DIMENSI ALLAH
(Maha Guru Yang Sejati)
A.
Latar Belakang
Dalam perbincangan teologi,
Allah SWT merupakan pusat dari segalanya.[1]
Secara realistik, alam raya dengan segala macam isinya adalah wujud
ciptaan-Nya. Sebagaimana dalam Al Qur’an surat Ibrahim ayat 19 telah dijelaskan
bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah SWT. Maka, wujud realitas
yang ada merupakan bentuk yang tidak dapat disangsikan kebenaran-Nya oleh siapa
pun. Demikian juga, sifat keagungan Allah yang salah satunya sebagai pendidik
dari para Nabi dan pengajar bagi umat manusia ---khususnya kejadian Nabi Adam
dengan segala kemampuannya. Kenyataan itu, mempertegas bahwa sifat
keagungan-Nya juga menjadi sumber segala sumber ilmu pengetahuan.[2]
Apabila demikian, berarti
idealitas bimbingan dan sosok Maha Guru yang tepat adalah Allah SWT. Sekarang
pertanyaannya, bagaimana caranya Allah mampu menjadi pembimbing dan Maha Guru
bagi umat manusia pada umumnya? Pertanyaan itu seolah sangat mustahil untuk
didapatkan. Dalam konteks rasionalitas, memang sangat sulit diwujudkan. Namun
dalam kajian tasawuf, jika manusia ingin meraih derajat kesempurnaan (al-insan
al kamil/ manusia yang sempurna) atau dalam ungkapan lain disebut ma’rifat
---dimana dimensi ketuhanan (uluhiyyah) teraktualisasikan secara
penuh---, hendaknya manusia harus melewati sebuah pintu, yang dikenal dengan
latihan (lelaku) spiritual.[3]
Latihan spiritual (riyadhah)
tersebut, akan menggantarkan manusia pada usaha mendekatkan diri dengan
Tuhannya, kemudian sampai pada tahab yang disebut tajalli,[4]
yakni; tersikapnya hijab antara seorang hamba dengan Allah.
Sebelum masuk pada tahab tajalli ---dalam kajian tasawuf--- ada tahab pertama
yang disebut takhalli, yakni; pengosongan diri dari kesadaran
nilai-nilai yang secara psikologis melingkupinya. Kemudian tahab kedua disebut tahalli,
yakni; pengisian diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji dan diorientasikan
hanya untuk-Nya. [5]
Apabila kedua hal tersebut
telah dilalukan oleh manusia, bukan tidak mungkin hijab yang menghalangi
hubungan manusia dengan Allah akan hilang.[6]
Maka pada titik akhir sebagai buah atas hasil riyadlahnya, dengan
mudahnya manusia senantiasa mendapat petunjuk dan hidayah dalam kehidupannya ---meskipun kadar itu tidak
seperti yang di dapat Nabi Muhammad SAW. Petunjuk dan hidayah itu bukan dalam
pengertian sempit. Artinya hanya sebatas pada hal-hal yang bersifat uhkrowi.
Boleh jadi, hidayah dan petunjuk itu berupa ilmu pengetahuan yang sifatnya duniawi.
Karena --- mengingat sifat-sifat Allah Yang Serba Maha--- demikian Maha luas
pengetahuan Allah, yang bahkan apabila ditulis dengan menghabiskan air laut
sebagai tintanya, maka pengetahuan Allah demikian Maha Luasnya tidak akan
pernah habis.[7]
Untuk itu, spiritualitas
adalah puncak pengalaman (peak experiences) manusia yang dapat juga
dikatakan sebagai kesadaran akan satu kesatuan antara alam mikro-kosmos,
makro-kosmos dan supra-kosmos.[8]
Sebagai contoh bisa dipahami sosok Nabi Muhammad SAW yang memiliki kualitas
spiritualitas dalam catatan sejarah umat manusia.[9]
Beliau, dengan aktivitas ber-khalwah-nya di Goa Hira secara total telah mencabut
kesenangan dunia dan kemudian mengembalikan seluruh jiwanya kepada Tuhan untuk memperoleh
pencerahan spiritual ditengah kondisi ketidak beradaban masyarakat Arab
yang terkenal dengan sebutan masyarakat jahiliyah. Proses itu lambat
laun menghantarkan pada terbukanya qolbu (Bahasa Pencerahan diganti
terbukanya qolbu/ penyinaran) manusia berupa kesadaran tentang hakekat
kebenaran. Dari sini, kemudian Nabi SAW dapat secara mudahnya ber-tajalli dengan
Allah SWT. Bahkan daya spiritualitasnya telah mencapai puncak kualitasnya
dengan perwujudan di malam mi’raj Beliau.
[1]
Disampaikan bahwa pengalaman yang paling esensial bagi seorang Muslim ialah
sikap bertauhid kepada Sang Khaliq. Baca Chumaidi Syarif Romas, Wacana
Teologi Islam Kontemporer, (Yogyakarta :
Tiara Wacana, 2000), 17.
[2]
Dalam Al qur’an banyak ayat yang menjelaskan keikutsertaan Allah untuk
membimbing umat manusia diantara; QS. Al Baqarah: 269, QS. Asy Syams: 8,9,10,
Qs. Al Anbiya: 80, QS. Al A’raf: 26, QS. Yusuf: 6, QS. Al Kahfi: 65, QS. Al
Baqarah: 31 dan lain-lain.
[3]
Baca Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi; Telaah Atas
Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002), viii. Istilah spriritualitas dalam Islam didefinisikan
sebagai sebuah proses yang menghantarkan salah satu unsur manusia yang transendensi
dan imanensi kepada realitas Illahi. Untuk itu spiritualitas Islam senantiasa
identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu dan mengenali
Yang Satu. Yakni Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nyayang melampaui segala
manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam Al Qur’an
dengan nama Allah. Baca Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam; Manifestasi, Terj. Tim Mizan, (Bandung : Mizan, 2003), xxiii-xxiv.
[4]
Dalam terminologi kaum Sufi, istilah tajalli berarti proses pengisian
ruh/jiwa manusia dengan pancaran cahaya Illahi. Min Valiuddin, Zikir dan
Kontemplasi dalam Tasawuf, Cet. Keenam, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), 251.
[5]
Baca Amin Syukur dan Fathimah Usman, Insan Kamil, Cet: II, (Semarang : Al Muhsinun,
2006), 6.
[6]
Baca Fariduddin Al Attar, Warisan Para Wali, Terj. Anas Mahyuddin,
(Bandung: Pustaka, 1983), 2.
[7]
Baca di dalam Al qur’an surat
Al Khahfi: 109.
[8]
Syafrodin Halimi, Spiritualitas
Muhammad SAW, (Semarang :
Putra Media Tama, 2004), 37.
[9]
Baca Abu al Wafa’ al Ghanimi al Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman; Suatu
Pengantar tentang Tasawuf, (Bandung: Pustaka, 1985), 39-46. Disampaikan
oleh Fariduddin Al Attar bahwa dalam kenyataan Nabi Muhammad diangkat sebagai
Rasul Allah merupakan realitas tersendiri dari sebuah prose perjalanan
spiritual yang tidak bisa disangkal. Baca Fariduddin Al Attar, Warisan Para
Wali, Terj. Anas Mahyuddin, Ibid, 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar