PERGULATAN POLITIK
LAHIRNYA UU NO.20
TAHUN 2003
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
DI INDONESIA
Abstrac
Ketika
gelombang reformasi telah menggejala di tengah masyarakat Indonesia , kran
demokrasi terbuka di bumi Nusantara ini, maka muncul berbagai macam
tuntutan-tuntutan pembaharuan secara mendasar. Tuntutan tersebut tidak hanya
terfokus pada politik, melainkan merambah pada bidang-bidang lain, termasuk di
bidang pendidikan. salah satu aspirasi yang diharapkan adalah terjadinya
perubahan-perubahan sistemik secara mendasar terhadap sistem pendidikan
nasional, yang dalam term pembaharuan disebut reformasi. Namun demikian diakui
bahwa agenda reformasi harus disertai platform yang jelas, agar
reformasi tidak menjadi bola liar, tetapi menjadi agenda yang memiliki arah dan
koridor yang jelas. Tulisan ini mengkaji pergumulan politik lahirnya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SPN sebagai pengganti dari
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. Ternyata, realisasi agenda reformasi
pendidikan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, disamping adanya
konstitusi sebagai bentuk legalitas formal atas wujud kesepakatan bersama juga
menuntut komitmen dan peran serta semua lapisan masyarakat baik warga
eksekutif, yudikatif, legislatif maupun masyarakat. Keterlibatan diantara
elemen ini, dituntut keaktifannya baik secara finansial maupun moral demi
terlaksanakannya sistem pendidikan nasional yang mampu mewujudkan cita-cita
yang di idealkan.
A. Pendahuluan
Ketika
gelombang reformasi telah menggejala ditengah masyarakat Indonesia , maka
muncul berbagai tuntutan-tuntutan pembaharuan secara mendasar. Aspirasi yang
diharapkan adalah terjadinya perubahan-perubahan sistemik sehingga dalam term
pembaharuan ini disebut reformasi. Tuntutan tersebut tidak hanya berfokus
pada satu bidang politik semata, melainkan merambah pada bidang-bidang lain,
termasuk bidang pendidikan1.
Dengan
pembaharuan di bidang pendidikan ini, diharapkan terjadi perubahan sistem
pendidikan nasional sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana tertuang
dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Amanat tersebut hendaknya mampu terimplementasikan semenjak mulai pertama
kalinya pembangunan Bangsa ini dilakukan. Namun sejak Bangsa Indonesia sudah
“menghirup udara” kemerdekaannya selama lebih dari setengah abad, harapan
tersebut masih belum terwujudkan secara optimal sebagaimana yang
diidealkan.
Pada
garis besarnya, pendidikan tidak lepas dari agenda reformasi karena pencapaian
pendidikan nasional masih jauh dari harapan2,
apalagi untuk bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan di
tengah masyarakat global, sungguh hanya menjadi impian belaka jika perubahan
dan pembaharuan pendidikan tidak sesegera mungkin dilakukan reformasinya.
Lihat
beberapa tahun lalu, UNDP (2001) pernah mengeluarkan data tentang kualitas
hasil pendidikan yang menjelaskan bahwa dari 173 negara di dunia, sektor
pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan sampai pada rengking ke 107 dari
urutan rengking ke 105 pada lima tahun sebelumnya, parahnya lagi ada
negara-negara yang tingkat pendapatannya berada di bawah Indonesia tapi justru
menempati rengking lebih baik dari pada Indonesia3.
Sementara itu, tertulis juga dalam data UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 pada bagian bab VII masalah
Pembangunan Pendidikan di bagian umum dinyatakan bahwa organisasi International
Educational Achievement (IEA) menjelaskan bahwa siswa SD di Indonesia
berada pada rengking ke 38 dari 39 jumlah negara peserta studi4.
Data
tersebut menunjukkan betapa naif-nya sistem pendidikan di Indonesia .
Untuk itu ada benarnya jika ungkapan Mishad menyatakan bahwa, “masalah
pendidikan di Indonesia
selama ini memang masih belum menemukan rumusan yang tepat dalam memodifikasi
sistem pendidikan Indonesia ,
baik bersifat prinsip maupun wawasan idealisme kedepan”5.
Apabila dicermati, pada hakekatnya struktur dan mekanisme praktek pendidikan
yang tengah dilaksanakan ini berdasar pada pembaharuan pendidikan yang lahir
dari Amerika Serikat pada tahun 50-an. Proses pembaharuan sistem pendidikan itu
hanya menitik beratkan pada metode bagaimana peserta didik menguasai “basic
skills” di dalam mata pelajaran yang diajarkan. Sementara struktur dan
mekanisme praktek pendidikan tersebut dalam implementasinya akan menghasilkan
sistem pendidikan yang tidak sensitif terhadap ide-ide baru dan perkembangan
sosial masyarakatnya6.
Ditambah
lagi bahwa dalam praktek sistem pendidikan nasional selama ini menurut Tilaar
telah terkontaminasi antara garapan politik dengan garapan pemberdayaan7. Padahal dalam dunia politik sarat
dengan kekuasaan, didalamnya memiliki karakter untuk menguasai dan dikuasai,
sementara pendidikan yang seharusnya murni pemberdayaan dan bebas dari praktek
politik harus menjadi “korban” dari “keganasan” praktek politik itu sendiri.
Akibatnya, praktek pendidikan yang dilakukan hanya mengorientasikan pada sistem
kekuasaan semata dan akhirnya menghasilkan manusia-manusia yang tidak kritis,
manusia “robot”, berfikir dan bertindak sesuai dengan “program data” yang telah
direncanakan oleh sang penguasa, manusia yang tidak sensitif terhadap kebutuhan
dilingkungannya sendiri.
Sementara
di sisi lain, Bangsa Indonesia
juga tengah dihadapkan pada terbukanya gerbang abad 21, era globalisasi yang
penuh dengan tantangan yang mau tidak mau harus di bayar dengan pengembangan
Sumber Daya Manusia Indonesia
yang berkualitas8, tidak saja bertaraf
lokal namun lebih dari itu hendaknya bertaraf internasional. Di sisi lain,
masyarakat Indonesia dihadapkan pada persoalan krisis moneter yang
berkepanjangan dengan berimplikasi pada rendahnya tingkat pendapatan ekonomi,
meningkatnya pengangguran ---bahkan juga sampai pengangguran kelas “elit” yakni
adanya pengangguran bagi lulusan sarjana--- meningkatnya kemiskinan yang
disertai dengan banyaknya tingkat kriminalitas ---mulai dari pencopetan,
penodongan, perampokan, penganiayaan, sampai pemerkosaan, perkelahian antar
sekolah, bahkan bentrokan antar masyarakat---. Ini merupakan bukti nyata,
perlunya Bangsa Indonesia
untuk mempertegas kembali peningkatan SDM yang tangguh, berwawasan unggul dan
trampil (kualified).
Dengan
mempertimbangkan fenomena SDM Indonesia yang demikian rapuh dan sama sekali
belum bermutu serta munculnya berbagai tantangan lokal serta tantangan global
yang begitu bahayanya apabila dibiarkan, pentinglah kiranya bahwa pembenahan
pada pendidikan menjadi salah satu agenda reformasi, ini merupakan hal yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi bila menginginkan sebuah kemajuan. Mengapa harus
dunia pendidikan? Karena, Nasrib berpendapat bahwa pendidikan di belahan dunia
manapun (negara berkembang ataupun negara maju) selalu dijalankan sebagai
proses untuk mengembangkan dan membentuk SDM yang berkualitas sesuai dengan
kebutuhan sosial masyarakat sekitar8.
Dalam
upaya melakukan reformasinya agar tidak menjelma sebagai “bola liar”, maka
diperlukan platform, sehingga agenda reformasi di pendidikan memiliki
arah dan koridor yang jelas, selanjutnya akan dihasilkan suatu konstruk hasil
reformasi sistem pendidikan yang secara konseptual dapat diterima oleh logika,
secara kultural sesuai dengan nilai budaya bangsa dan secara politis dapat
diterima oleh masyarakat luas.
Sebuah platform justru merupakan sebuah
keharusan karena mainstream sekarang sedang transisi. Transisi karena
pertimbangan yuridis yang kala laju dengan konteks empirisnya, transisi karena
proses otonomisasi yang melahirkan kebijakan desentralisasi dan transisi karena
konteksnya yang dinamis9.
B. Reformasi Sistem Pendidikan
Nasional
Sebagaimana
dijelaskan di bagian pendahuluan, ketika euforia demokrasi terbuka, maka
muncul berbagai macam tuntutan, termasuk reformasi pendidikan. Sistem
Pendidikan Nasional yang sejak tahun 1989 dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1989, dipandang sudah tidak sesuai lagi dalam era reformasi karena
berbagai alasan, yang antara lain adalah Sistem Pendidikan Nasional tersebut
lebih menitik beratkan pada penyelenggaraan pendidikan yang lebih berbasis
pemerintah, sementara itu masyarakat kurang mendapatkan kesempatan untuk
mengembangkan kreativitas dan kemandiriannya.
Selain
itu, ada beberapa alasan berdasarkan fenomena yang ada bahwa mengapa perlu
dilakukan reformasi pendidikan? berdasar pada analisis menunjukkan bahwa
pendidikan belum mendapatkan perhatian yang semestinya, sehingga kurang berdaya
dalam memberikan sumbangan pada pembentukan masyarakat Indonesia Baru. Sistem
Pendidikan Nasional juga belum sepenuhnya menunjukkan keperpihakan pada
penerapan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup, pendidikan untuk semua dan
dengan sistem yang terbuka (multi exit/ multi entry). Sistem Pendidikan
Nasional juga kurang mendukung pengembangan kemandirian sehingga lulusan yang
dihasilkan belum banyak bermanfaat sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Maka
tidaklah mengherankan jika Sistem Pendidikan Nasional belum mampu menjawab
tantangan dan perubahan zaman yang dibutuhkan saat ini. Kiranya dengan berbagai
macam alasan atas fenomena itu, reformasi pendidikan perlu dilakukan dan sudah
tidak dapat lagi ditunda pelaksanaannya.
Sebagaimana
juga pada amanat Tap MPR RI Nomor IV Tahun 1999 tentang GBHN dan Tap MPR RI
Nomor VII tentang Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, bahwa Sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan belum menunjukkan arah yang jelas dan perlu diperbaharui
serta dimantapkan kembali berdasar pada prinsip demokratisasi, otonomi keilmuan
dan manajemen.
Lebih
dari itu, dalam konteks otonomisasi pengembangan di bidang pendidikan perlu
dilakukan yang awalnya berbentuk sentralisasi perlu diwujudkan dalam bentuk
otonomi atau dengan istilah desentralisasi. Hal ini sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab IV
Pasal 11 Ayat 210. Berdasarkan pada
dokumen tersebut jelas bahwa implementasi proses pendidikan nasional yang
dijalankan atas dasar prinsip desentralisasi dan pada praktek sebelumnya
berdasarkan prinsip sentralisasi, hal ini kemudian populer dengan istilah
dentralisasi pendidikan. Upaya pemerintah dalam mendesentralisasikan pendidikan
pada sistem aturan memang menjadi harapan bagi setiap warga masyarakat, dengan
alasan agar terciptanya pemerataan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan11.
Dasar
pemikiran dari otonomi ini dilakukan karena: 1) wilayah Indonesia yang secara
geografis sangat luas dan beraneka ragam, 2) aneka ragam golongan dan
lingkungan sosial, budaya, agama ras, etnis maupun bahasa, disebabkan oleh
perbedaan sejarah perkembangan penduduk dengan segala aspeknya, 3) besarnya
jumlah dan banyaknya jenis populasi sekolah yang tumbuh sesuai dengan
perkembangan ekonomi, sosial dan budaya, 4) perbedaan lingkungan yang mungkin
saja menimbulkan aspirasi dan gaya hidup yang berbeda antara wilayah satu
dengan lainnya12.
C. Reformasi pendidikan Menuju
rekonstruksi SPN
Upaya
kearah terwujudnya rekonstruksi secara mapan agar memiliki platform yang
jelas adalah membentuk perangkat aturan yang mampu mengakomodir semua kelompok
yang terkait dengan sistem pendidikan lewat sebuah konstitusi. Hal ini
dipandang efektif karena Indonesia
sendiri merupakan negara konstitusi, negara hukum yang artinya bahwa setiap
penyelesaian masalah harus merujuk pada aturan yang berlaku.
Penyelesaian
yang dilakukan berdasar pada aturan yang berlaku juga hendaknya didasari atas
sebuah komitmen bersama. Artinya semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap
dunia pendidikan, hendaknya mendukung ---baik dalam arti finansial maupun
moral--- akan terlaksanakannya proses pendidikan yang berlangsung dengan baik.
Komitmen bersama itupun tidak hanya dilakukan oleh salah satu elemen kelompok
tertentu saja, tetapi kemanunggalan antara semua fihak sangat diharapkan
(legislatif, eksekuti, yudikatif, masyarakat, lembaga pendidikan).
Perhatian
yang cukup ekstra dari semua lapisan, karena hal itu terkait dengan proses
pendidikan yang selalu terkait dan masuk dalam konteks nyata, dinamis serta
akan terus mengalami dinamikanya. Ini disebabkan bahwa hasil pendidikan selalu
bersentuhan dengan lingkungan sosialnya secara langsung. Ketika dinamika
perubahan begitu cepat, maka secepat itu pula pendidikan akan mengalami
upaya-upaya dekonstruksi, bahkan akan berlanjut ke rekonstruksi. Dan lebih dari
itu, ketika hasil rekonstruksi telah disepakati, ia secara otomatis telah
menjelma sebagai konstruksi tahab kedua dan demikian seterusnya. Hal itu akan
terjadi selama proses sosial terus berlangsung dan tampaknya suatu proses
sosial takkan pernah mengenal henti dalam suatu masa tertentu sekalipun, dia
akan berkembang dan berkembang sesuai dengan kebutuhan jamannya akibat dari
kontrak sosial itu sendiri13.
Pemikiran
tersebut muncul ketika disadari bahwa pendidikan memang tidak bisa melepaskan
diri dari realitas sosialnya sebagaimana terkait dengan tujuan pendidikan itu
sendiri yang didalamnya terjadi proses pelatihan, pengembangan, dan pembekalan
bagi potensi manusia dalam mengarungi kehidupan selanjutnya14, sehingga konstruksi pendidikan
merupakan realitas obyektif yang harus dilakukan dalam setiap pemenuhan
kebutuhannya, terutama di era sekarang dengan tuntutan untuk perlunya
pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang masih memerlukan
proses pengembangan guna terwujudkan harapan yang di idealkan. Rekontruksi ini
selanjutnya menjadi langkah berpijak dalam mengimplementasikan Sistem
Pendidikan Nasional selanjutnya.
D. Sistem Desentralisasi dalam
Pelaksanaan Pendidikan
Seiring
dengan bergulirnya semangat reformasi tersebut, dimana dibarengi dengan
tumbangnya pemerintahan Orde Baru mencoba melakukan perubahan secara mendasar
di segala bidang. Sebagaimana dituangkan dalam paket Undang-undang nomor 25
tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004,
didalamnya telah dijelaskan berkeinginannya bersatu padu dengan segenap
masyarakat untuk menyelenggarakan pembangunan secara holistik15.
Berawal dari landasan Propenas tersebut, kiranya yang ingin diraih oleh
bangsa Indonesia
ialah sebuah kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain di dunia.
Guna terwujudkan keinginan itu, tidak serta merta ada dengan sendirinya. Hal
itu harus melewati sebuah proses sebagai media agar bisa mewujudkan sebuah
cita-cita yang diharapkan.
Kiranya tepat jika institusi pendidikan dijadikan sebagai media guna
mewujudkan cita-cita luhur bagsa Indonesia . Sebab, segala macam
bentuk proses pendidikan di belahan dunia manapun (baik negara berkembang
maupun negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk mengembangkan dan
membentuk SDM yang berkualitas16, untuk
itu Seowito menjelaskan bahwa proses pendidikan juga dapat difahami sebagai
pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang17, oleh karenanya melalui pendidikan
masyarakat dapat belajar untuk mengerti dan mampu mengubah alam serta
lingkungan sosialnya secara konstruktif18.
Maka pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu hal yang pertama dan
utama guna mempersiapkan SDM yang berkualitas tinggi.
Meskipun sistem pendidikan Indonesia masih jauh ketinggalan
dengan bangsa-bangsa lain akan tetapi, minimal ada sebuah usaha guna mengejar
ketinggalan tersebut sebagai modal investasi kedepan guna terwujudnya cita-cita
yang mulia. Hal ini terbukti secara konstitusi adanya ketetapan MPR No.
IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999-2004 untuk lebih memperbaiki mutu
pendidikan Indonesia ,
sesuai dengan semangat dan agenda reformasi. Demikian juga di dukung oleh UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional19.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, sistem pendidikan yang dulunya
sentralistik dengan landasan konstitusi Undang-undang No. 2 tahun 1989,
dipandang tidak relefan lagi dalam era otonomi daerah, karena Sikdiknas
tersebut lebih menitik beratkan pada penyelenggaraan pendidikan oleh
pemerintah, sementara masyarakat kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan
kreatifitas dan kemandiriannya20.
Selanjutnya bagaimana wujud sistem desentralisasi dalam pendidikan
tersebut? Sebagaimana secara juridis telah ditegaskan dalam GBHN pada BAB IV
(Arah Kebijakan) di bagian pendidikan point ke 5 juga pada Undang-undang nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di bagian penjelasan di uraian
umum yang menegaskan tentang misi pendidikan nasional menggunakan prinsip
otonomi dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia21.
Dengan demikian desentralisasi pendidikan merupakan kewenangan lembaga
pendidikan dengan dukungan peran masyarakat dan pemerintah daerah guna
menenentukan langkah terbaik dalam proses pendidikannya. Dalam arti setiap
lembaga pendidikan di beri hak kebebasan
untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri, yang tetap berdasar pada
aspirasi masyarakat sebagaimana peraturan atau perundangan yang telah
ditatapkan22. Kewenangan tersebut
adalah segala macam usaha untuk mengembangkan mutu pendidikan sebaik mungkin23.
E. Memahami Kebijakan Pendidikan
Dalam Desentralisasi
Secara mendasar dengan mengacu pada kebijakan Undang-undang nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hakekat otonomi daerah adalah
kewenangan pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan atau perundang-undangannya24. Jadi ada pengakuan kewewenangan
pemerintahan yang luas kepada daerah otonom, sebagaimana menjadi prinsip dalam sistem desentralisasi25.
Dalam konteks pendidikan, otonomi daerah identik dengan istilah
desentralisasi pendidikan yang memiliki makna sama sebagaimana dimaksudkan pada
otonomi daerah sebagaimana tertulis di atas26.
Untuk itu diharapkan dari kebijakan pendidikan nasional dalam sistem
desentralisasi ini, memiliki tujuan untuk lebih pertama mengoptimalkan
peran serta masyarakat dan pemerintah daerah tentang kebutuhannya terhadap
penyelenggaraan pendidikan, kedua mampu menciptakan output pendidikan
yang tanggap terhadap realitasnya, terutama dalam menghadapi tantangan global, ketiga
terciptanya pendidikan yang
demokratis serta bertanggung jawab, keempat mampu memperkuat mental
jasmani dan rokhani lebih intensif27.
Dengan memahami konteks otonomi daerah sebagai
bagian dari prinsip desentralisasi yang akhirnya bekelanjutan pada pelaksanaan
sistem desentralisasi pendidikan, maka berbagai perangkat peraturan sebagai
juridis formal tentunya harus dijalankan secara menyeluruh, apabila Indonesia
mengakui dirinya sebagai negara konstitusi ataupun negara hukum. Konsekwensinya
adalah apapun hasil kebijakan konstitusi sebagai perwujudan dari kesepakatan
bersama hendaknya diwujudkan secara nyata.
F. Kesimpulan
Berdasar pada uraian tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa:
1. Ditengah eforia dekmokratisasi
Indonesia
muncul berbagai macam tuntutan termasuk didalamnya adalah tuntutan tentang
pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional.
2. Pembaharuan terhadap Sistem
Pendidikan Nasional ini menjadi penting, ketika melihat kondisi obyektif
realitas Sumber Daya Manusia Indonesia
yang secara kualitatif masih jauh dari harapan yang diidealkan disamping juga
terkait dengan berbagai tuntutan jaman yang semakin kompleks.
3. Pendidikan dipandang perlu
dilakukan pembenahannya karena hasil dari proses pendidikan selalu bersentuhan
dengan realitas sosial masyarakat yang ada dan juga didasari atas pemikiran
bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dalam proses mengembangkan kualitas
SDM Indonesia guna menjawab tuntutan jaman.
4. Dalam kerangka pemenuhan
tersebut, proses pendidikan yang sebelumnya mengunakan paradigma sentralisasi
diubah atas dasar paradigma desentralisasi.
5. Upaya dalam pembenahan ini,
agar memiliki platform yang jelas dan mampu berjalan secara efektif
hendaknya dituangkan dalam sebuah konstitusi sebagai perwujudan atas
kesepakatan bersama.
6. Dengan wujud konstitusi
sebagai peraturan tersebut, akan memiliki makna apabila mampu teraktualisasikan
secara nyata dengan didukung oleh segenap unsur lapisan masyarakat Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional; Rekontruksi dan Demokratisasi, Jakarta : Buku Kompas, 2002.
Abdul Halim.S., Platform Reformasi Pendidikan Islam: Membedah Wacana
Baru Sistem Pendidikan Nasional, makalah MUSDA FKMTI Wil. V di STAI
Ibrahimi Genteng Banyuwangi, 2 Junli 2001.
Abdul Ghofir, Implementasi Otonomi Daerah dan Implementasinya
Terhadap Pendidikan Madrasah; Analisis Banding Kebijakan Pendidikan di Amerika
Serikat, Depag Jatim: Mimbar, 179 Agustus 2001.
Abdul Halim .S., Pengembangan Pendidikan Dalam Iklim Transisi,
Makalah Pendalaman dalam Upaya Peningkatan Kinerja Bidang Tugas Komisi “E” DPRD
Kabupaten Situbondo, 14
November 2001 .
Arif Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional,
1982.
Darmaningtyas, et, all, Membongkar Ideologi Pendidikan; Jelajah
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta :
Resolusi Press, 2004.
Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentris Pendidikan
Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung :
Al Qopriat Jatinagor, 2000.
Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta:
Deppennas, 2001.
Djohar, Reformasi dan Masa Depan
Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
1999.
Dikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera
Indonesia, 1998.
Ika, Islam Tawarkan Solusi
Pendidikan, Depag Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001.
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan
Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1996.
Marzuki Wahid et, al, Pesantren
Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999.
Mishad, Fenomena Sekolah Unggul,
Depag Jatim: Mimbar, No. 195 Desember, 2002.
Nasrip Ibrahim, Keteladanan
Pendidik; Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, Depag Jatim:
Mimbar No. 175 April, 2001.
Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan
di Negara Sedang Berkembang, Surabaya: Usaha Nasional, 1982.
Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas
Rasyid, Otonomi Daerah; Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Soewito, Pendidikan yang
Memberdayakan, Jakarta: Makalah Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan Guru
Besar Sejarah Pemikiran
dan Pendidikan Islam
di IAIN Syarif
Hidayatullah, 2002.
TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN
tahun 1999-2004.
Undang-Undang RI No. 25 tahun 2000,
Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004,
------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2000
Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Wuri Soedjatmiko, Menggagas
Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Zamroni, Paradigma Pendidikan
Masa Depan, Yogyakarta: Publishing, 2000.
1 Baca Azyumardi Azra, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional; Rekontruksi dan Demokratisasi, (Jakarta : Buku Kompas, 2002), xiii; Baca Wuri
Soedjatmiko, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan; Demokratisasi, Otonomi,
Civil Society, Globalisasi, (Yogya: Kanisius, 2000), 49.
2 Baca Djohar, Reformasi dan Masa Depan
Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, 1999), 96.
3 Baca Ika, Islam Tawarkan Solusi
Pendidikan, (Depag Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001), 38.
4 Undang-undang RI No. 25 tahun 2000,
Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004,
(------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001).
5 Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, (Depag
Jatim: Mimbar, No. 195 Desember, 2002), 40.
6 Baca Zamroni, Paradigma Pendidikan
Masa Depan, (Yogyakarta: Publishing, 2000), 24.
7 Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera
Indonesia, 1998) 4.
8 Sumber Daya Manusia berkualitas adalah
kaum intelektual yang mampu menciptakan gagasan dan mampu menggerakkannya guna
mewujudkan gagasan itu kepada kerja nyata, Baca Ishomuddin, Spektrum
Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 12.
Demikian juga dengan istilah Sumber Daya Manusia memiliki makna sebagai
dijelaskan oleh Emha Ainun Najib, bahwa Istilah Sumber Daya Manusia lahir dari
wilayah untuk keperluan industri. Industrialisasi, yang kemudian menjadi
ideologi industrialisme, lahir dari suatu visi dan versi pandangan yang dominan
mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Maka tekanan makna Sumber Daya
Manusia itu adalah memiliki daya manajerial dan profesionalisme (software-nya)
serta keterampilan kerja (hardware-nya). Kedua hal tadi ditambah dengan
faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme industri,
didalamnya terdapat etos kerja, disiplin, semangat untuk maju, yang pada
akhirnya konsep Sumber Daya Manusia
mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk bersikap produktif. Dadang S. Anshori,
Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentris Pendidikan Dalam Wacana Politik
Pembangunan, (Bandung: Al Qopriat Jatinagor, 2000), 50.
8 Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik;
Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, (Depag Jatim: Mimbar No. 175
April, 2001), 32. Bandingkan H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformas
Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera Indonesia,
1999),3 mengungkapkan bahwa pembangunan di negara-negara berkembang dewasa ini
termasuk Indonesia sedang memasuki masa yang cukup sulit akibat krisis ekonomi
yang parah, tentunya sebagai bangsa yang baik hendaknya bisa belajar dari
pengalaman masa lalu serta menambah kenyakinan bahwa yang menjadi tolak ukur
keberhasilan pembangunan ialah perwujudan SDM yang berkualitas tinggi dan ini
merupakan konsekwensi logis yang harus dihadapi oleh masyarakat dan Bangsa
Indonesia sebagai akibat dari proses globalisasi yang sedang bergulir
9 Baca Abdul Halim.S., Platform
Reformasi Pendidikan Islam: Membedah Wacana Baru Sistem Pendidikan Nasional, makalah
MUSDA FKMTI Wil. V di STAI Ibrahimi Genteng Banyuwangi, 2 Junli 2001, 1.
10 Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan
bahwa, “Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
11 Darmaningtyas, et, all, Membongkar
Ideologi Pendidikan; Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, (Yogyakarta:
Resolusi Press, 2004), 19.
12 Baca Abdul Ghofir, Implementasi
Otonomi Daerah dan Implementasinya Terhadap Pendidikan Madrasah; Analisis
Banding Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat, (Depag Jatim: Mimbar, 179
Agustus 2001), 29.
13 Baca Abdul Halim .S., Pengembangan Pendidikan
Dalam Iklim Transisi, Makalah Pendalaman dalam Upaya Peningkatan Kinerja
Bidang Tugas Komisi “E” DPRD Kabupaten Situbondo, 14 November 2001, 3
14 Baca Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 1-8.
15 “…. Penyelenggaraan negara
dilakukan melalui pembangunan dalam segala aspek kehidupan bangsa, oleh
penyelenggara negara, yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara
bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia. Pembangunan nasional dilakukan secara berencana, menyeluruh,
terpadu, terarah, bertahab dan berlanjut untuk mengacu peningkatan kemampuan
nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan
bangsa lain yang lebih maju”. Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, di BAB I point c.
16 Nasrib Ibrahim, Keteladanan Pendidik;
Penentu Keberhasilan Pendidikan Budi Perkerti, Ibid, 32; Bandingkan Arif
Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1982), vii, dalam teks pidato Presiden Soeharto ketika membuka
Konfrensi Dewan Mentri-mentri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang ke 17
menegaskan bahwa proses pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap
bangsa-bangsa di dunia, bagi negara yang sedang membangun atau bahkan terlebih
bagi negara miskin (terbelakang).; Bandingkan juga Marzuki Wahid et, al, Pesantren
Masa Depan; Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantre, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), 171, menjelaskan bahwa pendidikan merupakan upaya
strategis dalam membentuk pribadi manusia, karena proses pendidikan itu
merupakan bentuk upaya ikhtiar dalam mempersiapkan generasi muda untuk
mengarungi bahtera kehidupan yang akan datang, dimana sangat dibutuhkan oleh pembangunan.
17 Soewito, Pendidikan yang
Memberdayakan, (Jakarta: Makalah Disampaikan Dalam Pidato Pengukuhan Guru
Besar Sejarah Pemikiran
dan Pendidikan Islam
di IAIN Syarif
Hidayatullah, 2002), 1.
18 Baca Sardjan Kadir dan Umar Ma’sum, Pendidikan
di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 15.
19 Melakukan pembaharuan sistem
pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diverifikasi kurikulum untuk
untuk melanyani keberagaman peserta didik, menyusun kurikulum yang berlaku
nasional dan lokal guna kepentingan setempat serta diverifikasi jenis
pendidikan secara profesional. TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN
tahun 1999-2004, pada BAB IV (Arah Kebijakan) di bagian pendidikan point ke 3,
demikian juga pada point ke 5 dinyatakan: Melakukan pembaharuan
pendidikan dan penetapan Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan prinsip
desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.
20 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan
Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Ibid, 4.
21 Baca TAP MPR No. IV/MPR/1999 Tentang GBHN
tahun 1999-2004, pada BAB IV (Arah Kebijakan) di bagian pendidikan pada point
ke 5, dan Salah satu misi pendidikan Nasional di point ke 5 yang disebutkan pada bagian penjelas UU No.
20 tahun 2003 ini menegaskan “Memberdayakan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
22 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan
Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Ibid, 4.
23 Baca Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, (Jakarta:
Deppennas, 2001), 9.
24 Baca Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas
Rasyid, Otonomi Daerah; Dalam Negara Kesatuan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), 29.
25 Baca UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah pada BAB IV (Kewenangan Daerah); bandingkan juga dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa
desentralisasi diartikan juga sebagai sebuah tata pemerintahan yang
lebih banyak memberikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah otonom. Lihat
Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992),
227.
26 Desentralisasi pendidikan merupakan upaya
untuk mendelegasikan sebagaian atau seluruhnya wewenang di bidang pendidikan
agar menjadi lebih baik mutu dan kualitas. Pendidikan yang awal mulanya dilakukan oleh pemerintah
pusat di intruksikan kepada pemerintah daerah, ini dirasakan justru merugikan
banyak fihak. Pendidikan yang seharusnya memiliki sifat ekslatisitas (sesuai dengan
kebutuhan riil masyarakat dan manusia itu sendiri) akhirnya sifat kebijakan
pendidikan menjadi kaku dan hasil dari pendidikannya pun menjadi generasi yang
tidak bisa diharapkan sebagai generasi yang bisa dihandalkan baik skala lokal,
nasional terlebih dalam skala
internasional. Baca Abdul Ghofir, Implementasi Otonomi Daerah dan
Implikasinya terhadap Pendidikan Madrasah; Analisis Banding Kebijakan
Pendidikan di Amerika Serikat, Ibid, 29.
27 Baca Abd. Halim Soebahar, Pengembangan
Pendidikan Islam Dalam Iklim Transisi, Ibid, 4-6. Demikian juga bandingkan
dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SPN
BAB III pasal 4 menyebutkan: (1) pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, kultural dan kemajemukan bangsa; (2) Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multimakna; (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; (4) Pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; (5) Pendidikan
diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi
segenap warga masyarakat; (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayaakan
semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan. Dari kesekian prinsip penyelenggaraan
pendidikan tentunya akan mudah tercapai bila mana sistem pendidikan dilakukan
dengan prinsip desentralisasi sebagaimana yang dicita-citakan dalam semangat
reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar