IMPLEMENTASI
PENGELOLAAN LEMBAGA PENDIDIKAN
A.
Pengantar Manajemen Pendidikan
- Pengertian Manajemen
Istilah manajemen sangat tidak asing dalam kehidupan
sekarang. Dalam banyak kesempatan manajemen banyak disinggung, diucapkan, dan
diterapkan. Di kalangan bisnis, perkantoran, kepemerintahan, pendidikan dan
bahkan di setiap perkumpulan atau organisasi, manajemen banyak dibicarakan dan
dilaksanakan. Istilah manajemen penjualan, manajemen rumah-sakit, manajemen
sumberdaya air, manajemen publik, manajemen ilmiah, manajemen rumah tangga, dan
sebagainya merupakan pengertian yang sudah akrab.
Pengertian manajemen sebenarnya sangat luas. Banyak
pendapat dari pemikir manajemen yang memberikan arti tentang manajemen.
Sedemikian banyak pendapat yang mencoba menjelaskan pengertian manajemen namun
masih terdapat kesulitan untuk memperoleh kesepakatan untuk menentukan
definisi manajemen yang benar-benar dapat diterima secara umum. Kesulitan ini
bisa dipahami, mengingat manajemen termasuk dalam ilmu-ilmu sosial yang
obyeknya adalah manusia. Terry (1977:4) menyatakan bahwa manajemen
adalah suatu proses yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan dan pengontrolan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan
menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya yang lain. Menurut Stoner
(1978:7) manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan
dari anggota organisasi dengan menggunakan sumber daya organisasi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam kaitannya dengan fungsi manajemen yang lain perencanaan
berusaha mencapai produktivitas, dan merupakan dasar dari fungsi-fungsi
manajemen, karena perencanaan melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan dalam
menentukan langkah-langkah lebih lanjut. Perencanaan merupakan salah satu
fungsi manajemen yang dinamis. Dengan demikian perencanaan tidaklah tetap, melainkan berubah karena perkembangan waktu,
lingkungan dan kepentingan.
Perencanaan merupakan suatu program yang melibatkan
tujuan dan sasaran yang ingin dicapai di masa yang akan datang. Perencanaan
melibatkan tindakan-tindakan sekarang dengan tindakan-tindakan di masa depan. Selain
itu, perencanaan sebenarnya merupakan kegiatan memilih, sekaligus menyediakan
beberapa alternatif untuk dipilih.
Hasil dari kegiatan perencanaan adalah rencana. Rencana
dapat dibedakan atas dasar berbagai kebutuhan (Tjiptono, 2005:4). Penggolongan jenis-jenis rencana sebenarnya
sulit dilakukan karena batas pembedanya tidak sangat tegas. Tujuan pembedaaan ini disamping mengetahui
karakteristik masing-masing rencana juga mengetahui penanggung jawab dan pelaksana masing-masing rencana tersebut.
1. Menurut jangkauan waktu yang dikendalikan,
maka rencana dapat dibedakan atas rencana jangka panjang (long-range plans) dan
rencana jangka pendek (short-range plans)
2. Menurut lingkup kegiatan yang dikendalikan,
maka rencana dapat dibedakan atas rencana strategis (strategic plans) dan
rencana operasional (operational plans).
3. Menurut spesifikasi penggunaannya maka
rencana dapat dibedakan atas rencana tetap (standing plans) dan rencana sekali
pakai (single-use plans).
Perencanaan merupakan penentuan bagaimana meraih tujuan,
apa yang harus dikerjakan, serta kapan harus mengerjakan hal tersebut. Langkah
atau aktivitas dalam perencanaan meliputi: (1) menetapkan sasaran, (2)
menentukan faktor-faktor yang membantu dan menjadi rintangan aktivitas meraih
tujuan, (3) mengembangkan rencana alternatif, (4) menyeleksi rencana yang
terbaik serta merevisi rencana berdasar pengalaman.
Dikaitkan dengan fungsi manajemen keberadaan
pengorganisasian muncul sejak dimulainya
proses sosialisasi sekelompok orang. Artinya pengorganisasian merupakan
alat atau kendaraan yang digunakan untuk meraih apa yang telah direncanakan.
Aktivitas pengorganisasian ini diantaranya adalah (1) menyusun struktur
organisasi yang efektif, (2) merumuskan uraian tugas secara jelas dan detail,
(3) memilih orang yang tepat untuk melaksanakan tugas, (4) pemberian motivasi
pelaksanaan tugas.
Akuntabilitas
sebagai bagian dari aktivitas manajemen merupakan tahapan proses manajemen
dalam rangka mempertanggungjawabkan kinerjanya. Nilai pertanggungjawaban mempunyai
dua aspek yakni tanggung jawab atas penyusunannya dan tanggung jawab pada
pelaksanaannya. Tanggungjawab atas penyusunan dimaknai sebagai langkah untuk
mengetahui baik dan tidaknya perencanaan yang telah disusunya, sedangkan
tanggungjawab atas pelaksanaannya berarti bagaimana melaksanakan rencana yang
telah ditetapkan dikaitkan dengan hasil yang dicapai.
Pengawasan sebagai fungsi manajemen terakhir merupakan
proses yang dilakukan untuk mengetahui apakah aktivitas yang dijalankan
organisasi sesuai rencana atau tidak. Aktivitas pengawasan ini meliputi (1)
penetapan standar dan metode untuk mengukur kinerja, (2) pengaturan kinerja
pelaksanaan, (3) membandingkan kinerja dengan standar yang telah ditetapkan
serta, (4) mengadakan evaluasi atau koreksi.
Pengawasan sebagai salah satu fungsi
utama dalam proses manajemen mempunyai kaitan erat dengan istilah kekuasaan, dimana
apabila penggunaannya tidak tepat, maka akan berkesan mempunyai konotasi
negatif. Terdapat kesan umum, bahwa kegiatan orang yang diawasi oleh orang lain
akan menimbulkan rasa kurang nyaman. Kesan yang ditangkap disini adalah bahwa
pengawasan mempunyai unsur kecurigaan, atau dalam pengertian lain, suatu
pekerjaan yang tidak terkontrol dan terkendali adalah pekerjaan yang tidak
baik. Akan tetapi sebenarnya tidak demikian, pengawasan mempunyai pengertian
yang lebih luas. Kegiatan pengawasan terdapat dalam setiap jenis organisasi dan
pengawasan merupakan bagian integral dari setiap tugas seorang manajer.
Terkait dengan beberapa fungsi
manajemen, Tjiptono (2005:6) lebih menegaskan lagi hubungan antara perencanaan dan pengawasan, organisasi
dan pengawasan, akuntabilitas dan pengawasan dalam sebuah institusi.
Perencanaan memberikan arah kepada
organisasi sebagai keseluruhan serta kepada pribadi dan kelompok untuk bekerja
dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, pengawasan terhadap strategi dan
tujuan organisasi hanya dapat dilaksanakan apabila perilaku kerja telah
diarahkan kepada pencapaian hasil dan tujuan organisasi. Apabila tujuan telah
ditentukan dengan jelas, maka kemungkinan untuk terjadi penyimpangan karena
kesalahan pengarahan adalah kecil. Ini menunjukkan bahwa perencanaan yang baik
akan memperkecil penyimpangan karena kesalahan pengarahan. Kebijakan dan
prosedur yang ditetapkan dengan baik akan merupakan pedoman bagi perilaku kerja
dan termasuk aturan-aturan khusus untuk pemecahan suatu masalah.
Pengorganisasian akan merupakan
pendukung kegiatan pengawasan melalui rancangan struktur organisasi, pemilihan
dan pendidikan serta perancangan tugas
yang baik. Rancangan struktur organisasi yang tepat akan memberikan kemudahan
kepada pengawasan untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Pemilihan dan
pendidikan akan memberikan jaminan
kualifikasi pribadi-pribadi yang mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan. Selanjutnya penyusunan rancangan pekerjaan
yang sesuai dengan kapabilitas orang per orang akan mengurangi kemungkinan
kesalahan karena ketidakmampuan karyawan melakukan tugasnya masing-masing.
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan suatu rencana erat kaitannya dengan apakah rencana yang
dimaksud sudah sesuai atau masih ada perlu mendapatkan perubahan-perubahan.
Oleh karena itu, fungsi pengawasan sangat mutlak diperlukan dalam tahapan ini.
Dengan pengawasan yang baik penyimpangan terhadap pelaksanaan rencana dapat
ditekan serendah mungkin.
- Pengertian Biaya Satuan
Berkenaan dengan manajemen pembiayaan pendidikan atau
dana sekolah, kajian ini lebih memfokuskan pada pengelolaan pembiayaan (unit
cost) pada tingkat organisasi (satuan pendidikan). Berbagai
pendapat tentang biaya pendidikan telah disampaikan oleh para pakar dan
peneliti. Abbas Ghozali mendefinisikan biaya pendidikan sebagai nilai rupiah
dari seluruh sumberdaya (input) yang digunakan untuk suatu kegiatan
pendidikan. (Abbas Ghozali, 2003: 9).
Coombs dan Hallak (ADB, 1987:51 dan 1998: 18)
mendefinisikan biaya satuan sebagai biaya satu bangku/tempat di sekolah yang
ditempati oleh seorang siswa untuk satu tahun ajaran. Namun demikian definisi
tersebut tidak mengatakan apapun tentang kehadiran (misalnya apakah siswa
benar-benar mengambil tempatnya di sekolah yang dialokasikan bagi mereka).
Definisi tersebut juga belum mengatakan apapun tentang kualitas mengajar atau
belajar. Pengkajian tentang dimensi kualitatif mengisyaratkan untuk menghitung
biaya perubahan dalam pengetahuan, skill, dan/ atau sikap daripada pengadaan
tempat belajar di sekolah. Lebih jauh lagi, beberapa analisis memfokuskan pada
satuan biaya per lulusan yang mengharuskan memasukkan penghitungan angka
mengulang dan drop-out.
Cohn dan Geske (1989:71) mengelompokkan biaya
pendidikan sebagai (1) biaya langsung (direct cost) yaitu biaya yang
dikeluarkan oleh sekolah, siswa dan keluarga siswa, dan (2) biaya tidak
langsung (indirect cost) seperti forgone earning. Pengertian
serupa biaya pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya
tidak langsung (indirect cost) (Cohn, 1979; Thomas Jone, 1985; Alan
Thomas, 1976 dalam Nanang Fattah, 2004: 23). Biaya langsung terdiri dari
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan
kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar,
biaya transportasi, gaji guru baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orangtua,
maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa pendapatan yang hilang
(forgone earning) dari siswa.
Senada dengan pendapat di atas adalah
pendapat Koch yang menyatakan bahwa biaya pendidikan terdiri dari (1)
pengeluaran langsung dari siswa, (2) pengeluaran langsung dari masyarakat, dan
(3) pendapatan yang hilang (forgone earnings) karena sekolah (Koch,
1970: 7; dalam Abbas Ghozali, 2003: 9). Pendapat Koch tampak merujuk pada
pihak-pihak yang mengeluarkan biaya. Sedangkan Richardson menguraikan
jenis-jenis biaya menurut keperluan penyelenggaraan pendidikan. Richardson menjabarkan
biaya langsung ke dalam (1) pengeluaran untuk administrasi, pengajaran, serta
operasi, dan (2) pengeluaran untuk gedung dan perlengkapan (Richardson, 1972:
45; dalam Abbas Ghozali, 2003: 9).
Woodhall mengklasifikasikan biaya pendidikan
ke dalam private cost yaitu biaya yang dikeluarkan oleh pribadi
siswa/orang tua dan social cost yaitu biaya yang ditanggung oleh
masyarakat (pemerintah). Menurut Woodhall, private cost mencakup
pengeluaran untuk sumbangan pendidikan, buku, perlengkapan, transportasi, dan
penghasilan siswa yang tidak jadi diterima karena sekolah (forgone earning);
sedangkan social cost meliputi selain private cost yang telah
diuraikan di muka juga biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti
biaya-biaya departemen (pusat dan daerah), gedung, gaji tenaga kependidikan,
peralatan, buku paket, dll. Pada dasarnya, social cost ini sama dengan cycle
cost. Berkaitan dengan biaya forgone earning, Verry memperjelas
bahwa dalam private cost, forgone earning itu adalah forgone
earning setelah pajak; sedangkan dalam social cost, forgone
earning yang dianggap biaya adalah forgone earning sebelum pajak
yang merupakan proksi dari nilai output yang tidak jadi diproduksi karena siswa
sekolah dan tidak bekerja sehingga disebut juga output forgone
(Woodhall, 1987: 393; Verry, 1987: 401 dalam Abbas Ghozali, 2003: 10).
Woodhall juga membedakan biaya lancar (recurrent
cost) dan biaya kapital (capital cost). Biaya lancar mencakup semua
pengeluaran untuk barang-barang konsumtif (seperti bahan-bahan, buku, dll.) dan
jasa-jasa yang memberikan manfaat jangka pendek dan secara diperbarui. Biaya
kapital meliputi pembelian barang-barang tahan lama seperti gedung atau
perlengkapan yang memberikan manfaat dalam jangka panjang. (Woodhall, 1987: 393
dalam Abbas Ghozali, 2003: 10).
Sejalan dengan Woodhall, BPS mengelompokkan
jenis pengeluaran pendidikan menjadi: (1) biaya lancar (recurrent
expenditure) yang merupakan pengeluaran yang bersifat berulang-ulang tiap
tahun atau tiap 2 atau 3 tahun, seperti: gaji dan tunjangan, buku-buku wajib,
barang-barang yang harus sering diganti dengan yang baru, beasiswa dan bantuan
dari dalam maupun luar negeri, pelayanan kesejahteraan, seperti kantin, transpor,
penginapan dan olahraga, pemeliharaan gedung dan peralatan, serta pengoperasian
gedung, seperti listrik, air, dan telepon, dan (2) biaya modal (capital
expenditure) yang merupakan pengeluaran untuk barang-barang tahan lama,
seperti pembelian tanah, pengembangan gedung sekolah, kelas, laboratorium,
peralatan tetap, perlengkapan pelajaran lain yang tahan lama, tempat tinggal
dan sebagainya. (BPS, 2000: 51).
Selain itu, Hallak (1999: 25-27) mengelompokkan
biaya berdasarkan (1) jenis pendidikan (umum dan swasta), dalam hal ini
pengeluaran dibandingkan dengan jumlah pendaftaran, (2) tingkat pendidikan dan
jurusan, (3) tujuan yaitu biaya langsung (pengeluaran berulang untuk gaji dan
bahan) dan biaya tak langsung (untuk manajemen umum) serta biaya untuk
menganjurkan kehadiran di sekolah (biaya intervensi; menjelaskan perbedaan
antara biaya rata-rata antar negara/tingkat pendidikan), biaya sosial serta
biaya pemindahan atau transfer cost (kantin, asrama, transpor dan beasiswa),
dan (4) sifat pengeluaran (penggajian).
Secara lengkap, Tsang mengklasifikasikan
biaya pendidikan ke dalam biaya publik (public costs), biaya pribadi (private
costs), biaya sosial (social costs), biaya langsung (direct costs),
biaya tidak langsung (indirect costs), biaya personel (personnel
costs), biaya bukan personel (non-personnel costs), biaya
operasional/ lancar (operational/ recurrent costs), biaya modal/
pengembangan (capital/ development costs), biaya institusi (institutional
costs), biaya domestik (domestic costs), dan biaya eksternal (external
costs) (Tsang, 1994: 34). Jenis–jenis biaya pribadi, biaya sosial, biaya
langsung, biaya tidak langsung, biaya operasional/ lancar, dan biaya modal/pengembangan
telah disebutkan sebelumnya dan definisi atau pengertiannya juga telah dibahas.
Jenis biaya yang diungkapkan tetapi belum
disebut oleh peneliti lain, adalah biaya publik, biaya personel, biaya bukan
personel, biaya institusi, biaya domestik, dan biaya eksternal. Biaya publik
adalah biaya yang dipikul oleh pemerintah. Biaya personel adalah biaya-biaya
untuk guru, kepala sekolah, dan pegawai sekolah lainnya yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Biaya bukan personel adalah biaya-biaya untuk
bahan, peralatan, perlengkapan, pemeliharaan dan perbaikan ringan, dll. yang
digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Biaya institusional adalah biaya
yang timbul untuk menunjang kelembagaan pendidikan yang mencakup biaya
operasional dan biaya investasi lembaga. Biaya domestik adalah biaya yang
ditanggung oleh pemerintah dalam negeri. Biaya eksternal adalah biaya yang
ditanggung oleh lembaga-lembaga donor luar negeri (Tsang, 1994: 34).
Dari berbagai definisi tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa biaya pendidikan
adalah nilai rupiah dari seluruh sumberdaya (input) atau seluruh
pengeluaran dalam bentuk natura atau berupa uang yang digunakan untuk kegiatan
pendidikan.
- Sumber Dana Sekolah
Dari dokumentasi RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) beberapa
sekolah, terdapat tiga sumber dana utama
yang dimiliki sekolah saat ini, yaitu dana rutin yang berasal dari APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah), dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS dan BOS buku) serta dana dari komite sekolah (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan).
Selain dari tiga sumber utama tersebut, khususnya bagi
sekolah-sekolah yang kualitasnya baik, seringkali juga memperoleh bantuan dana
dari para donatur (orang tua siswa, yayasan, atau lembaga-lembaga lain). Selain itu untuk sekolah yang berstandart
nasional dan internasional memperoleh dana tambahan khusus.
Dana yang bersumber dari
anggaran rutin dan dana BOS alokasinya ditentukan oleh pemerintah dengan
memakai peraturan/rumus yang berlaku umum di semua sekolah dan semua wilayah
yaitu berdasarkan jumlah siswa, jumlah kelas, jumlah guru, dan jenis
sekolah. Dari peraturan tersebut, pengalokasian dana rutin dan dana BOS di
sekolah kurang memperhitungkan tersedianya dana komite sekolah yang ada di sekolah.
Penggunaan dana rutin ini
sebagian besar untuk alokasi belanja pegawai, belanja barang, belanja jasa,
belanja perjalanan dan belanja pemeliharaan yang cenderung kaku dilihat dari
aspek pertanggungjawaban. Kemudian penggunaan dana BOS dipergunakan untuk
mengurangi biaya pendaftaran siswa baru, biaya buku pelajaran pokok dan buku
penunjang untuk perpustakaan, biaya pemeliharaan sekolah, biaya ujian sekolah
ulangan umum bersama dan ulangan harian, biaya honor guru serta biaya
transportasi bagi siswa kurang mampu namun penggunaannya perlu mendapat persetujuan
dengan pihak komite sekolah. Untuk menjamin pengelolan dana BOS berjalan secara
transaparan, laporan penggunaan dana BOS yang dibuat oleh pihak sekolah, akan
diaudit oleh pengawas internal dan BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan).
Sangsi yang tegas akan dikenakan bagi sekolah-sekolah yang menarik pungutan
pada komponen-komponen yang sudah ditanggung oleh dana BOS dan melakukan
penyalahgunaan dana BOS.
Cara seperti itu sering
kali dirasakan menimbulkan ketidak-adilan bila dilihat dari segi kebutuhan riil
sekolah dilihat dari kemampuan sekolah yang beragam dalam hal pembiayaan
pendidikan. Lebih lanjut pengalokasian dana dengan cara demikian juga kurang
memperhitungkan sekolah yang memiliki kondisi khusus. Selain itu, jumlah dana
yang di alokasikan ke sekolah memang sangat terbatas, sehingga jumlahnya secara
keseluruhan dirasakan masih kurang.
Dana
yang bersumber dari komite sekolah pemanfaatannya dapat lebih luwes sesuai dengan
kebutuhan sekolah. Bagi sekolah-sekolah yang kondisi ekonomi orang tua siswanya
lebih mampu, pengumpulan dana komite sekolah
ini boleh dikatakan sangat
berhasil. Selain untuk membiayai kebutuhan rutin sekolah, dana komite sekolah ini
juga dipakai untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sekolah. Sebaliknya, di wilayah yang penduduknya kurang
mampu (miskin) pengumpulan dana komite sekolah ini sangat sulit dilakukan. (Balitbang Diknas,
1993:6).
Tersedianya
dana komite sekolah yang sangat
bervariasi antar sekolah ini tidak diperhitungkan oleh pemerintah dalam
pengalokasian dana rutin dan dana BOS ke sekolah-sekolah. Hal ini semakin
memperbesar kesenjangan antar sekolah dalam pemiilikan dana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keadaan tersebut menjadi
salah satu sumber penting yang mengakibatkan rendah dan bervariasinya kualitas
pendidikan antar sekolah dalam rangka mewujudkan sekolah yang efektif.
i. Kaidah Pengalokasian Dana
Pada bagian ini akan diuraikan distribusi
atau pengalokasian dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah baik
pemerintah kota maupun pemerintah kabupaten secara normatif. Selanjutnya akan
dikaji pula bagaimana dana yang sudah diterima pemerintah kota atau pemerintah
kabupaten dialokasikan ke setiap satuan pendidikan.
Dana pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah
kabupaten/kota ini merupakan bagian dari DAU, yang memasukkan unsur gaji guru.
Menurut McMahon dan Boediono (2001:105), rumus alokasi dana ini dapat dijabarkan
sebagai berikut
B = F + α ( L/Y) +
βN (1/P) F
B = Pengeluaran per siswa keseluruhan yang
dianggarkan
F= Standar biaya minimal (foundation level). Dana ini disediakan oleh Pemerintah Pusat dan
didasarkan pada penghitungan pendidikan yang memadai bagi setiap siswa
(Rumus Tipe Strayer-Haig). Standar minimal ini di dasarkan pada apa yang
menurut pendidikan memadai dan berapa biayanya, dan unsur dalam rumus tersebut
memberikan keadilan dan transparansi.
α (L/Y) = Dana
insentif, pemberian dana kepada kabupaten/
kota atas bantuannya dalam pembiayaan sekolah.
α = Proporsi dana yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat. (Jika α=1 berarti kontribusi pemerintah
daerah adalah benar-benar sama besarnya dengan kontribusi Pemerintah Pusat.
Jika α > 1, berarti jumlah insentif yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat adalah lebih besar daripada kontribusi Pemerintah Daerah. Jika α < 1, berarti jumlah insentif yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat adalah lebih kecil daripada kontribusi
Pemerintah Daerah).
L = Anggaran daerah yang dialokasikan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota menurut dasar per siswa. Insentif tersebut (α) mendorong
daerah untuk meningkatkan dukungan dana pendidikan.
Y = Pendapatan per kapita kabupaten/kota berdasarkan data konsumsi
SUSENAS yang disesuaikan dengan klasifikasi keluarga BKKBN.
L/Y = Upaya fiskal Pemerintah Kabupaten/Kota yang miskin dengan L
yang rendah
βN (1/P)F =
Tambahan/suplemen karena faktor kemiskinan, β disediakan oleh
pemerintah pusat.
N = Persentase keluarga
miskin (Pra Keluarga Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1 data BKKBN).
P = Kepadatan Penduduk.
F = Standar minimal.
Dana
dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Sekolah termasuk dalam
dana ini adalah gaji guru, meskipun pembukuannya dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/ kota. Dengan demikian, masih menurut McMahon dan Boediono
(2001:106), formula yang digunakan adalah:
D = B (ADAp) + 1,5 B(ADAj) + 2,0 B(ADAs)
di mana,
D = Dana dari Pemerintah Pusat ke Pemeritah
Kabupaten/Kota
ADA/(Average Daily Afterdance) = Rata-rata tingkat kehadiran
harian siswa di SD (p), SLTP (j), dan SLTA (s)
1,5 dan 2,0 = Besarnya perubahan pada biaya
per siswa pada tingkat SLTP dan SLTA yang dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.
Sejak desentralisasi, rumus pendanaan
pendidikan dipertimbangkan dalam sistem DAU (Dana Alokasi Umum). Hal ini
memang bermanfaat, namun rumus-rumus itu tidak tampak komprehensif,
karena hanya mengatur aspek-aspek terbatas dari anggaran pendidikan. Sistem DAU hanya mengatur arus dana dari
Pemerintah Pusat ke Pemeritah Kabupaten/ Kota dan tidak mengatur arus dana dari
Pemerintah Kabupaten/ Kota ke sekolah atau kepada setiap siswa. Arus dana yang
terakhir ini diperlukan untuk aspek transparansi, karena yang menarik perhatian
orang tua siswa yang bersedia dan dapat membantu mengawasi sistem pendanaan
tersebut adalah masalah arus dana ke tingkat sekolah. Selain itu, rumus
pendanaan pendidikan dalam sistem DAU tidak mempertimbangkan efisiensi ekonomi
atau keadilan dalam sistem pendidikan. Seharusnya, jumlah dana per siswa
berbeda untuk setiap sekolah dan setiap siswa secara nasional. Selanjutnya
terkait dengan keadilan dan persamaan (equity dan equality) antar
siswa, keluarga, atau daerah, McMahon dan Boediono (2001:107) melakukan
modifikasi terhadap rumus pendanaan pendididikan dari Pemerintah Kabupaten/
Kota ke sekolah, sebagai berikut.
Bs = Fs +
α s (L/Y)s + βs Ns (1/P)s
Fs + γ ( ΔT )
di mana,
s = Menunjukkan semua variabel merujuk ke
sekolah
Fs = Standar anggaran
minimal untuk setiap siswa
αs (L/Y)s
= Insentif yang disediakan kabupaten/kota untuk sekolah yang membantu
pembiayaan
αs = Koefisien untuk besarnya insentif yang diberikan kepada sekolah
atas usahanya membantu pendanaan. ( Jika
α = 1 berarti jumlah insentif yang diberikan oleh pemerintah
kabupaten/kota sama besarnya dengan usaha sekolah).
(L)s = Penerimaan sekolah yang
diperoleh dari orang tua siswa (hanya daerah yang berpendapatan tinggi),
yayasan, desa dan/atau organisasi plus nilai tertentu dalam bentuk jasa.
(Y)s = Pendapatan per kapita orang tua
siswa di sekolah
βs Ns (1/P)s Fs
= tambahan untuk kondisi sekolah khusus seperti miskin dan ada penyandang cacat
atau lokasinya terpencil.
βs = koefisien untuk pembobotan atas suplemen (tambahan)
Ns = persentase siswa miskin dari jumlah siswa keseluruhan di sekolah
(P)s = kepadatan penduduk disekitar
sekolah.
Fs = Standar anggaran minimal per siswa menurut rata-rata kehadiran
di tingkat sekolah.
ΔT = Perubahan rata-rata NEM, dan pembobotan (γ ) atas perubahan
tersebut untuk penghargaan finansial.
Selanjutnya, McMahon dan Boediono (2001: 107) juga memformulasikan
anggaran sekolah berdasarkan rata-rata tingkat kehadiran siswa harian.
Bs = (ADA) +
[ 1 – αs (L/Y) s ]
ADA (average daily attendance) = rata-rata tingkat
kehadiran siswa harian yang diukur dari hari tertentu pada akhir cawu. Dalam
hal ini, perlu diperhatikan bahwa (a) penghitungan rata-rata kehadiran
merupakan insentif untuk efisiensi. Sekolah dihargai atas usahanya
mempertahankan tingkat kehadiran siswa dan mencegah siswa putus sekolah; dan
(b) anggaran yang di bawah kontrol sekolah jika bentuk sekolahnya sekolah ‘charter’
merupakan jumlah anggaran per siswa dikalikan dengan rata-rata kehadiran
hariannya, ditambah penerimaan yang dibayarkan oleh orangtua, yayasan, dan
desa.
(1-(a) (L/Y) = dukungan anggaran
kabupaten/kota untuk masing-masing siswa dan kontribusi kabupaten/kota untuk
membantu setiap siswa, yaitu 85% dari jumlah anggaran pendidikan yang tersedia
di kabupaten/kota. Dana ini perlu
diberikan ke sekolah dalam rangka penyelenggaraan pendidikan dan untuk
menghindari penyimpangan dana. Dengan demikian, rumus yang dapat digunakan
adalah:
Bs = (85%) [B + (1-α) (L/Y)]
di mana:
L = kontribusi
kabupaten/kota terhadap pendanaan per siswa di sekolah dari pendapatan daerah
sendiri.
αs = besarnya insentif tambahan yang disediakan oleh kabupaten/kota ke sekolah
untuk mendorong desa, orang tua (khusus daerah pendapatan tinggi), yayasan, dan
organisasi untuk membantu pembiayaan.
γ = besarnya insentif yang diberikan oleh
kabupaten/kota kepada sekolah atas peningkatan prestasi siswa yang diukur
dengan ∆T.
Sementara itu, UGM dan Dikmenum (2002: 8)
membuat rumus pendanaan di tingkat sekolah, khususnya untuk satuan pendidikan
SMU, sebagai berikut:
TCsi = OCsi + PCsi
di mana:
TCsi = biaya standar total penyelenggaraan pendidikan per siswa.
OCsi = biaya operasional (rutin, operasional, dan biaya lain) pendidikan per
siswa.
PCsi = biaya standar pengeluaran pribadi siswa per SMU.
Komponen OCsi atau
biaya operasional pendidikan SMU terdiri atas pengeluaran untuk: (i) gaji, (ii)
pemeliharaan, (iii) pengadaan sarana penunjang, (iv) penyelenggaraan PBM, (v) kegiatan
ekstrakurikuler, (vi) lain-lain. Sedangkan komponen PC atau biaya pribadi
siswa SMU terdiri dari: (i) uang pangkal/masuk, (ii) iuran BP3, (iii)
ulangan/TPB, (iv) kegiatan ekstrakurikuler, (v) praktikum, (vi) buku
pelajaran/latihan/LKS, (vii) buku dan alat-alat tulis, (viii) tas sekolah, (ix)
sepatu sekolah, (x) transportasi ke dan dari sekolah, (xi) pakaian seragam
sekolah, (xii) pakaian olahraga, (xiii) les di sekolah oleh guru, (xiv)
kursus/les di luar sekolah, (xvi) karyawisata siswa, (xvii) sumbangan
insidental, (xviii) uang saku/jajan, (xix) biaya lainnya.
Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa
yang menjadi indikator manajemen dana sekolah adalah proses perencanaan,
pengorganisasian, akuntabilitas dan pengawasan biaya pendidikan pada
unit instansi masing-masing.
b. Kualitas
Pelayanan
2.2.1 Kinerja
Sektor Publik
Dalam organisasi sektor publik
termasuk di dalamnya lembaga pendidikan
sebagai organisasi lembaga pelayanan publik, maka pengukuran kinerja
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai
ukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai misinya. Informasi mengenai
kinerja selain berguna untuk melihat seberapa jauh pelayanan yang diberikan
oleh organiasi iitu dalam memenuhi harapan dan kepuasan pengguna atau pemakai
jasa (customer), juga akan bermakna di dalam memberikan masukkan kepada
para pejabat atau penyelenggara publik untuk melakukan berbagai perubahan atau
perbaikan dalam organisasinya. Dengan melakukan pengukuran kinerja, maka upaya
untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara lebih terarah dan sistematik
sehinga bisa diperoleh informasi untuk lebih mendorong perbaikan kerja.
Pengukuran kinerja
organisasi publik bisa bersifat multiple
measure yaitu menyangkut kemampuan internal institusi, produk yang
dihasilkan dan pencapaian hasilnya Oleh karena itu, pengukuran kinerja lembaga-lembaga publik
tidaklah cukup dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat
pada entitas publik tersebut, seperti keefektifan dan efisiensi tetapi harus
dilihat juga indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti
kepuasan pelanggan jasa, akuntabilitas dan responsivitas.
Dengan demikian pengukuran kinerja sektor publik
khususnya organisasi pelayanan publik seharusnya melibatkan ukuran internal dan
eksternal yang dapat dipandang dari dua dimensi yaitu kinerja finansial dan
kinerja kualitas. Ukuran fiansial internal biasanya meliputi efisiensi produksi
dan utilitas. Sedangkan kriteria kualitas internal biasanya dipertimbangkan
dengan konstruk kualitas proses pelayanan. Kriteria finansial eksternal
biasanya dievaluasi dengan menggunakan kondisi keuangan atau informasi yang
berhubungan dengan aspek keuangan. Kemudian kriteria kualitas eksternal
difokuskan pada persepsi dan kepuasan konsumen dari produk atau jasa yang
dihasilkan (Li dan Benton,1996:444-468).
Selanjutnya
Lenvine menyatakan untuk mengukur kinerja organisasi pelayanan publik dapat
digunakan beberapa indikator yakni produktivitas, responsivitas,
responsibilitas, akuntabilitas dan kualitas pelayanan (Dwiyanto, 2002: 7-8).
Produktivitas adalah ukuran seberapa besar pelayanan publik menghasilkan yang diharapkan dari segi
efisien dan keefektifan, sedangkan kualitas pelayanan adalah ukuran citra yang
diakui masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan, masyarakat puas atau tidak
puas. Selanjutnya responsivitas adalah ukuran kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Responsibilitas adalah ukuran apakah pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar. Kemudian akuntabilitas
merupakan ukuran seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau konsisten dengan kehendak rakyat.
Kemudian kualitas pelayanan merupakan penyesuaian apa yang telah dikerjakan
lembaga dengan harapan pengguna.
2.2.2
Kualitas Jasa Sektor Publik
Kualitas adalah keseluruhan ciri
serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya
untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat (Kotler, 1997:49).
Goetsch dan Davis mendefinisikan kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2000:51).
Mengacu
pada pengertian kualitas di atas, maka kualitas dapat diartikan sebagai
keseluruhan ciri serta sifat dinamis suatu produk atau jasa yang berpengaruh
pada kemampuannya untuk memenuhi atau melebihi harapan yang dinyatakan atau
yang tersirat. Memberikan jasa bekualitas lebih tinggi dari pesaing secara
konsisten merupakan salah satu cara utama untuk mendiferensasiasikan suatu
lembaga yang bergerak di bidang jasa untuk memenuhi kepuasan pelanggan.
Kuncinya adalah memenuhi atau melebihi harapan kualitas jasa pelanggan sasaran.
Kepuasan
adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan
antara kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk, dan harapan-harapannya
(Kotler, 1997:36). Day menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan
adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara
harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja actual produk atau
layanan yang dirasakan setelah pemakaiannya (Tjiptono, 2000:146). Engel,
Blackwell, Miniard (1995:210) mendefinisikan kepuasan sebagai evaluasi
pascakonsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi atau
melebihi harapan. Sedangkan Oliver mendefinisikan kepuasan sebagai tingkat
perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakannya
dengan harapannya (Supranto, 1997:233).
Dari serangkain pemahaman di atas dapat
dimaknai lebih jelas bahwa kualitas pelayanan erat kaitannya dengan jasa yang
diberikan oleh organisasi kepada pengguna dalam rangka memenuhi kepuasannya.
. Philip
Kotler (1997:83) mendefinisikan jasa
adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak
kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan
kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada
satu produk fisik. Selanjutnya (Tjiptono, 2000:6) memberikan pengertian Jasa merupakan
aktivitas, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual.
Berdasarkan
definisi-definisi yang diberikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jasa
adalah setiap kegiatan, manfaat, atau proses yang pada dasarnya tidak berwujud
dan mudah lenyap, yang melibatkan pelanggan sebagai co-producer yang
ditawarkan sebagai jawaban atas kebutuhan pelanggan.
Fitzsimmons
& Fitzsimmons mengemukakan karakteristik jasa sebagai berikut (Fitzsimmons
& Fitzsimmons, 2001:25):
1. Customer’s Participation in the Service
Process. The
presence of the customer as a participant in the service process requires an
attention to facility design.
Artinya proses jasa tidak terlepas dari partisipasi pelanggan. Kehadiran
pelanggan sebagai partisipan dalam proses jasa menuntut perhatian terhadap
desain fasilitas. Dekorasi interior, mebel, tampilan, kebisingan, bahkan warna
sekalipun, dapat memepengaruhi persepsi pelanggan terhadap jasa.
2. Simultaneity.
The fact that services are created and consumed simultaneously and, thus,
cannot be stored, is a critical feature in the management of services. Bahwa
jasa tercipta dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan ; oleh sebab itu jasa
tidak dapat disimpan. Proses penciptaan jasa dan konsumsinya yang bersamaan
ini, bisa menghapuskan celah-celah yang mengganggu (intervensi) quality-control.
2.2.3. Kualitas Pelayanan
Menurut Kotler (2003:57) kualitas
pelayanan adalah: Quality is the totality of features and characteristics of
a product or service that mean on its ability to satisfy stated or implied needs.”
Artinya kualitas merupakan keseluruhan sifat-sifat dan karakter-karakter suatu
produk atau jasa, berdasarkan kemampuannya untuk menyatakan kepuasan atau
kebutuhan secara tidak langsung.
Menurut Tjiptono (2001:59) kualitas pelayanan adalah
Tingkat keunggulan yang diharapkan (expected) dan pengendalian atas
tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.”
Zeithaml
(2000:19) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai berikut: ”Service
quality can be defined as the expert or discrepancy between customer
expectations or desired and their perceptions.” Artinya kualitas pelayanan
dapat didefiniskan sebagai tingkat perbedaan antara harapan dan keinginan
pelanggan dengan tingkat persepsi mereka.
Dari semua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
kualitas pelayanan adalah penilaian secara keseluruhan baik sifat dan
karakteristik yang dilakukan oleh pelanggan terhadap suatu produk dan
pelayanan, dimana usaha pelayanan yang diberikan oleh pihak lain yang memiliki
nilai komersial dan memiliki karakteristik utama yaitu tidak berwujud dan tidak
memberikan hak kepemilikan apapun bagi penerimanya.
Gronross menyatakan kualitas total
dari suatu jasa atau pelayanan terdiri atas tiga bagian utama (Tjiptono 2001:455), yaitu Technical
Quality, Functional Quality dan Corporate Image. Technical Quality adalah komponen yang berkaitan dengan kualitas output
(keluaran) jasa yang diterima pelanggan, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu Search
Quality, Experience Quality dan Credence Quality. Kemudian Functional
Quality adalah komponen yang
berkaitan dengan kualitas cara penyampaian suatu jasa. Selanjutnya Corporate Image merupakan profil, reputasi, cerita umum dan daya tarik
khusus suatu organisasi.
Menurut
(Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1990:62) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi
kualitas layanan, yaitu: expected service (layanan yang diharapkan) dan perceived
service (layanan yang diterima). Apabila layanan yang diterima atau
dirasakan sesuai dengan yang diharapkan konsumen, maka kualitas layanan
dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan
konsumen, maka kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Tetapi
sebaliknya jika layanan yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan,
maka kualitas layanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya
kualitas layanan bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia
layanan, melainkan berdasarkan persepsi dari konsumen.
Kotler
(2003:52), menyoroti hal-hal yang dapat dilakukan organisasi untuk menjaga
kualitas pelayanan agar tetap unggul, adalah konsep strategis yakni jasa yang baik memiliki pikiran yang jelas
mengenai pasar sasaran dan kebutuhan pelanggan yang ingin dipuaskan. Mereka
mengembangkan strategi yang berbeda dalam memuaskan pelanggan sehingga
pelanggan menjadi setia.
Senada
dengan itu, Hermawan Kertajaya
(1997:123) dalam mewujudkan pelayanan yang baik kepada pelanggan terdapat empat
macam bentuk pelayanan yang harus dikelola secara bersama-sama guna memperoleh
hasil yang maksimal, yaitu:
a.
Pelayanan Itu Sendiri Sebagai Produk yang Dijual.
Dalam hal ini seorang
marketer harus mampu menganggap
pelayanan yang dijual itu sebagai bentuk yang terdiri dari beberapa eleman
seperti features, quality dan style untuk pelayanan yang dijual.
b.
Before Sales Services
Merupakan
pelayanan yang diberikan sebelum dilakukannya penjualan.
c.
In Sales Service
Merupakan
pelayanan yang diberikan selama penjualan berlangsung. Sikap dari petugas yang
memberikan pelayanan kepada pelanggan pada saat terjadi transaksi pembelian.
d.
After Sales Service
Merupakan
pelayanan yang diberikan sesudah penjualan berlangsung. Jika telah dilakukan
pembelian oleh pelanggan, maka harus tetap menunjukkan sikap yang baik kepada
pelanggannya agar pelanggan tidak kecewa.
Kebanyakan organisasi penyedia jasa, karyawan merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses pemberi jasa. Salah
satu alasan ini yaitu, perusahaan jasa selalu memperhatikan insentif bagi
karyawan. Biaya tenaga kerja yang tinggi untuk perusahaan jasa dibandingkan
dengan karyawan yang memproduksi barang akan memberikan dorongan bagi karyawan.
Selanjutnya tujuan umum dari pelayanan yang berkualitas menurut
Kotler (2003:455) adalah Pemeliharaan Pelanggan (Customer Maintenance), mengingatkan Pelanggan (Customer Retention)dan mengembangkan Pelayanan Baru (New
Customer Development)
Zeithaml, Berry dan Parasuraman, (1990:60) menyatakan bahwa terjadinya retensi
(bertahan) atau defeksi (berpindah) merupakan konsekuensi perilaku yang
dapat timbul akibat dari kualitas. Kedua hal tersebut dapat berakibat pada
kondisi finansial.. Bila terjadi defeksi atau konsumen hilang atau
berpindah, organisasi harus menarik konsumen yang baru untuk menggantikannya
dan penggantian tersebut membutuhkan biaya yang tinggi. Mencari konsumen baru
mahal karena melibatkan biaya iklan, promosi, penjualan dan biaya operasional
lainnya. Mencari dan meyakinkan pelanggan juga membutuhkan peningkatan pelayanan yang lebih
besar dibandingkan untuk mempertahankan pelanggan yang sudah ada. Sedangkan
jika terjadi retensi, konsumen yang setia lebih berkemungkinan untuk
membeli layanan tambahan dan meyebarkan komunikasi yang positif dibandingkan dengan
konsumen-konsumen jangka pendek.
Dalam mengukur kepuasan Pelanggan (Gerson, 2001:3) menyatakan bahwa
kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan bahwa harapannya telah terpenuhi
atau terlampaui. Engel, Blackwell dan Miniard (1995:210)
mendefinisikan kepuasan sebagai “evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif
yang dipilih, setidaknya memenuhi atau melebihi harapan”. Singkatnya,
alternatif tersebut setidaknya bekerja sebaik yang diharapkan. Jadi, kepuasan
dapat disimpulkan sebaga perbandingan antara
harapan pelanggan dan kinerja (atau hasil) yang dirasakan. Apabila
kinerja (atau hasil) tersebut setidaknya memenuhi atau melebihi harapan, maka
dapat dikatakan seseorang tersebut merasakan kepuasan.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kepuasan menyangkut perbandingan antara
harapan seseorang dengan kinerja atau hasil yang dirasakan. Harapan pelanggan
dibentuk dan didasarkan antara lain oleh pengalaman dimasa lampau, opini teman
dan kerabat, serta informasi dan janji-janji sebuah organisasi.
Konsistensi
kualitas suatu jasa untuk ketiga orientasi yakni kepuasan,
pemenuhan kebutuhan dan profitabilitas dapat menyumbang pada keberhasilan suatu
institusi ditinjau dari kepuasan dan
pemenuhan kebutuhan pelanggan, kepuasan karyawan, dan profitabilitas
organisasi.
Menurut Sviokla
(1997; 116) kualitas memiliki delapan dimensi pengukuran yang terdiri
dari aspek-aspek kinerja (performance), keragaman produk (features),
keandalan (reliability), kesesuaian (conformance), daya
tahan/ketahanan (durability), kemampuan pelayanan (serviceability),
estetika (aesthetics), dan kualitas yang dipersepsikan (percieved
quality).
Jika
kenyataan lebih dari yang diharapkan, maka layanan dapat dikatakan bermutu
sedangkan jika kenyataan kurang dari yang diharapkan maka dikatakan tidak
bermutu. Apabila kenyataan sama dengan harapan dan kebutuhan maka pelayanan
tersebut memuaskan. Dengan demikian service quality dapat didefinisikan
sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas
layanan yang mereka terima/peroleh. Dalam salah satu studi mengenai SERVQUAL
oleh Parasuraman menyimpulkan bahwa terdapat lima dimensi SERVQUAL sebagai
berikut ( Lupiyoadi, 2001):
1.
Tangibles, atau
bukti fisik yaitu kemampuan suatu organisasi dalam menunjukkan eksistensinya
kepada pihak eksternal. Penampilan kemampuan sarana dan prasarana fisik
perusahaan dan keadaan lingkungan disekitarnya adalah buktinyata dari pelayanan
yang diberikan oleh pemberi jasa, yang meliputi fasilitas fisik (gedung,
infrastruktur ekonomi dan lain sebagainya), kelengkapan dan peralatan yang
dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2.
Reliabilitas, atau keandalan yaitu kemampuan organisasi untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan
terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan dan kebutuhan pelanggan yang
berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa
kesalahan, sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang tinggi.
3.
Responsiveness, atau
ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang
cepat (responsif) dan tepat pada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang
jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas
menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan.
4.
Assurance, atau
jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan dan kesopansantunan, dan kemampuan para
pegawai untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan. Jaminan ini terdiri dari beberapa
komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility),
keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy).
5.
Empathy, yaitu memberikan
perhatian yang tulus dan bersifat individual dan pribadi yang diberikan pada
para pelanggan dengan berupaya memahami keingingan dan kebutuhan konsumen. Suatu
organisasi diharapkan memiliki suatu pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan
pelanggan secara spesifik.
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi indikator kualitas pelayanan
diknas adalah tangible, reliability, responsiveness,
assurance dan empathy yang telah dilakukan oleh dinas pendidikan setempat.
c.
Gaya Kepemimpinan
Perilaku kepemimpinan mempengaruhi motivasi kerja dan
produktivitas (performadance) dapat dijelaskan dengan dengan Path-goal
theory (Viccio, 2006:172) sebagai berikut:
“Path-goal theory suggest that leader
can affect satisfaction, motivation, and performadance by basing rewards on the
accomplishment of performance goals and by clarifying the path to these goals
and removing obstacles to performance. Depending on situation, the leader does
this by choosing one of four types of leader behavior.”
Menurut
William G. Scott dalam (Munir, 2000:150) antara perilaku dan sikap adalah dua
hal yang selalu berdampingan bahkan artinya pun sering disalahgunakan. Ini
wajar karena perilaku dan sikap adalah suatu perbuatan. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa sikap adalah suatu proses cara berpikir dan perasaan terhadap suatu obyek
tertentu sebagai akibat menerima stimulus baik dari dalam atau dari luar,
sedangkan perilaku adalah suatu bentuk nyata dari suatu perbuatan yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki berwujud benda atau kepuasan
tertentu.
Sedangkan
Paul J. Peter et al, dalam (Rangkuti, 2002:58) mengemukakan perilaku adalah
interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, kejadian sekitar dimana manusia
melakukan pertukaran di dalam hidup mereka.
Gibson
et.al., (1991:9) mengemukakan bahwa perilaku organisasi mengikuti prinsip
perilaku manusia. Keefektifan setiap organisasi sangat dipengaruhi oleh
perilaku manusia. Manusia merupakan sumber daya yang umum bagi semua
organisasi. Pekerja sekarang tidak melihat, berpikir, atau bertindak seperti
pekerja masa lalu. Untuk menjadi efektif, manajer suatu organisasi harus
memandang masing-masing karyawan atau anggota sebagai sosok yang memiliki
keunikan perilaku dan kultur. Banyak kultur kelompok yang berbeda di seluruh dunia
terdapat pada pekerja.
Menurut
(Kreitner Kinicki, 2005; 106) tingkah laku dan tindakan etis merupakan produk
dari kombinasi pengaruh yang kompleks (gambar 2.1). Pada bagian tengah model
gambar tersebut adalah pembuat keputusan individu, yang memiliki kombinasi
karakteristik kepribadian, nilai, dan prinsip moral yang unik, yang
berlandaskan pada perilaku etis dan tidak etis. Pengalaman pribadi mendapatkan
penghargaan atau diperlakukan berbeda dan dihukum juga mendorong individu untuk
bertindak secara etis maupun tidak etis.
Sementara
itu (Greenberg, 2005;49) berpendapat bahwa perilaku etika yang baik dari
pegawai akan mencerminkan kebaikan dari organisasi. Perilaku etika yang baik akan
memberi keuntungan antara lain meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi biaya
operasional, mempertinggi reputasi organisasi dan meningkatkan kemampuan untuk
menarik dan menahan pegawai.
Pengaruh Budaya
·
Keluarga
·
Pendidikan
·
Agama
·
Media Massa/Hiburan
Peran yang diharapkan
Organisasi Individu
·
Kode Etik *
Kepribadian
·
Budaya Organisasi *
Nilai
·
Model
Peran Perilaku *
Prinsip Moral *
Sejarah yang menguatkan Etis
·
Tekanan untuk
mencapai * Gender
·
Hasil yang
diharapkan
·
Sistem
Penghargaan
Pengaruh
ekonomi/politis/Hukum
Sumber
: Perilaku Organisasional (Kreitner Kinicki, 2005, hal. 106)
Gambar 2.1. Model
Etika Berperilaku di Tempat Kerja
Gambar 2.1. di atas menggambarkan tiga sumber pengaruh
utama terhadap peran yang diharapkan pada seseorang. Orang-orang memainkan
banyak peran dalam kehidupan, seperti pimpinan dan kepemimpinannya. Harapan
seseorang mengenai peran tersebut harus dimainkan dibentuk oleh faktor budaya,
organisasi, dan lingkungan umum.
Sedangkan perilaku pemimpin disebut leader attitude,
yang akar katanya adalah to lead. Dalam kata itu terkandung beberapa
arti yang saling erat berhubungan: bergerak lebih awal, berjalan di depan,
mengambil langkah pertama, berbuat paling dulu, memelopori, mengarahkan
pikiran-pendapat-tindakan orang lain, membimbing, menuntut, menggerakkan orang
lain melalui pengaruhnya dengan demikian seorang pemimpin adalah orang yang
bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, berbuat
paling dulu, mempelopori, mengarahkan pikiran-pendapat-tindakan orang lain,
membimbing, menuntun dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya
(Mangunharjana, 2001;11).
Kepemimpinan dalam pandangan Mangunharjana (2001;23),
terdiri atas beberapa beberapa pengertian, yakni sebagai berikut:
”Pemimpin pada
intinya adalah tugas pengabdian. Dia ada bukan demi dirinya sendiri, melainkan
demi orang lain. Dia dipanggil bukan untuk memuaskan hobby pribadi, melainkan
demi tercapainya tujuan dan cita-cita bersama. Dia ada bukan demi kepentingan
sendiri, melainkan demi kepentingan umum. Pemimpin adalah orang yang tahu apa
yang mau dicapai, mengerti jalan menuju ke sana, dapat menunjukkan tujuan dan
jalan yang harus ditempuh itu kepada orang lain dan bersedia menempuh jalan itu
bersama mereka yang dipimpinnya. Pemimpin dibebani tugas membawa mereka yang
dipimpin menuju ke tujuan dan cita-cita bersama”.
Selanjutnya, kepemimpinan didefinisikan oleh Horner
(Horner, Melissa,
1997:270) sebagai suatu sifat, kualitas dan perilaku dari seorang
pemimpin, di mana banyak orang memiliki kecenderungan untuk menerima saja
sebuah keadaan seperti apa adanya sekarang sebagai suatu cara hidup yang cukup
nyaman, tanpa berupaya untuk merubahnya menjadi lebih baik.
Fungsi kepemimpinan dibutuhkan untuk merubah suatu
keadaan menjadi lebih baik, yang dalam pandangan (Bagshaw, 1999: 238)
kepemimpinan dapat menciptakan sebuah keadaan yang pada akhirnya mendorong
orang untuk berfikir bahwa ia harus berubah dari keadaan tersebut, dan berupaya
menjadi lebih baik dari sebelumnya meskipun terkadang mereka tidak tahu apa yang
harus dilakukan selanjutnya untuk memperbaiki keadaannya. Oleh karena itu,
mereka membutuhkan seorang pemimpin untuk dapat menjabarkan hambatan-hambatan
yang ada, kemudian merubahnya menjadi sebuah kreativitas dan mendorong
pertumbuhan setiap orang.
Stoner sebagaimana dikutip oleh Husein Umar (2000:31), mendefinisikan
kepemimpinan sebagai suatu proses pengarahan dan mempengaruhi aktivitas yang
berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok.
Kepemimpinan memerlukan sebuah pemahaman yang tajam dari
tabiat seseorang, seperti kebutuhan dasar, keinginan, dan kemampuan seseorang.
Agar menjadi lebih efektif, seorang pemimpin menurut Besterfield, et al. (1995;15)
perlu untuk mengenal dan memahami hal-hal sebagai berikut: 1) Seseorang
memerlukan keamanan dan kebebasan pada saat yang bersamaan; 2) Seseorang akan
sangat sensitif terhadap kebijakan reward and punishment, meskipun
memiliki motivasi diri yang kuat; 3) Seseorang suka mendengar kata-kata pujian:
4) Seseorang akan tidak percaya pada retorika seorang pemimpin, jika kata-katanya
tidak konsisten dengan perbuatannya; 4) Seseorang hanya dapat mengerjakan
sedikit pekerjaan, seorang pemimpin perlu untuk memberikan contoh yang
sederhana dalam menyelesaikan pekerjaannya; 5) Kepemimpinan bukanlah fungsi
dari kharisma.
Oleh karena itu, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan
kharisma yang ia miliki semata dalam usaha memimpin suatu kelompok tertentu.
Bila seorang pemimpin mencoba menggunakan citra dan kharismanya semata untuk
memimpin suatu organisasi, maka ia bukanlah seorang pemimpin, tetapi misleader.
Ada beberapa karakteristik yang membedakan seorang
pemimpin dengan misleader Nasution (2001:151), mengemukakan sebagai
berikut: 1) Pemimpin menentukan dan mengungkapkan misi organisasi secara jelas;
2) Pemimpin menetapkan tujuan, prioritas dan standar; 3) Pemimpin lebih
memandang kepemimpinan sebagai tanggung jawab daripada suatu hak istimewa dari
suatu kedudukan; 3) Pemimpin bekerja dengan orang-orang yang berpengetahuan dan
tangguh, serta dapat memberikan kontribusi kepada organisasi; 4) Pemimpin
memperoleh kepercayaan, rasa hormat dan integritas. Pendapat Robbins (1996:39)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi suatu
kelompok ke arah pencapaian tujuan sumber dari pengaruh ini bisa formal,
seperti misalnya yang disediakan oleh pemilikan peringkat manajerial dalam
suatu organisasi. Karena posisi manajemen muncul bersama suatu tingkat wewenang
yang ditunjuk secara formal, seseorang dapat menjalankan suatu peran
kepemimpinan semata-mata karena kedudukannya dalam organisasi itu. Menurut
Winaryo (2001:59) kepemimpinan merupakan suatu kemampuan yang memberikan kesan
tentang keinginan pemimpin, sehingga dapat menimbulkan kepatuhan, rasa hormat,
loyalitas dan kerjasama dari para anggotanya.
Yukl (1988:3) berpandangan bahwa kepemimpinan adalah
sebuah proses pengaruh sosial yang terjadi secara alamiah di dalam sebuah
sistem sosial yang dirasakan bersama di antara berbagai anggota dari sistem
tersebut. Dalam pandangannya tersebut ia percaya bahwa lebih berguna untuk
mempelajari “kepemimpinan” sebagai sebuah proses daripada mempelajari
“pemimpin” sebagai seorang individu.
Menurut pandangan tersebut, setiap anggota dari sebuah
sistem sosial dapat memperlihatkan kepemimpinanya setiap saat, dan tidak ada
perbedaan yang jelas antara para pemimpin dan para pengikutnya. Berbagai fungsi
kepemimpinan dapat dilakukan oleh orang-orang yang berbeda yang mempengaruhi
apa yang dilakukan kelompok tersebut, bagaimana dilakukannya, dan bagaimana
cara orang di dalam kelompok tersebut saling berhubungan.
Kepemimpinan berperan penting dalam meningkatkan
produktivitas (Wiradinata, 2004:87-90). Kepemimpinan memainkan peran yang
dominan, krusial, dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan
produktivitas kerja baik pada tingkat individu, pada tingkat kelompok dan pada
tingkat organisasi. Seorang yang menduduki jabatan pimpinan dalam suatu
organisasi memainkan peran penting tidak hanya secara internal bagi organisasi
yang bersangkutan akan tetapi juga dalam menghadapi berbagai pihak dari luar
organisasi yang kesemuanya dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan organisasi
mencapai tujuannya. Peran tersebut dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu
bersifat (a) interpersonal, (b) informasional, dan (c) dalam kancah pengambilan
keputusan (Sondang, 2002:62).
i.
Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah merupakan sebuah organisasi yang di dalamnya
terdapat unsur manajemen dan dalam manajemen terdapat sebuah kegiatan;
pelaksanaannya disebut managing dan orang yang melakukannya disebut
manajer. Manajer adalah pemimpin pada suatu kelompok orang yang
perlu diatur dan dikendalikan guna mencapai suatu tujuan. Demikian halnya
dengan sekolah, yaitu suatu lembaga yang di dalamnya terdapat orang-orang yang
harus dipimpin agar sampai pada tujuan yang diharapkan. Tugas utama pemimpin
ialah memanfaatkan usaha-usaha kelompok secara efektif.
Kepemimpinan adalah sebuah proses memberi
arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan
kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Yukl,
1994:2). Kepemimpinan merupakan bagian integral dalam manajemen yang harus
dilakukan dalam rangka mempengaruhi orang lain atau bawahan untuk tidak
melakukan hal-hal yang salah melainkan sebaliknya diarahkan untuk melakukan
aktivitas yang mendukung tercapainya tujuan organisasi.
Davis and Newstrom (1985: 152) mendefinisikan pemimpin sebagai kemampuan
untuk membujuk orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
antusias. Dengan demikian, kepemimpinan merupakan kecakapan atau kemampuan
seseorang untuk membujuk orang lain agar bersedia bekerja keras dalam mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sedangkan Terry dan Frankin dalam
(Robbin, 2002: 15-18) mendefinisikan kepemimpinan dengan hubungan di mana
seseorang (pemimpin) mempengaruhi orang lain untuk mau bekerjasama melaksanakan tugas-tugas yang saling
berkaitan guna mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin dan atau kelompok.
Definisi tersebut menekankan pada permasalahan hubungan antara orang yang
mempengaruhi [pemimpin] dengan orang yang dipengaruhi (bawahan).
Dalam
menggerakkan orang lain, seorang memiliki teknik dan seni yang berbeda satu
sama lain, ada yang berorientasi pada pegawai dan ada pula yang berorientasi
pada job kerja, dilakukan secara demokratis bahkan ada pula dengan sikap
otoriter. Hal demikian merupakan gaya bagi setiap pemimpin dalam melakukan
tugas kepemimpinannya.
Gaya kepemimpinan merupakan sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan
untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi dapat tercapai (Timpe,1992;134)
Sedangkan pendapat lain bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan
strategi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pimpinan. (Castetter, 1984: 337) menjelaskan
bahwa “Leadership is a very personal
process between two people, in which the one attempts to guide and motivates
the other to make plans for achieving aims of the school system”.
Kepemimpinan adalah suatu proses yang sangat pribadi di antara dua orang dimana seseorang
mencoba mengarahkan dan memotivasi yang lain untuk membuat perencanaan dalam
mencapai tujuan dari sistem persekolahan.
Atas
dasar pengertian tersebut dapat diungkapkan bahwa unsur-unsur yang terlibat
dalam kepemimpinan adalah orang yang dapat mempengaruhi orang lain, orang yang
berpengaruh, adanya maksud-maksud tertentu yang hendak dicapai, adanya
serangkaian tindakan tertentu untuk mempengaruhi dan untuk mencapai tujuan
tertentu.
Terry mengatakan bahwa “Leadership
is the activity of influencing exercised to strive willingly for group
objectives”. Kepemimpinan menurut (Wahjosumidjo, 1987:5) adalah kegiatan
dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk
tujuan kelompok. Keberhasilan pemimpin dipandang dari segi sumber dan
terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para pemimpin, dan dengan cara
yang bagaimana para pemimpin menggunakan kewibawaan tersebut dengan bawahannya.
Menurut Hersey & Blanchard (1982:157) pada dasarnya gaya kepemimpinan
seseorang terbagi pada dua kecenderungan, yaitu berorientasi pada tugas (task
behavior) dan berorientasi pada hubungan (relationship behavior).
Gaya yang pertama ditandai dengan adanya beberapa hal seperti : pemimpin
memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahan, selalu mengadakan pengawasan
secara ketat, meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dapat
dilaksanakan sesuai dengan keinginanan pemimpin dan pemimpin lebih menekankan
kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan. Sedangkan
gaya kepemimpinan yang kedua, sebaliknya ditandai dengan beberapa gejala
sebagai berikut: pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan
pengawasan terhadap bawahan, pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan
keputusan, pemimpin lebih bersikap penuh kekeluargaan, percaya, hubungan
kerjasama yang saling hormat menghormati diantara sesama anggota kelompok.
Selanjutnya Hersey dan Blanchard membedakan dua kecenderungan tersebut ke
dalam empat gaya kepemimpinan, yaitu: telling, selling, participating dan delegating.
Gaya kepemimpinan telling, ditandai dengan ciri-ciri : tinggi tugas dan
rendah hubungan, pemimpin memberikan perintah khusus, pengawasan dilakukan
secara ketat, pemimpin menerangkan kepada bawahan apa yang harus dikerjakan,
bagaimana mengerjakan, kapan harus dilaksanakan pekerjaan itu, dan di mana
pekerjasan itu harus dilakukan. Gaya kepemimpinan selling, ditandai
dengan ciri-ciri: tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menerangkan
keputusan, pemimpin memberikan kesempatan untuk penjelasan, pemimpin masih
banyak melakukan banyak pengarahan, pemimpin melakukan komunikasi dua arah.
Gaya kepemimpinan participating ditandai dengan ciri-ciri tinggi
hubungan dan rendah tugas, di mana pemimpin dan bawahan saling memberikan
gagasan dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan delegating merupakan
gaya kepemimpinan yang ditandai dengan ciri-ciri : hubungan dan tugas rendah,
pemimpin melimpahkan pembuatan keputusan dan pelaksanaan kepada bawahan.
Menurut pendekatan behavior,
gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik
yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan
menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan, sifat dan
sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan juga menunjukkan
secara langsung dan tidak langsung, keyakinan seorang pimpinan terhadap
kemampuan bawahannya (Newstrom, 1997:205).
ii. Gaya Kepemimpinan
Yang Berorientasi Pada Karyawan dan Berorientasi Pada Tugas.
Gaya
kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe pemimpin. Gaya
kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu gaya kepemimpinan yang mementingkan
pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerjasama dan yang mementingkan
hasil yang dicapai. Ketiga pola gaya di atas saling mendukung. Kombinasi dari
tiga pola dasar tersebut menghasilkan tiga tipe utama kepemimpinan, yaitu
otokratis, demokratis dan kendali bebas (laissez-faire).
Dalam kepemimpinan yang otokratis,
pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota kelompoknya. Baginya
pemimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang
otokratik. Penafsiran otokratik tidak lain adalah menunjukkan dan memberi
perintah. Kewajiban bawahan atau anggotanya hanyalah mengikuti dan menjalankan
tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Pemimpin yang bertipe demokratis
menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan pemimpin di
tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota kelompok bukan
sebagai majikan dengan buruh, melainkan sebagai saudara di antara teman-teman
sekerjanya, atau sebagai kakak terhadap saudaranya. Pemimpin yang demokratis
selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar bekerja secara kooperatif
untuk mencapai tujuan bersama, dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu
berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya. Tipe ketiga adalah
kepemimpinan Laizes faire dalam Timpe, (1992:130) sebenarnya tipe
pemimpin yang tidak memberikan pimpinan, membiarkan orang-orang berbuat
sekehendaknya. Pemimpin yang seperti ini sama sekali tidak memberikan kontrol
dan koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya. Pembagian tugas dan
kerjasama diserahkan kepada anggota-anggota kelompok tanpa petunjuk dan
saran-saran dari pemimpin. Kekuasaan dan tanggung jawab bersimpang siur,
berserakan di antara anggota kelompok, tidak merata, dengan demikian mudah
terjadi kekacauan dan bentrokan.
Menurut hasil riset kepemimpinan pada
perilaku kepemimpinan pada Universitas Michigan terdapat dua dimensi perilaku
kepemimpinan yang disebut dengan gaya kepemimpinan berorientasi pada karyawan
dan berorientasi pada produksi (tugas) (Robbins, 1998: 351). Gaya kepemimpinan
berorientasi pada karyawan adalah pimpinan cenderung menekankan hubungan antar
pribadi, memperhatikan kebutuhan manusiawi para karyawan, bisa mengerti
perbedaan-perbedaan sifat yang dimiliki oleh karyawannya. Pemimpin selalu
berusaha untuk menciptakan komunikasi dua arah dan suasana yang menyenangkan,
serta selalu mengupayakan diri terhadap orang yang dipimpinnya. Harmonisasi
hubungan yang tercipta merupakan media untuk penyampaian gagasan atau ide-ide
yang perlu mendapat dukungan bersama. Pimpinan seperti ini berusaha membina
kerja tim dan membantu para pegawai untuk menanggulangi masalah mereka.
Gaya
kepemimpinan berorientasi pada produksi atau tugas, cenderung menekankan aspek
teknis atau tugas dari pekerjaan, perhatian utamanya adalah bagaimana
menyelesaikan pekerjaan, membuat orang selalu sibuk dan mendesak anak buah
untuk selalu berproduksi. Pemimpin yang berorientasi pada tugas cenderung
memusatkan perhatian kepada organisasi, seperti memberikan rincian tentang
tugas-tugas yang harus dilaksanakan, kapan dilaksanakan dan bagaimana
melaksanakannya serta tidak mau mengerti kesulitan-kesulitan yang dialami oleh
bawahan dalam menyelesaikan pekerjaan.
2.3.3 Gaya Kepemimpinan Transaksional
Menurut Shriberg & lloyd
(2002:208) Transactional leadership is a berter, an exchange of wants
batween leader and follower. The transactional leader satisfies followers’
needs by ebtering into a relationship of mutual dependece in which the
contributions of both sides are recognized and rewarded. Artinya kepemimpinan
transaksional adalah barter, yang merupakan pertukaran dari kebutuhan antara
pemimpin da karyawan. Pemimpin transaksional memusakan kebutuhan para karyawan
dengan memasuki hubungan saling
ketergantungan, dimana kontribusi dari kedua sisi diakui dan dihargai.
Daft (1999:427) mendefinisikan pemimpin
transaksional sebagai The
transactional leader recognizes specific follower desires and provides goods
that meet those desires in exchange for followers meeting specified ebjectives
or performing certain duties. Artinya pemimpin transasksional mengakui apa yang
diinginkan karyawan dan menyediakan semua kebutuhan itu untuk meningkatkan
tujan dan prestasi karyawan dalam menjalankan setiap tugas.
Sedangkan menurut Robbins (2006:427)
definisi pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi
para karyawan menuju ke sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan
peran dan tugas mereka. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemimpin transaksional
adalah pemimpin yang menekankan proses transaksi antara atasan dan karyawan, di
mana karyawan akan memperoleh penghargaan atas kinerja terbaiknya dan atasan
memperoleh keuntungan dai kinerja terbaik tersebut.
Bass & Riggio (2006:8-9) mengemukakan empat dimensi dalam gaya
kepemimpinan transaksional, antara lain
a.
Pemberian Imbalan (Contingent Reward)
Pemimpin
melakukan transaksi dengan karyawan atas pencapaian kinerjanya.
Karyawan
diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya tujuan yang telah disepakati. Imbalan
diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
b. Manajemen Aktif dengan Pengecualian (Active Management
by Exception)
Pemimpin memonitor terus kinerja
karyawan untuk mengantisipasi kesalahan. Pemimpin secara aktif dan terus
menerus mencari permasalahannya dan penyimpangan serta menjelaskan standar
kerja sejak permulaan. Pada umumnya pemimpin dapat mendorong kinerja
karyawannya dengan menjelaskan standar kerja atau memodifikasi kinerja yang
kurang baik dengan cara-cara yang dapat diterima.
c. Manajemen
Pasif dengan pengecualian (Passive Management by Exception) Pemimpin
melakukan intervensi dengan kritik serta mengoreksi setelah terjadi kesalahan.
Pemimpin menunggu setelah tugas selesai dikerjakan dan menjelaskan standarnya
setelah terjadi kesalahan. Pada umumnya pemimpin mengandalkan kritik dan
teguran sebagai pernyataan ketidaksetujuannya.
d. Laissez-faire
Pemimpin
bersikap mengabaikan tugas dan karyawan, hal ini ditunjukan dengan mengabaikan
masalah (menyerahkan tanggung jawab kepada karyawan, menghindari pembuatan
keputusan) dan mengabaikan kebutuhan karyawan.
Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang menekankan
pada tugas yang dengan bawahan. Pemimpin adalah orang yang mendesain pekerjaan
beserta mekanismenya, dan staf adalah orang yang melaksanakan tugas sesuai
dengan kemampuan dan keahlian (Aan dan Cepi, 2005).
Kepemimpinan transaksional lebih difokuskan
pada peranannya sebagai manajer karena ia sangat terlibat dalam aspek-aspek
prosedural manajerial yang metodologis dan fisik. Sistem kerja yang jelas dan merujuk kepada tugas yang diemban dan imbalan
yang diterima sesai dengan derajat pengorbanan dalam pekerjaan maka
kepemimpinan transaksional yang diterapkan ditengah staf yang belum matang dan
menekankan pada tugas untuk mendapatkan insentif bukan pada aktualisasi diri.
Oleh karena itu, kepemimpinan ini dihadapkan pada orang yang ingin memenuhi
kebutuhan hidupnya secara primer.
Kepemimpinan ini tidak mengembangkan hubungan laizess
fair atau membiarkan personel
menentukan sendiri pekerjaannya karena dikhawatirkan dengan personel yang perlu
pembinaan, pola ini dapat menyebabkan mereka menjadi pemalas dan tidak jelas
apa yang dikerjakannya. Pola yang dikembangkan kepemimpinan ini adalah
berdasarkan suatu sistem timbal balik (transaksi) yang sangat menguntungkan (mutual
system of reinforcement) yakni
pemimpin memahami kebutuhan dasar para pengikutnya dan pemimpin menemukan penyelesaian
atas cara kerja dari pengikutnya.
2.3.4 Gaya Kepemimpinan Situasional
McNamara (2000:2) menyatakan bahwa “Gaya kepemimpinan
tergantung pada situasi, bersamaan dengan perputaran kehidupan organisasi. Contigency
Theory Leadership adalah teori yang menguatkan bahwa ada kaitan antara
kepemimpinan dengan situasi tertentu yang dipersyaratkan. Seorang pemimpin akan
efektif jika gaya kepemimpinannya sesuai dengan situasi yang terjadi (Bednar,
1991: 392-393).
Pendapat lain yang mendukung teori kepemimpinan
situasional juga disampaikan oleh Hersey dan Blanchard, yang mengemukakan bahwa
gaya kepemimpinan yang paling efektif itu berbeda-beda sesuai dengan
“kematangan” bawahan (Freeman, 1992: 470-472). Kematangan atau kedewasaan
bawahan bukan sebatas usia atau stabilitas emosionalonal, melainkan keinginan
untuk berprestasi dan menerima tanggung jawab, dan kemampuan serta pengalaman
yang berhubungan dengan tugas.
2.3.5
Gaya
Kepemimpinan Transformasional
Menurut Daft (1999:427): Transformational leaders have the
ability to lead changes in the organization’s vision, strategy, and cultureas
well as promote innovation in products and technologies. Artinya pemimpin transformasional
mempunyai kemampuan untuk memimpin perubahan dalam visi organisasi, strategi,
dan budaya sama seperti memperbaharui promosi dalam produk dan teknologi.
Hughes, Ginnet, Curphy (220:416) mendefinisikan pemimpin tranformasional
adalah Transformation leaders possess good visioning, rhetorical (heighten followers
emotional levels and inspire them to embrace the vision), impression management
skills, and they use these skills to develop strong emotional bonds with
followers.
Berdasarkan definisi tersebut
dapat diketahui bahwa pemimpin transformasional memiliki pandangan ke depan
yang baik, gaya retoris (mempertinggi level emosi karyawan dan menginspirasi
mereka untuk selalu memiliki visi kedepan), memberikan kesan yang baik pada
keterampilan manajemen, dan mereka menggunakan keterampilan ini untuk
mengembangkan ikatan emosi yang kuat dengan para karyawan.
Robins (2006:472) menyatakan bahwa Pemimpin
transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para karyawan untuk melampaui
kepentingan pribadi mereka dan yang mampu membawa dampak mendalam dan luar
biasa pada para karyawan.”
Dari beberapa pendapat para ahli
di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa pemimpin transformasional merupakan
seorang pemimpin yang mengkonsentrasikan usaha mereka pada tujuan jangka
panjang dan pengembangan visi, membangun kepercayaan diri karyawan, serta
berusaha untuk menciptakan suatu hubungan yang erat dengan pada karyawan.
Yukl
(2005:305), menyatakan bahwa seorang pemimpin transformasional merasa adanya
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan penghormatan terhadap pemimpin, dan
mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan dari
mereka. Pemimpin transformasional mengubah dan memotivasi para pengikut dengan:
(1) membuat mereka lebih menyadari pentingnya hasil tugas, (2) membujuk mereka
untuk mementingkan kepentingan tim atau organisasi mereka dibandingkan dengan
kepentingan pribadi, (3) mengaktifkan kebutuhan mereka pada tingkat yang lebih
tinggi.
Bass
& Riggio (2006:6-7) mengemukakan empat dimensi dalam gaya kepemimpinan
transformasional, antara lain:
a. Pengaruh Idealis (Idelaized Influence)
Pemimpin berperilaku dalam cara-cara yang
mengijinkan mereka untuk bertindak sebagai contoh bagi para karyawan. Pemimpin
dapat menciptakan rasa kagum (admire), rasa hormat (respect), dan
rasa percaya diri (trust) dari orang yang dipimpinnya. Pemimpin berupaya
mempengaruhi karyawan melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya
nilai-nilai moral, komitmen, dan keyakinan dalam memiliki tekad untuk mencapai
tujuan serta mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap
keputusan yang diambil.
b. Motivasi Inspirasional (Inspirational
Motivation)
Pemimpin berperilaku dalam cara-cara yang
dapat memotivasi dan menginspirasi para karyawan dengan menyediakan tantangan
dalam pekerjaan mereka. Pemimpin dapat mengkomunikasikan visinya dengan penuh
keyakinan diri, mereka mendemonstrasikan keteguhan dan komitmen untuk mencapai
tujuan dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Gaya kepemimpinan ini dapat
memperbesar optimisme dan membangkitkan gairah karyawan dalam bekerja. Dimana
hal ini dapat menimbulkan perasaan pada karyawan bahwa mereka mampu melakukan
pekerjaan dan mampu untuk menyelesaikan tugas yang berisiko tinggi dengan hasil
yang memuaskan.
c. Rangsangan Intelektual (Intellectual
Stimulation)
Pemimpin merangsang usaha para karyawan
untuk bertindak secara inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi,
meninjau ulang masalah, dan menangani permasalahan dalam cara-cara yang baru.
Pemimpin mengajak para karyawan untuk berpikir secara rasional serta
menggunakan data dan fakta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Para karyawan juga didorong untuk berpikir
dengan cara mereka sendiri dalam menghadapi tantangan dan mempertimbangkan
cara-cara yang kreatif untuk mengembangkan diri mereka sendiri.
d. Pertimbangan Pribadi (Individualized
Consideration)
Pemimpin memperlakukan setiap karyawannya
sebagai pribadi yang unik, yang memiliki kecakapan, kebutuhan dan keinginan
yang berbeda satu sama lain. Pemimpin memberikan perhatian yang khusus kepada
setiap karyawan dalam usaha untuk meningkatkan prestasi dan mengembangkan
kemampuan mereka, dengan bertindak sebagai palatih atau penasehat. Pemimpin
tidak hanya mengenali kebutuhan mereka dan meningkatkan perspektif mereka,
tetapi pemimpin juga menyediakan sarana untuk mencapai tujuan secara lebih
efektif.
Kepemimpinan
transformasional menjawab tantangan zaman yang penuh dengan perubahan. Zaman
yang dihadapi saat ini bukan zaman ketika manusia menerima segala apa yang
menimpanya, tetapi zaman di mana manusia dapat mengkritik dan meminta yang
layak dari apa yang diberikannya secara kemanusiaan.Bahkan dalam terminologi
motivasi Maslow, manusia di era ini adalah manusia yang memiliki keinginan
mengaktualisasikan dirinya, yang berimplikasi pada bentuk pelayanan dan
penghargaan terhadap manusia itu sendiri.
Kepemimpinan
tranformasional tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan diri,
tetapi menumbuhkan kesadaran pada pemimpin untuk berbuat yang terbaik sesuai
dengan kajian perkembangan manajemen dan kepemimpinan yang memandang manusia,
kinerja, dan pertumbuhan organisasi adalah sisi yang saling berpengaruh.
Kepemimpinan transformasional sebagai suatu
proses yang pada dasarnya para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke
tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin adalah seorang yang
sadar akan prinsip perkembangan oganisasi dan kinerja manusia sehingga ia
berupaya mengembangkan segi kepemimpinannya secara utuh melalui pemotivasian terhadap
staf dan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti
kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi, seperti
misalnya keserakahan, kecemburuan, atau kebencian.
Pemimpin transformasional adalah pemimpin
yang memiliki wawasan jauh ke depan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan
organisasi bukan untuk saat ini tapi dimasa datang. Oleh karena itu, pemimpin
transformasional adalah pemimpin yang dapat dikatakan sebagai pemimpin yang
visioner.
Pemimpin
transformasional adalah agen perubahan dan bertindak sebagai katalisator, yaitu
memberi peran mengubah sistem kearah yang lebih baik. Katalisator adalah
sebutan lain untuk pemimpin transformasional karena ia berperan meningkatkan
segala sumber daya manusia yang ada. Berusaha memberikan reaksi yang
menimbulkan semangat dan daya kerja cepat semaksimal mungkin, selalu tampil
sebagai pelopor dan pembawa perubahan.
Menurut
Covey (1989) dan Peters (1992), seorang pemimpin transformasional memiliki visi
yang jelas, memiliki gambaran holistis tentang bagaimana organisasi dimasa
depan ketika semua tujuan dan sasarnnya telah tercapai. Inilah yang menegaskan
bahwa pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mendasarkan dirinya pada
cita-cita di masa depan, terlepas apakah visinya itu visioner dalam arti diakui
atau tidak diakui oleh semua orang sebagai visi yang hebat dan mendasar (Aan
dan Cepi,2005:78).
2.3.6 Gaya Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan memiliki kedudukan yang menentukan dalam organisasi.
Pemimpin yang melaksanakan kepemimpinannya secara efektif dapat menggerakkan
orang/personel kearah tujuan yang dicita-citakan, sebaliknya pemimpin yang
keberadaannya hanya sebagai figure, tidak memiliki pengaruh,
kepemimpinannya dapat mengakibatkan lemahnya kinerja organisasi, yang pada
akhirnya dapat menciptakan keterpurukan.
Kepemimpinan begitu kuat mempengaruhi kinerja organisasi
sehingga rasional apabila keterpurukan pendidikan salah satunya disebabkan
karena kinerja kepemimpinan yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
dan juga tidak membuat strategi pendidikan yang adaptif terhadap perubahan.
Tilaar mengungkapkan bahwa keterpurukan bidang pendidikan nasional adalah salah
satunya disebabkan karena belum adanya visi strategis yang menempatkan
pendidikan sebagai leading sector. Hal ini memberikan makna betapa
kuatnya visi pendidikan mempengaruhi kinerja pendidikan. Visi menjadi pemicu (trigger)
semangat meraih kemenangan pendidikan. Visi dapat mengisi kehampaan, membangkitkan
semangat, meningkatkan kinerja, bahkan mewujudkan prestasi pendidikan, apalagi
di tengah-tengah tuntutan kemandirian berpikir dan bertindak.
Seorang yang bertanggungjawab nerumuskan visi adalah
pemimpin melalui kinerja kepemimpinannya. Visi dirumuskan bukan semata-mata
untuk menciptakan sistem pendidikan berkualitas yang mampu bertahan dan
berkembang memenuhi tuntutan perubahan dan idealisme, tetapi dapat
mengakomodasi kepentingan hubungan baik di antara personel dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya serta dalam meniti kariernya.
Kepemimpinan yang relevan dengan tuntutan school based
management dan didambakan bagi peningkatan kualitas pendidikan adalah
kepemimpinan yang memiliki visi (visionary leadership), yaitu
kepemimpinan yang kerja pokoknya difokuskan pada rekayasa masa depan yang penuh
tantangan. Lantas, menjadi agen perubahan yang unggul dan menjadi penentu arah
organisasi yang memahami prioritas, menjadi pelatih yang profeional, serta
dapat membimbing personel lainnya kearah profsionalisme kerja yang diharapkan.
Kepemimpinan visioner salah satunya ditandai oleh
kemampuan dalam membuat perencanaan yang jelas sehingga dari rumusan visinya
tersebut akan tergambar sasaran apa yang hendak dicapai dari pengembangan
lembaga yang dipimpinnya. Dalam konteks kepemimpinan pendidikan, penentuan sasarn
dari rumusan visi tersebut dikenal dengan penentuan sasaran bidang hasil pokok.
Kepemimpinan visioner adalah kemampuan pemimpinan dalam
mencipta, merumuskan, mengomunikasikan/menso-sialisasikan/mentransformasikan,
dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya
atau sebagai hasil interaksi social di antara anggota organisasi dan stakeholders
yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa yang harus diraih atau
diwujudkan melalui komitmen semua personel (Aan dan Cepi, 2005:80).
Berdasarkan uraian di atas, maka gaya kepemimpinan kepala sekolah adalah
sikap, gaya dan sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang kepala sekolah sebagai pemimpin
yang mempengaruhi bawahan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam penelitian ini,
mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional dengan indikator pengaruh idealis, motivasi inspirasional, rangsangan
intelektual dan pertimbangan pribadi.
2.4
Keefektifan
Sekolah (School Effectiveness)
2.4.1 Pengertian Keefektifan
Keefektifan merupakan ukuran pada suatu unit organisasi apakah
mampu melaksanakan tugas-tugas manajerial yang dapat dilaksanakan dengan berhasil
mencapai tujuan lembaga (Yukl, 1994:5). Sedangkan menurut Koontz (1988:8) Effectiveness
is the achievement of objevtives. Artinya keefektifan diukur dengan tingkat
keberhasilan dalam mencapai tujuan dengan kegiatan yang dilakukan.
Suatu kegiatan dikatakan efektif
bila telah mencapai tujuan yang ditentukan. Kegiatan dimaksud dikatakan efisien
bila prosesnya memuaskan pelaksana, sehingga menjadi pendorong untuk mencapai
tujuan yang hendak dicapai. Keefektifan dari usaha kerja sama antar individu atau unit kerja berkaitan erat
dengan pelaksanaan tugas untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu sistem yang
didominasi dengan pandangan dapat memenuhi kebutuhan sistem dimaksud. Sedangkan
efisiensi dari suatu sistem kerja adalah hasil gabungan efisiensi dari upaya
setiap individu. Jelasnya bahwa keefektifan dari kelompok/organisasi adalah
bila tujuan organisasi tersebut dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang
direncanakan (Newstrom, 1985: 216).
Berdasarkan uraian di atas bahwa
organisasi dapat dikatakan efektif apabila pencapaian tujuan sesuai dengan
rencana yang dibuat berdasarkan kebijakan organisasi. Keefektifan organisasi
dapat dilihat sejauh mana anggota organisasi
tersebut melaksanakan tugas pokoknya atau pencapaian semua sasaran.
Apabila tujuan suatu kegiatan yang telah direncanakan dapat diwujudkan maka
dapat dikatakan bahwa pegawai bekerja secara efektif dan memiliki prestasi
baik. Sedangkan apabila terdapat akibat yang tidak diinginkan dari proses
kegiatan tersebut, maka berarti kegiatan dimaksud kurang efektif.
Keefektifan
biasanya terkait dengan kriteria waktu untuk menunjukkan hasil tindakan dalam
kurun waktu tertentu (Suwarto:1991: 9-11). Pendapat lain menyebutkan bahwa keefektifan
berkaitan erat dengan pencapaian unjuk kerja secara maksimal, yaitu dalam arti
pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan waktu. Keterkaitan
ini menunjukkan pada suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh tujuan telah
dipenuhi semenjak proses hingga akhir kegiatan (Mulyasa: 2004: 132-133). Menurut
(Robbins: 1989: 20)
Effectiveness refer to the successful
achievement of organizational goals. Thus effectiveness has been described as a
measure of wheater managers are “doing the right things”, whereas efficiency
gauges the extent to which managers are “doing things right”. A company is
effective when it achieves its objectives. When it fails to achieveits
objectives because they were poorly chosen, the plan for achieving them was
poorly designed or executed, or the hostility of the competitive environment
was greatce than the company had anticipated, the firm is ineffective.
Konsep keefektifan
menurut Robbins di atas menyangkut pencapaian tujuan organisasi secara sukses,
diartikan sebagai suatu ukuran bahwa tindakan yang dilakukan manajer adalah
benar. Efisiensi menyangkut seberapa jauh para manajer melakukan hal-hal yang
benar. Suatu perusahaan dikatakan efektif bila tercapai tujuannya. Sebaliknya
perusahaan dikatakan tidak efektif apabila gagal mencapai tujuannya. Kegagalan
pencapaian tujuan disebabkan karena kekeliruan di dalam menetapkan tujuan,
merumuskan atau melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan tersebut.
Prokopenko
(1987:5) mengatakan bahwa: Effectiveness is the degree to which goals are
attained. Artinya bawah keefektifan merupakan pencapaian terhadap tujuan
yang diinginkan.
Uraian
di atas menjelaskan bahwa keefektifan merupakan ukuran yang memberikan gambaran
seberapa jauh target yang dapat dicapai, mengarah kepada pencapaian yang
maksimal yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas dan
waktu. Keefektifan adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana
tindakan yang dilakukan menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan.
Ini berarti bahwa apabila suatu tindakan dapat diselesaikan dengan perencanaan
baik waktu, biaya maupun mutunya maka dapat dikatakan efektif.
Keefektifan
suatu organisasi dicapai melalui keefektifan individual anggota organisasi dan keefektifan
kelompok dalam organisasi tersebut. Keefektifan individual merupakan landasan
utama bagi terbentuknya keefektifan kelompok, karena individu tidak bekerja
seorang diri. Tumbuh dan berkembangnya keefektifan kelompok merupakan sinergi
dari keefektifan individu-individu yang bekerjasama dalam sebuah kelompok.
Selanjutnya keefektifan berbagai kelompok dalam organisasi akan bersinergi
membentuk keefektifan organisasi.
2.4.2.
Pengukuran Keefektifan Sekolah
Lembaga
persekolahan sebagai suatu organisasi atau institusi pendidikan juga bertujuan
mengoptimalisasikan sumberdaya, pengelolaan dan pengendalian. Oleh karena itu
perlu adanya profesionalisme manajemen sekolah, yang secara teoritis akan bisa
mewujudkan keefektifan sekolah. Maekenzie dalam kajiannya tentang School
Culture mengemukakan bahwa the literate on school culture make it clear
that effective schools, school that demonstrate high standards of achievement
in academics, have a culrure characterized by a well-defined set of goals that
all member of the school administration, faculty, and student-value and promote
(Aan dan Cepi, 2005:35). Sejalan dengan itu,
Koster (1999:2) mengkaji keefektifan sekolah dilihat dari korelasi
antara input sekolah, kepuasan kerja guru, partisipasi orangtua siswa dan iklim
sekolah dengan hasil pengajaran. Dari kajian ini diperoleh temuan terdapat korelasi yang
posistip dan signifikan antara berbagai variabel yang dimaksud.
Keefektifan merupakan suatu dimensi tujuan manajemen yang
berfokus pada hasil, sasaran, dan target yang diharapkan. Sekolah yang efektif
adalah sekolah yang menetapkan keberhasilan pada input, proses, output,
dan outcome yang ditandai dengan berkualitasnya komponen-komponen sistem
tersebut. Dengan demikian, keefektifan sekolah bukan sekedar pencapaian sasaran
atau terpenuhinya berbagai kebutuhan untuk mencapai sasaran, tetapi berkaitan
erat dengan saratnya komponen-komponen sistem dengan mutu, dengan kata lain
ditetapkannya pengembangan mutu sekolah.
Asas terpenting
dan menjadi landasan bergerak dalam pengelolaan pendidikan menuju sekolah
efektif adalah pernyataan bahwa “semua anak dapat belajar”. Hal ini
mengisyaratkan pada kita bahwa sekolah merupakan wahana yang menyediakan tempat
yang terbaik bagi anak untuk belajar, a place for better larning.
Artinya, semua upaya manajemen dan kepemimpinan yang terjadi di sekolah
diarahkan bagi usaha membuat seluruh peserta didik belajar. Apabila mencari
relevansi lain sehubungan dengan pernyataan di atas maka definisi Taylor (1990)
tentang sekolah efektif cukup sepaham sebagai sekolah yang mengorganisasikan
dan memanfaatkan semua sumber daya yang dimilikinya untuk menjamin semua siswa
(tanpa memandang ras, jenis kelamin, maupun status social ekonomi) biasa
mempelajari materi kurikulum yang esensial di sekolah.
Keefektifan adalah ukuran yang menyatakan sejauh mana
sasaran/tujuan (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah dicapai. Dalam bentuk
persamaan, keefektifan adalah sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang
diharapkan. Sekolah efektif menunjukkan kesesuaian antara hasil yang dicapai
dengan hasil yang diharapkan. Abun (1999:11) menegaskan bahwa keefektifan
sekolah pada dasarnya menunjukkan tingkat kesesuaian antara hasil yang dicapai
berupa achievements atau observed outputs dengan hasil yang
diharapkan berupa objectives, targets, intended outputs
sebagaimana telah ditetapkan.
Keefektifan sekolah menunjukkan adanya proses
perekayasaan berbagai sumber dan metode yang diarahkan pada terjadinya
pembelajaran di sekolah secara optimal. Keefektifan sekolah merujuk pada pemberdayaan
semua komponen sekolah sebagai organisasi tempat belajar berdasarkan tugas
pokok dan fungsinya masing-masing dalam struktur program dengan tujuan agar
siswa belajar dan mencapai hasil yang telah ditetapkan, yaitu memiliki
kompetensi.
Menurut Aan dan Cepi (2005:38) yang diadaptasi dari berbagai sumber, ciri sekolah efektif adalah :
CIRI-CIRI
|
INDIKATOR
|
Tujuan sekolah dinyatakan secara jelas dan spesifik
|
Tujuan
Sekolah :
· dinyatakan secara
jelas
· digunakan untuk
mengambil keputusan
· dipahami oleh guru,
staf, dan siswa
|
Pelaksanaan kepemimpinan pendidikan yang kuat oleh
kepala sekolah
|
Kepala
Sekolah :
· bisa diubungi dengan
mudah
· bersikap responsife
kepada guru dan siswa
· responsife kepada
orangtua dan masyarakat
· melaksanakan
kepemimpinan yang berfokus kepada pembelajaran
·
menjaga agar rasio
antara guru/siswa sesuai dngan rasio ideal
|
Ekspektasi
guru dan staf tinggi
|
Guru
dan staf :
· yakin bahwa semua
siswa bisa belajar dan berprestasi
· menekankan pada
hasil akademis
· memandang guru
sebagai penentu terpenting bagi keberhasilan siswa
|
Ada kerjasama kemitraan antara sekolah, orang tua, dan
masyarakat
|
Sekolah
:
· komunikasi secara
positif dengan orangtua
· memelihara jaringan
serta dukungan orangtua dan masyarakat
· berbagi
tanggungjawab untuk menegakkan disiplin dan mempertahankan keberhasilan
· menghadiri acara-acara penting di sekolah
|
Adanya iklim yang positif dan kondusif bagi siswa untuk
belajar
|
Sekolah
:
· rapi, bersih, dan aman secara fisik
· dipelihara secara
baik
· memberi penghargaan
kepada yang berprestasi
· memberi penguatan
terhadap perilaku positif siswa
Siswa
:
· menaati aturan sekolah dan aturan pemerintah daerah
· menjalankan
tugas/kewajiban tepat waktu
|
Kemajuan
siswa sering dimonitor
|
Guru
memberi siswa :
· tugas yang tepat
· umpan balik secara
cepat/segera
· kemampuan
berpartisipasi di kelas secara optimal
· penilaian hasil
belajar dari berbagai segi
|
Menekankan
kepada keberhasilan siswa dalam mencapai keterampilan aktivitas yang esensial
|
Siswa
:
· melakukan hal
terbaik untuk mencapai hasil belajar yang optimal, baik yang bersifat
akademis maupun nonakademis
· memperoleh
keterampilan yang esensial
Kepala
Sekolah :
Menunjukkan
komitmen dan mendukung program keterampilan esensial
Guru
:
Menerima
bahan yang memadai untuk mengajarkan keterampilan yang esensial
|
Komitmen
yang tinggi dari SDM sekolah terhadap program pendidikan
|
Guru
:
Membantu
merumuskan dan melaksanakan tujuan pengembangan sekolah
Staf
:
· memperkuat dan
mendukung kebijakan sekolah dan pemerintah daerah
· menunjukkan
profesionalisme dalam bekerja
|
Selanjutnya keefektifan sekolah sebagai sebuah studi juga
diungkap dengan mengkaji faktor input, proses, output/outcome dan
hubungan antara faktor-faktor tersebut yang merupakan telaah terhadap
keberadaan sekolah pada tingkat mikro. Hal ini telah dibuktikan secara empirik
diberbagai negara, yang menunjukkan bahwa studi keefektifan sekolah telah
banyak membantu dalam memecahkan masalah pendidikan termasuk peningkatan mutu
pendidikan (Murni: 2005: 2). Pada
umumnya kerangka teori yang sering digunakan dalam penelitian keefektifan
sekolah (school effectiveness) merujuk pada (Patricia, 2004;6) dengan
membandingkan ukuran output yang didapat dengan output yang ditargetkan antara
lain dalam bentuk: 1) etos kerja atau budaya mengenai pendidikan dan kenyamanan
sekolah; 2) tingkat ekspektasi pada murid; 3) penetapan standar termasuk
karakteristik sekolah; 4) pengambilan keputusan dan profesionalisme para guru;
5) pengaturan yang jelas mengenai tugas-tugas/ pekerjaan rumah, kelakuan para
murid di sekolah dan sebagainya; 6) kepemimpinan (manajemen sekolah) dan 7)
partisipasi peran serta para staf, masyarakat dan unsur lainnya).
Keefektifan sekolah juga dapat diharapkan untuk mencapai standar
nasional pendidikan yang telah ditetapkan. Hal ini berhubungan dengan sembilan
hal yang menjadi ciri sekolah efektif (Squires, et.al, 1983: 145) yakni: a)
adanya standar disiplin yang berlaku bagi kepala sekolah, guru, siswa dan
karyawan di sekolah; b) memiliki suatu keteraturan dalam rutinitas kegiatan di
sekolah; c) mempunyai standar prestasi sekolah yang sangat tinggi; d) siswa
diharapkan mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan; e) siswa diharapkan
lulus dengan menguasai pengetahuan akademik; f) adanya penghargaan bagi siswa
yang berprestasi; g) siswa berpendapat kerja keras lebih penting dari faktor
keberuntungan dalam meraih prestasi; h) para siswa diharapkan mempunyai
tanggung jawab yang diakui secara umum; dan i) kepala sekolah mempunyai program
in service, pengawasan, supervisi, serta menyediakan waktu untuk membuat rencana bersama para guru sehingga
memungkinkan adanya umpan balik demi keberhasilan prestasi akademik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yang
dimaksud dengan keefektifan sekolah adalah adanya kesesuaian antara
tujuan-tujuan di pendidikan di sekolah dan hasil-hasil yang dicapai dengan
standar nasional pendidikan yang terdiri dari: 1) standar isi; 2) standar
proses; 3) standar kompetensi kelulusan; 4) standar pendidikan dan tenaga
kependididkan; 5) standar sarana dan prasarana; 6) standar pengelolaan; 7)
standar pembiayaan; 8) standar penilaian pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar