseorang apabila ingin mendapatkan ilmu pengetahuan.
Meskipun di dunia ini ada beberapa pengecualian yang berlalu di luar hukum
alam, sebagai bukti bahwa Allah maha berkuasa dan berkehendak.[11]
Dalam
pemahaman modern, ilmu laduni identik dengan intuisi[12].
Intuisi merupakan kegiatan batin tertinggi dan kekuatannya berada di atas
kemampuan akal. Intuisi sangat variatif, bila terjadi pada diri seorang nabi
maka label dan simbolnya adalah wahyu. Begitu juga apabila dialami oleh orang
yang bersih hatinya simbolnya menjadi ilham. Penampakan dua simbol ini juga
mengalami perbedaan signifikan, satu sisi berbentuk mu’jizat, di sisi lain
menjadi karomah. Padahal sumber keduanya berputar diatas akal, jiwa, qalbu, dan
nurani manusia yang sama.[13]
Keberadaan
dan status ilmu laduni bukan tanpa alasan. Para sufi merujuk keberadaan ilmu
ini telah ada pada Alquran (QS Al Kahfi [18]:60-82) yang memaparkan beberapa
episode tentang kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS. Kisah tersebut dijadikan oleh
para sufi sebagai alasan keberadaan dan status ilmu laduni. Mereka memandang
Khidir AS sebagai orang yang mempunyai ilmu laduni dan Musa AS sebagai orang
yang mempunya pengetahuan biasa dan ilmu lahir. Ilmu tersebut dinamakan ilmu
laduni karena di dalam surah al-Kahfi ayat 65 disebutkan: "wa'allamnahu
min ladunna 'ilman.." (..dan yang telah Kami ajarkan kepadanya (Khidir
AS) ilmu dari sisi Kami). Dengan demikian ilmu yang diterima langsung oleh hati
manusia melalui ilham, iluminasi (penerangan) atau inspirasi dari sisi Tuhan
disebut ilmu laduni.[14]
Pengetahuan
yang diperoleh seseorang yang saleh dari Allah SWT melalui ilham dan tanpa
dipelajari lebih dahulu melalui suatu jenjang pendidikan tertentu. Oleh sebab
itu, ilmu tersebut bukan hasil dari proses pemikiran, melainkan sepenuhnya
tergantung atas kehendak dan karunia Allah SWT.
Di
dalam tasawuf dibedakan tiga jenis alat untuk komunikasi rohaniah, yakni pertama
kalbu (hati nurani) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, kedua roh untuk
mencintai-Nya dan ketiga bagian yang paling dalam yakni sirr (rahasia)
untuk musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT
secara yakin sehingga tidak terjajah lagi oleh nafsu amarah). [15]
Meski
dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung --secara jasmani--, kalbu
bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi
untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Lapisan dalam dari kalbu disebut roh;
sedangkan bagian terdalam dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut
hati. Apabila ketiga organ tersebut telah disucikan sesuci-sucinya dan telah
dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam,
maka hati itu akan dapat “memahami”
Allah.
Pada
konteks itu, Allah akan melimpahkan nur cahaya keilahian-Nya kepada hati yang
suci ini. Hati seperti itu diumpamakan oleh kaum sufi dengan sebuah cermin.
Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu dan noda-noda yang
mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening. Pada saat itu
cermin tersebut akan dapat memantulkan gambar apa saya yang ada dihadapannya.[16]
Demikian
juga hati manusia. Apabila ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala
sesuatu yang datang dari Allah. Pengetahuan seperti itu disebut makrifat
musyahadah atau ilmu laduni. Semakin tinggi makrifat seseorang semakin
banyak pula ia mengetahui rahasi-rahasia Allah dan ia pun semakin “dekat”
dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang
penuh dengan rahasia-rahasia ketuhanan tidaklah mungkin karena manusia serba
terbatas, kecuali manusia itu melakukan riadhah dan Allah memang
menghendakinya
Salah
satu karya monumental al-Ghazali tentang pengetahuan dalam pandangan tasawuf
adalah kitab Risalah laduniyah. Dalam karya ini, penjelasannya tentang
epistemologi ilmu pengetahuan, terbagi menjadi dua sumber penggalian. Pertama ,
sumber insaniah, dan kedua,sumber rabbaniah.
Sumber
insaniah adalah sumber ilmu pengetahuan yang diusahakan oleh manusia
berdasarkan kekuatan rekayasa akal sehingga membentuk ilmu pengetahuan. Sedangkan
sumber rabbaniah, adalah sumber yang tidak bisa dicapai melalui kemampuan diri
manusia, melainkan harus dengan informasi Allah melalui petunjuk, baik langsung
(ilham yang dibisikkan kepada hati manusia) maupun berbentuk kitab suci yang
diturunkan lewat rasul-Nya.
Pada
sumber yang kedua itu al-Ghazali menjelaskan bagaimana cara pengetahuan
diperoleh manusia, yang dibagi menjadi dua jalan, pertama melalui wahyu,
dan kedua melalui ilham. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu,
datang tanpa melalui proses belajar dan berpikir. Ia hanya diturunkan kepada
para nabi karena mereka memiliki akal kulli. Ilmu yang diperoleh melalui
wahyu ini berkisar tentang rahasia ibadah yang diperintahkan maupun larangan
Allah tentang hari akhir, surga, neraka, serta termasuk juga masalah mengetahui
diri dan Dzat Tuhan (metafisik) yang menuntut al-Ghazali tidak bisa dicapai
dengan akal, tetapi dengan wahyu (al-qur’an). Begitu pula tentang syari’ah
agama itu sendiri. Manusia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terkandung dalam
setiap pernyataan ajaran agama.
Sedangkan
pengetahuan yang datang melalui ilham yang masuk kedalam diri manusia disebut
ilmu laduni. Dalam risalah laduniyah, al-Ghazali mengartikan
ilmu laduni sebagai ilmu yang terbuka melalui rahasia hati “tanpa perantara”
karena ia datang langsung dari Tuhan kedalam jiwa manusia. Sementara dalam ihya
ulumaldin, ia mengartikan ilmu laduni sebagai ilmu yang datang langsung
dari tuhan secara langsung “ tanpa sebab”. Antara pengertian “tanpa sebab” dengan “tanpa perantara” terdapat hal yang
menarik untuk diteliti lebih lanjut. Dari kedua sumber tadi-wahyu dan
ilham-al-Ghazali memasukkan jalan ta’allum dan tafakkur sebagai
jalan lain untuk memperoleh ilmu.
D.
Konsep Dasar Pendidikan Islam
Konsep dasar pendidikan Islam adalah konsep atau
gambaran umum tentang pendidikan, sebagaimana dapat dipahami atau bersumber
dari sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Al Hadist. Sebagai sumber dasar
ajaran Islam, Al Qur’an memang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat manusia
melalui Nabi Muhammad Saw. Hal ini sebagai petunjuk dan penjelas tentang
berbagai hal yang berhubungan dengan permasalahan hidup dan perikehidupan umat
manusia di dunia ini. Sementara itu sebagian kalangan, para ahli pendidikan
berasumsi bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pendidikan. Mereka
menganggap apa yang telah dilakukan Islam dalam pelaksanaan pendidikannya tidak
memiliki konsep yang jelas. Penerapan pendidikan Islam selama ini hanya
mengadopsi konsep dan sistem pendidikan Barat, yang kini telah mendominasi
sistem pendidikan secara global.[17]
Asumsi demikian tentu tidak boleh serta merta
disalahkan, kendatipun tidak secara mutlak diterima begitu saja. Salah satu
argumen yang bisa diajukan mereka adalah karena sampai sekarang peristilahan
yang secara baku dan konsisten disepakati semua pihak, kecuali dalam wujud
polemik yang tidak berkesudahan.
Secara teknis, Mastuhu menawarkan konsep dasar
pendidikan Islam yang sifatnya harus teknis. Sebab dengan sesuatu yang teknis
ini pendidikan Islam akan memiliki orientasi yang jelas. Konsep Mastuhu
tersebut adalah; pertama dalam pendidikan Islam tidak ada pemisahan
istilah “pendidikan” dan “pengajaran”. Keduanya merupakan satu kesatuan yang
integral, hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Pengajaran
merupakan kiat atau strategi untuk mengaktualkan pendidikan, sedangkan
pendidikan merupakan suatu nilai yang terus berjalan tanpa henti, agar dapat diwujudkan.
Pendidikan harus diprogramkan ke dalam target-target atau level-level tertentu,
seperti diwujudkan dalam rencana-rencana pengajaran, praktikum, dan cara-cara
mengajar. Ini yang kemudian diistilahkan dengan “pengajaran” sebagai teknologi
atau kiat merealisasikan pendidikan. Pengajaran harus dilandasi dengan
nilai-nilai kependidikan dan kependidikan pun selalu diwujudkan melalui
kegiatan pengajaran;
kedua dalam melaksanakan metodologi
pendidikan Islam, harus dipergunakan paradigma holistik, artinya memandang
kehidupan sebagai satu kesatuan, sesuatu yang kongkrit dan dekat dengan
kepentingan hidup sehari-hari sampai dengan hal-hal abstrak dan trasendental.
Materi pendidikan Islam harus selalu terintegrasi dengan disiplin-disiplin ilmu
pengetahuan umum dan ilmu-ilmu umum harus disajikan dalam paradigma nilai
ajaran Islam.
Ketiga perlu dipergunakan model penjelasan
yang rasional, disamping pelatihan, dan keharusan melaksanakan
ketentuan-ketentuan doktrin spiritual dan norma peribadatan. Model penjelasan
yang rasional, misalnya, digunakan dalam menjelaskan rukun iman. Selain itu,
perlu mengembangkan pemikiran-pemikiran rasional, kreatif, inovatif, dan
proaktif dalam mempelajari agama.
Keempat perlu digunakan teknik-teknik
pembelajaran partisipatoris. Artinya, peserta didik aktif melakukan eksplorasi,
menentukan permasalahan, dan bertanggungjawab akan pemecahan masalah dengan
ikut serta merasakan dan mengamalkannya. Model partisipatori mengharuskan peserta
didik sendiri yang belajar mengidentifikasi masalah, mengkonsep cara-cara
pemecahan, dan mengambil keputusan.
Kelima perlu digunakan pendekatan emprik
untuk melengkapi model dedukatif. Upaya untuk menghadirkan dan mengaktualkan
iman dalam kehidupan, selain dalam pendekatan wahyu, manusia harus
menerima-berhadapan dengan hukum alam (sunatullah) ciptaan Allah. Keenam pendidikan
Islam lebih diorientasikan pada apa yang dikerjakan peserta didik itu sendiri.
Jadi bukan hanya ang dilakukan oleh guru, sehingga memberikan pengalaman kepada
peserta didik merupakan hal yang penting dalam proses belajar mengajar. Artinya
harus ada interaksi aktif dan partisipatif antara peserta didik dengan materi
yang diajarkan. Dengan cara yang demikian ini, diharapkan konsep dasar
pendidikan Islam lebih memiliki arah yang jelas.[18]
1.
Pengertian Istilah Pendidikan Islam
Dari sudut pandang bahasa, pendidikan Islam tentu saja
berasal dari khasanah istilah bahasa Arab yang di terjemahkan, mengingat dari
bahasa itulah ajaran Islam diturunkan. Menurut yang tersirat dalam Al Qur’an
dan Hadist yang menjadi sumber utama ajaran Islam, istilah yang dipergunakan
dan dianggapnya relevan sebagai gambaran konsep dan aktivitas pendidikan Islam
itu ada 3 (tiga), masing-masing adalah; at Tanbiyah, at Ta’liim, dan at Ta’dib.
[19]
Sementara pandangan yang lain juga menganggap bahwa yang
dipakai untuk pendidikan Islam yaitu tarbiyah dan ta’dib.[20] Dalam
pandangannya istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut Naquib al
Attas, tarbiyah secara semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia,
tetapi dapat dipakai kepada spesies lain seperti, mineral, tanaman dan hewan.
Selain itu tarbiyah berkonotasi material. Ia mengandung arti mengasuh,
menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan
bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang
dan menjinakkan[21].
Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam (World
Conference on Islamic Education) yang pertama di Mekkah Tahun 1977 memberikan
rekomendasi tentang pengertian pendidikan menurut ajaran Islam. Dalam konfrensi
itu, telah merekomendasikan pengertian pendidikan Islam dalam arti dan ruang
lingkup yang luas, yang mencakup didalamnya secara terpadu konsep-konsep tarbiyah,
ta’lim dan ta’dib. Namun dalam pemakaian kata sebagai istilah baku
yang lebih tepat untuk menyatakan konsep pendidikan Islam ini, para ahli masih
berbeda pendapat.[22]
Namun demikian pada akhirnya, para ahli dan pemikir
pembaharuan pendidikan Islam sekarang lebih cenderung menggunakan Istilah tarbiyah.
Kata tarbiyah dipandang cocok untuk menggambarkan secara tepat
konsep pendidikan Islam yang relevan dengan tuntutan dan tantangan jaman
modern. [23]
Diambilnya pemahaman istilah tarbiyah dalam
konteks pendidikan Islam, karena kata tarbiyah merupakan masdar dari rabba
yang serumpun dengan akar kata rabb (tuhan). Oleh karenanya tarbiyah
yang berarti mendidik dan memelihara, termasuk secara implisit di dalamnya
istilah rabb sebagai rabb al ‘alamin. Allah sebagai pendidik dan pemelihara
alam semesta maha mengetahui segala kebutuhan makhluk yang dididik dan
dipelihara-Nya karena Ia penciptanya (al khaliq). Manusia sebagai wakil
Allah di bumi (khalifatullah fi al-ardli) memiliki tanggungjawab dalam
pendidikan. Ketika ia berperan sebagai pendidik, maka ia harus mengidentifikasi
dengan Allah sebagai rabb al-alamin. Bertolak dari pandangan
teosentrisme, yang menjadikan Tuhan sebagai pusat seluruh ihwal kehidupan.[24] Dari
pemahaman tersebut istilah dan konsep tarbiyah menjadi tepat digunakan
untuk memberi makna pendidikan Islam sebagai implementasi peran manusia di
bumi.
Dengan demikian istilah pendidikan Islam yang relevan
dengan rekanan konsep bahasa Arabnya adalah at Tarbiyah, sehingga
istilah pendidikan Islam akan menjadi at Tarbiyah al Islamiyah, bukan at
takliim al-Islamiy atau at
Ta’diib al-Islamiy.
Secara terminologi, beberapa ahli pernah mengajukan
rumusan konsep pendidikan Islam. Dalam buku Crisis in Muslim Education,
Syed Sajjad Husain Syed Ali Ashraf menulis; pendidikan Islam adalah pendidikan
yang melatih perasaan peserta didik dengan begitu rupa, sehingga dalam sikap
hidup, tindakan, dan keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis
pengetahuan mereka sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sadar akan
nilai etis Islam[25]
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam
pendidikan, dan hal ini juga merupakan saripati dari seluruh renungan
pedagogik. Untuk itu tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan
jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua
kegiatan pendidikan dilaksanakan.
Untuk itu perbincangan mengenai tujuan pendidikan Islam
mendasarkan pada tujuan hidup manusia. Sebab, pendidikan bertujuan untuk
memelihara kehidupan manusia. Dalam konteks Islam, Al Qur’an dengan tegas
mengatakan bahwa apapun tindakan yang dikerjakan oleh manusia haruslah
dikaitkan dengan Allah. Penegasan itu ada dalam Al Qur’an Surat Al An’aam ayat
ke 162 yang artinya: katakanlah: sesungguhnya sembayangku dan ibadatku,
seluruh hidup dan matiku, semuanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam.
Berdasar pemahaman tersebut, jelas terlihat sesuatu yang
diharapkan terwujud secara ideal setelah seseorang mengalami pendidikan Islam,
yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan
pola taqwa kepada Allah. Insan kamil artinya manusia utuh rokhani dan jasmani,
dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah
SWT. Hal ini sejalan dengan harapan yang tersirat dalam Al Qur’an Surat Al
An’aam ayat ke 162 sebagaimana di atas.
Seiring dengan tujuan tersebut, sama halnya juga dalam
pandangan Al Ghazaliberpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama
ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah, dan kesempurnaan insan yang
tujuannya kebahagian dunia akherat[26].
Sejalan dengan uraian tersebut, rumusan internasional
tujuan pendidikan Islam menurut konferensi pendidikan Islam di Islamabad tahun
1980, bahwa pendidikan harus dapat merealisasikan cita-cita (ideaitas) Islam
yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara
harmonis yang berdasarkan psikologis dan fisiologis maupun yang mengacu kepada
keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga
terbentuknya muslim yang paripurna, berjiwa tawakkal secara total kepada Allah[27].
Berdasarkan pemahaman tersebut, secara mendasar tekanan
utama tujuan pendidikan Islam adalah pada usaha membimbing kearah pembentukan
kepribadian muslim, yaitu manusia yang berilmu, beriman, bertaqwa dan beramal
shaleh, manusia yang berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam yang lebih bersifat metafisik. Dengan kerangka ini, dapat
dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “bagaimana membuat
manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja dan justru melupakan
kepekaannya terhadap kemanusiaan”, tetapi tujuan pendidikan Islam adalah
“memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dan sosial kemanusiaannya”,
lebih jauh lagi dengan memuliakan dan memberdayakan manusia dengan segala
potensi yang dimilikinya.
3.
Fungsi Pendidikan Islam
Dengan pengertian dan tujuan pendidikan Islam seperti
tersebut di atas, maka fungsi pendidikan Islam sudah cukup jelas, yaitu
memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumberdaya manusia menuju terbentuknya
manusia yang paripurna/ insan kamil dengan kata lain yakni manusia
berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.
Bagaimanapun pendidikan, menurut Durkheim dalam Education
and Sociology merupakan produk masyarakat yang menetapkan bahwa masyarakat
itu sendiri dapat survive[28].
Pandangan Durkheim ini, mengisyaratkan fungsi konservatif pendidikan sebagai
lembaga pewaris kebudayaan sekaligus mengakibatkan pengekalan pada struktur
sosial. Hal itu diharapkan manusia dalam mengarungi kehidupannya yang dari masa
ke masa selalu berkembang dan tentunya hal ini harus tetap dihadapinya secara survive.
Dalam pemahaman umumnya, pendidikan merupakan sektor
yang amat penting dan strategis bagi siapa saja; pemerintah, keluarga, dan
individu dalam kapasitasnya masing-masing selalu memiliki perhatian terhadap
dunia pendidikan. Keadaan semacam ini memiliki konsekuensi bahwa perencanaan
pendidikan harus betul-betul dapat menyerap dan mengakomodasi aspirasi
pendidikan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang merupakan totalitas
dari kelompok-kelompok individu maupun keluarga. Oleh karena itu, perencanaan
pendidikan harus berfikir mengenal relevansi program pendidikan dengan
kebutuhan masyarakat itu sendiri. Bahkan tidak hanya berhenti pada tahab itu
saja, keseuaian program pendidikan harus diorientasikan pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedang dan akan terjadi.
Mendasari pemahaman tersebut berarti manusia perlu
didikan. Untuk menciptakan manusia yang berkualitas di segala
bidang, diperlukan sebuah proses, dan proses itu tidak serta merta ada dengan
sendirinya tanpa adanya suatu “rekayasa”, yang tentunya
di manaj dengan
tepat dalam “kawah candradimuka” yakni sebuah pendidikan[29] yang
kondusif. Dengan harapan, semakin berkualitas pendidikan yang diperoleh, tentu
dengan sendirinya akan semakin berkualitas gagasannya dalam menjawab kebutuhan
zaman[30]. Untuk
itu pendidikan merupakan cara strategis dalam meningkatkan kualitas hidup manusia
dalam segala aspeknya. Dalam sejarah umat manusia[31], hampir
semua umat manusia yang menggunakan pendidikan sebagai proses pemberdayaannya.
Dengan demikian,
hampir dipastikan setiap orang
mendambakan dan ingin melahirkan
generasi penerus yang
selain memiliki keunggulan bersaing
untuk menjadi subyek
dalam percaturan dunia, juga hendaknya memiliki kepribadian
yang utuh[32],
sehingga dapat memakmurkan dan memuliyakan pada kehidupan materi dan spiritual
untuk pribadi, keluarga serta masyarakatnya. Dalam merealisasikan keinginan
tersebut, lembaga pendidikan sampai
saat ini masih dipandang sebagai tempat yang cukup kondusif guna
dijadikan sebagai institusi yang sangat potensial dan strategis untuk
memproduk, menciptakan, dan
mengembangkan SDM yang berkualitas tinggi.
Pandangan tersebut disadari bahwa dalam setiap
proses pendidikan, utamanya melalui sekolah, terjadi berbagai bentuk penemuan
baru yang berguna bagi kepentingan umat manusia. Bagaimanapun instrumen
pendidikan diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menggapainya.
Tidak berlebihan apabila semua orang sepakat bahwa pendidikan merupakan
prasarat (indikator) sebuah kemajuan.
Upaya pendidikan yang dilakukan oleh
suatu kelompok, bangsa, negara tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan
bagi kemajuannya, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang paling
asasi bagi manusia. Bahkan M. Natsir menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah
satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan manusia[33].
pernyataan itu kiranya, memang didasari oleh indikasi tentang pentingnya
pendidikan dalam kehidupan umat manusia.
Posisi pendidikan itu sendiri memegang peranan utama dalam mendorong kemajuan
setiap individu untuk meningkatkan kualitas di segala aspek kehidupannya.
Dengan tercapainya kualitas pendidikan akan tercapai pula tujuan hidup
seseorang serta akan menunjang perannya dimasa mendatang sebagai subyek dalam
kehidupan.
Dalam konteks ini, fungsi pendidikan Islam tidak
saja menyiapkan tenaga terdidik untuk kepentingan ekonomi dan politik, tetapi
justru membina ”totalitas manusia” yang mampu membangun dunia dengan segala
dimensinya, sesuai dengan komitmen keimanannya kepada Allah SWT yang diserahi
tanggungjawab sebagai khalifa fil ardhi. Maka dalam hal ini, Islam
memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan
manusia untuk mampu memikul taklif (tugas hidup) sebagai khalifah Allah
di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya. [34]
Dalam mengembangkan dan memberdayakan potensi manusia (insan),
fungsi pendidikan pada hakekatnya mempunyai tiga peran yang prosesnya berjalan
secara stimultan yaitu sebagai proses belajar, proses ekonomi dan proses sosial
buadaya.[35]
Pendidikan sebagai proses belajar, harus mampu menghasilkan individu dan
masyarakat religius secara personal memiliki integritas dan kecerdasan.
Sementara pendidikan sebagai proses ekonomi merupakan suatu investasi, oleh
karena itu pada tingkat tertentu pendidikan harus memberikan keuntungan bagi
segi sumber daya manusia. Dan pendidikan sebagai proses sosial budaya,
pendidikan merupakan suatu bagian integral dari proses sosial budaya yang
berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Dengan demikian fungsi
pendidikan Islam diharapkan mampu menghasilkan manusia religius, memiliki
integritas, kecerdasan, dan memberikan keuntungan bagi sumber daya manusia.
Dengan fenomena tersebut, untuk mempertegas kembali
bahwa fungsi pendidikan Islam adalah mengarahkan dengan sengaja segala potensi
yang ada pada manusia seoptimal mungkin sehingga dapat berkembang menjadi
manusia muslim yang baik atau insan kamil. Artinya, segala potensi
manusia yang dibawa dari lahir bukan hanya dapat dikembangkan dalam lingkungan
(empirik) semata-mata, tetapi juga dapat dikembangkan secara terarah dengan
bantuan orang lain atau pendidik. Memang diakui dalam pandangan Islam bahwa
yang pertama-tama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah
melakukan pendidikan untuk mengarahkan anak-anaknya. Seperti contoh dalam Al
Qur’an Surat Luqman ayat 12 – 14 artinya:
Dan sesungguhnya telah
Kami berikan hikmat
kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada
Allah. Dan barangsiapa
yang bersyukur , maka sesungguhnya
ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (12). Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar kezaliman
yang besar (13). Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu (14)
Oleh sebab itu fungsi pendidikan adalah mengarahkan
segala potensi peserta didik seoptimal mungkin agar ia mampu memikul amanah dan
tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, yang
sesuai dan sejalan dengan profil manusia muslim yang baik (insan kamil),
yaitu manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT sebagai tujuan akhir pendidikan
Islam.
E.
Prinsip Pendidikan Islam
Secara mendasar dipahami bersama bahwa pada prinsipnya
pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama.
Penyatuan antara kedua unsur pengetahuan itu, termasuk tuntutan dalam aqidah
Islam. Allah dalam doktrin ajaran Islam adalah pencipta alam semesta termasuk
manusia. Dia pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola dan menjaga
kelestariannya. Hukum-hukum mengenai alam fisik dinamakan Sunnah Allah (sunatullah)
sebagai bentuk pertama, dan bentuk kedua adalah pedoman hidup dan hukum-hukum
untuk kehidupan manusia telah ditentukan pula dalam ajaran agama yang dinamakan
din Allah, yang mencakup akidah dan syari’ah. Baik alam fisik dengan
aturannya berupa sunatullah maupun pedoman hidup manusia berupa din
Allah adalah sama-sama tanda wujud dan kebesaran Allah SWT.
Atas dasar pemahaman tersebut, berarti sama-sama ayat
Allah walaupun yang pertama didapatkan dalam alam semesta sedangkan yang kedua
didapatkan di dalam wahyu, yang pertama dinamakan ayat-ayat al kauniyah dan yang kedua dinamakan
ayat al tanziliyah. Studi tentang ayat al kauniyah dilakukan
dalam ilmu fisika, geologi, geografi, biologi dan sebagainya. Sedangkan studi
tentang tata kehidupan manusia berupa pengembangan pengetahuan di dasarkan pada
ayat-ayat yang berupa tanziliyat. [36]
Selama ini ada perbedaan prinsip antara pendidikan Islam
dengan pendidikan lainnya, yang justru telah membawa konsekuensi lebih jauh,
baik yang menyangkut wawasan, landasan dan tujuan, kurikulum, proses belajar
mengajar dan lain-ainnya. Ironisnya, karena kurang diketahui secara persis
beberapa prinsip pendidikan Islam, baik secara makro maupun secara mikro,
secara tidak sadar justru sebagian besar umat muslim sering mengadopsi konsep
pendidikan Barat. Sehingga out put yang dihasilkan secara formal muslim,
tetapi karakter mereka bukan, karena banyak diantaranya yang terdidik dan
terperangkap pada pola Barat. Artiya apa yang datang dari Barat diterima “tanpa
seleksi”,[37]
akhirnya corak nyata adalah muslim, tetapi ideologi ikut Barat.
Diketahui bahwa pendidikan memegang peranan yang
signifikan dalam melakukan perubahan pada setiap orang. Kebekuan dalam dunia
Islam dalam konteks pendidikan masih mengunakan proses yang masih “kaku”[38]. Dalam dunia
pendidikan sering lebih menitik beratkan pada bagaimana mengembangkan
kecerdasan teknis kognitif. Hal ini dapat dimaklumi karena proses transfer
dalam pembelajaran sering terjadi hanya satu arah, yang sifatnya doktriner.
Sehingga nuansa pendidikan yang dilakukan kaku, hanya satu arah yakni dari guru
semata. Partisipasi peserta didik dalam pendidikan tidak diberi kebebasan. Akhirnya
peserta didik terjebak dalam hal yang terbatas.
Sebagaimana dipahami bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah untuk menciptakan manusia seutuhnya. Seutuhnya dalam arti keutuhan
antara dua dimensi yakni jasmani dan rokhani. Pendidikan yang merupakan
derivasi (turunan dari) education (dalam Bahasa Inggris), at-tarbiyah
(dalam Bahasa Arab) menunjuk adanya proses yang berkesinambungan dalam diri
manusia.[39]
Untuk itu, proses meliputi keseluruhan unsur baik kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Bila proses tidak berjalan secara stimultan maka yang akan
terjadi adalah split personality (diri yang terpisah) pada setiap orang.
Pada dataran ideal, tujuan pelaksanaan pendidikan yaitu sebagai proses untuk
membentuk pribadi peserta didik yang sempurna.
Dalam wilayah teknis pelaksanaannya, berbagai kendala
muncul sehingga untuk mencapai target yang diinginkan tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Di situ terlihat jelas bahwa pendidikan merupakan proses
kompleks yang melibatkan berbagai variabel yang memiliki keterhubungan. Dengan
demikian, apabila pelaksanaan pendidikan itu sendiri kurang sempurna akan
berimbas pada cacatnya proses pembelajaran, dan pada akhirnya tidak akan
menghasilkan output yang diharapkan sbagaimana mestinya.
Atas dasar pemahaman tersebut, pendidikan Islam
menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan
yang terjadi dalam kehidupan manusia. Implikasinya, pendidikan Islam senantiasa
mengundang pemikiran dan kajian, baik secara konseptual maupun oprasional
sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan untuk menjawab tantangan serta mampu
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia. Dengan demikian,
dengan pendidikan Islam diharapkan mampu menciptakan manusia yang menjadi
pengendali kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sekaligus menjadi daya
tangkal terhadap dampak-dampak negatif lingkungan yang ditimbulkan oleh
kemajuan teknologi itu sendiri.
Dalam pelaksanaannya pendidikan Islam harus mampu
mengintegrasikan pendidikan qalbiyah yang selalu seiring dan selalu
berinteraksi dengan pendidikan aqliyah, sehingga dapat melahirkan
prilaku manusia yang religius, memiliki integritas dan kecerdasan.[40] Dapat
dikatakan bahwa pendidikan Islam sebenarnya merupakan pendidikan yang mampu
menyiapkan kader-kader khalifah dan secara fungsional keberadaannya
menjadi peran utama dalam terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil
‘alamin.
Dijadikannya manusia sebagai kholifah di muka bumi ini
karena manusia menempati kedudukan yang paling istimewa di jagad raya ini.
Sebagaimana dalam firman Allah Surat Al Baqarah Ayat 31 yang artinya;
“Ingatlah, ketika tuhanmu berkata kepada malaikat: Aku akan menciptakan
khalifah di atas bumi”. Selanjutnya manusia dianggap sebagai kholifah[41] Allah tidak
dapat memegang tanggung jawab sebagai khalifah kecuali kalau ia diperlengkapi
dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian.
F.
Metode Pendidikan Islam
Metode berasal dari Bahasa Yunani yaitu metha dan
hodos. Metha berarti melalui atau melewati, dan hodos berarti
jalan atau cara. Metode berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk
mencapai tujuan tertentu[42].
Sementara dalam Kamus Ilmiah Populer dijelaskan bahwa metode adalah cara yang
teratur dan sistimatis untuk pelaksanaan sesuatu.[43]
Sementara itu Langgulung berpendapat bahwa penggunaan
metode didasarkan atas tiga aspek pokok, yaitu;
kesatu sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan
tujuan, kedua berkenaan dengan metode-metode yang betul-betul berlaku, ketiga
membicarakan tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam
istilah Al Qur’an disebut ganjaran (sawab) dan hukuman (iqab). [44]
Dalam pendidikan yang diterapkan di Barat,
metode-metode pendidikan hampir sepenuhnya tergantung kepada kepentingan
peserta didik. Para guru hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, ataupun
hanya sebagai instruktur. Sistem yang cenderung dan mengarah kepada anak didik
sebagai pusat (child centre) ini sangat menghargai adanya perbedaan
individu para peserta didiknya. Hal ini yang menyebabkan para guru hanya
bersikap merangsang dan mengarahkan para peserta didik mereka untuk belajar dan
mereka diberi kebebasan, sedangkan pembentukan karakter hampir kurang menjadi
perhatian guru.
Akibat model metode yang demikian itu menyebabkan
pendidikan yang dilakukan kurang memperhatikan watak. Dihubungkan dengan
fenomena yang timbul di masyarakat di mana guru semakin tidak di hormati oleh
muridnya. Pada kasus ini saja sudah terdapat perbedaan yang besar antara sistem
metode pendidikan Islam dan pendidikan Barat yang dianggap pendidikan modern.
Dalam konteks Islam, pendidikan yang dilakukan sangat menghargai kebebasan
individu, namun selama kebebasan itu sejalan dengan fitrahnya. Sehingga seorang
guru pun dalam mendidik tidak dapat memaksakan peserta didiknya dengan cara
yang bertentangan dengan fitrahnya. Akan tetapi sebaliknya, guru harus
bertanggungjawab dalam membentuk karakter peserta didik sebagai bagian dari
proses pendidikan yang dilakukannya. Dia tidak boleh duduk diam, sedangkan
peserta didiknya memilih jalan yang salah.
Itu yang membedakan antara metode pendidikan Barat dengan
metode pendidikan Islam. Bagaimanapun pendidikan Islam berorientasi pada
penanaman ahklaq kepada setiap peserta didiknya. Sebagaimana dipahami bahwa
pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sekaligus pengajaran iman dan
pengajaran amal. Ini karena, pendidikan Islam didasari oleh ajaran Islam yang
berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat.[45]
Untuk itu pendidikan Islam bisa dipahami sebagai pendidikan individu dan pendidikan
masyarakat.
Upaya guru untuk memilih metode yang tepat dalam
mendidik peserta didiknya harus disesuaikan dengan tuntunan agama. Jadi, dalam
berhadapan dengan murid-muridnya ia harus mengusahakan agar pengajaran yang
diberikan kepada peserta didiknya itu mudah diterima dan tidak cukup dengan
sikap lemah lembut saja. Ia harus memikirkan metode-metode yang tepat yang akan
digunakan, seperti memilih waktu yang sesuai, memulai dengan yang mudah.
Berbagai metode yang digunakan dalam mengajarkan suatu mata pelajaran,
bercerita, mengulang-ulang, menanyakan soal-soal, dn lain sebagainya, seperti
Rasulullah Saw mengajarkan kepada para umatnya berbagai metode yang tepat.
[1]
Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam; Spiritualitas Masyarakat Modern, Bandung
Pustaka Setia, 2002, Hal. 70.
[2] Al
Gzajali, Terjemah Ulumuddin Juz 1, t.th., Hal. 11-12
[3] Al
Gzajali, Terjemah Jamharatul Auliya’, t.th, Hal. 155
[4] Ibnu
Arabi, Rasa’il Ibnu Arabi, t.th. Hal.
4
[5] A.
Busyairi Harits, Ilmu Laduni; Dalam Perspektif Teori Belajar Modern,
Cet. Kedua, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Hal. 21-22.
[6]
Muhtar Sholikhin dan Rosihon Anwar, Hakekat Manusia; Mengenali Potensi
Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2005, Hal. 66
[7] Al
Ghazali, Keajaiban-Keajaiban Hati, Bandung: Karisma, 2000, Hal. 26
[8]
Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, Jakarta: Patrap Thursina Sejati,
2006, Hal. 63
[9]
Muhtar Sholikhin dan Rosihon Anwar, Hakekat Manusia; Mengenali Potensi
Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, Ibid, Hal. 70
[10]
Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta, Jawa Tengah:
Rindang Depag Kanwil Jateng, No. 07 TH. XXXIV Pebruari 2009, Hal. 31
[11]
Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta, Jawa Tengah:
Rindang Depag Kanwil Jateng, No. 07 TH. XXXIV Pebruari 2009, Hal. 32
[12] Intuisi
adalah bisikan kalbu atau kesanggupan dalam mencapai pengetahuan dengan
pemahaman secara langsung tanpa melalui proses berfikir
[13]
Khomisun, Bambang, Ilmu Laduni; Antara Ilusi dan Fakta,Ibid, Hal. 32
[15] http://www.indogamers.com/f176/islam_ilmu_laduni-160272/
[16]
Amroeni Drajat, Filsafat Iluminasi; Sebuah Kajian Terhadap Konsep Cahaya
Suhrawardi, Tanggerang: Riora Cipta, 2001. Hal. 34
[17]
Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam
Mulia, 2002, Hal. 1
[18]
Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003, Hal. 195
[19]
Ibid, Hal. 2
[20]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1998, 1
[21] Ibid,
Hal. 2
[22]
Muhaimin, et, all, Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Abdi Tama,
t.th, Hal. 13
[23] Ibid,
Hal. 13
[24]
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005, Hal. 26
[25]
Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 12
[26]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 26
[27]
Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 19
[28] Soebahar,
Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 25
[29] Karena melalui pendidikan, masyarakat
akan belajar untuk mengerti dan merubah hubungannya dengan alam serta
lingkungan sosialnya secara kontruktif; Kadir dan Ma’sum, Pendidikan di
Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982),15; Bandingkan,
bahwa proses pendidikan juga dapat difahami sebagai pemberi corak hitam
putihnya perjalanan hidup seseorang; Soewito, Pendidikan Yang Memberdayakan,
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000),1; Bandingkan, bahwa pendidikan
merupakan upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia, khususnya peserta
didik, dan proses pendidikan merupakan bentuk ikhtiar dalam menyiapkan generasi
muda untuk mempengaruhi kehidupan yang akan datang; Wahid, Marzuki, Pesantren
Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), 171; bandingkan juga, bahwa Presiden Soeharto ketika
membuka Konfrensi Dewan Mentri-mentri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang
ke-17menyampaikan bahwa pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap
bangsa, lebih-lebih bagi yang sedang membangun; Furchan, Arief, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1982), vii.
[30] Karena pendidikan yang ada dibelahan
dunia manapun (baik negara berkembang atau negara maju) selalu dijalankan
sebagai proses untuk membentuk dan mengembangkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas sesuai
dengan kebutuhan sosial masyarakat sekitar. Nasrib, Ibrahim, Keteladanan
Pendidik Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, Mimbar Depaq
Jatim,(No. 175 April, 2001), 32.
[31] Apabila ditelusuri dari segi sejarahnya,
pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berumur sangat tua. Hal ini dapat
dipahami sebenarnya pendidikan telah dijalankan sejak mulainya manusia dimuka bumi
ini. Penguasaan terhadap alam semesta, memberikan contoh pendidikan kepada
manusia. Dan dilanjutkan dengan mendidik keluarganya. Baca Ma’arif, Syafi’i, Pendidikan
Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”, Jurnal Pendidikan Islam, (No. 2. Fak.
Tar. UII, Oktober 1999), 6.
[32] Kepribadian yang utuh dimaksudkan
adalah kepribadian yang memiliki dua dimensi; yakni kepribadian moral dan
intelektual.
[33] Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), 78.
[34]
Aly, Hery Noer dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska
Agung Insani, 2000, Hal. 11
[35]
Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Ibid, Hal. 133
[36]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 113
[37]
Soebahar, Abdul Halim, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 70
[38]
Kaku yang dimaksud adalah dari segi visi, misi, sistem, kurikulum, evaluasi
masih menggunakan prinsip klasik/lama.
[39]
Abdurrahman, Meaningful Learning; Re-Invensi Kebermaknaan Pembelajaran,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, Hal. 74
[40]
Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pndidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003, Hal. 133
[41]
Kata – kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa yang bermakna
mengganti atau mengikuti. Dalam hal ini, khalifah adalah orang yang
menggantikan orang lain. Itu sebabnya kepala negara Islam di beri gelar ini.
Abu Bakar menggantikan Nabi Muhammad Saw, setelah beliau wafat. Beliau
dipanggil Khalifah Rasul Allah, kata terakhir sesudah NAbi Saw dibuang
dan tinggallah sebutan khalifahtetapi maknanya serupa.
[42]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 77
[43]
Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Ibid, Hal 461
[44]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Ibid, Hal. 78
[45]
Daradjat, Zakiah, et, all, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2004, Hal. 28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar