BELENGGU
MASALAH PENDIDIKAN NASIONAL
Terkait
dengan mutu pendidikan Indonesia UNDP pernah mengeluarkan data tentang yang
menjelaskan bahwa dari 173 negara di dunia, pendidikan Indonesia melorot
ke peringkat 107 dari urutan ke-105 pada
tahun sebelumnya. Parahnya lagi ada negara-negara yang tingkat pendapatannya di
bawah Indonesia malah peringkatnya lebih baik dari Indonesia.
Sementara
itu di dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional pada (Propenas)
Bab VII masalah pembangunan pendidikan di bagian umum menyebutkan bahwa International
Educational Achievement (IEA) menunjukkan data bahwa siswa SD di Indonesia
berada pada urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sedangkan untuk Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), studi untuk kemampuan Matematika siswa SLTP
Indonesia hanya berada di urutan ke-39 dari 42 negara, dan untuk kemampuan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) hanya berada pada urutan ke-40 dari 42 negara peserta
studi.
Data
tersebut menunjukkan betapa lemahnya pendidikan di negara ini. Djalal (2001)
menyatakan “masalah pendidikan di Indonesia selama ini memang masih belum
menemukan rumusan yang tepat dalam memodifikasi sistem pendidikan Indonesia,
baik bersifat prinsip maupun wawasan idealisme kedepan.
Pada
hakikatnya, struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah kita
laksanakan berdasarkan pada pembaharuan pendidikan yang lahir dari Amerika
Serikat pada tahun 1950-an yang hanya menitikberatkan pada metode agar siswa
menguasai basic skills dan mata pelajaran yang diajarkan. Sementara
implementasi konsep pendidikan tersebut di negara berkembang akan menghasilkan
pendidikan yang tidak sensitif terhadap ide-ide baru dan dinamika masyarakat,
khususnya perkembangan pada dunia kerja (Zamroni, 2000: 24).
Di
sisi lain, saat ini masyarakat Indonesia tengah berada di abad 21, abad yang
disebut-sebut sebagai abad globalisasi yang ditandai dengan begitu cepatnya
perubahan, bahkan banyak orang yang tidak mampu mengikuti dinamika perubahan di
zaman globalisasi ini. Tentunya, globalisasi harus disambut dengan kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni. Jika tidak, maka bangsa ini akan
karam di tengah-tengah percaturan peradaban dunia yang kian kompetitif.
Krisis
moneter yang berawal sejak tahun 1997 dan krisis kepercayaan yang tidak kunjung
terselesaikan menjadi bukti bahwa negara kepulauan ini tidak memiliki sumber
daya manusia yang mampu menghadapi tantangan zaman. Ini sekaligus mempertegas
bahwa pengembangan SDM yang tangguh, terampil dan marketable menjadi sebuah
keharusan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Tilaar berpendapat bahwa
pembangunan di negara-negara berkembang dewasa ini, termasuk Indonesia, sedang
memasuki masa-masa yang sulit akibat terjangan krisis moneter. Tentunya kita
bisa mengambil ibrah dari pengalaman pahit ini dan mempekuat keyakinan
kita bahwa tolok ukur utama keberhasilan pembangunan adalah terwujudnya SDM
yang berkualitas. SDM seperti inilah yang dibutuhkan di abad 21.
Pertanyaannya
kemudian, apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia? Jawabannya adalah
melahirkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan profesional. Untuk
mewujudkan hal ini diperlukan proses yang harus ditata sedemikian apik. Jadi,
pendidikan memang dijalankan sebagai proses untuk membentuk dan mengembangkan
SDM yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Artinya, semakin
berkualitas proses dan out put pendidikan, maka dengan sendirinya masyarakat
akan mampu menghadapi perubahan zaman. Untuk itu, lembaga pendidikan
diharapkan:
1) mampu
menggerakkan pikiran anak didik, 2) mampu mematangkan emosi anak didik, 3)
mampu melatih anak didik untuk melihat permasalahan hidup dan berlatih
memecahkan masalah itu dengan benar, 4) bersifat kontekstual sesuai dengan
iklim akademik, 5) berorientasi mengembangkan potensi anak didik secara utuh,
dan 6) menghasilkan budaya belajar dan budaya ilmu (Djohar, 1999).
Al-Attas mengemukakan,
seandainya saya ditanya tentang apa itu pendidikan, saya akan menjawab bahwa
pendidikan adalah suatu proses pemahaman sesuatu ke dalam diri manusia.
Karenanya perlu disadari bahwa dalam setiap proses pendidikan, utamanya melalui
lembaga sekolah, telah memunculkan berbagai bentuk penemuan baru yang berguna
bagi kepentingan umat manusia. Untuk mencapai kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan dan teknologi mesti menggunakan instrumen pendidikan. Sehingga
tidak berlebihan bila banyak orang yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan
prasyarat kemajuan suatu bangsa.
Karakter ilmu pengetahuan dan teknologi di
suatu negara pada kenyataannya bisa dijadikan tolok ukur mekanisme proses
pendidikan yang dijalankan. Apabila proses pendidikan suatu negara dikelola
dengan profesional, maka ilmu pengetahuan dan teknologi di negara itu akan
berkembang pesat. Terbukti, hampir di seluruh negara maju, proses pendidikannya
selalu dikelola dengan profesional, sehingga out put proses pendidikan tersebut
benar-benar berkualitas, khususnya dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (Ibrahim, 2002: 32).
Pendidikan
dan penguasaan Iptek merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, dalam
prosesnya, lembaga-lembaga pendidikan formal memiliki kecenderungan selalu
diarahkan untuk mencapai penguasaan Iptek. Sebaliknya, untuk menguasai Iptek
secara maksimal perlu wadah yang pas, yaitu pendidikan. Di lembaga pendidikan
itulah peserta didik dilatih, diuji dan digembleng sesuai dengan tujuan negara
dan visi misi lembaga yang bersangkutan. Salah satu indikator kesuksesan proses
pendidikan di suatu lembaga adalah penguasaan anak didiknya terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Indikator
ini akan tercapai apabila lembaga pendidikan itu dikelola dan ditata dengan
baik. Pengelolaan pendidikan yang tidak profesional akan berimplikasi pada
inefektifitas dan inifesiensi proses pendidikan. Walaupun dengan dana minim,
lembaga pendidikan wajib dikelola sebaik mungkin. Memang pada awal-awal
kemerdekaan hingga runtuhnya rezim Orde Baru, pengelolaan pendidikan di
Indonesia diwarnai dengan sistem top down, sehingga semua proses
pendidikan dikendalikan oleh pusat. Daerah dan sekolah hanya berbuat sesuai
dengan petunjuk dan pedoman yang telah digariskan oleh pusat. Pengelolaan
pendidikan dengan sistem top down ini tentu tidak bisa diterapkan di era
sekarang. Manajemen pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekarang adalah
manajemen yang terbuka dan desentralistik. Dengan demikian, ruang partisipasi
masyarakat dalam proses pendidikan akan semakin luas.
Menurut
Abdurrahman Mas’ud (2003), topik desentralisasi pendidikan paling tidak
mengajak kita untuk mendiskusikan poin-poin berikut: pertama, deregulasi
pendidikan secara menyeluruh sesuai dengan tuntutan zaman; kedua, diberikan
kepercayaan yang lebih besar kepada masyarakat untuk bisa berperan secara
konkret dalam kegiatan pendidikan; dan ketiga, peningkatan dana
pendidikan dalam rangka pemerataan dan peningkatan kualitas.
Desentralisasi
pendidikan ini didasarkan pada UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 2001. Artinya, dengan sistem desentralisasi pendidikan,
pemerintah daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar
daripada pusat dalam pengelolaan pendidikan. Daerah memiliki wewenang yang luas
untuk menentukan arah pendidikan di daerahnya masing-masing, tentunya dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi yang dimiliki daerah tersebut.
Ini
jelas berbeda dengan sistem yang berjalan di masa Orde Baru. Sistem pendidikan
ketika itu berdasar kepada aturan-aturan baku (untuk tidak mengatakan kaku)
dari pemerintah pusat. Sistem pendidikan ini cenderung dipaksakan. Mengapa
demikian? karena aturan-aturan pendidikan yang ada mau tidak mau harus
dijalankan oleh daerah. Tidak peduli apakah peraturan dan kebijakan tersebut
sesuai dengan kebutuhan daerah atau tidak. “Pokoknya” harus dijalankan. Titik.
Di
era desentralisasi, dunia pendidikan mengalami perubahan paradigma. Paradigma
di masa Orde Baru, semua serba tersentral dan terstandarisasi, sekarang
masing-masing lembaga pendidikan lebih diberi kekuasaan secara otonom dalam
mengelola pendidikan. Dengan adanya otonomi daerah, diharapkan daerah-daerah
yang ada mampu mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan potensi dan
kebutuhan daerahnya sendiri. Ini tidak berarti bahwa dengan adanya sistem
desentralisasi, daerah-daerah tersebut tidak peduli terhadap tujuan pembangunan
nasional. Menurut hemat saya, desentralisasi itu justru untuk mempercepat
tercapainya tujuan nasional. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan di daerah
merupakan bagian integral dari tujuan pembangunan nasional. Dengan otonomi
daerah ini, masyarakat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terlibat
langsung dalam pembangunan masyarakat dan daerahnya sendiri, serta bangsa
Indonesia secara keseluruhan.
Saat
ini pemerintah terus berjuang untuk menyukseskan program wajib belajar (wajar)
9 tahun. Sudah barang tentu pelaksanaan program ini akan berjalan optimal
apabila diserahkan kepada daerah. Tidak berarti bahwa pemerintah pusat lantas
lepas tangan terhadap program tersebut, tetapi pemerintah pusat dan pemerintah
daerah beserta semua elemen masyarakat bahu membahu untuk menyukseskan program
tersebut.
Ini
terkait dengan peliknya masalah pendidikan di Indonesia. Dalam UU No. 25 tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional, pada Bab VII mengenai masalah
pendidikan disebutkan bahwa saat ini pendidikan nasional masih dihadapkan pada
beberapa permasalahan yang menonjol, antara lain: 1) masih rendahnya pemerataan
dalam memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya kualitas dan relevansi
pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu
pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi. Realitas itu menunjukkan masih
rapuhnya sistem pendidikan kita. Hingga saat ini masalah ini masih belum
di(ter)selesaikan.
Di
sisi lain, pada tataran praksis menginginkan sebuah idealitas hasil pendidikan.
Sebab, hasil pendidikan yang ada saat ini masih seperti ikan jauh dari
panggang. Karena itu, kita dituntut untuk merekonstruksi dan mereformulasi
sistem pendidikan yang ada saat ini. Tanpa itu jangan berharap Sumber Daya
Manusia (SDM) bangsa Indonesia mampu bersaing di kancah global. Adapun kunci
utama untuk menyukseskan upaya tersebut adalah peningkatan sistem pendidikan di
Sekolah Dasar. Sekolah Dasar merupakan batu loncatan untuk melahirkan SDM
bangsa yang berkualitas. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa keberhasilan
pendidikan dasar merupakan pertanda kesuksesan menciptakan SDM yang
berkualitas, sebaliknya kegagalan dalam pendidikan dasar akan menjadi petaka
dalam proses pembangunan SDM bangsa Indonesia kedepan.
Setiap
orang pasti mendambakan dan turut berupaya melahirkan generasi penerus yang
mampu menjadi aktor dalam percaturan dunia dan ditopang dengan kepribadian yang
baik, sehingga mampu menyeimbangkan antara kepentingan duniawi dan kebutuhan
ukhrawi, berguna untuk dirinya sendiri di satu sisi dan berguna untuk
masyarakat dan bangsa di sisi lain.
Langkah
awal untuk mewujudkan hal itu adalah kita harus sadar sesadar-sadarnya bahwa
pendidikan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan sembari diiringi dengan
upaya-upaya konkret untuk membenahinya. Artinya, membenahi pendidikan Indonesia
bukan hanya tanggungjawab pemerintah semata, melainkan kewajiban semua
masyarakat Indonesia. Sudah berang tentu tanggung jawab dan kewajiban pada
masing-masing orang berbeda-beda, sesuai dengan posisi dan kemampuan dirinya.
Pintu partisipasi masyarakat dalam setiap proses pendidikan kini sudah terbuka
lebar-lebar seiring munculnya sistem desentralisasi pendidikan.
Sistem
desentralisasi pendidikan memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk
mengatur proses pendidikan sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah. Lebih
jauh lagi, desentralisasi pendidikan juga memberikan kewenangan kepada daerah
untuk mengangkat guru sesuai kebutuhan sekolah. Pemerintah pusat dalam hal ini
hanya menjadi pengarah dan pengontrol hal-hal yang dianggap pokok saja. Dengan
adanya desentralisasi ini diharapkan kekhasan daerah diperhatikan, dan
pendidikan dapat lebih disesuaikan dengan kebutuhan suatu daerah (Suparno,
2002: 19-20).
Jadi,
bisa ditegaskan bahwa desentralisasi pendidikan, dengan segala turunannya,
hendaklah tidak diterjemahkan sebagai upaya “cuci tangan” semata dari
pemerintah pusat. Desentralisasi pendidikan juga jangan dijadikan ajang
coba-coba. Kelahiran kembali sistem pendidikan nasional yang baru ini hendaknya
dijadikan titik pencerahan, keberdayaan, dan kejayaan pendidikan Indonesia,
bukan sebaliknya malah menjadi awal kehancuran yang lebih dahsyat dari sistem
pendidikan sebelumnya.
Disinilah
pendidikan berbasis komunitas menemukan signifikansinya. Dengan adanya sistem
desentralisasi pendidikan, sangat memungkinkan bagi suatu masyarakat untuk
menciptakan corak dan warna pendidikan sesuai dengan komunitasnya sendiri.
Sebab tidak mungkin sebuah proses pendidikan terlepas dari basis masyarakatnya.
Proses pendidikan mesti “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk
masyarakat.” Karena itu, pendidikan masa depan yang paling ideal adalah
pendidikan yang segala prosesnya melibatkan masyarakat setempat.
Pendidikan
berbasis komunitas merupakan salah satu platform penting dalam reformasi sistem
pendidikan nasional. Tujuan pendidikan berbasis komunitas menurut Malik Fadjar
dkk (dalam Azra, 2002) adalah: pertama, membantu pemerintah dalam
memobilisasi Sumber Daya Manusia (SDM) setempat dan meningkatkan peranan
masyarakat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi pendidikan di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan.
Kedua,
mendorong
berubahnya sikap dan persepsi masyarakat terhadap rasa kepemilikan lembaga
pendidikan, tanggungjawab, kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial
budaya. Selama ini masyarakat terkesan acuh tak acuh terhadap lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan diasumsikan sebagai tanggungjawab pemerintah dan
orang-orang yang kompeten di dalamnya. Padahal, jika dipikirkan secara jernih,
pendidikan adalah milik masyarakat. Oleh karenanya masyarakat diharapkan bisa
berbuat banyak dalam kegiatan-kegiatan pendidikan.
Ketiga, membuka partisipasi masyarakat
dalam mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan, dan
mengganti peran sekolah; dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi; pembukaan
kesempatan yang lebih besar dalam memperoleh pendidikan; peningkatan efisiensi
manajemen pendidikan untuk menempuh pendidikan baik pada tingkat dasar,
menengah dan tinggi.
Jika
dirunut ke belakang, pendidikan berbasis komunitas sebenarnya telah lama
dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia, bahkan bisa dikatakan setua
sejarah perkembangan Indonesia di bumi Nusantara. Hal ini dapat dilihat dari
kenyataan, bahwa hampir secara keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan Islam
sejak dari rangkang, dayah dan meunasah (Aceh), surau (Minangkabau), pesantren
(Jawa), dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya didirikan dan dikembangkan
oleh masyarakat sendiri. Menurut Azyumardi (2002), kenyataan ini tidak begitu
mengherankan, karena pendirian lembaga-lembaga pendidikan itu berkaitan dengan
semangat keagamaan untuk menyediakan pendidikan Islam guna mendidik putra-putri
umat Islam.
Paparan
historis di atas menunjukkan bahwa gagasan pendidikan berbasis komunitas telah
lama diterapkan di Indonesia, walaupun istilah yang dipakai ketika itu bukan community-based
education. Artinya, upaya penerapan pendidikan berbasis komunitas yang saat
ini tengah diwacanakan tidak akan menemukan hambatan berarti. Dengan
keterlibatan masyarakat yang lebih luas dalam kegiatan pendidikan, idealnya
akan menjadikan pendidikan nasional lebih baik dari sebelumnya. Pendidikan di
Indonesia saat ini tidak menunjukkan dinamika yang berarti (untuk tidak
mengatakan gagal), menurut sejumlah kalangan, salah satu penyebabnya adalah
karena pendidikan nasional telah tercerabut dari basis komunitasnya. Untuk itu,
ke depan pendidikan berbasis komunitas diharapkan memberikan hasil yang lebih
optimal.
Taruhlah
pendidikan di daerah X, tentu akan berjalan lebih efektif dan efisien apabila
proses pendidikannya memang berangkat dan melibatkan masyarakat setempat. Sebab
orang diluar komunitas masyarakat tersebut tidak tahu dan tidak akan tahu
menahu perihal pendidikan di daerah itu. Yang tahu pasti dan yang
berkepentingan adalah masyarakat sekitarnya. Untuk itu memang sudah seharusnya
apabila masyarakat terlibat atau dilibatkan dalam setiap proses pendidikannya.
Ini tidak berarti bahwa proses pendidikan kemudian berjalan eksklusif atau
tidak perlu interaksi dengan pihak-pihak diluar masyarakat itu. Walau
bagaimanapun interaksi dengan pihak lain merupakan sesuatu yang tidak bisa
dihindari. Dan pendidikan akan semakin berkembang apabila jaringan yang
dibangun oleh lembaga yang bersangkutan cukup luas. Sebab, suatu masyarakat
pasti memiliki kekurangan yang perlu uluran tangan orang lain.
Dari
sisi tenaga pendidik, misalnya, bisa jadi institusi pendidikan di suatu
masyarakat tidak memiliki tenaga pendidik profesional untuk mata pelajaran
tertentu yang berasal dari daerahnya sendiri. Padahal untuk menghasilkan out
put pendidikan yang bagus salah satunya melalui tenaga pendidik yang
berkualitas dan profesional. Dengan demikian, institusi pendidikan tersebut
harus menghadirkan tenaga pendidik dari daerah lain. Begitu juga dengan
dimensi-dimensi yang lain. Pintu kerja sama tidak pernah tertutup, melainkan
selalu terbuka lebar-lebar. Pendek kata, pendidikan berbasis komunitas tidak
berarti bahwa proses pendidikan tersebut menutup peluang kerja sama dengan
pihak-pihak lain. Kerja sama selalu dibutuhkan kapan saja dan dengan siapa
saja.
Selanjutnya,
masalah dana pendidikan yang sering menyita banyak pikiran. Dana merupakan
salah satu syarat yang ikut menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan
bermutu (Mastuhu, 2003). Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikan nasional
rendah karena dana yang sangat minim. Dalam forum-forum ilmiah, seperti
seminar, lokakarya, sarasehan, dan lain-lain, acapkali yang menjadi sorotan
utama adalah belum terealisasinya amanat konstitusi mengenai anggaran 20% dari
APBN (atau APBD) untuk pendidikan. Pertanyaannya kemudian, benarkah jika jika
dana telah terpenuhi, maka dengan sendirinya pendidikan bermutu akan dicapai?
Penyelanggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana. Tanpa adanya dana
tidak dapat diselenggarakan pendidikan. Namun, dana bukan satu-satunya unsur
yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan mutu sebagaimana
yang kita inginkan.
Dengan
pendidikan berbasis komunitas, dana pendidikan tampaknya bukan masalah berarti.
Bila kegiatan pendidikan benar-benar melibatkan masyarakat, biaya
penyelenggaraan pendidikan akan tertalangi. Terbukti, pendidikan pesantren dan
pendidikan swasta bisa eksis, walaupun tanpa adanya bantuan dana yang cukup
berarti dari pemerintah.
Yang
tidak kalah pentingnya untuk diuraikan adalah manajemen yang bagus. Dalam
banyak hal, bangsa kita mengadopsi atau meniru sejumlah konsep yang berhasil
diterapkan di negara lain. Tetapi, entah kenapa, konsep yang bagus itu
tidak bisa diterapkan di Indonesia. Usut punya usut, persoalannya ternyata
bukan karena perbedaan letak geografis, iklim atau tradisi antara negara di
mana konsep itu diadopsi dengan negara kita. Yang menjadi kendala utama adalah
“mismanagement”. Sebagus apapun konsep yang dibangun, tetapi tidak
dikelola dengan benar, maka hasilnya akan nihil. Karana itu, gagasan pendidikan
berbasis komunitas wajib ditopang dengan pengelolaan yang baik terhadap sumber
daya-sumber daya yang dimiliki.
Di
sinilah urgensi seorang leader dan manager yang menjadi driver
dalam mengantarkan proses pendidikan itu ke arah yang di cita-citakan. Dua
kata sekilah memiliki arti yang sama, tetapi secara substansi keduanya
mengandung makna berbeda. Soerang leader tahu dan mampu memilih bola
yang harus dijemput, sedangkan seorang manager tahu bagaimana mengelola
bola dengan benar.
Dari
sini dapat dilihat bahwa pendidikan berbasis komunitas menjanjikan prospek yang
cerah dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia. Tentunya, prospek itu bisa
terwujud apabila semua stakeholder yang ada dalam masyarakat sama-sama
proaktif untuk menciptakan pendidikan baik. Keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat
seperti guru, dosen, seniman, pengusaha, pemerintah, pemuka agama, LSM-LSM dan
unsur-unsur lainnya mutlak diperlukan. Sangat tidak mungkin sebuah pendidikan
hanya ditangani oleh dosen atau guru saja. Sama tidak mungkinnya apabila
pendidikan dipasrahkan kepada pemerintah atau pengusaha saja. Sekali lagi,
semua unsur tersebut harus bersama-sama bekerja keras untuk meningkatkan
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar