PEMIKIRAN
Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Pra Wacana
GONTOR. Barangkali tidak asing bagi masyarakat muslim
Indonesia, bahkan Timur Tengah dan Asia Tenggara. Konon, di desa ini berdiri
sebuah Pondok Pesantren Modern bernama “Darussalam” (kampung damai), yang pada
perkembangannya lebih akrab dengan sebutan Pondok Gontor. Nama besar pesantren
ini melampaui popularitas para arsitek yang merintis dan mengembangkannya.
Masyarakat, dalam hemat saya, barangkali lebih mengenal Pondok Gontor ketimbang
para pengasuh pesantren ini. Di balik keharuman Pondok Gontor sejatinya
terdapat sosok kiai karismatik yang tak terlupakan dalam khazanah intelektual
Indonesia, yaitu KH. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fanani dan K.H. Imam Zarkasyi.
Tetapi, nama K.H. Imam Zarkasyi lebih familiar bagi masyarakat, sehingga Pondok
Gontor sangat identik dengan dirinya. Maklum, K.H. Imam Zarkasyi-lah yang
menjadi arsitek pembaharu pondok pesantren tersebut.
Profil K.H. Imam Zarkasyi bisa dibilang
luar biasa. Walaupun berasal dari keturunan ningrat atau priyayi, sejak usia 8
tahun Gus Zarkasyi kecil sudah kehilangan ayah. Dua tahun kemudian, dia juga
ditinggal ibunda tercintanya yang berpulang ke rahmatullah. So pasti,
kondisi ini memukul perasaan Gus Zarkasyi, tetapi Gus Zarkasyi tetap tabah
menghadapi kenyataan tersebut. Gus Zarkasyi tetap tekun menimba ilmu. Dia tidak
hanya menimba ilmu keagamaan di pondok pesantren, melainkan juga di
sekolah-sekolah umum, di antaranya Holand Arabische School (HAS) yang didirikan
oleh kolonial Belanda sebagai salah satu implementasi politik etis pada abad
ke-20. Hebatnya lagi, Gus Zarkasyi pernah mondok di sejumlah pesantren,
termasuk di Pondok Pesantren yang diasuh oleh Mahmud Yunus. Lebih dari itu,
setelah selesai studi, pengalaman dan karir organisasi K.H. Imam Zarkasyi juga
patut diacungi jempol. Beberapa jabatan strategis pernah didudukinya. Di
antaranya sebagai anggota Dewan Pertimbangan MUI dan anggota Dewan Perancang
Nasional yang didirikan oleh Soekarno.
Gagasan dan kiprah K.H. Imam Zarkasyi di
dunia pendidikan juga tak kalah hebatnya. Moderninasi pesantren yang di-launching
K.H. Imam Zarkasyi sangat luar biasa untuk ukuran zamannya. Ditengah-tengah
masyarakat yang menolak segala sesuatu yang berbau Barat, K.H. Imam Zarkasyi
malah melawan arus dengan menampilkan corak pendidikan pesantren yang jauh
berbeda dengan trend yang berkembang ketika itu. Selain dari aspek kurikulum,
metode, dan manajemennya, ada sesuatu yang sangat mencolok dan menarik untuk
disinggung dari Pondok Gontor, yaitu mode pakaian yang dikenakan oleh santri
dan siswa Pondok Gontor: celana, kemeja dan dasi. Ini tentu berbeda dengan mode
yang sudah mapan di pesantren-pesantren ketika itu, yaitu sarung dan theklek
(sandal dari kayu).
Masyhurnya, sarung adalah trade mark pesantren
dan menjadi pakaian “wajib” setiap santri, khususnya di Jawa. Dan masyarakat
masih sangat tabu dengan celana, kemeja atau dasi, bahkan di antaranya
mengharamkan menggunakan pakaian ‘orang kafir’ itu. Pada titik yang paling
ekstrim, orang yang mengenakan celana atau pakaian-pakaian ala Barat
lainnya bisa divonis kafir. Alasannya jelas, man tasyabbaha bi qaumin fahuwa
minhum (barang siapa yang identik atau mengidentikkan diri dengan suatu
golongan, maka dia termasuk dari golongan itu). Dalam kondisi seperti itu, K.H.
Imam Zarkasyi malah mewajibkan semua santri dan siswanya untuk mengenakan
“celana, kemeja dan dasi”. Tak ayal lagi Pondok Gontor menjadi sorotan publik,
dan kritikan pedas pun menerpa Pondok Gontor. Corak dan sistem pesantrennya “wis
aneh” ditambah lagi dengan pakaian “ sing nyeleneh”. Rasanya,
lengkap sudah “dosa-dosa” sosial Pondok Gontor kepada masyarakat. Namun Pondok
Gontor menanggapinya dengan tenang-tenang saja. Sebab, penolakan adalah hal
yang wajar di setiap munculnya gagasan perubahan.
Inilah gambaran profil dan kiprah K.H.
Imam Zarkasyi yang akan diulas dalam makalah ini. Topik Pemikiran Pendidikan
K.H. Imam Zarkasyi ini ditujukan untuk mengupas pemikiran dan kiprah K.H.
Imam Zarkasyi di dunia pendidikan, yang kemudian dilanjutkan dengan pemetaan pemikirannya
dengan menggunakan pemetaan ideologi-ideologi pendidikan, khususnya W.F.
O’neil.
Profil, Karya dan Kiprah K.H. Imam Zarkasyi di Dunia Pendidikan
Profil K.H. Imam Zarkasyi yang ada dalam
makalah ini hanya sekilas saja. Sebab, saya yakin bahwa untuk mengurai sosok
K.H. Imam Zarkasyi tidak cukup dalam sebuah makalah yang sangat ringkas nan
sederhana ini. Pastinya memerlukan ratusan halaman atau lebih untuk mengupas
tuntas figur K.H. Imam Zarkasyi. Yang ada dalam makalah ini hanya selayang
pandang tentang K.H. Imam Zarkasyi. Bila sering didengar adagium “tak kenal,
maka tak sayang”, bisa saya plesetkan menjadi “tak kenal, maka tak paham”.
Maksudnya, tanpa uraian tentang K.H. Imam Zarkasyi, sekali lagi walau hanya
sekilas, saya khawatir “ikatan batin” kita dengan K.H. Imam Zarkasyi tidak
muncul, akibatnya kita sulit untuk mencerna gagasan dan pemikiran brilian sosok
modernis pendidikan pesantren ini.
Dari catatan yang ada, Gus Imam Zarkasyi
—ketika itu masih belum menyandang “gelar” Kiai Haji)— dilahirkan pada tanggal
21 Maret 1910 M, di desa Gontor, Kecamatan Mlarak, 12 km ke arah tenggara kota
Ponorogo, Jawa Timur. Dia meninggal juga pada bulan Maret, tanggal 30, tahun
1985, dengan meninggalkan seorang isteri dan 11 orang anak (Nata, 2003: 195).
Jadi, K.H. Imam Zarkasyi tidak berpoligami. Ia merupakan anak bungsu dari tujuh
bersaudara dengan ayah bernama Raden Santoso Anom Besari —sementara Hery Noer
Aly (2003: 145) menulisnya dengan Raden Santausa Annam Bashari— dan ibu Rr.
Sudarmi. Raden Santoso Anom Besari sendiri masih keturunan keenam dari
kesepuhan Cirebon. Sedangkan sang ibu, Rr. Sudarmi adalah keturunan
Surodiningrat, Bupati Madiun (Nasution, 1988: 406). Dari gambaran silsilah ini
K.H. Imam Zarkasyi masih berasal dari keturunan ningrat, atau meminjam istilah
Geertz, golongan priyayi.
Sebagaimana disebutkan di atas, Gus
Zarkasyi sejak usia 8 tahun sudah menjadi anak yatim. Dua tahun kemudian (tahun
1920) dia harus kehilangan ibundanya. Pendidikan awalnya ditempuh di Holland
Inlansche School (HIS) Ongkoloro, setingkat Sekolah Dasar di Jetis Ponorogo
(1923). Lembaga ini adalah lembaga pendidikan kolonial yang memang
diperuntukkan bagi kalangan ningrat atau orang kaya. Gus Zarkasyi kecil bisa
sekolah di lembaga itu karena dia memiliki “darah biru”. Di sela-sela
pendidikan yang ditempuh di HIS, Gus Zarkasyi nyantri di Josari. Selain
di Josari, Gus Zarkasyi juga pernah mondok di pesantren Joresan dan
Tegalsari. Setelah tamat dari Sekolah Ongkoloro, Gus Zarkasy mondok lagi
di Pondok Pesantren Jamsaren sambil belajardi Sekolah Mambaul Ulum, kedunya di
Solo. Masih di kota yang sama, dia melanjutlan pendidikannya di Sekolah
Arabiyah Adabiyah, sampai tahun 1930 (Nata, 203: 195). Ketika belajar di Solo inilah Gus Zarkasy
sempat menimba ilmu pada Sayid al-Hasyimi, seorang ulama, sastrawan dan
politisi dari Tunisia yang diasingkan oleh pemerintah Perancis di wilayah
jajahan Belanda dan akhirnya menetap di Indonesia. Sosok al-Hasyimi inilah yang
disebut-sebut amat berpengaruh pada K.H. Imam Zarkasy (Nasution, 1988: 407).
Dengan semangatnya menuntut ilmu, Gus
Zarkasyi meneruskan studinya di Kweekschool Islam (versi lain menyebut “Normal
Islam”), Padang Panjang, Sumatera Barat, di bawah asuhan Mahmud Yunus, hingga
tahun 1935. Selanjutnya, oleh Mahmud Yunus Gus Zarkasyi diberi amanat untuk
menjadi guru dan direktur lembaga itu. Namun berhubung Gus Zarkasyi sangat
dibutuhkan di Pondok Gontor, dia menjadi direktur Kweekscholl Islam hanya
selama satu tahun. Oleh dua kakaknya, K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Zainuddin
Fanani, Gus Zarkasyi diminta kembali ke Pondok Gontor, untuk sama-sama
mengembangkan pondok warisan orang tua mereka. Akhirnya, pada tahun 1936, Gus
Zarkasyi kembali ke kampung halamannya. Sejak saat itulah dia mulai aktif
berkecimpung di Pondok Gontor.
K.H. Imam Zarkasyi juga sosok yang
produktif dalam dunia tulis menulis. Sejumlah karya ilmiah lahir dari
tangannya, antara lain:
- Senjata
Penganjur dan Pemimpin Islam
- Pedoman
Pendidikan Modern
- Kursus
Agama Islam
- Ushuluddin
- Pelajar
Fiqh I dan II
- Bimbingan
Keimanan
- Pelajaran
Bahasa Arab I dan II
- Kamus
Bahasa Arab
- dan lain-lain (Nata, 2995: 200)
Selain ketekunannya menuntut ilmu dan kesibukannya di
dunia pendidikan pesantren, plus kreativitasnya dalam tulis menulis,
K.H. Imam Zarkasyi ternyata juga aktif di lembaga sosial dan politik, antara
lain:
1.
Kepala Kantor Agama Keresidenan Madiun, 1943-….
2.
Pengurus Pusat Hisbullah, 1947-…
3.
Kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama dan
Komite Penelitian Pendidikan, 1946-…
4.
Aktif di Direktorat Pendidikan Agama, ketika
H.M. Rasyidi menjadi Menteri Agama
5.
Aktif di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
pada saat Ki Hajar Dewantara sebagai menterinya
6.
Ketua PB Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII),
1948-1955 (Nasution, 1988: 407)
7.
Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada
Sekolah Dasar Kementerian Agama, 1951-1953
8.
Ketua Dewan Pengawas Pendidikan Agama, 1953
9.
Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan
Pengajaran Agama Departemen Agama, 1957
10.
Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok
Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan, 1957
11.
Anggota Dewan Perancang Nasional dan Dewan
Ekonomi Nasional, 1956
12.
Anggota Delegasi Indonesia dalam kunjungan ke
Uni Soviet, 1962
13.
Wakil Indonesia dalam Mu’tamar Majma
al-Buhuts al-Islamiyah (Mu’tamar Islam se-Dunia) ke-7, Kairo, Mesir, 1972
14.
Anggota Majelis Syuro Partai Masyumi, 1945-1952
15.
Dewan Pertimbangan MUI Pusat (Nata, 2005:
1999).
Dengan membaca riwayat hidup K.H. Imam
Zarkasyi di atas, ada beberapa catatan menarik yang dapat kita angkat dari
sosok K.H. Imam Zarkasyi. Pertama, dilihat dari tempatnya menuntut ilmu,
tampak bahwa K.H. Imam Zarkasyi adalah ulama yang murni produk lokal. Ia tidak
pernah menimba ilmu di Timur Tengah, sebagaimana ulama pada umumnya. Ini menunjukkan
bahwa kualitas pendidikan dalam negeri sejatinya tidak kalah baik dibanding
dengan pendidikan luar negeri, khususnya Timur Tengah. Kedua, dilihat
dari segi aktivitasnya yang tidak hanya di dunia pesantren, melainkan juga di
ranah sosial, politik dan kenegaraan, mencerminkan bahwa dia adalah ulama
trans-nasional yang mampu berkomunikasi dengan berbagai lapisan masyarakat. Hal
ini juga bisa dilihat dari motto Pondok Gontor “Gontor di atas dan untuk
semua golongan”. Inilah yang menjadikan K.H. Imam Zarkasyi bisa diterima
oleh semua kalangan. Ketiga, bila dilihat dari karya-karya dan
pengalaman jabatan yang didudukinya bisa digaris bawahi bahwa K.H. Imam
Zarkasyi memang lebih tanpak keahliannya di bidang pendidikan, di banding
dengan dunia yang lain.
Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Imam Zarkasyi
Dari sejumlah pemikiran pendidikan K.H. Imam Zarkasyi,
dalam makalah ini hanya diurai empat aspek saja yang dianggap sangat penting
dari sekian konsep pendidikan Islam K.H. Imam Zarkasyi.
1. Tujuan
Pendidikan
K.H. Imam Zarkasyi melihat
bahwa kelemahan pesantren di masa lalu adalah tidak adanya tujuan pendidikan
yang jelas, yang dituangkan dalam tahapan-tahapan rencana kerja atau program.
Pendidikan seakan-akan berjalan mengikuti keahlian dan kehendak pesantren.
Untuk itu dia melakukan studi banding ke sejumlah lembaga pendidikan, antara
lain: 1) Universitas Al-Azhar, Mesir; 2) Pondok Syanggit, Afrika Utara, dekat
Lybia; 3) Universitas Muslim Aligarch, Indiia, dan 4) Perguruan Shantiniketan, India.
Sebuah perguruan yang didirikan oleh filosof Hindu, Rabendranath. Hasil studi
banding ke sejumlah lembaga pendidikan itu diracik dengan realitas sosial dan
pengalaman yang diperoleh, K.H. Imam Zarkasyi kemudian merumuskan tujuan
pendidikannya. Menurut Burhanuddin dan Baedowi (dalam Nata, 2005: 205), K.H.
Imam Zarkasyi merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:
Yang jelas hanya satu
saja, yaitu untuk menjadi orang … Jadi masih bersifat dan belum menjurus, belum
calon doktor, belum calon kusir, belum calon apa-apa. Katakanlah calon manusia.
Manusia itu apa kerjanya? Dari pendidikan yang kami berikan itu mereka akan
tahu nanti di masyarakat apa yang akan dikerjakan … Jadi persiapan untuk masuk
masyarakat dan bukan untuk (masuk) perguruan tinggi. Maka dari itu, kami
namakan pendidikan dengan pendidikan kemasyarakatan, dan itu yang kami
utamakan.
Sepintas, tujuan pendidikan yang
dirumuskan K.H. Imam Zarkasyi memang sangat sederhana, “untuk menjadi
orang”. Sebenarnya istilah ini cukup familiar di kalangan masyarakat kita,
khususnya orang-orang sepuh (wabil khusus orang-orang kampung
alias pedalaman). Ketika mereka ditanya apa yang dicita-citakan atau
diharapkan dari anak-anak mereka, umumnya mereka menjawab: “yang penting
jadi orang”. Hemat saya, frasa ini memiliki makna yang sangat mendalam.
Maksud frasa itu adalah menjadi manusia yang benar-benar manusia. Bukan manusia
yang seperti binatang. Apalah artinya memiliki ilmu “segudang” tetapi tidak
bermanfaat atau bahkan merugikan masyarakat. Padahal yang diharapkan dari
pendidikan adalah melahirkan sosok manusia yang paham akan jati dirinya sebagai
manusia, menukil istilah al-Qur’an: khalifah fi al-ardl. Sebab, jika
manusia sadar akan eksistensi dan tanggung jawab dirinya sebagai insan
al-kamil yang bertugas menjadi the vice of God (wakil Tuhan), dia
tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Pendek kata, tujuan
pendidikan K.H. Imam Zarkasyi adalah untuk melahirkan orang yang berguna bagi
masyarakat, bangsa, negara dan agama —persis seperti jawaban siswa-siswi
Sekolah Dasar, ketika ditanya apa cita-cita mereka. Ini sesuai dengan ajaran
Rasul bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”. Atau
jika tidak bermanfaat bagi orang lain, setidak-tidaknya tidak merugikan orang
lain.
Interpretasi selanjutnya
dari tujuan pendidikan K.H. Imam Zarkasyi ini adalah menyiapkan manusia yang
bisa hidup di tengah-tengah masyarakat. Ini bisa dicerna dari redaksi “mereka akan tahu nanti di
masyarakat apa yang akan dikerjakan … Jadi persiapan untuk masuk masyarakat dan
bukan untuk (masuk) perguruan tinggi”. Sudah barang tentu untuk hidup di
tengah-tengah masyarakat tidak cukup dengan hanya berbekal kemampuan kognitif
saja, tetapi juga psikomotorik yang dihiasi dengan afeksi yang benar-benar
baik. Cukup banyak orang yang menimba ilmu hingga bertahun-tahun di pesantren
atau bahkan hingga perguruan tinggi, tetapi sayangnya dia tidak tahu apa yang
harus dilakukan (di dan untuk) masyarakat sekitarnya. Jangankan untuk berbuat
sesuatu untuk masyarakatnya, untuk membantu dirinya sendiri saja dia tidak
mampu. Terang saja mereka menjadi bahan gunjingan tetangganya. Efek sampingnya,
masyarakat jadi emoh menyekolahkan anaknya. Sebab, yang ada di hadapan
mereka adalah alumni-alumni dunia pendidikan “yang gagal total”. Kalau begini
jadinya, ‘kan parah.
Untuk itu, K.H. Imam
Zarkasyi menghendaki agar pendidikan melahirkan sosok yang memiliki kemampuan
intelektual yang baik, skill yang baik, serta sikap dan perilaku yang baik
pula. Khusus untuk perilaku juga penting untuk dicermati. Sungguh banyak
jebolan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan tertentu yang “hebat” secara
kognitif dan psikomotorik, tetapi tidak didukung dengan afektif yang sama
hebatnya. Konsekuensinya, pengetahuan dan keahliannya tidak difungsikan untuk
membantu orang lain, tetapi malah merugikan orang lain. Dalam hal ini kita
tidak perlu repot-repot mencari contoh. Tengok saja “tikus-tikus kantor” di
negeri ini. Semuanya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan skill yang tinggi.
Makanya mereka acapkali disebut dengan the white collar crime, penjahat
kerah putih. Tentu, tanpa kemampuan dan skill yang baik, mereka tidak akan bisa
atau setidak-tidaknya tidak ahli dalam korupsi. Justru karena mereka memiliki
ilmu pengetahuan dan skill-lah, mereka canggih dalam melakukan korupsi. Ini
terjadi, sekali lagi, karena dalam diri mereka tidak tertanam sikap dan
perilaku yang baik. Sikap perilaku yang baik dalam Islam pastinya bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadits. Bukankah Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa “barang
siapa yang mengikuti (petunjuk) Al-Qur’an dan Hadits dia akan selamat”.
Orang yang mengikuti Al-Qur’an dan Hadits layak untuk mendapat gelar takwa.
Sebab dia akan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah plus dihiasi dengan akhlak
al-karimah. Dan Nabi Muhammad sendiri memang hadir untuk mengarahkan agar
manusia bersikap dan berperilaku baik, “sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak”; dan Allah juga menegaskan bahwa “sejatinya pada
diri Muhammad terdapat akhlak yang luar biasa”. Sebagai seorang muslim,
kalau bukan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad yang menjadi cerminan kita, lantas apa
dan siapa yang akan kita ikuti?
2. Kurikulum
Pendidikan
Ada sebuah pengalaman
penting yang diperoleh K.H. Ahmad Sahal, kakak kandung K.H. Imam Zarkasyi,
ketika mengikuti Kongres Umat Islam Indonesia yang berlangsung di Surabaya,
tahun 1926 (berarti ketika itu K.H. Imam Zarkasyi masih + berusia 16
tahun). Di arena kongres itu, peserta kongres kebingungan untuk menentukan
siapa delegasi yang akan dikirim untuk mengikuti Mu’tamar Umat Islam se-Dunia
ke-7 yang akan dilaksanakan di Makkah. Sebab, persyaratan yang ditentukan oleh
Panitia bagi peserta mu’tamar adalah harus bisa berbahasa Arab dan Inggris.
Celakanya, dari sekian peserta kongres di Surabaya itu tidak satupun yang
menguasai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Maka, jalan keluarnya adalah
mendelegasikan H.O.S. Cokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris dan K.H. Mas
Mansyur yang bisa bahasa Arab (Nata, 2005: 208).
Kejadian ini menjadi topik
hangat diskusi antara K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Zainuddin Fanani (keduanya
kakak K.H. Imam Zarkasyi). Ketika itu, K.H. Imam Zarkasyi masih belum secara
intens mengikuti perbincangan, sebab selain masih di bangku sekolah, usianya
masih terbilang belia. Namun setelah selesai studi, keinginan ketiganya klop
(sama). Mereka sama-sama mencita-citakan menjadikan Pondok Gontor
memiliki keunggulan dalam bidang bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Selain dua bahasa itu,
dalam kurikulum Pondok Gontor juga terdapat pengetahuan-pengetahuan umum,
seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar, dan ilmu ukur),
sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya
(Yunus, 1979: 251 dan Nata, 2003: 206). Selanjutnya, untuk menjaga moralitas dan
kepribadian santri, diajarkan pula pendidikan sosial yang dapat mereka gunakan
untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya Untuk itu, siswa dilatih untuk
mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya dalam
hidupnya di masyarakat kelak.
Sejalan dengan itu, maka
dalam Pondok Gontor diajarkan pelajaran ekstra seperti etika atau tata krama
yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin. kesopanan batin menyangkut
akhlak jiwa, sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, dan
cara berpakaian (Ali, 1991: 53). Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para
santri dalam bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan, seperti
menyablon, mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya.
Sebenarnya, secara
konsepsional kurikulum yang dikembangkan K.H. Imam Zarkasyi bukan hal yang baru
dalam pemikiran pendidikan Islam. Mayoritas pemikir pendidikan Islam menyatakan
bahwa tujuan utama (the main goal) pendidikan Islam adalah untuk
merealisasikan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Tujuan ini seyogyanya
diimplementasikan dalam sebuah kurikulum. Sayangnya, selama ini tujuan ideal
itu hanya berada pada tataran konsep belaka, belum diwujudkan dalam kurikulum
dan program konkret. Padahal, meminjam istilah pedagogian Brazil, Paulo Freire,
dalam pendidikan harus ada kontinuitas antara refleksi dan aksi, antara teori
dan praktik. Keduanya terus berputar tanpa akhir. Semangat seperti inilah yang
ada dalam diri K.H. Imam Zarkasyi. Dia sadar bahwa untuk mewujudkan bahwa pendidikan
Islam dapat melahirkan orang yang siap di dunia dan akhirat tidak cukup dengan
membekali peserta didik dengan konsep-konsep belaka, tetapi wajib dibekali
dengan skill yang sangat bermanfaat dalam hidup peserta didik. Untuk itulah,
K.H. Imam Zarkasyi memberi pendidikan keterampilan seperti sablon, kerajinan
tangan, dekorasi, dan lain sebagainya. Pola-pola semacam ini masih belum
ditemukan dalam praktik pendidikan Islam ketika itu. Singkatnya, kurikulum yang
ditawarkan K.H. Imam Zarkasyi melampaui kurikulum-kurikulum yang berkembang di
pesantren-pesantren pada umumnya.
3. Metode
Pengajaran; Kasus Pengajaran Bahasa
Tujuan dan kurikulum yang
ideal tidak akan menghasilkan out put yang berkualitas apabila prosesnya tidak
didukung dengan proses yang bagus. Di antara bagian dari proses pendidikan
adalah metode pengajaran. Dalam proses pendidikan acapkali ditemukan penggunaan
metode pengajaran yang kurang pas. Taruhlah pengajaran bahasa Arab di
pondok-pondok pesantren. Hampir semua pesantren, di zaman K.H. Imam Zarkasyi,
menerapkan metode pengajaran klasik. Santri dijejali dengan ilmu alat (baca: nahwu-sharaf)
dengan cara hafalan. Maksimal praktik membaca kitab. Metode ini tidak
sepenuhnya salah, tetapi tidak serta merta kita lestarikan. Pasalnya, dengan metode
semacam itu santri kebanyakan memang mahir dalam membaca kitab, sekaligus
mengerti fungsi dan kedudukan masing-masing kata atau huruf. Tetapi mereka
tidak bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab, tur tidak mampu mengarang
tulisan dalam bahasa Arab. Pada dasarnya sudah dimafhumi bahwa seseorang bisa
dikatakan menguasai bahasa apabila dia bisa bercakap-cakap dalam bahasa
tersebut, baru kemudian, membaca atau menulis. Dari sini bisa dinyatakan bahwa
selama ini santri di pondok-pondok pesantren tidak belajar bahasa Arab, tetapi
belajar ilmu bahasa Arab. Ini jelas metode yang kurang pas, sehingga perlu
diluruskan.
Untuk mengatasi hal di
atas, K.H. Imam Zarkasyi menerapkan metode langsung (direct method) yang
diarahkan pada penguasaan bahasa aktif dengan cara memperbanyak latihan, baik
lisan maupun tulisan. Dengan demikian, pendidikan bahasa Arab diarahkan pada
kemampuan peserta didik untuk memfungsikan kalimat secara sempurna, bukan pada
penguasaan ilmu alat an sich tanpa mampu berbahasa dengan baik. Dalam
pengajaran bahasa Arab ini, K.H. Imam Zarkasyi memiliki semboyan al-kalimat
al-wahidah min alfi jumlatin khairun min alfi kalimatin min jumlatin wahidatin [kemampuan
menggunakan satu kalimat dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada
penguasaan seribu kalimat dalam satu susunan kalimat saja] (Djumhur dan
Danasaputra, 1976: 193). Metode pada pengajaran bahasa Arab di sini hanya salah
satu contoh saja dari metode-metode yang lain.
4. Manajemen
Pesantren
Pesantren tradisional
umumnya menerapkan sistem manajemen sentralistik, tertutup, emosional, dan
tidak demokratis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan pesantren
sepenuhnya hak prerogratif sang kyai. Kyai memiliki otoritas tak terbatas atas
apa yang akan dia lakukan atas pesantrennya. Hal itu wajar-wajar saja. Sebab
pesantren kebanyakan milik pribadi kyai. Dengan demikian, orang lain tidak
berhak mengatur pesantren tanpa seizin kyai. Masalahnya kemudian, ketika kyai
tersebut tidak sanggup lagi atau meninggal dunia. Biduk pesantren seketika
kehilangan arah. Para santri ibarat anak ayam kehilangan induknya. Mereka tidak
tahu harus ke mana dan berbuat apa. Kondisi demikian bisa tertolong apabila
jauh-jauh hari sebelumnya sang kyai telah menyiapkan calon pengganti, apakah
dari anaknya sendiri, menantu atau orang lain. Jika tidak, bukan mustahil para
santri akan pindah pondok, dan pesantren akhirnya bubar.
Atas dasar itu, Pondok
Gontor mengambil langkah-langkah strategis dalam pengelolaannya. Pertama, Pondok
Gontor diwakafkan kepada sebuah lembaga wakaf bernama, Badan Wakaf Pondok
Pesantren Gontor. Ikrar pewakafan itu dinyatakan di depan umum oleh ketiga
punggawa Pondok Gontor, K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fanani dan K.H. Imam
Zarkasyi. Dengan demikian, Pondok Gontor tidak lagi monopoli keluarga
pendirinya, tetapi menjadi milik umat Islam, dan umat Islam pula yang harus
bertanggung atas keberadaan Pondok Gontor.
Kedua, pembagian
tugas dan ketiga tokoh tersebut. K.H. Ahmad Sahal bertugas sebagai pengasuh
yang bertugas atas pendidikan para santri (urusan kesantrian), K.H. Imam
Zarkasyi menjadi direktur Kulliyatul Mu’allimin al-Islamitah (KMI) yang
bertanggung jawab atas pendidikan siswa (urusan persekolahan) dan K.H.
Zainyddin Fanani bertindak sebagai konsultan dan penyeimbang di antara dua pemimpin
itu (Nata, 2005: 204).
Ketiga, pengelolaan
keuangan menjadi tanggung jawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari
beberapa santri senior dan guru-guru yang secara periodik bisa diganti. Dengan
demikian pengaturan jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan
obyektif (Nata, 2005: 214).
Dari uraian di atas, cukup
jelas bahwa dalam pengelolaan Pondok Gontor tidak ada ketergantungan pada satu
figur kyai. Lembaga pendidikan, dengan demikian, tidak akan pernah kehilangan
kepemimpinannya. Pemimpin Pondok Gontor akan tetap ada sepanjang pondok
tersebut masih dikehendaki masyarakat. Sistem pengelolaan seperti jelas berbeda
dengan pesantren kebanyakan. Dalam pesantren, umumnya, segala persoalan
pesantren ada di tangan kyai, termasuk pengelolaan keuangan. Konsekuensinya,
ketika seseorang ber-salam tempel, kadang tidak jelas apakah untuk kyai
atau untuk pesantren. Dengan begitu, pembiayaan pesantren nunggu kemauan sang
kyai, dan sirkulasi keuangannya pun pesantren sulit di kontrol. Tidak hanya
dari sisi keuangan, dimensi-dimensi yang lain juga mengalami hal serupa.
Misalnya, mata pelajaran santri. Hal itu juga tergantung “selera” kyai.
Masyarakat dan asatidz tidak bisa berkomentar apa-apa apabila kyai telah
memutuskan kitab apa yang akan dikaji.
Dari tujuan, kurikulum, metode dan manajemen di
atas, memang sangat pas kalau Pondok Gontor disebut pondok modern. Karena, apa
yang ada di Pondok Gontor mencerminkan unsur-unsur modernitas. Perlu ditegaskan
bahwa istilah Pondok Modern bukan “merek” yang dibuat kyai, tetapi sebutan dari
masyarakat setelah melihat program-program dan pengelolaan Pondok Gontor yang
memang berbeda dengan pesantren salaf pada umumnya.
Selain gagasan modernisasinya terhadap pendidikan
pesantren, kita tidak boleh melupakan jasa K.H. Imam Zarkasyi dalam
mempertahankan pendidikan madrasah dan pesantren agar tetap berada di bawah
naungan Departemen Agama. K.H. Imam Zarkasyi berpandangan bahwa tanggung jawab
pembinaan dan pengelolaan pendidikan madrasah harus diserahkan pada ahlinya,
dalam hal ini Departemen Agama. Begitu juga dengan pendidikan SD sampai
Perguruan Tinggi, juga wajib dikelola oleh yang ahli, yaitu Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan. Kalaupun ada perbedaan kualitas antara madrasah dan sekolah
umum, gagasan Pendidikan Satu Atap tidak perlu dilakukan. Yang perlu dilakukan
adalah bagaimana memperbaiki pendidikan madrasah, yang bisa diatur dengan Surat
Keputusan Bersama (SKB). Dari sini kemudian lahir SKB tiga menteri: Menteri
Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, tentang
peningkatan mutu pendidikan madrasah yang ditandatangani pada 24 Maret 1974, di
mana di dalamnya diatur perbandingan umum dan agama adalah 70:30 persen (Nata,
2005: 203).
Ideologi Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi; Suatu Upaya Pemetaan
Sebelum lebih jauh masuk pada pemetaan
ideologi pendidikan K.H. Imam Zarkasyi, penting untuk ditegaskan di sini bahwa
ideologi seseorang sering kali tidak berjalan linier. Dia bisa dikategorikan
berideologi A dalam satu hal, tetapi juga bisa berideologi B pada hal lain.
Bahkan bisa jadi, dia malah mengkomparasikan dua ideologi atau lebih dalam
hal-hal tertentu. Frame seperti inilah yang digunakan dalam makalah ini dalam
memetakan modernisasi pendidikan ala K.H. Imam Zarkasyi. Sebagaimana
disinggung di atas bahwa pisau analisa yang digunakan dalam makalah ini
pemetaan ideologi-ideologi pendidikan W.F. O’neil. Sebab, hingga saat ini,
hanya O’neil yang secara khusus dan gamblang memetakan ideologi-ideologi
pendidikan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan
pemetaan-pemetaan ideologis lainnya.
a. Tujuan
Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Tujuan Pendidikan yang dirumuskan K.H. Imam Zarkasyi pada
prinsipnya adalah untuk menyiapkan manusia ideal, yaitu manusia yang
benar-benar manusia. Manusia yang sadar akan posisi dirinya, sehingga
keberadaannya bermanfaat bagi masyarakatnya. Tujuan pendidikan termasuk dalam
kerangka Fundamentalisme Pendidikan. Dalam hemat O’neil (2002: 499),
tujuan pendidikan bagi kalangan Fundamentalisme Pendidikan adalah untuk
menyalurkan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk
berhasil dalam tatanan sosial (cetak tebal dari pemakalah).
K.H. Imam Zarkasyi mempertegas istilah “menjadi orang”
dengan kalimat “mereka nantinya akan tahu apa yang harus dilakukan di
masyarakat”. Ini berarti sosok hasil pendidikan yang dicita-citakan K.H. Imam
Zarkasyi adalah sosok yang berhasil di masyarakat. Orang yang berhasil di
masyarakat janganlah dimaknai dengan orang yang kaya, punya jabatan tinggi atau
menjadi sanjungan masyarakat. Orang yang berhasil adalah orang yang bermanfaat
bagi sesamanya, walaupun ia tidak kaya, tidak memiliki jabatan apa-apa serta
tidak disanjung-sanjung. Lagi pula, orang yang benar-benar bermanfaat kepada
manusia, dalam perspektif Islam harus di dasarkan pada nilai-nilai agama,
diantaranya ikhlas, sepi ing pamrih. Jadi orang yang berguna di
masyarakat dan di mata Allah tidak membutuhkan imbalan apa-apa, termasuk
sanjungan.
Pada kalimat terakhir K.H. Imam Zarkasyi menambahkan
tujuan pendidikan dengan kalimat “kami namakan pendidikan ini dengan pendidikan
kemasyarakatan”. Dalam kacamata Paulo Freire, pendidikan semacam ini disebut
dengan Pendidikan Partisipatoris. Artinya, dalam proses pendidikan diupayakan
agar masyarakat terlibat di dalamnya. Pendidikan partisipatoris umumnya
dipahami dengan pendidikan yang melibatkan sikap pro aktif peserta didik.
Tetapi, bagi saya, pendidikan partisipatoris juga melibatkan masyarakat.
b. Kurikulum
Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Di atas telah disinggung bahwa kurikulum yang dirumuskan
oleh K.H. Imam Zarkasyi adalah kurikulum duniawi dan ukhrawi. Dikatakan
demikian, karena dia mencoba untuk mewujudkan keberhasilan di dunia dan
keselamatan di akhirat. Untuk itu dimasukkanlah pelajaran-pelajaran yang
mengarah pada peningkatan skill peserta didik. Tujuannya agar mereka siap hidup
di masyarakat. Dalam kurikulumnya, K.H. Imam Zarkasyi juga memasukkan
pendidikan moral. Menurutnya, hal itu sangat penting untuk ditanamkan dalam
benak peserta didik. Moral di sini tidak hanya moral kepada manusia tetapi
moral kepada Allah yang terletak di dalam jiwa. Kurikulum pendidikan ini
menurut O’neil masuk dalam kategori Fundamentalisme Pendidikan. Pendidikan
semacam ini, kata O’neil, ditandai dengan “penekanannya pada watak bermoral”.
Sehingga tidak heran, masih kata O’neil, apabila mata pelajaran yang disuguhkan
kepada siswa menekankan pada pelatihan moral, dan jenis-jenis keterampilan
akademik serta praktis agar siswa menjadi anggota yang efektif dalam tatanan
masyarakat, melatih watak, pendidikan kesehatan, sejarah, sastra, agama dan
seterusnya (2002: 511-2).
Sebenarnya, grand design kurikulum K.H. Imam
Zarkasyi bukan hal baru dalam diskursus pendidikan Islam. Hampir semua pemikir
pendidikan Islam menghendaki agar muatan kurikulum pendidikan Islam memiliki
dua dimensi sekaligus, duniawi dan ukhrawi. Bukankah memang harapan semua insan
(umat Islam) untuk sejahtera dunia
akhirat. Terbukti, hampir setiap berdoa selalu dipungkasi dengan rabbana
atina fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah waqina ‘adzab al-nar.
Selain itu, K.H. Imam Zarkasyi juga melatih para peserta
didiknya untuk menganalisa dan mencari solusi mengenai masalah-masalah yang
sekiranya akan dihadapi mereka di kemudian hari. Berbeda dengan kurikulum di
atas, bagi O’neil, disebut dengan Liberalisme Pendidikan. Ideologi ini,
dalam kurikulumnya, memang ditujukan agar peserta didik “bisa memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya secara praksis” (2002: 511). Ini yang disebut
Freire dengan Problem Posing Education (pendidikan hadap masalah).
Pemikiran K.H. Imam Zarkasyi di atas sangat realitis.
Sebab, tidak satupun manusia di dunia ini yang tidak menghadapi masalah. Kata
banyak orang, life is problem. Jika demikian, adalah kewajiban bagi
manusia untuk membekali diri agar bisa menghadapi masalah yang melintang dalam
perjalanan hidupnya. Dan pendidikan, sebagai wahana paling strategis untuk
menatap masa depan yang cerah, seyogyanya bisa menjadi the best training
area untuk mempersiapkan generasi mendatang yang secara mandiri bisa
menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi.
c. Metode
Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Metode yang digunakan oleh K.H. Imam
Zarkasyi sebenarnya cukup sederhana. Dengan direct method yang ia
terapkan, sebenarnya ia menekankan agar dalam mempelajari sesuatu peserta didik
tidak hanya bisa berteori saja, tetapi yang lebih penting adalah prakteknya,
contohnya pada pendidikan bahasa Arab tersebut. Direct method K.H. Imam
Zarkasyi merupakan kritik sekaligus solusi atas metode yang nge-trend saat
itu, di mana banyak santri yang tidak bisa ngomong bahasa Arab walaupun
bisa baca kitab kuning dengan penguasaan ilmu alat yang luar biasa. Dari
perspektif ini, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa ideologi dalam metode
pendidikan K.H. Imam Zarkasyi, dalam istilah sekarang, adalah fungsionalisme.
Paham ini menggarisbawahi bahwa segala sesuatu harus diukur dari fungsi
yang dimilikinya. Fungsi itulah yang menjadi nilai terpenting dari semua hal.
Karenanya, agar bahasa yang dipelajari siswa tidak sia-sia, maka bahasa itu
juga harus fungsional, yaitu berfungsi sebagai media komunikasi, baik lisan
maupun tulisan. Jika hanya berfungsi sebagai bahasa tulisan saja, maka nilai
fungsional bahasa tersebut sudah berkurang.
Selain direct method, di Pondok
Gontor juga terdapat metode ceramah ustadz, hafalan, tugas, diskusi dan
kemampuan belajar secara otodidak. Metode semacam ini masih tergolong dalam
metode Fundamentalisme Pendidikan. Disebutkan bahwa metode pengajaran
fundamentalisme pendidikan cenderung pada pelaksanaan tatacara-tatacara kelas,
misalnya ceramah, hafalan, belajar sendiri di bawah pengawasan guru atau
ustadz, dan diskusi-diskusi kelompok yang sangat terstruktur (O’neil, 2002:
514). Diskusi-diskusi tersebut, dalam konteks Pondok Gontor, menurut informasi
dari teman yang mondok di Gontor, diwujudkan dengan Bahts al-Masail.
d. Manajemen
Pendidikan K.H. Imam Zarkasyi
Manajemen pendidikan Pondok Gontor,
menegaskan bahwa tidak ada otoritas personal dalam pondok tersebut. Semuanya
dikelola secara profesional, dalam arti diserahkan kepada para ahlinya.
Apalagi, Pondok Gontor sendiri sudah diserahkan kepada masyarakat. Artinya,
keluarga Gontor tidak bisa bertindak semuanya sendiri, karena Gontor tidak
lebih dari amanat masyarakat yang harus diurus dan dikelola dengan baik.
Dari sisi ini, manajemen Pondok Gontor
termasuk dalam Liberalisme Pendidikan. Ideologi ini ditandai dengan
penyerahan wewenang kepada pendidik yang memiliki keterampilan tinggi, yang
memiliki komitmen terhadap proses pendidikan dan mampu melakukan
perubahan-perubahan yang diperlukan dengan adanya informasi baru yang relevan.
Dan wewenang guru didasarkan pada keterampilannya dalam mendidik siswanya
(O’neil, 2002: 210-211). Manajemen Pondok Gontor bisa dikategorikan dalam
ideologi liberalisme, selain karena tidak ada otoritas absolut pada seseorang
tertentu, juga karena personal-personal pengelola Pondok Gontor bisa diganti
antar waktu. Jika dicermati, yang paling signifikan dari modernisasi pendidikan
pesantren K.H. Imam Zarkasyi adalah pada dimensi manajemen pendidikannya.
Manajemen yang dia terapkan benar-benar berbeda dengan manajemen konvensional
yang ada saat itu, di mana kiai menjadi “superman” yang memiliki sejuta
otoritas.
Kesimpulan
K.H. Imam Zarkasyi merupakan sosok yang luar biasa di
zamannya. Pemikiran pendidikannya mampu menjadi pioneer yang menghembuskan
angin perubahan pada pesantren. Pesantren yang ketika itu dikenal tertutup
dengan dunia luar (baca: sesuatu yang berbau Barat), disulap menjadi pesantren
yang akomodatif, pesantren yang bersedia menerima segala sesuatu yang positif
(tidak peduli dari manapun datangnya), dan pesantren yang benar-benar
menyiapkan peserta didiknya agar berguna dan berfungsi bagi masyarakat.
Bagi K.H. Imam Zarkasyi, pesantren tidak boleh terpaku
pada akhirat oriented saja, tetapi juga harus dunia oriented. Akhirat
dan dunia adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya wajib berjalan
seiring dan seirama. Dia yakin bahwa pesantren akan out of date dan
ditinggalkan konsumennya apabila sistem pendidikan pesantren tidak segera
dibenahi. Karenanya, K.H. Imam Zarkasyi melakukan perubahan mendasar pada
sistem pendidikan pesantren. Atas usahanya itulah, dia dipandang telah
memodernisasi pesantren.
Referensi
Ali, A. Mukti, 1991, Ta’limul
Muta’allim Cermin Imam Zarkasyi, Gontor, Trimurti
Ali, Hery Noer, 2003, K.H. Imam
Zarkasyi Tafsir Modern Pendidikan Islam, dalam Jajat Burhaduddin dan Ahmad
Baedowi (ed), Transformasi Otoritas Keagamaan, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama
Nasution, Harun, et.al., 1988, K.H.
Imam Zarkasyi, dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid I, Jakarta,
Departemen Agama RI
Nata, Abuddin, 2003, Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada
____________, 2005, Tokoh-Tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada
O’neil, William F., 2002, Ideologi-Ideologi
Pendidikan, terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Yunus,
Mahmud, 1979, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Mutiara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar