Menimbang
Pendidikan Islam Masa Depan
A. REKONSTRUKSI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolutions, yang pertama kali mempopulerkan makna paradigma di
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tingkah laku manusia di dalam kehidupan
sehari-hari. Konsep paradigma bermula dari kajian filsafat sejarah dan filsafat
sains dan kemudian konsep serta pengertian paradigma juga telah digunakan oleh
para pakar ilmu tingkah laku (behavioral sciences).
Pengertian paradigm secara etimologi berasal dari
bahasa Inggris “paradigm” yang berarti type of something, model,
pattern (bentuk sesuatu, model, pola).[1] Secara
terminologi sebagaimana dikemukakan Robert Friedrichs, orang pertama yang
mencoba merumuskan pengertian paradigma, bahwa paradigma adalah sebuah
pandangan dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya (paradigm
is a fundamental image a discipline has of its subject matter).[2]
Thomas Kuhn sendiri mengartikan paradigma sebagai
“serangkaian konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang
dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan realitas sosial untuk
memberikan konsepsi dan menafsirkan realitas sosial tersebut”.[3]
George Ritzer dengan mensintesakan pandangan kedua
pakar tersebut merumuskan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari
oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, menurutnya paradigma
berfungsi: 1) membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, 2)
pertanyaan-pertanyaan apa yang semestinya dijawab, 3) bagaimana selayaknya
pertanyaan-pertanyaan itu diajukan, dan 4) aturan-aturan apa yang harus diikuti
dalam menafsirkan informasi yang diperoleh.[4]
Berdasarkan rumusan di atas, dalam konteks pendidikan,
paradigma bisa diartikan sebagai serangkaian konstalasi teori, pertanyaan,
pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka membangun suatu sistem
pendidikan yang ideal. Sistem pendidikan yang ideal dalam hal ini adalah sistem
pendidikan yang Islami, yaitu sistem pendidikan yang didasarkan pada
nilai-nilai Islam yang secara umum termaktub al-Qur’an dan Hadits sebagai
sumber rujukan pertama umat Islam. Penggunaan nilai-nilai Islam dalam
pendidikan Islam ini adalah “sebagai sudut pandang secara menyeluruh (total
outlook) mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gejala-gejala
pendidikan dalam rangka membangun manusia terdidik, berkualitas dan bertaqwa
kepada Allah swt.
Term “rekonstruksi” di dalam sub bab ini
mengindikasikan bahwa sebelumnya telah ada paradigma yang digunakan dalam
kegiatan pendidikan Islam. Hanya saja, paradigma tersebut kini harus dirancang
atau diperbaharui kembali agar pendidikan Islam mampu membangun masyarakat yang
demokratis, religius, inovatif, taat hukum, menghargai pluralitas, hak-hak
asasi manusia dan siap untuk menghadapi tantangan globalisasi. Di antara
paradigma-paradigma tersebut adalah:
a. Paradigma Dualisme
Paradigma ini memandang segala sesuatu dari dua sisi
secara berlawanan dan kata kuncinya adalah “dikotomi”. Dari sini kemudian
berkembang pandangan aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan
rohani, pendidikan keagamaan dan non-keagamaan, pendidikan keislaman dan
non-keislaman, demikian seterusnya.
Paradigma semacam ini berimplikasi pada penyempitan
makna pendidikan Islam. Pendidikan Islam diletakkan pada aspek akhirat,
keagamaan dan keislaman saja. Ia dianggap terpisah dari persoalan ekonomi,
politik, hukum, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang semuanya itu
dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak hubungannya dengan pendidikan Islam.
Akibatnya, output pendidikan Islam semacam ini sekali tidak memiliki skill
untuk menghadapi kehidupan riil di masyarakat. Untuk bisa eksis dan survive di
masyarakatnya, mereka terpaksa harus memulai dari nol lagi.
Jika ditelaah secara seksama, maka akan ditemukan
bahwa akar munculnya dualisme atau dikotomik pendidikan Islam di Indonesia
sebenarnya berasal dari warisan kolonialisme Belanda. Pada zaman itu, Belanda
telah memulai membedakan pendidikan “umum” di satu pihak dan pendidikan “agama”
di pihak lain. Dualitas ini tentunya memiliki dampak serius terhadap perwajahan
pendidikan Islam di Indonesia. Di antaranya adalah terjadinya penyempitan makna
agama seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah agama selama ini.
Karenanya, dalam pelaksanaan pendidikan Islam,
pendekatan yang digunakan lebih bersifat keagamaan, normatif, doktriner dan
absolutisme, sehingga peserta didik diarahkan untuk memiliki sikap commitment
dan dedikasi yang tinggi terhadap agama yang dipelajarinya. Sementara
kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, dan analitis-kritis,
dianggap dapat menggoyahkan iman.
Pandangan serupa juga dikemukakan Azyumardi Azra.
Menurutnya, paradigma dualisme ini muncul ketika umat Islam Indonesia mengalami
masa penjajahan yang sangat panjang, di mana umat Islam mengalami
keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,
serta terjadi pembenturan antara umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan
Barat yang memunculkan kaum intelektual baru yang sering disebut “cendekiawan
sekuler”.[5]
Terlepas dari kolonialisme yang melanda bangsa
Indonesia, menurut survei historis yang dilakukan oleh Abdurrahman Mas’ud,
paradigma dualisme pengetahuan telah muncul pada akhir abad ke-11 menjelang
abad ke-12. Artinya, sebelum abad itu tidak ada dualisme atau dikotomi ilmu
pengetahuan dalam peradaban Islam. Penyebabnya, kata Mas’ud, memang cukup
kompleks, yang meliputi sikap mental umat yang dikotomis sewaktu di dalam
maupun di luar institusi pendidikan, serta tribalisme baru berupa fanatisme
madzhab yang berlebihan.[6]
Selain itu tidak sedikit umat Islam yang terbelenggu
pemikirannya dengan paham bahwa ilmu-ilmu yang dikejar hanyalah ilmu agama. Ini
terjadi karena misinterpretasi terhadap Hadits Nabi Muhammad yang menjelaskan
bahwa “mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Hadits ini acapkali hanya
diartikan sebagai ajaran pahala dan dosa. Karena itu, hadits tersebut harus
sudah seharusnya ditafsirkan bahwa apabila etos “gila ilmu” umat Islam
mengendur (termasuk dalam sains dan teknologi) maka jangan menangis apabila
mereka berada di barisan belakang.[7]
Tesis Mas’ud ini cukup beralasan apabila melihat
kembali lembaran sejarah Islam di masa silam. Tanpa bermaksud untuk
beromantisme pada sejarah masa lalu, pendidikan Islam terbukti pernah mencapai
puncak kejayaannya. Ketika itu dunia Islam mampu melahirkan tokoh-tokoh ilmu
pengetahuan yang berkaliber dunia dan bersama dengan perkembangan ilmu
tersebut, Islam menorehkan peradaban kelas wahid di seantero jagat raya ini.
Hal itu diperoleh karena generasi-generasi muslim di zaman itu memiliki
heroisme untuk terus menggali dan mengembangkan kemampuan ilmu pengetahuannya.
Mereka tidak membedakan antara ilmu agama dan non-agama.
Dalam bidang astronomi, misalnya, kaum muslim
menemukan teropong bintang yang dapat menambah pengetahuan kita tentang
benda-benda langit. Abu Raihan al-Biruni (971-1048) mengembangkan metode yang
luar biasa dalam menentukan posisi matahari dan bahkan menyempurnakan
dasar-dasar pengetahuan tentang garis bujur dan garis lintang jauh sebelum
sebagian penduduk dunia mengetahuinya.[8] Philip
K. Hitti juga mencatat bahwa seseorang dapat menemukan ahli astronomi yang
sangat brilian dan terkenal semisal Umar al-Khayyam (1048-1131), pengarang
karya sastra yang berjudul Rubaiyah.[9]
Dalam dunia arsitektur, kaum muslim telah membangun
beberapa struktur gedung-gedung megah seperti Taj Mahal dan Masjid Biru. Hitti
juga menggambarkan tentang kubah al-Zahrah yang terdapat di Yerussalem, sebuah
monumen arsitektural yang sangat indah dan tiada bandingannya.[10] Dia
juga menggambarkan tentang Masjid bani Ummayah di Damaskus yang berhiaskan
dengan arsitektur permata yang sangat indah.[11]
Di dunia medis pada pemerintahan Harun Al-Rasyid didirikan
untuk pertama kalinya sebuah rumah sakit umum Putranya, Khalifah al-Ma’mun
(813-833) menyusun dasar-dasar standarisasi profesional untuk para dokter dan
ahli farmasi yang mana standar itu kemudian dijadikan standar umum pada
pemerintahan setelahnya. Penetapan dasar-dasar standarisasi tersebut disebabkan
karena seringkali terjadi kesalahan dalam mengobati pasien (dalam bahasa
sekarang: malapraktik).[12] Hitti
juga melansir “seorang dokter yang terpilih dari berbagai daerah akan
dikumpulkan untuk diuji kemampuan medisnya dalam sebuah ujian, dan yang lulus
seleksi akan diberikan sertifikat oleh khalifah. Kurang lebih 860 orang dapat
melewati tes tersebut, dan dengan adanya sertifikat itu dapat dibedakan antara
dokter asli dan dokter gadungan”.[13]
Abu Bakar al-Razi (865-924) yang di dunia Barat
dikenal dengan nama Razes menulis sebuah ensiklopedi tentang ilmu medis dan
sebuah buku tentang ilmu kimia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin. Buku-buku tersebut pada akhirnya menjadi teori-teori dasar dalam
ilmu-ilmu medis dan kimia di Eropa pada abad pertengahan.[14]
Tokoh muslim lainnya yang terkenal dengan
karya-karyanya di bidang filsafat adalah Ibnu Sina (980-1037), dunia Barat
menyebut namanya dengan Avecina. Dia mengarang tentang ilmu medis yang kemudian
terkenal di kalangan dokter-dokter Eropa dari abad ke-12 hingga abad ke-17.
Filosof yang juga berprofesi sebagai dokter adalah Ibnu Rusyd yang juga dikenal
dengan sebutan Averroes (1128-1198) yang juga memiliki kontribusi dalam dunia
medis.[15]
Dalam bidang matematika, seorang ahli matematika pada
abad ke-9 yang bernama Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi (790-850) menyusun
dasar-dasar tertua tentang aritmatika dan Aljabar, yang kemudian juga
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Sampai abad ke-16, karya tersebut masih
dipakai sebagai buku rujukan tentang matematika di Universitas Eropa. Ilmu ini
kemudian dikenal dengan nama al-Jaber wal-Muqabilah dan al-Goritma yang
berasal dari namanya sendiri al-Khawarizmi.[16]
Nama-nama di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian
banyak ilmuwan dan filosof muslim yang telah menghiasi dinding-dinding
peradaban dunia. Ini sekaligus merupakan fakta historis bahwa masa keemasan (golden
age) yang telah diraih umat Islam tidak didasarkan pada paradigma dualisme
atau dikotomik. Terbukti, mereka tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama, akan
tetapi juga ilmu-ilmu sains dan teknologi. Sebaliknya, paradigma dualisme yang
menurut Abdurrahman Mas’ud muncul di akhir abad ke-11 malah mendamparkan umat
Islam ke pinggiran samudera peradaban dunia seperti yang dialami umat Islam saat
ini.
b. Paradigma Islamisasi
Paradigma ini pertama kali di-launching oleh
Ismail Rajil Al-Faruqi dari lembaga Pemikiran Islam Internasional (International
Institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang 1980-an. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Malaysia),
Fazlur Rahman (Pakistan), dan belakangan juga muncul Ziauddin Sardar (juga dari
Malaysia).
Paradigma ini berangkat dari postulat bahwa prinsip
asasi dalam pendidikan Islam adalah “tidak menyekutukan Allah” (tauhid).
Dengan asas ini pada hakikatnya memerdekakan manusia dari otoritas-otoritas
selain Allah. Pemerdekaan manusia semacam ini dapat menumbuhkan semangat
dinamis dan kreatif dalam diri peserta didik, sehingga memiliki kemampuan
potensial untuk menjadi khalifah di muka bumi.[17]
Melalui asas tersebut peserta didik dapat
mengembangkan kepribadian di atas kesadarannya yang fitri dan hanif (cenderung
terhadap kebenaran ilahi), sehingga di dalam dirinya tertanam jihad, dalam
arti mampu mengubah tatanan dunia fisik dan mengembangkan intelektualnya
sendiri dalam menjawab dunia yang senantiasa berubah dengan cepat. Manusia yang
demikian ini adalah manusia yang secara potensial memiliki keberdayaan atau
kebebasan sejati.
Dalam perspektif Islam, yang harus diinternalisasikan
dalam proses pendidikan hendaknya memiliki signifikansi dengan makna
pendidikan. Dalam konteks ini Islam dapat dilihat dari pengertian kata kerja
bukan kata benda. Islam merupakan sebuah proses “Islamisasi”. Islamisasi adalah
proses pasrah diri dan penghambaan diri secara total kepada Allah yang Maha Esa
(prinsip tauhid).
Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam
tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan
pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Menurut Al-Faruqi, dari tauhid
akan ada lima prinsip pokok yang merupakan esensi dari Islam, yaitu: (1)
kesatuan Allah, (2) kesatuan alam semesta baik tata kosmis, penciptaan maupun
ketundukannya pada manusia, (3) kesatuan kebenaran dan pengetahuan, (4)
kesatuan hidup, dan (5) kesatuan umat manusia.
Kelima prinsip dasar tersebut oleh Kuntowiyoyo
disederhanakan menjadi tiga macam kesatuan, yakni kesatuan pengetahuan,
kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak memiliki
metode sendiri umat Islam akan selalu dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan
artinya pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu. Kesatuan hidup
berarti hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas
nilai. Kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi kepada umat dan pada
manusia. Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid,
atau konteks pada teks agar pengetahuan tidak lepas dari iman.[18]
Pentingnya islamisasi pengetahuan, bagi Al-Attas,
berangkat dari fenomena umat Islam yang lebih suka mengadopsi dan menggunakan
bahasa asing untuk mengungkapkan konsep-konsep dalam pemikiran Islam. Hal ini
lambat laun akan mengarah pada proses sekularisasi[19] yang
mengembangkan ketegangan batin dari kebudayaan dan peradaban Barat. Menurutnya,
ilmu pengetahuan seperti ini tidak akan benar-benar bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim, demikian pula tidak akan bisa menyentuh
akar-akar masalah sosial dunia muslim.[20]
Islamisasi ilmu pengetahuan ini, menurut Fazlur
Rahman, memiliki dua tujuan utama, yaitu: 1) upaya membentuk watak pelajar dan
mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakatnya,
dan 2) para ahli yang berpendidikan modern mampu menamai bidang kajian
masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih
untuk mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka.[21]
Rahman menambahkan sebenarnya upaya modernisasi
pendidikan Islam adalah bagaimana membuatnya mampu menciptakan produktivitas
intelektual muslim yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual
bersama-sama dengan keterkaitan yang serius kepada Islam. Menurutnya, esensi
pendidikan Islam adalah apa yang disebut dengan “intelektualisme Islam”,
artinya mempunyai makna pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai
yang dapat dan harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan dan
kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Di sini diperlukan kemampuan dan
metode yang tepat dalam memahami al-Qur’an sebagai titik intelektualisme Islam,
sebab al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia (hudan linnas).[22]
Di sini jelas bahwa islamisasi pengetahuan yang dikembangan
Rahman seluruhnya merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits. Dalam salah satu
artikelnya yang berjudul The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational
Problem Rahman menawarkan empat langkah —sebagai penerapan metode double
movement-nya— dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam, yaitu: langkah
pertama identifikasi terhadap pendidikan Islam di masa kejayaan Islam; langkah
kedua adalah menemukan problem pendidikan di negara yang bersangkutan
(baca: Indonesia); langkah ketiga adalah mencari rujukan pada al-Qur’an
dan Hadits; dan langkah terakhir adalah berusaha memberikan alternatif
solusi atas problem tersebut berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits.[23]
Sementara itu Al-Faruqi menjelaskan bahwa terdapat lima
sasaran islamisasi pengetahuan, antara lain: (1) menguasai disiplin-disiplin
modern, (2) menguasai khazanah Islam, (3) menentukan relevansi Islam yang
spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, (4) mencari cara untuk
melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern,
dan (5) mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintas yang mengarah pada
pemenuhan pola rancangan Allah.[24]
Masih menurut Al-Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai
melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada islamisasi ilmu
pengetahuan, yaitu:
1. Penguasaan
terhadap disiplin-disiplin modern. Al-Faruqi mengatakan bahwa disiplin-disiplin
harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip,
metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema —pemilah-milahan yang
mencerminkan “daftar isi” suatu buku teks klasik,
2. Survei
disiplin. Jika kategori-kategori dari disiplin ilmu telah dipilah-pilah, suatu
survei menyeluruh harus ditulis untuk setiap disiplin ilmu. Langkah ini
diperlukan agar sarjana muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern,
3. Penguasaan
terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama.
Tetapi di sini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan
pemikiran muslim yang berkaitan dengan setiap disiplin,
4. Penguasaan
terhadap khazanah Islam untuk setiap analisa. Jika antologi-antologi sudah
disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisa dari perspektif
masalah-masalah masa kini,
5. Penentuan
relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata Al-Faruqi,
dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan: pertama, apa yang
telah disumbangkan oleh Islam dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh
disiplin modern? Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan
dengan hasil-hasil telah diperoleh oleh disiplin-disiplin modern tersebut?
Sambil di mana tingkat pemenuhan, kekurangan, serta kelebihan khazanah Islam
itu jika dibandingkan dengan visi dan scope disiplin-disiplin modern? Ketiga,
apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama
sekali diabaikan oleh khazanah Islam, ke arah manakah kaum muslim harus
berusaha mengisi kekurangan itu, juga untuk mereformulasi masalah-masalah, dan
memperluas visi disiplin tersebut?
6. Penilaian
kritis terhadap disiplin modern. Jika relevansi Islam untuk semua disiplin
sudah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam,
7. Penilaian
kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang
kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan,
8. Survei
mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis harus
dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural,
moral, spiritual dan kaum muslim,
9. Survei
mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini
difokuskan pada seluruh umat manusia, harus diselesaikan,
10. Analisa
kreatif dan sintesa. Pada tahap ini para sarjana muslim harus sudah siap
melakukan sintesa antara khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern, serta
untuk menjembatani jurang kejumudan yang berabad-abad. Dari sini khazanah
pemikiran Islam harus tetap sinambung dengan prestasi-prestasi modern dan harus
mulai menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas
daripada yang sudah dicapai oleh disiplin-disiplin modern,
11. Merumuskan
kembali disiplin-disiplin di dalam kerangka Islam. Sekali kesinambungan antara
khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks
universitas harus ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam
catatan Islam, dan
12. Penyebarluasan
ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan. Karya intelektual yang sudah
diproduk dari langkah-langkah sebelumnya harus digunakan untuk membangkitkan,
menerangi dan memperkaya umat manusia.[25]
Tentunya tidak semua orang muslim bisa menerapkan langkah-langkah yang ditawarkan oleh Al-Faruqi tersebut. Yang paling pas untuk melakukan itu barangkali adalah Perguruan Tinggi Agama Islam. Dalam hal ini Sayid Ali Asyraf dan Hamid Hasan Bilgrami dalam buku mereka The Concept of Islamic University menulis bahwa tujuan utama PTAI adalah “melakukan islamisasi terhadap semua cabang ilmu pengetahuan, mengsilamisasikan buku-buku ajar dan bahkan metode-metode pengajarannya. Akan tetapi pada saat yang sama ia juga harus mempertahankan sifat keterbukaan yang esensial pada universitas tersebut”.[26]Lebih lanjut mereka menyatakan, para mahasiswa harus dilatih berpikir mandiri, tetapi iman mereka harus diperkuat sejak awal, sehingga sikap hormat dan penghargaannya kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw mendorong mereka untuk memperlakukan kitab Allah dan Sunnah itu dengan rendah hati, rasa cinta yang dalam, dan dibarengi dengan pengakuan terhadap betapa kecilnya ilmu pengetahuan yang mereka miliki dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Allah maupun Rasul-Nya. Itulah sebabnya, para mahasiswa harus mengetahui semua perspektif yang ada dan harus menilai kesempurnaan, kebenaran dan ciri perspektif Islam yang bermanfaat itu.[27]
c. Paradigma
Antroposentrime-Transendental; Sebuah Tawaran
Paradigma ini bertolak dari argumentasi bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah ciptaan Allah, dan manusia sendiri diciptakan tidak lain sebagai khalifah Allah di muka bumi [Q.S. al-Baqarah: 30]. Sebagai khalifah Allah tentunya manusia wajib membekali dirinya dengan segenap kecakapan skill dan ilmu pengetahuan, bukan hanya pengetahuan agama tetapi juga sains dan teknologi. Hal ini sangat penting mengingat peran vital yang dimainkan manusia di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai leader dan manager sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya.Artinya, manusia memiliki dua tanggungjawab sekaligus, yaitu tanggungjawab vertikal dan tanggungjawab horizontal. Tanggungjawab vertikal adalah tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah yang diserahi amanat untuk menjadi wakilnya di muka bumi, sedangkan tanggungjawab horizontal adalah tanggungjawab manusia untuk selalu memberikan yang terbaik kepada semua makhluk Allah yang ada di jagat raya ini [Q.S. al-Mukminun: 115]. Dengan demikian, eksistensi pendidikan Islam tidak lain adalah untuk menyiapkan manusia agar mampu menunaikan tanggungjawab tersebut secara optimal.Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, setidak-tidaknya ada dua implikasi dari paradigma antroposentrisme-transendental ini, yaitu:Pertama, tidak perlu upaya islamisasi ilmu pengetahuan, sebab segala sesuatu berasal dari Allah swt, ilmu pengetahuan. Karenanya, ungkap Thoha Hamim, tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak Islam. Sebab ilmu pengetahuan adalah kebenaran—meskipun kebenaran itu relatif dan didasarkan pada obyektivitas, sedangkan obyektivitas merupakan pantulan dari realitas yang sudah ditakdirkan secara normatif oleh Tuhan—maka dengan sendirinya ilmu pengetahuan tidak akan menyalahi ketentuan-ketentuan agama. “Sering kali dikatakan ada ilmu yang tidak Islami. Saya tidak setuju. Semua ilmu itu Islam”, kata Hamim.[28]Menurutnya, islamisasi ilmu pengetahuan sebetulnya untuk memberikan frame yang lebih konkret kepada ilmuwan muslim yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam. Jadi, islamisasi tidak menyentuh pada substansi ilmunya. Karenanya frame tersebut tidak berarti bahwa tingkat kebenaran kajian yang dilakukan oleh ilmuwan muslim itu lebih tinggi daripada nonmuslim.[29]Kedua, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang memiliki nilai ibadah. Dasar argumentasinya adalah al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw, di antaranya: “Allah akan mengangkat derajat manusia yang beriman di antara kalian serta mereka yang dikaruniai ilmu” [Q.S. al-Mujadalah: 11], “Tinta para pelajar sama nilainya dengan dara para syuhada di hari kiamat nanti” [Hadits]. Ini menegaskan bahwa aktivitas pendidikan bukan sebatas aktivitas profan semata, tetapi di dalamnya sarat dengan nilai-nilai transcendental. Jaminan al-Qur’an dan Hadits ini seharusnya menjadi pemicu semangat umat Islam untuk selalu terlibat dalam aktivitas-aktivitas pendidikan, baik dengan cara menjadi pelajar, guru ataupun penyandang dana.Karena itu, di dalam menuntut ilmu pengetahuan pelajar muslim jangan sekali-kali berorientasi (hanya) untuk kepentingan duniawi semata, seperti untuk mendapatkan pekerjaan atau jabatan tertentu. Tujuan menuntut ilmu pengetahuan menurut Islam adalah untuk menghilangkan kebodohan (li izalat al-jahl) dan agar bisa melaksanakan amanat Allah dengan sebaik-baiknya.Sekalipun tidak bertujuan untuk kepentingan dunia, para penuntut ilmu tidak perlu khawatir akan rahmat Allah di dalam kehidupan dunia. Bukankah Allah telah berjanji bahwa Dia akan mengangkat derajat manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan [Q.S. al-Mujadalah: 11], dan Allah juga menjamin akan memudahkannya jalan menuju Surga [Hadits].Derajat yang dijanjikan Allah itu tidak hanya diberikan di akhirat tetapi juga di dalam kehidupan dunia. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, seseorang bisa mendapatkan pekerjaan mudah, baik dan halal (halalan thayyibah).Ada pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan keuntungan duniawi, akan tetapi masih belum mendapat “stempel” halal dan baik. Misalnya kekayaan atau jabatan yang didapat dari hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, hasil berjudi, memeras atau merampok. Semua itu bisa dengan mudah didapatkan, akan tetapi sangat dimurkai oleh Allah swt. Orang yang demikian, jika tidak bertobat, jangan bermimpi untuk mendapatkan derajat dan kemudahan menuju surga. Derajat yang diperolehnya hanya derajat di mata manusia, bukan derajat di sisi Allah.Demikian halnya dengan guru. Profesi yang dijalaninya juga harus diletakkan di atas semangat untuk mendapatkan ridlo Allah swt. Dengan demikian, menjadi pendidik bukan semata-mata karena materi, akan tetapi karena panggilan hati untuk mentransmisikan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Hal semacam ini sangat jarang ditemukan dalam kehidupan globalisasi seperti sekarang ini. Menjadi guru hampir selalu diukur dengan nominal gaji yang didapatnya selama sebulan. Ketiga, tidak ada dualisme ilmu pengetahuan. Di muka telah disinggung bahwa paradigma dualisme baru muncul di akhir abad ke sebelas. Artinya, paradigma dualisme merupakan sesuatu yang temporal, dan karenanya ia bisa diganti dengan paradigma yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Keempat, integralitas kurikulum pendidikan Islam.
B. PENDIDIKAN TIDAK MENGENAL BIAS GENDER
Di sejumlah kalangan masyarakat (khususnya di pedesaan), hingga saat ini masih terdapat pandangan bahwa anak perempuan tidak perlu mengenyam tinggi. Asalkan bisa membaca dan menulis, itu sudah lebih dari cukup. Karena itu, jika di dalam suatu keluarga terdapat anak laki-laki dan perempuan, maka yang diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan tinggi adalah anak laki-laki, sekalipun kemampuannya jauh di bawah anak perempuan.
Pandangan semacam ini menjadi semakin kokoh tatkala
mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan yang cenderung menempatkan
perempuan dalam posisi inferior. Misalnya klaim bahwa kepemimpinan (formal dan
informal) secara mutlak menjadi hak laki-laki [Q.S. an-Nisa’: 34], sehingga
kaum Hawa mau tidak mau harus tunduk dan patuh terhadap kaum Adam. Bahkan tidak
sedikit laki-laki yang menganggap rendah “harga diri” kaum perempuan.[30]
Padahal, menurut Nasaruddin Umar, al-Qur’an
menjelaskan bahwa kualitas individu laki-laki dan perempuan di mata Allah tidak
ada perbedaan, amal dan prestasi keduanya sama-sama diakui-Nya. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan khalifah di muka bumi [Q.S.
al-Baqarah: 30].[31]
Demikian pula laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi dan
juga tidak ada perbedaan di antara keduanya. Seperti firman Allah: “Barang
siapa yang beramal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia adalah
orang yang beriman, maka mereka (dijamin) masuk ke dalam surga dan
mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” [Q.S. an-Nisa’: 124].
Dalam konteks ini Nabi Muhammad saw juga telah
menegaskan bahwa “semua manusia adalah sama, tidak ada klaim bahwa pahala orang
di atas non-Arab, orang kulit putih di atas kulit hitam, laki-laki di atas
perempuan, yang membedakan mereka hanya ketaqwaannya kepada Allah swt”.
Menurut Abdullah Ahmad An-Nai’m, premis dasar yang
dari risalah yang dikembangkan Muhammad, yang dalam faktanya merupakan pesan
Islam yang abadi dan fundamental, menekankan persamaan dan martabat yang
inheren dalam seluruh keberadaan manusia, mengabaikan diskriminasi gender,
kepercayaan ras, agama dan sebagainya. Pesan itu ditandai dengan persamaan
laki-laki dan perempuan serta kebebasan secara penuh untuk memilih agama dan
kepercayaan. Hal ini ditunjukkan dengan ayat-ayat yang menekankan pada “hai
anak manusia” dan “hai anak Adam”. Bahkan seluruh umat manusia digambarkan
dalam istilah kehormatan dan martabat tanpa membedakan ras, wana kulit, gender
dan agama [Q.S. al-Isra’: 70, dan al-Hujarat: 13].[32]
Islam sangat adil dalam memberlakukan perempuan,
memuliakan dan memberi kebebasan dalam melakukan berbagai aktivitas, ibadah dan
pendekatan diri kepada Allah tak ubahnya seperti laki-laki. Islam juga tidak
melarang perempuan untuk ikut berlomba-lomba dalam beramal shaleh agar
memperoleh kedudukan dan derajat di sisi Allah [Q.S. al-Ahzab: 35, dan
at-Taubah: 72].
Lebih dari itu, Allah memprioritaskan secara khusus
dengan menjadikan perempuan sebagai nama salah satu surat di dalam al-Qur’an
dan cukup panjang lebar perinciannya, yaitu surat an-Nisa’. Ini menunjukkan
bahwa perempuan mempunyai peranan dan tanggungjawab yang sama dengan laki-laki
dalam bidang sosial dan keagamaan, bahkan mereka mendapat dispensasi tertentu
dan kelonggaran dalam pelaksanaan ibadah dan kewajiban shalat dihapus apabila haid
dan nifas.
Apabila Allah menjunjung tinggi harkat dan martabat
perempuan, mengapa manusia memarjinalkan perempuan dari dinamika hidup dan
kehidupan manusia. Ketika Allah menegaskan tidak adanya diskriminasi antara
laki-laki dan perempuan, maka keduanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk
meraih prestasi optimal, termasuk dalam dunia pendidikan.
Pendidikan sejatinya bukan milik kaum laki-laki saja.
Kaum perempuan juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengenyam
pendidikan setinggi mungkin, bahkan bisa melampaui pendidikan kaum laki-laki.
Sayangnya, akibat begitu kuatnya kultur patriarki dalam masyarakat Indonesia, masih
banyak perempuan yang mengisolasi diri dengan berpikir sempit bahwa perempuan
tidak terlepas dari tiga dimensi kehidupan, yaitu kasur, sumur dan dapur.
Akibatnya, potensi dan kemampuan kaum perempuan sejauh
ini masih belum melembaga. Sumber daya perempuan masih relatif kurang.
Sekalipun ada beberapa pos strategis diduduki perempuan, itu hanya sebagian
kecil saja dari pos-pos yang diisi oleh laki-laki. Meningkatkan kualitas sumber
daya perempuan hanya bisa dilakukan dengan penyadaran bahwa mereka harus
berpendidikan agar bisa sejajar dengan kaum laki-laki dalam aspek sosial,
politik, ekonomi maupun agama.
Secara intelektual, laki-laki dan perempuan juga sama.
Bahkan, jika membuka kembali lembaran sejarah di masa Rasulullah, suatu
generasi perempuan patut dicatat dengan tinta emas. Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam al’Isabah fi Tarmidzi as-Shahabah menulis 12.304 biografi, dan
1.551 (16,5 persen) di antaranya adalah sahabat perempuan. Mereka itulah para
intelektual perempuan di masa Muhammad saw. Tetapi, pada masa tabiin jumlah itu
menurun drastis. Ibnu Hibban mencatat hanya sekitar 1,9 persen perempuan yang
termasuk dalam intelektual perempuan.[33]
Konsep ideal ini harus disosialisasikan kepada
masyarakat secara bertahap, karena ada sejumlah kendala, terutama kendala
tradisi dan budaya. Adapun salah satu misi al-Qur’an adalah terwujudnya
keadilan di dalam masyarakat. Keadilan di dalam al-Qur’an mencakup segala aspek
kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
[1] A.S
Hornby,
[2] George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2002, Cet.III, hlm. 6
[3] A Malik
Haramain, Sketsa Gerakan (Kritik-Otokritik Gerakan PMII), Yogyakarta,
Fajar Pustaka, 2003, hlm. 43
[4] Ritzer, Op.Cit.
hlm. 6-7
[5]
Azyumardi Asra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 159-160
[6]
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan non-Dikotomik, Yogyakarta,
Gama Media, 2002, hlm. 121-2
[7] Ibid,
hlm. 120
[8] Robert
Spencer, Islam Ditelanjangi, terj. Mun’im A. Sirry, Jakarta, Paramadina,
2003, hlm. 182
[9] Philip
K. Hitti, The Arabs: A Short History, Regnery Publishing, 1996, hlm. 145
[10] Ibid,
hlm. 104
[11] Ibid,
hlm. 93
[12]
Spencer, Op.Cit., hlm. 183
[13] Hitti, Op.Cit.,
hlm. 141-2
[14]
Spencer, Op.Cit., hlm. 184
[15] Ibid
[16] Ibid
[17]
Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Kontemporer, Yogyakarta, Tiara
Wacana, 2000, hlm. 223
[18]
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika), Mizan,
Teraju Mizan, 2005, hlm. 8
[19]
Sutrisno, Fazlurrahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 26
[20]
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter Sains
Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1998, hlm. 44
[21] Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, terj.
Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka, 1985, hlm. 155-6
[22] Ibid,
hlm. 160
[23]
Sutrisno, Op.Cit, hlm. 151
[24] Sardar,
Op.Cit., hlm. 47
[25] Ibid,
hlm. 48-49
[26] Sayid
Ali Asyraf dan Hamid Hasan Bilgrami, Konsep Universitas Islam, terj.
Machnun Husein, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1989, hlm. 80
[27] Ibid.,
hlm. 80-81
[28] Thoha
Hamim, Naif, Masjid Jadi Pusat Pendidikan, dalam Gerbang Jurnal
Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 06 No. 03 Februari-April, 2000, hlm. 32
[29] Ibid
[30] Lia
Kurniawaty, Feminisme Islam, dalam Dadang S. Anshori et.al., (ed),
Membincangkan Feminisme, Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung,
Pustaka Hidaya, 1997, hlm. 52
[31]
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta,
Paramadina, 1999, hlm. 247
[32]
Abdullah Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformation, New York,
Syracuse University Press, 1990, hlm. 52
[33]
Badriyah Fayumi, Islam dan Pemberdayaan Perempuan, dalam Ahmad Baso et.al,
Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta, Erlangga,
2003, hlm. 156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar