Review Book:
BUKU
3
MANAJEMEN
PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
(Panduan
Monitoring dan Evaluasi)
Tim
Depdiknas RI, 2001
PADA
BAB III
PEMANFAATAN HASIL DAN
TINDAKLANJUT
I.
Tujuan Dan Garis-Garis Besar Isi Buku
A.
Tujuan Intruksional
Dengan semangat otonomi yang lebih besar,
sebagaimana tuntutan dari agenda reformasi yang dimotori oleh kelompok
Mahasiswa tahun 1998, diharapkan lembaga sekolah memiliki kewenangan dalam
pengelolaannya, sehingga lembaga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandirian ini,
fihak sekolah akan lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang
sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian pendahuluan
bahwa sejalan guna mewujudkan hal tersebut, salah satu upayanya adalah perlu
dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program-program
pendidikan. Dari proses ini akan diketahui tentang manfaat hasil dan tindak
lanjut pelaksanaan pendidikan apakah sesuai dengan tujuan, hambatan apa yang
terjadi? Dan bagaimana untuk mengatasinya, juga akan diketahui sejauhmana
kemajuan yang telah dicapai.
B.
Garis Besar Materi Yang Disampaikan
Sebagaimana dijelaskan pada tujuan diatas, bahwa maksud dari pemanfaatan hasil dan tindak lanjut dalam proses monitoring dan evaluasi tersebut, akan dijadikan sebagai landasan pengambilan keputusan baik ditingkat pertama bagi sekolah yang bersangkutan, kedua Dinas Pendidikan baik di tingkat Kabupaten/ Kota maupun Propinsi, serta ketiga oleh Departemen Pendidikan nasional pusat.Untuk hal itu, pada bagian bab ini memberikan uraian singkat tentang manfaat dan tidaklanjut dalam proses monitoring dan evaluasi yang disertai dengan pedoman secara datail.
II. Uraian
Materi Isi Buku
Dalam isi pokok buku 3, Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah; Panduan Monitoring dan Evaluasi Bab III tentang
Pemanfaatan Hasil dan Tindaklanjut ini, merupakan bentuk respon kebijakan
pemerintah terhadap munculnya UU Nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang penganturan
sistem otonomi daerah, termasuk di bidang pendidikan terkait dengan otonomi
pendidikannya. Buku ini memberikan pedoman secara praktis dalam pemanfaatan dan
tindak lanjut atas proses monitoring dan evaluasi yang disertai dengan lengkap
petunjuk penelitiannya atas mutu suatu lembaga sekolah. Hal tersebut sebagaimana
dijelaskan dalam BAB 1. hal tersebut disadari ketika “gong” otonomi daerah
dilaksanakan, maka sistem otonomi pendidikan hendaknya juga diimplementasikan.
Setidaknya konsep ini menjadikan fundamen akan keberhasilan pendidikan terletak
pada lembaga sekolah.
Hal ini juga disertai munculnya fenomena
rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar dan menengah yang ditulis pada buku 1 bagian pendahuluan.
Sebagaimana
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hasil monitoring dan evaluasi akan
digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan, bagi:
a. sekolah
sekolah
secara langsung dapat memanfaatkan hasil monitoring dan Evaluasi, terutama yang
terfokus pada monitoring pelaksanaan program yang dilakukan oleh tim internal
sekolah. Dari hasil ini akan mudah teridentifikasi hambatan dan kemajuan serta
kendala dalam melaksanakan program-program sekolah. Hal ini terutama menyangkut
berbagai komponen dan indikator pendidikan yang secara langsung mampu ditangani
sekolah.
Kepala
sekolah dapat mengunakan hasil ini dalam melakukan pembinaan terhadap para guru
dan staf lainnya, serta sebagai dasar dalam penyusunan program sekolah yang
akan datang dan juga sebagai bahan refleksi bagi sekolah. Laporan hasil ini
juga sebagai bentuk laporan kemajuan dan akuntabilitas sekolah kepada
masyarakatdan pihak Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota.
b. Dinas
Pendidikan Kabupaten/ Kota
Bagi
Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, hasil laporan pelaksanaan monitoring dan
evaluasi yang dilakukan oleh kepala sekolah bisa dijadikan sebagai salah satu
bahan pertimbangan penilaian prestasi sekolah, dan bila fihak sekolah jika
tidak mengirimkan laporan ini secara periodik (pada akhir catur wulan atau semester) perlu ditegur dan dicatat sebagai
pertimbangan pada saat dilakukan penilaian akhir tahun pelajaran.
Hasil
laporan ini sebaiknya juga digunakan sebagai bahan pertimbangan urgensi
kunjungan kesekolah. Demikian juga hasil monitoring dan evaluasi dapat juga
digunakan sebagai landasan apakah diperlukan bantuan untuk memecahkan masalah
yang terjadi atau diperlukan peringatan jika ternyata ada penyimpangan dalam
pelaksanaan dari rancangan program sekolah.
Hasil
monitoring dan evaluasi dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui tingkat
akuntabilitas adsminitrasi keuangan yang perlu mendapat perhatian khusus, juga
sebagai bahan pertimbangan padasaat pengambilan keputusan diakhir tahun tentang
kredebilitas sebuah sekolah. Dengan demikian bahwa hasil monitoring dan
evaluasi sebagai penilaian apakah program sekolah dinilai berhasi atau gagal.
c. Dinas
Pendidikan Propinsi
Pada
prinsipnya hasil monitoring dan evaluasi bagi Dinas Pendidikan propinsi sama
dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota, perbedaannya terletak pada cakupan
wilayah kerja. Melalui koordinasi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota,
Dinas Pendidikan propinsi perlu mencermati hasil-hasil monitoring dan evaluasi
atas proses pembinaan yang dilakukan. Hal ini terkait dalam melakukan
koordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional.
d. Direktorat
Hasil
monitoring dan evaluasi untuk tingkat nasional dapat dipergunakan dalam proses
pembinaan secara nasional dan direktorat perlu merangkum hasil-hasil monitoring
dan evaluasi tersebut guna mengetahui sejauhmana kemajuan pendidikan yang
dicapai oleh sekolah dan berbagai kendalanya. Selanjutnya direktorat menyusun
program-program pembinaan apa saja yang secara langsung dapat dilakukan oleh
direktorat ke sekolah-sekolah dan program apa saja yang sebaiknya dilakukan
melalui Dinas Pendidikan Propinsi atau Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota.
III.
Komentar Isi Buku
A.
Keluasan Bahasa dan Keluasan Kedalaman Isi
Berdasar
pada buku 3 Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah di BAB III tentang
pemanfatan hasil dan tindak lanjut dalam proses monitoring dan evaluasi ini,
disebabkan karena tulisan tersebut berangkat dari pemahaman pejabat birokrasi,
dimana memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mewujudkan semangat
reformasi terutama di bidang pendidikan, maka wajar jika dalam berbagai
uraiannya baik Bahasa maupun keluasan isi buku pun bersifat praktis oprasional,
langsung pada sasaran maksud agar di dapat nilai daya gunanya secara langsung.
Untuk itu kelebihan dari buku ini, secara ideal sangat bagus dengan berbagai
gagasan oprasionalnya dan hal ini sangat tepat jika dijadikan sebagai acuhan
pedoman bagi para praktisi pendidikan guna mewujudkan untuk merealisasikan
gagasan ideal yang dimaksudkan dalam buku tersebut.
Sehingga
dari fenomena tersebut guna terpacunya semanagat dan cita-cita yang ideal
tersebut memang tidak akan pernah terwujudkan jika tidak dijalankan secara
menyeluruh dan stimultan dalam ruang lingkup kebersamaan di antara segenap
jajaran birokrasi yang berada dibawahnya. Hal tersebut dilihat dari beberapa
tahun lalu, UNDP pernah mengeluarkan sebuah data tentang pelaksanaan pendidikan
yang menjelaskan bahwa dari 173 negara di dunia, sektor pendidikan di Indonesia
mengalami keterpurukan sampai pada rangking ke 107 dari urutan rangking ke 105
pada lima tahun sebelumnya, parahnya lagi ada negara-negara yang tingkat pendapatannya
berada di bawah Indonesia tapi justru menempati rangking lebih baik dari pada
Indonesia1. Sementara itu juga, tertulis dalam
data UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
Tahun 2000-2004 pada bagian bab VII masalah Pembangunan Pendidikan di bagian
umum dinyatakan bahwa organisasi International Educational Achievement (IEA)
menjelaskan bahwa siswa SD di Indonesia berada pada rengking ke 38 dari 39
jumlah negara peserta studi2.
Data tersebut menunjukkan betapa naif-nya
sistem pendidikan di Indonesia. Untuk itu ada benarnya ungkapan Mishad
menyampaikan bahwa masalah pendidikan di Indonesia selama ini memang masih
belum menemukan rumusan yang tepat dalam pemodifikasiannya, baik bersifat
prinsip maupun wawasan idealisme kedepan3.
bila dicermati, hakekat struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah
dilaksanakan ini, berdasar pada pembaharuan pendidikan yang lahir dari Amerika
Serikat pada tahun 50-an yang hanya menitik beratkan pada metode bagaimana
siswa menguasai “basic skills” beserta mata pelajaran yang diajarkan.
Sementara struktur dan mekanisme praktek pendidikan tersebut dalam
implementasinya akan menghasilkan sistem pendidikan yang tidak sensitif
terhadap ide-ide baru dan perkembangan sosial masyarakat4.
Sementara di sisi lain, masyarakat dan bangsa
Indonesia tengah dihadapkan pada “pintu
gerbang” era globalisasi5, sebuah
masa penuh dengan
persaingan dan
tantangan ekstra ketat6
yang di mulai abad 217 ini.
Realitas yang demikian bisa teratasi hanya dengan Pengembangan Sumber Daya
Manusia berkualitas tinggi8 lewat
proses pendidikan9 yang tidak saja
berstandar lokal dan nasional namun lebih dari itu hendaknya bertaraf
internasional.
Di tengah keadaan Bangsa Indonesia yang
menghadapi berbagai krisis multidimensi yang termasuk rendahnya mutu SDM
Indonesia tersebut, Bangsa Indonesia dihadapkan pada dua rekomendasi Bank Dunia
(world Bank) termasuk bidang pendidikan dalam menghadapi krisis ekonomi
dan moneter sebagaimana tercantum dalam
laporan 18651-IND bertajuk Education in Indonesia: From Crisis to Recovery, edisi
9 Desember 1999. Dengan berbekal dua dokumen tersebut satu diantaranya adalah
pentingnya penekanan sistem desentralisasi pendidikan10. Maksudnya, pengelolaan pendidikan
nasional yang semula diatur secara sentral oleh pemerintah pusat, sudah saatnya
diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah otonom11. Desentralisasi pendidikan ini yang
kemudian populer dengan sebutan otonomi pendidikan.
Dengan semangat reformasi yang digulirkan,
terutama oleh kelompok mahasiswa pada awal tahun 199812, maka disahkannya dua paket UU dan
satu paket PP, yakni Undang-undang Nomor
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta
Peraturan Pemerintah RI Nomor 129 tahun
2000 tentang Pembentukan dan Kriteria serta Pemekaran dan Penghapusan Daerah.
Pada garis besarnya ketiga dokumen tersebut menetapkan soal otonomi daerah.
Diketahui pada masa pemerintahan Orde Baru
bidang pendidikan pun tak lepas jadi legitimasi kekuasaannya, dengan segala
macam bentuk kebijakan pendidikan harus sesuai dengan instruksi pemerintah
pusat, partisipasi daerah dan masyarakat “dipasung” sedemikian rupa, sehingga
hasil dari pendidikan pun tidak pernah menyentuh terhadap kebutuhan riil
masyarakat dan menjadikan output pendidikan sebagai generasi yang
terasing dilingkungannya13.
Seperti diketahui bahwa pendidikan adalah persoalan kehidupan manusia, untuk
itu pendidikan hendaknya berorientasi pada realitas kehidupan manusia itu
sendiri14. Berdasar pada pandangan yang
demikian, tentu manusia sendiri yang mengerti tentang kebutuhan akan
pendidikan, dengan di dukung oleh perhatian keluarga dan lingkungan masyarakat
serta lembaga pendidikan itu sendiri sebagai jasa pelaksana pendidikan15.
Untuk itu tanggung jawab pendidikan tidak
semuanya dibebankan kepada lembaga sekolah saja atau bahkan kepada pemerintah
pusat dalam menentukan segala kebijakan ataupun materi pelajaran. Setidaknya
pendidikan harus sesuai atau merespon kebutuhan masyarakat sekitar. Hal
tersebut ini juga yang mendasari munculnya pandangan tentang pendidikan
berbasis sekolah16. diharapkan dari
paradigma tersebut akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat17 secara lebih optimal dalam memajukan
mutu dan kualitas pendidikan yang selama ini “terpasung” oleh pemerintah pusat.
Apabila konsep otonomi yang dihubungkan dengan
praktik manajemen berbasis sekolah,
terkandung adanya pelimpahan wewenang untuk perumusan kebijakan dan penetapan
keputusan sekolah dalam proses kemajuannya, termasuk dalam proses akutanbilitas
yang terbuka oleh umum18. Dari
sini masyarakat bisa melakukan monitoring dan evaluasi secara leluasa akan mutu
lembaga sekolah tersebut. Oleh karenanya gagasan desentralisasi ini mengarah
kepada praktik otonomi pengelolaan pendidikan. Kepentingan utama format otonomi
sekolah adalah tampilnya kemandirian sekolah untuk meningkatkan kinerjanya
sendiri, dengan mengakomodasi berbagai potensi sumber daya sekolah, yang pada
akhirnya ditunjukkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam wujud hasil
belajar peserta didik yang dicapainya serta aktualisasinya ditengah
masyarakat.
Selanjutnya
kelemahan dari buku ini terletak pada uraian yang sangat singkat, meskipun
didalamnya mudah di “cerna” namun lebih jauh uraian yang dijelaskan dalam buku
tersebut tidak menyoroti lebih dalam tentang berbagai fenomena peluang dan
tantangannya serta hambatan dalam merealisasikannya. Sebab bagimanapun buku ini
yang sudah dijelaskan diatas bisa dijadikan pedoman yang cukup berarti dalam
proses pendidikan untuk mencapai keidealitasannya, tetapi perlu diketahui dalam
proses itu pun, pada akhirnya akan menyentuh fonomena sosial masyarakat19 syarat dengan perubahan20 yang akan menjadikan buku ini tetap
relefan atau justru sebaliknya perlu dipertajam lagi. Untuk itu, perlunya
mengkaji lebih tajam dari proses monitoring dan evaluasi ini akan peluang dan
tantangan serta hambatan, agar diperoleh pemanfaatan hasil dan tindak
lanjutnya.
Dari
kelemahan dan kelebihan yang dimaksudkan tersebut dimaksudkan guna
mengidentifikasi seberapa jauh kemanfaatan yang diperoleh atas keluasan dan
kedalaman isi buku yang ada pada bagian bab ini.
B.
Sistematika
Demikian
juga dengan sistematika yang digunakan. Sangat praktis dan singkat pada point-pointnya.
Seolah sebagai wujud dari bentuk petunjuk praktis dalam proses penerapan bagi
sebuah pedoman.
Apabila
buku ini dibandingkan dengan buku lain yang berkaitan dengan bahasan ini
seperti buku Dr. E. Mulyasa, M.Pd. tentang Manajemen Berbasis Sekolah;
Konsep, Strategi dan Implementasi terbitan Bandung Remaja Rosdakarya
demikian juga pada Bukunya Ibrahim Bafadal tentang Seri Manajeman
Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah; Manajemen Perlengkapan Sekolah
Teori dan Aplikasinya terbitan Jakarta Bumi Aksara di dalamnya dijelaskan
secara dengan luas dan detail baik konsep, strategi maupun implementasinya,
maka dari segi isi, uraian, maupun sistematikanya, entah karena buku tersebut
berangkat di luar birokrasi pemerintah atau sistem?.
Untuk
itu dalam melakukan perbandingan dengan buku lain, tentu hendaknya sama dengan
dari produk yang dikeluarkan. Sebagaimana dijelaskan bahwa buku ini adalah
hasil dari proses kebijakan birokrasi yang merespon atas fenomena sosial, maka
ulasannya sangat praktis dan simpel pada point-point yang dimaksud. Untuk itu
bila membandingkan buku ini dengan buku lain tentu hendaknya sama dengan buku
yang dikeluarkan oleh birokrasi tersebut yang tentunya sama-sama membahas
tentang masalah ini, agar feer kita dalam menilainya.
IV.
Kesimpulan
Berdasar
pada penjelasan sebagaimana yang telah diuraiakan di atas dapat disimpulkan
hasil monitoring dan evaluasi pertama dapat berguna bagi sekolah, Dinas
Pendidikan Kabupaten/ Kota, Dinas Pendidikan Propinsi dan Dinas Pendidikan
Nasional, Kedua berguna sebagai landasan pengambilan keputusan sekolah,
demikian juga sebagai bentuk laporan kemajuan dan akuntabilitas sekolah
terhadap masyarakat luas, ketiga sebagai bahan refleksi atas kemajuan
dan kelemahan baik bagi lembaga sekolah maupun program kerja yang dilaksanakan,
Keempat berguna untuk menentukan prestasi suatu lembaga sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Soebahar, Rekontruksi Pendidikan Islam;
Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, Jember: Jurnal Al ‘Adalah STAIN Vol. 3
No. 3 Desember, 2000.
Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di
Indonesia, Yogyakarta: Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999.
Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi
Era Indonesia Baru, Jakarta: Grasindo, 1999.
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep,
Karakteristik dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional; Dalam Perspektif abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1999.
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu tinjauan
dari perspektif studi kultural, Magelang: Indonesia Tera, 2003.
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan
Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000.
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam;
Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Syafiria Insania Press,
2003.
Ika, Islam Tawarkan Solusi Pendidikan, Depag
Jatim: Mimbar, No. 173 Februari, 2001.
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi
Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1999.
Ibrahim Bafadal, Manajemen Perlengkapan Sekolah;
Teori dan Aplikasinya, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Jusuf Amir Feisal, et, al, Pendidikan untuk
Masyarakat Indonesia Baru; 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.S. Ed., dalam
Ikhwanuddin Syarif dan dodo Murtadlo (ed.), Jakarta: Grasindo, 2002.
Marzuki Wahid, et, al, Pesantren Masa Depan: Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran; Sistem Pendidikan
Nasional dalam Abad 21, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.
Mutrofin, Perspektif Otonomi Pendidikan, Jember:
Makalah Bahan diskusi dalam seminar sehari dan rapat kerja HMJ Tarbiyah, 29
November 1999.
Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, Depag Jatim:
Mimbar, No. 195 Desember, 2002.
M. Noor Syam, et, al, Pengantar Dasar-Dasar
Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah, Surabaya:
Arkola, 1994.
Miftah Thoha, Desentralisasi Pendidikan, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
dan Kebudayaan, No. 017 Juni, 1999.
Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu
Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, Depag Jatim: Mimbar No. 175 April,
2001.
Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan,
kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999.
Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, Materi
Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, Kamis 3
Januari 2002, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2002.
Undang-undang RI No. 25 tahun 2000, Tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004, ------------: Novindo
Pustaka Mandiri, 2001.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta:
Publishing, 2000.
1
Baca Ika, Islam Tawarkan Solusi Pendidikan, (Depag Jatim: Mimbar, No.
173 Februari, 2001), 38.
2
Undang-undang RI No. 25 tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) tahun 2000 – 2004, (------------: Novindo Pustaka Mandiri, 2001).
3
Mishad, Fenomena Sekolah Unggul, (Depag Jatim: Mimbar, No. 195 Desember,
2002), 40.
4
Baca Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Publishing,
2000), 24.
5
Globalisasi berasal dari kata “Globe” yang berarti “baca dunia”,
sehingga globalisasi disebut sebagai gerakan mendunia. Ishomuddin, Spektrum
Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1999), 16.
Bandingkan juga M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah, (Surabaya: Arkola,
1994), 203, mendefinisikan bahwa kalimat globalisasi memiliki makna gerakan
penggelobalan pada seluruh dimensi kehidupan/ perwujudan (perombakan/
peningkatan/ perubahan) secara menyeluruh disegala aspek kehidupan.
6
Awal mulanya globalisasi adalah membuat jaringan bisnis (perdagangan
internasional) secara luas, tanpa mempertimbangkan status dimana dan dari mana
mereka berasal. Yang penting arus barang dan jasa mampu menjangkau
pelosok-pelosok dunia dengan kendali kekuatan ekonomi raksasa. Maka globalisasi
menciptakan jaringan internasional, terlebih realitas demikian di dukung
kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi terutama bidang komunikasi. Dengan
bekal tersebut memudahkan manusia dalam mewujudkan impiannya walaupun jauh di
tempat tinggalnya. Dari realitas yang demikian akan menciptakan 3 situasi,
yakni; pertama memingkatnya hubungan sosial ekonomi secara
global, kedua persaingan
sumber daya manusia antar manusia semakin ketat, ketiga semakin
besar kemungkinan terjadinya eksploitasi bagi negara maju kepada negara-negara
yang belum maju. Baca Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era
Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), 5.
7
Menggambarkan suatu abad, dengan bentuk tatanan masyarakatnya yang mampu
menerobos tabir, wilayah, sekat walaupun jauh, sehingga manusia di dunia seolah menjadi satu
keluarga. Apa yang terjadi sekarang di masyarakat daerah kutub utara mampu
diketahui saat itu juga oleh masyarakat di daerah kutub selatan. Proses
komunikasi antar manusia dalam berbagai dimensi kehidupan akan bebas dari
segala hambatan yang menghalanginya. Hal yang demikian, menunjukkan kehidupan
manusia dibelahan bumi ini seolah mengerut, seolah kita tidak lagi bicara
tentang atom tetapi lebih kecil lagi “bit”. Maka ini semakin memperkecil wilayah
keberadaan manusia, namun demikian pada dimensi internasional. Baca H.A.R.
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad
21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), 52.
8
Baca Ibid, 3. Bandingkan juga Jusuf Amir Feisal, et, al, Pendidikan
untuk Masyarakat Indonesia Baru; 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.S. Ed., dalam
Ikhwanuddin Syarif dan dodo Murtadlo (ed.), (Jakarta: Grasindo, 2002), 124 –
129, telah menerangkan dalam berbagai situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang
semakin terpuruk dengan dibarengi munculnya tantangan global, maka tidak ada pilihan
lain untuk mempertegas dan merumuskan kembali kebijakan Pendidikan Nasional
Indonesia, hal ini juga didasari atas paradigma kualitas pengembangan SDM yang
diinginkan, agar generasi selanjutkan akan mampu menjadi obyek penentu dalam
perkembangan masa selanjutnya secara lebih aktif, bukan pasif. Hanya dengan SDM
berkualitas itu sebagai bekal untuk mengantisipasi tantangan global.
9
Karena proses pendidikan di belahan dunia manapun (negara berkembang ataupun
negara maju) selalu dijalankan sebagai proses untuk mengembangkan dan membentuk
SDM yang berkualitas. Nasrip Ibrahim, Keteladanan Pendidik; Penentu
Keberhasilan Pendidikan Budi Pekerti, (Depag Jatim: Mimbar No. 175 April,
2001), 32; bandingkan juga dengan Soewito, Pendidikan yang Memberdayakan, Materi
Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, Kamis 3
Januari 2002, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2002), menyampaikan bahwa
proses pendidikan juga dipahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan
hidup seseorang, demikian juga bandingkan Marzuki Wahid, et, al, Pesantren
Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999), 171, menegaskan bahwa pendidikan adalah upaya strategis
dalam membentuk pribadi manusia, khususnya peserta didik, dan proses pendidikan
merupakan bentuk ikhtiar dalam menyiapkan generasi muda untuk mengarungi
kehidupan di masa yang akan datang.
10
Mutrofin, Perspektif Otonomi Pendidikan, (Jember: Makalah Bahan diskusi
dalam seminar sehari dan rapat kerja HMJ Tarbiyah, 29 November 1999), 1,
Bandingkan juga Abdul Halim Soebahar, Rekontruksi Pendidikan Islam; Wacana
Menyongsong Otonomi Daerah, (Jember: Jurnal Al ‘Adalah STAIN Vol. 3 No. 3
Desember, 2000), 60, menyatakan setelah melalui pasang surut sejarah pendidikan
di Indonesia, kini dituntut entry point reformasi berbekal dua dokumen
penting. Dokumen pertama dengan bentuk rekomendasi Bank Dunia terhadap
Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter sebagaimana tercantum
dalam laporan 18651- IND Bank Dunia bertajuk rekomendasi, dalam dokumen
tersebut ialah tekanan kepada pentingnya desentralisasi pendidikan. Dokumen
kedua ialah disahkannya Undang-Undang RI No. 22 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
11
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah BAB IV pasal 11 ayat 2
menegaskan bahwa “Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,
lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja”.
12
Diketahui bersama sejak saat itu (gerakan reformasi) di masyarakat yang
dimotori oleh kelompok mahasiswa telah
mulai menyuarakan reformasi total atas dominasi pemerintahan Orde Baru yang
telah merusak cita-cita masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam
arti yang sebenarnya. Telah dirasakan bahwa kemerdekaan yang diberikan
pemerintah Orde Baru pada waktu itu adalah “kemerdekaan semu”, kebebasan pres
harus memiliki izin dari pemerintah kalau tidak ingin di “bredel”, kebebasan
berpendapat maupun berekspresi dibatasi bila tidak sesuai dengan aturan
pemerintah, dan hal itu dianggap “makar”, merong-rong kekuasan dan lain
sebagainya. Semua itu dengan dalih demi menjaga keutuhan dan stabilitas RI yang
kondusif, agar tercipta suasana aman, tentram dan damai.
13
Bandingkan dengan H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu tinjauan
dari perspektif studi kultural, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), 274 –
276, dijelaskan bahwa Praktek pendidikan pada masa pemerintahan Orde Baru
dikenal sentralistik, apapun kebijakan harus berdasar pada pemerintah pusat
sebagai penentunya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana bentuk manajemen dalam
pemerintahan yang otokratis. Bagaimanapun birokrasi yang kekat tidak mungkin
melahirkan suatu bentuk manajeman yang tidak memiliki alternatif dan inovasi,
sehingga menghasilkan output yang semu. Dengan demikian hasil pendidikan
Indonesia melahirkan generasi yang semu terhadap perubahan dan tantangan
global, bila hal ini dipertahankan dia bagaikan katak dalam tempurung, dia ada
tetapi tidak pernah bisa berbuat apa-apa, ini sebuah generasi semu. Bandingkan
juga dengan Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran; Sistem Pendidikan Nasional
dalam Abad 21, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), 5-6 dijelaskan bahwa para pemimpin
nasional Indonesia seringkali menyatakan bahwa pendidikan merupakan garapan
yang strategis dalam pembangunan nasional. Namun, dalam realitas hanya
dijadikan sebagai politik praktis untuk kekuasaan. Akhirnya sekolah dan
perguruan yang mestinya untuk mengangkat harkat martabat manusia atau
memanusiakan manusia guna kepentingan masyarakatnya, malah tercerabut dari
masyarakat, karena pendidikan hanya dijadikan sebagai “barang komoditi” yang
bisa membuaikan masyarakat.
14
Baca Paulo Freire, Politik Pendidikan; Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebasan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), ix.demikian juga dijelaskan
oleh Darmaningtyas bahwa pendidikan
15
Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara tentang tri pusat pendidikan.
Dari ketiga unsur lembaga ini (lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan
lingkungan sekolah) merupakan pusat pendidikan yang secara bertahap dan terpadu
mengemban tanggung jawab pendidikan bagi generasi muda selanjutnya. Karena
ketiga unsur tersebut sangat menentukan bagi perkembangan peserta didik. Baca
M. Noor Syam, et, al, Pengantar Dasar-Dasar Pendidikan, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1988), 13.
16 Bandingkan
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, (Yogyakarta: Syafiria Insania Press, 2003), 213, dinyatakan
bahwa melalui otonomi pendidikan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat, lebih cepat, tepat, efisien dan efektif, karena sekolah dapat
leluasa mengelola sumber daya dan potensi sesuai dengan prioritas kebutuhan
daerah. Akhirnya dengan pengembangan model desentralisasi dan otonomi
pengelolaan pendidikan akan bermuara pada “Manajemen berbasis sekolah”.
17
Bandingkan dengan Miftah Thoha, Desentralisasi Pendidikan, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
dan Kebudayaan, No. 017 Juni, 1999), 5, Bahwa desentralisasi pendidikan
merupakan upaya untuk mendelegasikan seluruh wewenang di bidang pendidikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk menentukannya.
18
Baca Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, Ibid, 212.
19
Apalagi harus diakui bahwa masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai yang
majemuk, yang terikat dalam Binekatunggal Ika, kemajemukan tersebut hendaknya
mampu terkendalikan dengan baik. Untuk itu diperlukan strategi tersendiri agar
mereka sadar akan bentuk kemajemukan dengan berbagai karakteristik budaya, adat
istiadat, agama dan sebagainya, dengan cerminan sebagai bentuk dari
karakteristik budaya nasional bangsa Indonesia. Baca Djohar, Reformasi dan
Masa Depan Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, 1999), 96. Bandingkan juga H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan
dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2000), vii, dijelaskan bahwa pendidikan yang tidak bisa
lepas dengan kebudayaan dan masyarakat sebagai pemilik kebudayaan, maka segala
macam kebijakan pendidikan hendaknya mampu mengakomodir kepentingan masyarakat
secara luas.
20
Simak saja semenjak kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sudah lebih berusia
setegah abad ini, sudah 3 kali mengalami perubahan sosial politik (Orde Lama,
Orde Baru, Orde Reformasi) yang juga di ikuti dengan perubahan pada sistem
pendidikan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar