REVITALISASI PENDIDIKAN ISLAM
DI ERA GLOBAL*
Moch. Marjuki**
Pendahuluan
Di era globalisasi, terjadi pergesekan nilai-nilai
budaya dan akulturasi yang tidak bisa dihindarkan. Globalisasi mengacu pada
perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi,
transformasi, dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh
menjadi mudah dijangkau. Kenyataan ini disertai dengan dampak yang luas di
segala aspek kehidupan manusia1.
Pergaulan global sudah tidak dapat lagi dihindari oleh seseorang. Untuk itu,
siapapun perlu mempersiapkan segala sesuatu dengan baik, agar mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi2.
Ditinjau dari epistemologi, kata globalisasi berasal
dari kata “Globe” yang berarti “baca
dunia”, sehingga globalisasi disebut pula sebagai gerakan mendunia, yakni suatu
perkembangan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global3. Saat ini dunia seolah tanpa memiliki
lagi batas-batas wilayah dan waktu. Tiada lagi sekat-sekat yang membatasi
pergaulan antarbangsa, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun
budaya.
Jika kita telusuri, gerakan globalisasi pada awalnya
diorientasikan pada persoalan yang berhubungan dengan ekonomi.4 Dalam perkembangannya, bidang ekonomi
melaju lebih ekspansif (meluas) ke seluruh penjuru dunia. Arus barang, jasa,
teknologi5, dan informasi tidak terbendung lagi.
Hal ini karena sebagian besar negara semakin terbuka. Dampak yang paling
dirasakan adalah timbulnya jurang pemisah yang semakin melebar antara
negara-negara maju dan negara-negara ketiga (berkembang), lebih lagi negara
miskin (termasuk negara konflik).
Dengan kemajuan teknologi komunikasi yang sangat
cepat, jarak jauh bukan kendala. Tidak ada lagi tempat yang terisolasi. Hal ini
menjadikan manusia yang hidup di belahan dunia manapun seakan dalam satu
tempat. Batas-batas negara seolah musnah. Kondisi demikian menciptakan suatu
sistem interaksi komunikatif antar-manusia secara lebih intensif, tentunya
dalam dimensi yang lebih luas.
Akibat meluasnya interaksi antar-manusia terjadi
bentuk jaringan kerjasama yang berpotensi menimbulkan persaingan bebas yang
ekstra ketat. Artinya kekompleksitasan lingkungan akibat persaingan global akan
menimbulkan tantangan tersendiri. Untuk menghadapi situasi tersebut, perlu
strategi untuk meningkatkan strandar produk, jasa, dan sumber daya manusia
(SDM) agar mampu memenuhi kebutuhan hidup.
Sebagaimana digambarkan oleh Sukiswo Dirdjosuparto
yang dikutip oleh Ishomuddin, hal tersebut merupakan progressive problem yang memerlukan kemampuan belajar dan
kreatifitas lebih tinggi. Ibarat pertandingan tingkat nasional berubah menjadi
tingkat internasional. Konsekuensinya, persaingan tentu akan lebih berat6.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa globalisasi
akan membawa implikasi terhadap pergeseran sistem dan nilai di setiap dimensi
kehidupan umat manusia. Implikasi itu menimbulkan aspek positif dan aspek
negatif. Positifnya akan menciptakan masyarakat yang mega kompetitif. Artinya
menumbuhkan semangat bagi setiap individu untuk selalu tampil secara unggul dan
kreatif. Sedangkan negatifnya adalah akan menciptakan tekanan dominan dari
sistem kapitalisme internasional. Bagi kelompok yang tidak ditopang oleh
kesiapan SDM7 yang memadai, akan
tertekan dan menjadi obyek sehingga menimbulkan budaya konsumerisme dan
materialisme.
Untuk mengantisipasi dampak negatif globalisai,
masyarakat membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang tidak hanya berwacana, tetapi mampu
berkompetisi; SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan
zamannya.
Pendidikan Sebagai Fitrah
Untuk menciptakan manusia yang berkualitas,
diperlukan sebuah proses pendidikan.8
Untuk itu pendidikan merupakan cara strategis dalam meningkatkan kualitas hidup
manusia dalam segala aspeknya. Dalam sejarah umat manusia, pendidikan sudah
dijalankan sejak manusia ada di muka bumi ini.10
Dengan demikian, hampir dipastikan
setiap bangsa mendambakan generasi
penerus yang selain
memiliki keunggulan dan daya saing cukup, juga memiliki kepribadian yang
utuh11, sehingga dapat memakmurkan dan
mensejahterakan kehidupan, baik untuk pribadi, keluarga, maupun masyarakat.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut, lembaga
pendidikan sampai saat ini masih
dipandang sebagai institusi yang sangat potensial dan strategis untuk
menciptakan dan mengembangkan SDM yang berkualitas. Dalam setiap proses
pendidikan, utamanya melalui sekolah, terjadi berbagai bentuk penemuan baru
yang berguna bagi kepentingan umat manusia. Tidak berlebihan apabila kita
sepakat bahwa pendidikan merupakan prasyarat (indikator) sebuah kemajuan.
Menurut M. Natsir,
pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya
kehidupan manusia12.
Pernyataan tersebut didasari oleh indikasi tentang pentingnya pendidikan
dalam kehidupan umat manusia. Posisi
pendidikan itu sendiri memegang peranan utama dalam mendorong kemajuan setiap
individu untuk meningkatkan kualitas di segala aspek kehidupannya. Dengan
tercapainya kualitas pendidikan, akan tercapai pula tujuan hidup seseorang dan
akan menunjang perannya sebagai subyek dalam kehidupan.
Terkait dengan fenomena
liberalisasi dan globalisai, proses pendidikan yang terjadi diharapkan mampu
memenuhi dua unsur kehidupan, yakni pemenuhan terhadap unsur jasmani dan unsur
rokhani. Unsur pertama adalah penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK). Sementara unsur yang kedua adalah pemenuhan terhadap Iman dan Taqwa
(IMTAQ).13
Pendidikan yang di
dalamnya diajarkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang disertai dengan
pendalaman Iman dan Takwa (IMTAQ), diharapkan menghasilkan output yang tidak saja berintelektual tinggi, tetapi memiliki komitmen dan
tanggung jawab terhadap diri, keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Dengan demikian, institusi lembaga pendidikan
Islam14 menjadi pilihan yang tepat.
Modernisasi Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap
manusia. Karenanya, pendidikan hendaknya selalu memiliki orientasi ke depan.
Oleh karena itu, proses pendidikan tidak bisa bersifat statis, tetapi harus
mampu merespons perubahan.15 Dengan
demikian, wajar kalau pendidikan harus selalu didesain mengikuti irama
perubahan.
Tuntutan pembaharuan pendidikan menjadi suatu
keharusan di setiap jenis dan jenjang pendidikan (termasuk di dalamnya adalah
pendidikan Islam). Pembaharuan pendidikan harus selalu mengikuti dan relevan
dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum, proses, fungsi,
tujuan, manajemen lembaga, hingga sumber daya pengelola pendidikan.
Secara mendasar, desain modernisasi16 sistem pendidikam Islam berawal dari
kalangan kaum non Islam17. Pada
awalnya, sistem pendidikan Islam dilakukan dengan sangat sederhana.
Kesederhanaan ini ditunjukkan dengan menggunakan masjid, musholla (dalam bahasa
Jawanya langgar) sebagai tempat belajar, bahkan ada juga menggunakan rumah
kiainya untuk melakukan proses belajar. Karena semakin banyak murid yang
berdatangan, terutama dari luar daerah, dibuatlah sebuah asrama dengan
melibatkan perpaduan di antara ketiganya. Yakni, masjid, asrama, dan rumah kiai
dalam satu lingkungan.
Semua proses pendidikan yang dilakukan, hanya untuk
memperdalam ilmu-ilmu keislaman dan kurikulumnya pun belum bersifat
klasikal/berjenjang secara teratur. Dengan kata lain, sistem dan orientasi
pendidikan di masyarakat Islam masih sangat sederhana (tradisional).
Pada perkembangan berikutnya, modernisasi pendidikan
Islam dimulai dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan
Barat dianggap ideal untuk mengantisipasi dan menyiapkan generasi untuk
menghadapi perubahan zaman yang lebih kompleks.
Pembaharuan pendidikan Islam dilakukan tidak hanya
bertujuan untuk meraih kebahagian ukhrawi, tetapi untuk merespon
tuntutan masyarakat yang semakin kompetitif. Kondisi inilah yang membedakan
sistem pendidikan Islam tempo doeloe dengan sistem pendidikan Islam di masa
sekarang19.
Madrasah Sebagai Institusi Pendidikan Islam
Dari segi bahasa, istilah madrasah
berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar (lembaga pendidikan).20 Dalam Shorter Encyclopedia of
Islam, madrasah diartikan sebagai sebuah nama bagi suatu tempat lembaga
ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam. Mengacu pada istilah itu, madrasah di
tanah Arab ditujukan untuk semua sekolah atau lembaga pendidikan secara umum.
Namun, hal itu berbeda dengan keberadaan istilah madrasah di Indonesia.
Di Indonesia, sebutan madrasah
ditujukan kepada sekolah atau lembaga pendidikan yang memberikan materi agama
Islam lebih banyak dan dilakukan secara sistematis22 ---mulai dari tingkat dasar sampai
menengah.
Cikal bakal keberadaan madrasah tidak
lepas dari lembaga pesantren.24 Namun
demikian sebagian ahli berpendapat bahwa latar belakang tumbuh dan
berkembangnya madrasah di Indonesia disebabkan oleh dua faktor, yakni; pertama
faktor internal Indonesia dan kedua faktor eksternal di luar
Indonesia.25
Faktor internal bisa dilihat dari
sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia, di mana masyarakat Indonesia telah
memiliki norma atau nilai tersendiri dari kepercayaan sebelumnya yang
dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, aliran kepercayaan Animisme, dan aliran
kepercayaan dinamisme. Ajaran/aliran kepercayaan yang sudah berkembang lama itu
telah mengakar dalam pola kehidupan masyarakat.
Ketika ajaran agama Islam menyebar ke
sebagian wilayah nusantara dan dianut oleh sebagian masyarakat setempat, masih
tampak ajaran/aliran kepercayaan lama terbawa ke dalam ajaran agama Islam. Atas
dasar itu, jalur pendidikan menjadi pilihan untuk terus dioptimalkan sebagai
sarana dakwah. Termasuk faktor internal
yang mendorong tumbuh dan berkembangnya madrasah di Indonesia adalah sistem
pendidikan Kolonial pada masa itu.26
Faktor kedua yakni pengaruh luar
negeri. Dalam perjalanan sejarah, pada abad ke-19 sebagian besar dunia Islam
dihadapkan pada kekuasaan penjajah bangsa Barat. Realitas demikian menjadikan
umat Islam terpeta-petak dalam tiga pandangan, yakni; pertama mereka yang menutup diri terhadap modernisasi (menolak
sepenuhnya/anti Barat). Kedua, mereka
yang membuka diri terhadap modernisasi Barat (menerima sepenuhnya peradaban
Barat). Ketiga, mereka
menerima modernisasi Barat dengan penuh selektif.27
Realitas di atas memengaruhi
pendidikan Islam. Akibatnya lahir pola-pola pembaharuan pendidikan Islam ke
dalam sistem madrasah yang merupakan bentuk alternatif sebagai model
pembaharuan pendidikan Islam.28
Paradigma Pembaharuan Pendidikan Islam
Menindaklanjuti perkembangan kebutuhan hidup
masyarakat yang demikian kompleks, setidaknya pendidikan Islam harus melakukan
pembaharuan paradigma. Perubahan paradigma ini diharapkan mampu menghasilkan
manusia yang berkualitas tinggi. Dengan demikian, pendidikan Islam tetap survive
dan tetap diidealkan masyarakat.
Bila dikaji lebih lanjut, paradigma pembaharuan
pendidikan Islam akhir-akhir ini lebih mengarah pada pembaharuan yang bersifat
sistemik. Karena itu, akan dihasilkan suatu construct
hasil pembaharuan pendidikan Islam yang secara konseptual dapat diterima
oleh logika, secara kultural sesuai dengan budaya bangsa, dan secara politis
dapat diterima dikalangan masyarakat luas.
Dalam proses perubahan tersebut, pendidikan Islam
diharapkan mampu mengembangkan dua peran strategis, yakni: pertama, pendidikan Islam bisa mempengaruhi terhadap perubahan
masyarakat; dan kedua, pendidikan
Islam mampu memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi menuju
terwujudnya masyarakat yang berdaya. Dengan demikian, maka pendidikan Islam
secara kultural perlu mempertegas kembali orientasinya.
Reorientasi yang perlu dilakukan adalah perlunya
mempertegas kembali posisi dan peran pendidikan Islam, baik dalam gerak
transformasi sosial, kultural, dan struktural yang demikian cepat dan bersifat
universal seperti sekarang ini.
Dalam konteks global, pendidikan Islam dituntut
merumuskan kembali visi dan misinya31.
Dengan visi pendidikan Islam yang baru, setidaknya akan memberikan inspirasi
dan mendorong seluruh komponen lembaga untuk bekerja lebih giat dan efektif32. Dengan demikian, visi pendidikan
Islam hendaknya dinyatakan dalam kalimat yang jelas, positif, dan realistis.
Kalau visi pendidikan Islam merupakan pernyataan
tentang masa depan, maka misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama
yang akan direalisir. Jadi visi merupakan ide, cita-cita, wawasan, dan
gambaran di masa depan. Karena itu, misi merupakan kongkritisasi visi yang akan
diwujudkan.
Visi dan misi pendidikan Islam tersebut pada
akhirnya akan terus menjadi acuan bagi pimpinan, pendidik, peserta didik, dan
wali peserta didik, sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing untuk
bekerja efektif.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut, ada beberapa hal yang dapat
dismpulkan, yakni: pertama, dalam menghadapi globalisai, dibutuhkan SDM
yang berkualitas tinggi. Kedua, proses pendidikan merupakan cara yang
strategis untuk menciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas, dalam arti
SDM yang menguasai IPTEK dan IMTAQ yang dibutuhkan di era globalisasi dan
liberalisasi. Hal ini akan terwujud salah satunya dengan melakukan revitalisasi
pendidikan Islam. Ketiga, Pendidikan Islam harus mempunyai orientasi ke
depan sehingga dapat mengikuti irama
perubahan. Keempat, pendidikan Islam dianggap tepat untuk mewujudkan SDM
yang handal.
DAFTAR PUSTAKA
Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah, Suarabaya,
Arkola, 1994.
Anshori, Dadang S., Menggagas Pendidikan Rakyat;
Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung, Al
Qopriat Jatinangor, 2000.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan
Modernisasi Menuju Melinium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Deppenas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah; Buku Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta, Departemen Pendidikan
Nasional, 2001.
Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di
Indonesia, Yogyakarta, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999.
Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam,
Jakarta, Gema Insani Press, 1995.
Furchan, Arief, Pengantar Penelitian Dalam
Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, 1982.
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi
Visi dan Aksi, Malang, UMM Press, 1996.
Kasih, Eka Wahyu dan Suganda, Azis, Pendidikan
Tinggi Era Indonesia Baru, Jakarta, Grasindo, 1999.
Kadir, Sardjan dan Ma’sum, Umar, Pendidikan di Negara
Sedang Berkembang, Surabaya, Usaha Nasional, 1982.
Ma’arif, Syafi’i, Pendidikan Islam dan Proses
Pemberdayaan Umat, Jurnal Pendidikan Islam, No.2, Fakultas Tarbiyah UII,
Oktober, 1999.
Madjid, Nurchalish, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah
Potret Perjalanan, Jakarta, Paramadina, 1997.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, Jakarta,
Bulan Bintang, 1980.
Nasrib, Ibrahim, Keteladanan Pendidik Penentu Keberhasilan
Pendidikan Budi Pekerti, Mimbar Depaq Jatim, No. 175, April 2001.
Soewito, Pendidikan Yang Memberdayakan; Pidato
Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam Disampaikan di
Hadapan Sidang Senat Terbuka IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, IAIN Syarif
Hidayatullah, 2001.
Soebahar, Abdul Halim, Reorientasi Pendidikan
Islam di Era Globalisasi, Makalah Diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah Oleh HMJ
T. STAIN Jember, 2000.
____________________, Rekonstruksi Pendidikan
Islam; Wacana Menyongsong Otonomi Daerah, Jurnal Al ‘adalah STAIN Jember,
Vol. 3, Desember 2000.
____________________, Pengembangan Pendidikan
Islam Dalam Iklim Transisi, Materi Diskusi Pendalaman Dalam Upaya
Peningkatan Kinerja Bidang Komisi “E” DPRD Kabupaten Situbondo, November 2001.
Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif Abad 21, Magelang, Tera Indonesia,
1999.
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Wahid, Marzuki, Pesantren Masa Depan; Wacana
Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999.
**Penyaji adalah Dosen di beberapa PT Swasta di Semarang
1. Baca: Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif Abad 21, (Magelang: Tera
Indonesia, 1999), hlm. 52.
2. Globalisasi dan liberalisasi ingin
menciptakan suatu bentuk jaringan internasional. Realitas yang demikian akan
memudahkan hubungan komunikasi baik dibidang politik, sosial, dan budaya seingga
antar-manusia akan semakin lebih dekat,
seolah telah menghilangkan batas wilayah. Kenyataan ini akan
mendatangkan dan memperkuat adanya tiga situasi, yakni: pertama, meningkatnya hubungan
sosial ekonomi secara global. Kedua, persaingan sumber daya antarbangsa
semakin ketat. Ketiga, semakin besar kemungkinan terjadinya eksploitasi
bagi negara maju kepada negara-negara yang belum maju (belum mampu bersaing). Lihat Kasih dan Suganda, Pendidikan
Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 5.
3 Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM
Press, 1996), hlm. 16. Demikian juga penterjemahan dalam Kamus Ilmiah. Kalimat globalisasi memiliki makna gerakan pengglobalan
pada seluruh dimensi kehidupan/perwujudan (perombakan/peningkatan/ perubahan)
secara menyeluruh di segala aspek kehidupan. M. Dahlan al-Bary, Kamus Ilmiah, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm.
203.
4 Sebenarnya gejala globalisasi pada awal
mulanya adalah membuat jaringan bisnis (perdagangan internasional) secara luas,
tanpa mempertimbangkan status di mana dan dari mana mereka berasal. Yang
terpenting arus barang dan jasa mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia dengan
kendali kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa. Bagi bangsa yang memiliki daya
saing, akan mendapat peluang untuk bermain dalam jaringan ekonomi global yang
sangat berarti bagi bangsanya kedepan. Bagi bangsa yang tidak memiliki daya
saing yang memadai hal tersebut akan mendatangkan masalah baru, terutama dalam
perkembangan selanjutnya sebagai bangsa yang memiliki ketergantungan yang cukup
tinggi kepada bangsa lain.
5 Ada dua hal yang bisa dihadirkan oleh
kemajuan teknologi di era globalisasi, di antaranya; pertama, mudahnya
perkembangan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya yang
diakibatkan oleh luasnya dan cepatnya jaringan komunikasi bekerja. Kedua, semakin meningkat (menonjolnya) peranan
satuan-satuan kecil dalam masyarakat.
Baca: Ishomuddin, Op. Cit.,hlm. 17.
6 Ibid.,
hlm. 18.
7 Istilah Sumber Daya Manusia lahir dari
wilayah dan keperluan industri. Industrialisasi, yang kemudian menjadi ideologi
industrialisme, yang lahir dari suatu visi dan versi pandangan yang dominan
mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Maka tekanan makna Sumber Daya
Manusia itu sendiri adalah daya manajerial (software-nya) dan profesionalisme serta ketrampilan
kerja (hardware-nya). Kedua hal tadi ditambah dengan
faktor-faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme industri;
etos kerja, disiplin, semangat untuk maju. Pada akhirnya konsep Sumber Daya
Manusia mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk produktif. Anshori,
Dadang S., Menggagas Pendidikan Rakyat;
Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, (Bandung: Al
Qopriat Jatinangor, 2000), hlm. 50. Bandingkan juga pendapat yang menyatakan
bahwa SDM yang berkualitas adalah kaum intelektual yang mampu menciptakan
gagasan dan mampu menggerakkannya untuk mewujudkan gagasan itu kepada kerja
nyata. Ishomuddin, Op. Cit., hlm. 12.
8 Melalui pendidikan, masyarakat akan
belajar untuk mengerti dan merubah hubungannya dengan alam serta lingkungan
sosialnya secara kontruktif. Kadir dan Ma’sum, Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, (Surabaya: Usaha Nasional,
1982), hlm. 15; Proses pendidikan juga dapat dipahami sebagai pemberi corak
hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Baca: Soewito, Pendidikan Yang Memberdayakan, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
2000), hlm. 1. Bandingkan pula pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan
merupakan upaya strategis dalam membentuk pribadi manusia, khususnya peserta
didik, dan proses pendidikan merupakan bentuk ikhtiar dalam menyiapkan generasi
muda untuk mempengaruhi kehidupan yang akan datang. Lihat: Marzuki Wahid, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan
dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 171;
Bandingkan juga pernyataan Presiden Soeharto ketika membuka Konfrensi Dewan
Mentri-mentri Pendidikan Asia Tenggara (SEAMEC) yang ke-17. Menurutnya,
pendidikan merupakan masalah penting bagi setiap bangsa, lebih-lebih bagi yang
sedang membangun. Lihat: Arief
Furchan, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional,
1982), hlm. vii.
10 Apabila ditelusuri dari segi sejarahnya,
pendidikan merupakan suatu gerakan yang telah berumur sangat tua. Hal ini dapat
dipahami bahwa pendidikan sebenarnya telah dijalankan sejak manusia tercipta di
muka bumi ini. Penguasaan terhadap alam semesta memberikan contoh pendidikan
kepada manusia. Dan dilanjutkan dengan mendidik keluarganya. Baca: Syafi’i Ma’arif, ”Pendidikan Islam dan Proses
Pemberdayaan Umat”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, (No. 2. Fak.
Tar. UII, Oktober 1999), hlm. 6.
11 Kepribadian yang utuh dimaksudkan adalah
kepribadian yang memiliki dua dimensi; yakni kepribadian moral dan intelektual.
12 Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), hlm. 78.
13 Sebagaimana harapan Bangsa Indonesia yang
termaktub dalam UU No. 20 Th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) Bab I Pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara”. Demikian juga pada Bab II Pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
14 Karena bila ditinjau dari tujuan yang
ingin dicapai oleh pendidikan Islam secara umum hendaknya memiliki 3 (tiga)
unsur yang bisa memenuhi fitrah manusia yaitu pemenuhan unsur ragawi (jismiyah), pemenuhan unsur akal (aqliyah), dan pemenuhan unsur spiritual
(ruhiyyah). Baca: Ishomuddin, Op. Cit., hlm. 42. Bandingkan juga hasil konferensi Internasional pertama
tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 bahwa yang hendak dicapai
dalam pendidikan Islam adalah pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh
secara seimbang melalui pelatihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional,
perasaan, dan indra. Karena itu, pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia
dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa,
baik secara individu maupun secara kolektif dan mendorong semua aspek ini ke
arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan Islam
terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT, baik secara
pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi
Menuju Melinium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 57.
15 Sebagaimana disampaikan oleh KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa Penyelenggaraan pendidikan yang relevan bagi
kehidupan masyarakat adalah menjadi tuntutan utama yang tidak bisa dihindari
oleh setiap lembaga pendidikan yang ada, baca: Nurchalish Nurcholis, Bilik-Bilik
Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 122.
16 Perkataan “modern” merupakan suatu
pengertian yang kurang menentu, sehingga dapat digunakan untuk mensifati segala
macam ide, cita-cita, atau keinginan-keinginan. Istilah “modernisasi” lebih
sering digunakan untuk menunjukkan pertumbuhan pemikiran atau penemuan-penemuan
yang serba rasional. Dalam pandangan masyarakat Barat, modernisasi mengandung
arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat
istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi
modern.
17 Bisa disimak di dunia Islam ketika
pertama kali Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir (manyoritas umat Muslim),
ia memperkenalkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai
oleh bangsa Eropa kepada kaum Muslimin. Dan, ketika Mesir di bawah pimpinan
Muhammad Ali Pasya, dia mengirimkan banyak pemuda-pemuda Mesir untuk belajar ke Eropa guna mempelajari
berbagai macam ilmu pengetahuan yang nanti diharapkan bisa dikembangkan guna kesejahteraan
dan kemakmuran Mesir. Dari sini muncul tokoh pembaharu Mesir (khususnya bagi
dunia Islam) seperti Al Tahtawi yang pada akhirnya diikuti oleh tokoh-tokoh
pembaharu Islam lainnya seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Sayyid Amir Ali, Iqbal, dan lain-lainnya berusaha melakukan pembaharuan
di berbagai bidang kehidupan lewat gerakan diplomatis maupun gerakan
pemberdayaan,. Baca: Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran
dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
19 Faisal, Yusuf Amir, Reorientasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 65.
20 Hal yang sama juga
disampaikan oleh Sumardi bahwa istilah madrasah dalam bahasa Arab ditujukan
untuk lembaga sekolah atau tempat belajar, Sumardi Mulyanto, Sejarah Singkat
Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975, (Djakarta: Dharma Bhakti, 1978),
hlm. 49. Baca
juga Ibrahim Anis, et,al, Al Mu’jam al Wasit, (Kairo: al Ma’arif, 1972),
hlm. 280.
22 Sistematisisasi
penyelenggaraan madrasah di Indonesia karena pada masa awal-awal perkembangan
dan penyebaran agama Islam, sistem pengajarannya pun diselenggarakan secara
tradisional. Tidak memiliki tata aturan yang jelas/baku, baik dari segi tempat
pelaksanaan, kurikulum, ukuran penguasaan/ketercapaian/keberhasilan bagi para
santri. Dalam artian pelaksanaan tidak dilakukan dengan sistematis, sehingga
menjadi tidak teratur. Bahkan penyelenggaraan pengajaran ini hanya dilakukan
secara monoton, yakni di masjid-masjid, mushalla atau surau/langgar, ataupun
bisa jadi di tempat rumah para kiai atau ustadz.
24 Lahirnya lembaga madrasah
dipandang sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan pesantren yang dimodifikasi
menurut model penyelenggaraan sekolah-sekolah umum dengan sistem klasikal. Di
samping memberikan pengetahuan agama, diberikan juga pengetahuan umum sebagai
pelengkap. Baca: M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal;
Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakata: Pustaka Pelajar,
2005). Baca juga Abdul Halim Soebahar, Bagaimana Memahami Kurikulum SMTP dan
SMTA, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1993), hlm. 137-141. Pendapat senada disampaikan oleh Fatah Syukur
bahwa madrasah di Indonesia dianggap sebagai perkembangan lebih lanjut atau
pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau. Fatah Syukur, Dinamika
Madrasah dalam Masyarakat Industri, (Semarang: PKPI2 dan PMDC, 2004), hlm. 32. Dalam pandangan
Hasbullah, kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya
dilatarbelakangi oleh usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah
suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh
kesempatan yang sama dengan sekolah umum lainnya. Baca: Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet.
ketiga, (Jakarta: LSIK dan Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 162-163.
25 Baca Fatah Syukur, Op.
Cit., hlm., 32-35, dan Hasbullah, Op. Cit., hlm. 163-170.
26 Diakui oleh Nurcholish Madjid
bahwa modernisasi paling awal dari sistem pendidikan Islam di Indonesia bukan
bersumber dari kalangan Muslim, tetapi justru diperkenalkan oleh pemerintahan
kolonial Belanda. Dengan model sistem pendidikan modern ini pada gilirannya mempengaruhi
sistem pendidikan Islam. Usaha pemerintah kolonial Belanda melalui politik etis/
politik pendidikan dan direspons oleh kalangan umat Islam. Pesatnya lembaga
pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda kemudian diimbangi
dengan berdirinya madrasah-madrasah, yang dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala
Belanda yang hanya diberi tambahan pelajaran keagamaan sebagai bentuk ciri
khusus pendidikan Islam. Baca: Nurcholish Madjid, OP. Cit., hlm. xii.
27 Hasbullah, Op. Cit., hlm. 165-166. Hal yang sama juga disampaikan oleh A. Qodri Azizy
bahwa munculnya dominasi kekuasaan bangsa Barat atas bangsa Timur (Dunia Islam)
menjadikan umat Islam memiliki 3 sikap politis yang berbeda, yakni: Pertama,
sebagian Muslim merespons secara berbalikan, yaitu dengan sikap anti Barat. Kedua,
sebagian Muslim yang lain terpengaruh oleh arus peradaban Barat dengan
munculnya modernisasi dan sekulerisasi. Hal ini berakibat pada anggapan
pemisahan antara agama dan politik, antara masalah ukhrawi dan duniawi.
Kelompok ini menjadikan Barat sebagai kiblat dan role model dan
bahkan dijadikan sebagai way of life. Ketiga, sebagian dari
mereka bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti Barat. Konsekuensi
dari sikap ketiga ini, diperlukan modifikasi agar tidak bertentangan prinsip Islam.
Kelompok yang ketiga ini menganggap Barat tidak secara otomatis sebagai musuh
dan dalam waktu bersamaan tidak pula menganggap Barat sebagai role model yang
hebat. Bagi mereka, Barat juga memiliki unsur kebaikan, sehingga mereka tidak
keberatan untuk menerima eclecticism, selama tidak harus mengorbankan
agama. Namun demikian, dalam sisi lain mereka juga sadar dan perlu kejelian
untuk membaca secara tepat dan cepat kejelekan-kejelekan yang muncul sebagai
bentuk kekurangan yang dimiliki oleh Barat. Dan, pada bagian ini harus mampu
disikapi secara kritis serta mendalam pada batas tertentu untuk di tolak. Lihat: A. Qodri Azizy, Melawan
Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya
Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 28.
28Pendapat lain menyatakan bahwa
madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari lembaga pendidikan umat
Islam, seperti dayah, surau, rangkang, dan pesantren yang tumbuh subur
sejak abad ke 13. Baca: M. Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II, Edisi Empat, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1984), hlm. 52.
31 Abdul Halim Soebahar, Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Iklim
Transisi, (Situbondo, Materi Diskusi Pendalaman dalam Upaya Peningkatan
Kinerja Bidang Komisi E DPRD Kabupaten Situbondo, November 2001), hlm. 2.
32 Visi pada umumnya dirumuskan dalam
kalimat yang filosofis dengan memberikan inspirasi kepada misi sebagai
realisasi dari visi. Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku Konsep dan
Pelaksanaan, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar