Telaah Tujuan
PENDIDIKAN PESANTREN
Berbeda dengan lembaga pendidikan lain
memiliki tujuan yang jelas dan dirumuskan dalam visi dan misi secara tegas, namun
pada lembaga pendidikan pesantren (terutama pesantren lama atau dikenal dengan
“pesantren tradisional”) umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan
tujuan pendidikannya. Hal ini terbawa oleh sifat kesederhanaan pesantren yang
berdirinya di dorong atas dasar “ibadah” karena semata-mata mecari ridha Allah
SWT. Aktivitas kiai untuk berkewajiban mengajar dan para santri dituntut untuk
belajar. Perbuatan yang demikian tidak dihubungkan dengan lapangan penghidupan
atau jabatan tertentu yang masuk kategori dalam struktur birokrasi kepegawaian.
Untuk mengetahui tujuan
diselenggarakan pendidikan pesantren, tidak lepas dari fungsi yang dikembangkan
pesantren baik hubungannya dengan para santri maupun dengan masyarakat
sekitarnya. Kalau dikaji dengan pendekatan kesejarahan bahwa berdirinya
pesantren tidak lepas dari awal perkembangan Islam di Jawa. Para penyebar agama
Islam di Jawa di kenal kelompok Walisonggo telah merintis berdirinya pesantren
sebagai lembaga pendidikan agama Islam di daerah dakwahnya masing-masing.
Sebagai contoh pesantren yang
didirikan oleh Sunan Giri kemudian berkembang menjadi pesantren yang sangat
terkenal di Nusantara di daerah Sidomukti yang dikenal dengan Giri Kedaton.
Orang-orang yang datang mengaji pada pesantren Giri tidak saja berasal dari
pulau Jawa, tetapi juga dari pulau-pulau Indonesia di sebelah timur seperti Madura,
Lombok, Bima (Sumbawa), Sulawesi, dan Ternate. Tujuan para Wali mendirikan
pesantren sebagai tempat syiar agama Islam dan mencetak guru-guru yang akan
meneruskan usaha dakwah agama Islam di daerahnya masing-masing.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semula dipergunakan
untuk penyebaran agama dan tempat mempelajari agama Islam. Sebagai lembaga
penyebaran agama karena memang berdirinya pesantren di suatu daerah agar
penduduk setempat dapat dipengaruhi kehidupannya dengan nilai-nilai Islam, dan
memeluk agama Islam secara teguh. Sedangkan sebagai tempat mempelajari agama
Islam karena memang aktivitasnya yang utama adalah sebagai tempat untuk
mempelajari dan memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam.
Sebagai sebuah kasus dapat ditunjukkan
yaitu sejarah pertumbuhan pesantren Tebuireng di Jombang yang didirikan oleh
KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899. Tebuireng adalah nama sebuah desa terletak
di luar kota Kabupaten. Di desa itu, penduduknya belum beragama dan diliputi
suasana kekacauan. Merampok dan merampas, berjudi dan berzina menjadi kebiasaan
yang digemari oleh setiap penduduk desa Tebuireng. Kehidupan masyarakat
dipenuhi dengan perselisihan yang diakhiri dengan perkelahian menjadi rutinitas
kehidupan masyarakat setempat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi kacau
balau, hukum rimba menjadi penentu kekuasaan seseorang. Namun justru di desa
ini, KH. Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren.
Berdirinya sebuah pesantren ditempat itu, tentu saja pada mulanya memperoleh
tantangan keras masyarakat. Dengan segala keuletan dan kebijaksanaan KH. Hasyim
Asy’ari akhirnya kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekacauan menjadi
sebuah pola kehidupan baru, ajaran Islam menjiwai secara dominan dalam setiap
segi dinamika kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, jadilah pesantren Tebuireng
dengan dukungan masyarakat setempat sebagai sebuah pesantren besar yang sangat
berpengaruh di daerah Jombang Jawa Timur. Latarbelakang kasus demikian juga
dialami oleh sebagian besar pada pesantren lainnya di Nusantara.
Yang perlu dipahami bahwa pesantren
tidak lepas dengan sosok kiainya. Kiai merupakan tokoh sentral pada setiap
pesantren. Selain itu, para santri tinggal bersama dalam satu komplek dengan
kiai. Segala pelajaran yang diperoleh dari kitab-kitab agama langsung
dipraktikkan bersama-sama. Dari pemahaman ini, diketahui bahwa peantren
memegang peranan yang bersifat keagamaan dan tidak hanya bersifat keagamaan.
Peranan yang bersifat keagamaan ditunjukkan dengan para alumninya mampu sebagai
juru dakwah, guru-guru agama, dan bahkan menjadi kiai dengan mendirikan
pesantren di daerahnya masing-masing. Adapun yang tidak hanya bersifat
keagamaan terlihat dalam peranannya yang bersifat kultural dan sosial.
Peranan kultural yang utama adalah
terciptanya pandangan hidup yang bersifat khas santri, yang mampu dirumuskan
dalam sebuah tata nilai. Tata nilai ini berfungsi sebagai pencipta keterikatan
satu sama lain di kalangan penganutnya. Tata nilai ini pada mulanya dipraktikkkan
di lingkungan internal pesantren, kemudian menyebar secara luas di masyarakat.
Pandangan hidup yang dibentuk oleh tata nilai yang dikembangkan pesantren dapat
dilihat manifestasinya dalam kesediaan untuk hidup bersahaja, kesediaan untuk
memberikan pengorbanan besar bagi tercapainya cita-cita (sebagaimana tercatat
dalam sejarah begitu banyak kalangan ulama yang rela berkorban dalam melawan
penjajah). Dari sikap hidup yang demikian, dua hal yang menonjol yaitu
ketundukkan kepada ulama, dan orientasi kehidupan yang lebih bersandar kepada
kemampuan diri sendiri untuk mengorientasikan hidup hanya untuk Allah SWT.
Demikian tujuan pendidikan pesantren
pada umumnya yang tidak dinyatakan secara eksplisit, namun berangkat dari
latarbelakang didirikan pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam tidak
saja hanya diorientasikan bersifat keagamaan semata, tetapi juga mampu menjadi
warna terhadap perkembangan dinamika kehidupan masyarakat. Sikap yang demikian masih
nyata terpelihara dengan baik di tingkat kultur sebagian besar kehidupan
masyarakat Indonesia yang dikenal dengan “budaya santri". Budaya ini kemudian secara otomatis, tanpa disengaja telah menjadi tujuan pendidikan pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar