PENDIDIKAN
TIDAK
MENGENAL BIAS GENDER
Pengantar
Di sejumlah kalangan masyarakat (khususnya di pedesaan), hingga saat ini masih terdapat pandangan bahwa anak perempuan tidak perlu mengenyam tinggi. Asalkan bisa membaca dan menulis, itu sudah lebih dari cukup. Karena itu, jika di dalam suatu keluarga terdapat anak laki-laki dan perempuan, maka yang diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan tinggi adalah anak laki-laki, sekalipun kemampuannya jauh di bawah anak perempuan.
Pandangan semacam ini menjadi semakin kokoh tatkala
mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan yang cenderung menempatkan
perempuan dalam posisi inferior. Misalnya klaim bahwa kepemimpinan (formal dan
informal) secara mutlak menjadi hak laki-laki [Q.S. an-Nisa’: 34], sehingga
kaum Hawa mau tidak mau harus tunduk dan patuh terhadap kaum Adam. Bahkan tidak
sedikit laki-laki yang menganggap rendah “harga diri” kaum perempuan.[1]
Padahal, menurut Nasaruddin Umar, al-Qur’an
menjelaskan bahwa kualitas individu laki-laki dan perempuan di mata Allah tidak
ada perbedaan, amal dan prestasi keduanya sama-sama diakui-Nya. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan khalifah di muka bumi [Q.S.
al-Baqarah: 30].[2]
Demikian pula laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi dan
juga tidak ada perbedaan di antara keduanya. Seperti firman Allah: “Barang
siapa yang beramal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia adalah
orang yang beriman, maka mereka (dijamin) masuk ke dalam surga dan
mereka tidak dianiaya walau sedikitpun” [Q.S. an-Nisa’: 124].
Dalam konteks ini Nabi Muhammad saw juga telah
menegaskan bahwa “semua manusia adalah sama, tidak ada klaim bahwa pahala orang
di atas non-Arab, orang kulit putih di atas kulit hitam, laki-laki di atas
perempuan, yang membedakan mereka hanya ketaqwaannya kepada Allah swt”.
Menurut Abdullah Ahmad An-Nai’m, premis dasar yang
dari risalah yang dikembangkan Muhammad, yang dalam faktanya merupakan pesan
Islam yang abadi dan fundamental, menekankan persamaan dan martabat yang
inheren dalam seluruh keberadaan manusia, mengabaikan diskriminasi gender,
kepercayaan ras, agama dan sebagainya. Pesan itu ditandai dengan persamaan
laki-laki dan perempuan serta kebebasan secara penuh untuk memilih agama dan
kepercayaan. Hal ini ditunjukkan dengan ayat-ayat yang menekankan pada “hai
anak manusia” dan “hai anak Adam”. Bahkan seluruh umat manusia digambarkan
dalam istilah kehormatan dan martabat tanpa membedakan ras, wana kulit, gender
dan agama [Q.S. al-Isra’: 70, dan al-Hujarat: 13].[3]
Islam sangat adil dalam memberlakukan perempuan,
memuliakan dan memberi kebebasan dalam melakukan berbagai aktivitas, ibadah dan
pendekatan diri kepada Allah tak ubahnya seperti laki-laki. Islam juga tidak
melarang perempuan untuk ikut berlomba-lomba dalam beramal shaleh agar
memperoleh kedudukan dan derajat di sisi Allah [Q.S. al-Ahzab: 35, dan
at-Taubah: 72].
Lebih dari itu, Allah memprioritaskan secara khusus
dengan menjadikan perempuan sebagai nama salah satu surat di dalam al-Qur’an
dan cukup panjang lebar perinciannya, yaitu surat an-Nisa’. Ini menunjukkan
bahwa perempuan mempunyai peranan dan tanggungjawab yang sama dengan laki-laki
dalam bidang sosial dan keagamaan, bahkan mereka mendapat dispensasi tertentu
dan kelonggaran dalam pelaksanaan ibadah dan kewajiban shalat dihapus apabila haid
dan nifas.
Apabila Allah menjunjung tinggi harkat dan martabat
perempuan, mengapa manusia memarjinalkan perempuan dari dinamika hidup dan
kehidupan manusia. Ketika Allah menegaskan tidak adanya diskriminasi antara
laki-laki dan perempuan, maka keduanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk
meraih prestasi optimal, termasuk dalam dunia pendidikan.
Pendidikan sejatinya bukan milik kaum laki-laki saja.
Kaum perempuan juga memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengenyam
pendidikan setinggi mungkin, bahkan bisa melampaui pendidikan kaum laki-laki.
Sayangnya, akibat begitu kuatnya kultur patriarki dalam masyarakat Indonesia,
masih banyak perempuan yang mengisolasi diri dengan berpikir sempit bahwa
perempuan tidak terlepas dari tiga dimensi kehidupan, yaitu kasur, sumur dan
dapur.
Akibatnya, potensi dan kemampuan kaum perempuan sejauh
ini masih belum melembaga. Sumber daya perempuan masih relatif kurang.
Sekalipun ada beberapa pos strategis diduduki perempuan, itu hanya sebagian
kecil saja dari pos-pos yang diisi oleh laki-laki. Meningkatkan kualitas sumber
daya perempuan hanya bisa dilakukan dengan penyadaran bahwa mereka harus
berpendidikan agar bisa sejajar dengan kaum laki-laki dalam aspek sosial,
politik, ekonomi maupun agama.
Secara intelektual, laki-laki dan perempuan juga sama.
Bahkan, jika membuka kembali lembaran sejarah di masa Rasulullah, suatu
generasi perempuan patut dicatat dengan tinta emas. Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam al’Isabah fi Tarmidzi as-Shahabah menulis 12.304 biografi, dan
1.551 (16,5 persen) di antaranya adalah sahabat perempuan. Mereka itulah para
intelektual perempuan di masa Muhammad saw. Tetapi, pada masa tabiin jumlah itu
menurun drastis. Ibnu Hibban mencatat hanya sekitar 1,9 persen perempuan yang
termasuk dalam intelektual perempuan.[4]
Konsep ideal ini harus disosialisasikan kepada
masyarakat secara bertahap, karena ada sejumlah kendala, terutama kendala
tradisi dan budaya. Adapun salah satu misi al-Qur’an adalah terwujudnya
keadilan di dalam masyarakat. Keadilan di dalam al-Qur’an mencakup segala aspek
kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat.
[1] Lia
Kurniawaty, Feminisme Islam, dalam Dadang S. Anshori et.al., (ed),
Membincangkan Feminisme, Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita, Bandung,
Pustaka Hidaya, 1997, hlm. 52
[2]
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta,
Paramadina, 1999, hlm. 247
[3] Abdullah
Ahmad An-Na’im, Toward an Islamic Reformation, New York, Syracuse
University Press, 1990, hlm. 52
[4] Badriyah
Fayumi, Islam dan Pemberdayaan Perempuan, dalam Ahmad Baso et.al,
Islam Pribumi, Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta, Erlangga,
2003, hlm. 156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar