PROBLEMATIKA
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Sistem
pendidikan nasional merupakan implementasi sistem pendidikan pada suatu bangsa
yang didasarkan atas kondisi sosio kultural, budaya dan politis. Atas dasar
realitas itu pendidikan dilakukan untuk menciptakan dan menghasilkan produk
anak bangsa yang diharapkan memiliki kualitas sebagaimana yang diharapkan oleh
segenap elemen masyarakat suatu bangsa. Oleh karenanya, proses pendidikan yang
diselenggarakan dan dilaksanakan oleh bangsa adalah dalam upaya menumbuhkan
serta mengembangkan watak atau kepribadian bangsa, memajukan kehidupan bangsa
dalam berbagai bidang kehidupannya.
Satuan-satuan
dan kegiatan-kegiatan pendidikan yang ada merupakan sistem-sistem pendidikan
tersendiri, dan sistem-sistem pendidikan tersebut tergabung secara terpadu
dalam sistem pendidikan nasional. Jadi secara garis besarnya, sistem pendidikan
nasional adalah pencerminan atas keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan
aktivitas pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan
tercapainya tujuan pendidikan dalam skala nasional atau meluas.
Sementara,
tujuan pendidikan nasional berfungsi memberikan arah kepada semua kegiatan
pendidikan dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Sehingga tujuan pendidikan
nasional tersebut, merupakan tujuan umum yang hendak dicapai oleh semua satuan
pendidikannya meskipun setiap satuan pendidikan tersebut mempunyai
tujuan-tujuan tersendiri namun tidak lepas dari tujuan pendidikan nasional.
Maka, sistem pendidikan nasional merupakan suatu supra sistem atau suatu sistem
yang besar dan kompleks serta masuk dalam skala yang lebih makro atau luas.
Indonesia, adalah suatu negara yang memiliki dasar hukum
sebagai bentuk dari negara yang berdaulat. Dengan dasar kedaulatan itu,
Indonesia bebas menentukan sikap dan arah kebijakan yang ingin diwujudkan. Maka
ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan Bangsa
Asing, mulai saat itu Bangsa Indonesia sadar pentingnya sebuah sistem
pendidikan. Karena proses pendidikan dipandang sebagai
sistem dan cara efektif untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala
aspeknya. Hal itu telah terbukti bahkan dalam kesejarahan umat manusia. Untuk
itu sejarah telah mencatat hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak
menggunakan instrumen pendidikan sebagai alat pemberdayaan dan peningkatan
kualitas manusia. Walaupun hal itu ---tanpa disadarinya--- dalam masyarakat
yang masih primitif sekalipun[1].
Manusia yang memiliki peradaban tinggipun berawal dari sebuah proses
pendidikan. Oleh karenanya pendidikan sangat vital dalam proses kehidupan umat
manusia di dunia ini. Banyak kalangan menyepakati bahwa pendidikan merupakan
salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan suatu
masyarakat[2].
Pendidikan memiliki peranan sentral dalam mendorong individu dan masyarakat
untuk meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek kehidupan demi mencapai
kemajuan. Melalui pendidikan masyarakat dapat belajar untuk mengerti, memahami
dan mampu mengubah alam serta lingkungan sosialnya secara konstruktif untuk kemaslakatan
umat manusia itu sendiri. Untuk itu sebabnya segala macam bentuk proses
pendidikan di belahan dunia manapun ---baik negara berkembang maupun negara
maju--- selalu dijalankan sebagai proses pemberdayaan guna mengembangkan dan
menciptakan SDM yang berkualitas.
Sementara, Karakter ilmu pengetahuan
dan teknologi yang ada di suatu negara dalam kenyataaanya bisa disaksikan
keberhasilannya melalui mekanisme proses pendidikan yang dijalankan. Semakin
maju sebuah negara dalam IPTEKnya, maka tidak disangsikan bahwa proses
pendidikannya digarap secara lebih profesional dan sistematis. Oleh karenanya,
hampir di semua negara maju, proses pendidikan mendapatkan perhatian khusus dan
selalu dijalankan secara profesional serta sistematis. Sehingga proses yang
demikian, mampu menciptakan keluaran pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan dan kemajuan masyarakat
harus disadari merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan salah satunya.
Dari kesadaran itu memnunjukkan isyarat bahwa indikator keberhasilan sebuah
proses pendidikan akan sejalan dengan kemajuan masyarakat. Dengan kata lain
apabila kemajuan masyarakat tidak menunjukkan perubahan yang diidealkan,
mengindikasikan kelemahan atau bahwakan ketidak berhasilan proses pendidikan
yang dijalankan.
Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa
pendidikan merupakan usaha untuk mengangkat harkat dan martabat manusia bahkan
suatu bangsa itu sendiri. Kenyataan yang demikian tidak berlebihan jika
pembangunan di bidang pendidikan merupakan hal yang pertama dan utama guna
mempersiapkan generasi yang berkualitas. Atas dasar asumsi yang demikian secara tegas dinyatakan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1954 bahwa
tujuan terbentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia ialah mencerdaskan
kehidupan Bangsa. Untuk itu sistem pendidikan diharapkan mampu menciptakan anak
bangsa pada peningkatan kualitas. Dengan kualitas mereka akan mampu memperbaiki
dan mengubah negara Indonesia kepada yang lebih baik. Atas dasar itu para fanding
father membuat kementerian khusus yang membidangi masalah pendidikan di
negara Indonesia.
Dalam perkembangannya, saat Bangsa Indonesia mulai
membangun negeri ini ke arah yang dicita-citakan, banyak gejolak yang muncul
sehingga memporak-porandakan harapan mulia itu. Mulai dari sistem politik, ekonomi,
agama, dan budaya tidak ketinggalan juga persoalan pendidikan tidak luput dari
perhatian. Terlebih lagi pada tahun pertengahan 1998 saat jatuhnya pemerintahan
Orde Baru. Ketika pertengahan tahun ini eforia reformasi menjadi momentum
perubahan sistem yang ada di negeri ini. Ketidakpercayaan rakyat pada
pemerintah sebagai aparatur negara terjadi hampir di seluruh jenjang. Arus
perubahan yang demikian kuat, menuntut perbaikan di segala bidang. Wacana
demokrasi menjadi dalil utama para demonstran. Bahkan suara rakyat adalah suara
Tuhan yang harus perhatikan dan diimplementasikan.
Berdasarkan kekacauan tersebut, mengindikasikan bahwa
pemerintah tidak berhasil dalam menangani sistem pendidikan. Setelah era
reformasi digulirkan, banyak kalangan pengamat pendidikan yang menyayangkan
kinerja pemerintah selama ini dalam masalah pendidikan. Mulai dari kurikulum,
pembelajaran, evaluasi, aturan (sistem) sampai juga kepada penangganan
pendidikan yang dilakukan oleh dua Departemen.
A. Kemadegkan Mutu Pendidikan Nasional
Dalam berbagai kesempatan, hasil dari
proses sistem pendidikan yang tengah dijalankan oleh Bangsa Indonesia masih
jauh dari harapan. Secara garis besarnya, fenomena itu di karena dua faktor
utama yang mempengaruhi. Dua faktor itu selanjutnya berbias kepada sistem yang
lain di bidang pendidikan. Dua faktor utama itu adalah; pertama dominasi
pengaruh politik di Indonesia atas sistem pendidikan, kedua kekaburan
orientasi.
Pertama dominasi pengaruh politik yang masuk sampai
pada wilayah pendidikan. Diakui bersama bahwa pendidikan merupakan wilayah
pemberdayaan. Pemberdayaan bagi anak-anak Bangsa yang akan memimpin dan mengisi
pembangunan negeri ini secara baik. Apabila wilayah pendidikan sudah dimasuki
“virus-virus” politis, maka hasilnya akan menjadi naif bagi perkembangan bangsa Indonesia khususnya
bidang pendidikan. Berbagai temuan kasus dijumpai secara eksplisit pada
ujung-ujungnya adalah dominannya praktik-praktik politik atau kepentingan dalam
dunia pendidikan.
Mengkaji tentang praktik politik adalah berbicara
pada wilayah kekuasaan. Sementara, sangat mengenaskan apabila kekuasaan di
dapat dari jerih payah “biaya politik”. Kekuasaan yang diperoleh dari biaya
tidak jauh beda dengan rumusan ekonomi, yakni mendapat keuntungan besar dengan
modal yang sedikit. Selanjutnya pertanyaan akhir adalah bagaimana mengembalikan
biaya (baca: modal) dan keuntungan yang didapat ketika ada di kekuasaan. Untuk
itu wajar bahwa kasus pemberantasan korupsi di Indonesia sulit di cegah. Bahkan
berdasarkan hasil survei harian Kompas tanggal 17 November 2005 negara
Indonesia masuk peringkat ke-6 dari 159 negara yang tersurvei. Ini menunjukkan
budaya korupsi berjamaah masih mengakar kuat di negeri Indonesia. Demikian
juga, wacana bagi-bagi kekuasaan pun menjadi sebuah kewajaran.
Apabila fenomena tersebut tetap terpelihara dengan baik, maka sikap
profesionalitas pemimpin sulit diwujudkan. Karena perwujudan profesionalitas
pemimpin merupakan indikator dari bentuk akuntabilitas publik. Bagaimana publik
mampu bersikap akuntabel bila sikap profesionalisme tidak dimiliki? Dari
pertanyaan itu, kemudian memunculkan faktor kedua, yakni kekaburan orientasi.
Orientasi pendidikan yang secara konstitusinya dibuat seideal mungkin
tercoreng akibat praktek-praktek korupsi, kolusi atau bagi-bagi kekuasaan.
Kenyataan itu pada dasarnya merugikan publik. Bagaimana tidak! Syarat para
penguasa atau pemimpin diterima ---oleh banyak kalangan--- adalah berangkat
dari bentuk-bentuk kompromistis belaka. Selanjutnya, kualitas dan idealitas di
keduakan atau bahkan tertelantarkan sama sekali. Yang tepenting adalah mengakomodir
semua kelompok tanpa di pertimbangkan profesionalitas. Akibatnya, kualitas dan
idealitas terabaikan demi kepentingan kekuasan.
Fenomena tersebut merupakan problem Bangsa Indonesia yang menjadikan
mutu pendidikan sulit untuk diwujudkan. Namun upaya demikian bisa teratasi
dengan baik apabila muncul dari kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif dari
berbagai elemen masyarakat. Dan kesadaran itu diperoleh melalui berbagai usaha dan
fasilitas yang memungkinkan terbangunnya sebuah kesadaran kolektif itu sendiri
Disamping harapan besar yang ada
tersebut perlu juga diiringi dengan penerapan sistem aturan yang tegas.
Penegasan aturan diharapkan dari embrio demokratisasi yang sudah mengejala di negeri
ini. Dengan budaya demokratisasi minimal akan memunculkan sikap keterbukaan,
keteraturan dan mengarah kepada tercapainya cita-cita bersama, yakni
kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia. Potensi ini merupakan modal untuk mewujudkan mutu pendidikan yang
lebih baik dari hari sebelumnya.
B. Akar Sistem Pendidikan Dua Atap Di Indonesia
Dalam konstelasinya, akar masalah
terdapatnya dua sistem lembaga pendidikan di negeri Indonesia, yakni yang pertama
adalah lembaga pendidikan yang berbasis pengetahuan agama (Islam) dan kedua
lembaga pendidikan yang berbasis pengetahuan umum. Kedua sistem lembaga
pendidikan itu menjadi perhatian karena keduanya telah eksis sejak masa
penjajahan sampai masa kemerdekaan hingga saat ini tetap terpelihara dengan
baik. Oleh karenanya bila diruntut sejarah terjadinya sistem pendidikan dua
atap di Indonesia sudah terjadi sejak jaman sejarah Indonesia merintis
kemerdekaannya.
Bangsa Belanda yang menjajah Bangsa
Indonesia selama hampir + 350 tahun ingin menanamkan
pengaruhnya melalui jalur pendidikan yang berakar dari masyarakat setempat.
Dalam kenyataannya, masyarakat setempat ---khususnya di pulau Jawa--- telah
berkembang suatu sistem pendidikan agama Islam. Materi belajarnya pun berorientasi
pada pemahaman tentang agama Islam. Sumber literaturnya pun mengunakan bahasa
arab, demikian juga cara menulisnya ---menurut Belanda--- menggunakan tulisan
arab. Realitas demikian, pemerintah Belanda mengansumsikan bahwa pendidikan itu
tidak sesuai dengan masyarakat pribumi (baca: Indonesia). Karena, Belanda
menganggap sistem pendidikan yang dilakukan bukan berasal dari masyarakat
Indonesia tetapi berasal dari negara Arab. Bangsa Arab berbeda secara geotafis
maupun secara kultur.
Berdasarkan hasil pengamatan atas
pelaksanaan pendidikan yang ada di masyarakat, pemerintah Belanda menginginkan
suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat apa adanya.
Persepsi tentang pendidikan yang sesuai dengan keadaan masyarakat apa adanya
adalah sesuatu itu didasarkan kebutuhan pribumi murni, secara teratur dan
disesuaikan dengan konteks masyarakat desa. Sehingga dalam kenyataannya,
beberapa kali pendidikan agama Islam ---sudah melembaga di tengah masyarakat
Indonesia--- yang ada diusulkan untuk dikembangkan selalu ditolak oleh
pemerintah kolonial Belanda. Pengembangan lembaga pendidikan yang ada agar,
dapat dimanfaatkan terkait kebijakan mengenai pendidikan sesuai dengan
orientasi pemerintah Koloni Belanda di perwakilan Indonesia.
Kenyataannya pemerintah Koloni Belanda
selalu memilih jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam.
J.A. Van der Chijs, inspektur Pendidikan Kolonial Belanda pertama di Indonesia
dan beberapa orang pembantunya menilai tradisi dikdaktis pendidikan Islam
terlalu rendah dan tidak berguna apabila dikembangkan. Sejalan dengan penilaian
itu, Menteri Pendidikan Kolonial Belanda menolak memberi subsidi kepada
sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Alasan itu didasarkan atas pertimbangan
bahwa Pemerintah Kolonial Belanda tidak ingin mengorbankan uang negara untuk
keperluan yang tidak ada kejelasan manfaatnya bagi negara.
Berdasarkan atas pertimbangan tersebut,
pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pendidikan bagi masyarakat Indonesia
yang disebut Sekolah Desa. Lembaga pendidikan yang disebut dengan nama Sekolah
Desa, kemudian menjadi embrio lembaga pendidikan umum yang saat ini dikelola
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sejalan dengan berkembangnya Sekolah Desa,
tidak ketinggalan pula sistem pendidikan Islam yang berbasis di masyarakat
pedesaan berkembang atas swadaya masyarakat. Karena sifatnya swadaya, maka
kebanyakan lembaga ini mengabaikan atau bahkan tidak memiliki jalur hubungan
dengan Pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu. Sikap seperti itu digambarkan
oleh Karel A. Steenbrink merupakan gerakan anti Belanda. Oleh sebab itu,
sekolah Islam selalu mengambil jalan sendiri, lepas dari Gubermen (istilah
pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa di Indonesia).
Setelah kemerdekaan sistem pendidikan
yang demikian tetap mengakar dalam masyarakat Indonesia. Satu sisi sebagian
para tokoh kemerdekaan tetap memandang ideal sistem pendidikan yang diwariskan
oleh pemerintah Kolonial Belanda, sebagian yang lain menganggap yang diideal
untuk dikembangkan adalah sistem pendidikan Islam. Bahkan beberapa pejabat yang
menangani bidang pendidikan kurang menghargai atau meremehkan sekolah-sekolah
Islam. Untuk menjebatani hal itu, maka sistem pendidikan Islam dikelola oleh
Departemen Agama yang para menterinya berlatarbelakang Islam. Sementara sistem
pendidikan warisan Kolonial Belanda diserahkan pengelolaannya pada Departemen
Pengajaran, pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang berganti nama dengan
Departemen Pendidikan Nasional.
Pada tahun 1950, terjadi suatu pristiwa
bersejarah yang menandai dualisme terkait tentang polemik pendidikan di
Indonesia. Presiden Soekarno menetapkan berdirinya Universitas Gadjah Mada
(Universitas Umum) yang diperuntukkan bagi golongan Nasional dan dalam kurun
waktu bersamaan menetapkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
Yogyakarta yang diperuntukkan bagi umat Islam. Kebijakan ini dinilai oleh
sebagian para tokoh sebagai accident sejarah dalam dunia pendidikan
Indonesia.
Pertimbangan Presiden Soekarno waktu itu
tidak lepas dari sistuasi politik saat itu. Tetapi bagaimanapun pertimbangan
untuk mengotakkan golongan Islam dan golongan Nasional kedalam dua entitas yang
berbeda yakni pendidikan “pendidikan agama” dan “pendidikan umum” merupakan
kelanjutan fenomena sebuah sistem pendidikan di Indonesia. Dan fenomena itupun
merupakan warisan dari zaman Kolonial Belanda.
Dalam perkembangannya, Universitas Umum
dan PTAIN telah membentuk polarisasi yang lebih menyeluruh. Artinya
implementasi atas fenomena itu memperkuat dualisme sistem pendidikan di Indonesia.
Atas perkembangan realitas itu Nurcholish Madjid mengandaikan bahwa umpamanya
negeri Indonesia tidak pernah mengalami penjajahan oleh Bangsa Asing, mungkin
pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh
sistem pendidikan Islam. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang
ini tidak akan berupa UGM, ITB, IPB, Unair, UNDIP, UNIBRAU, UNTAG, UNES, UBAYA
ataupun yang lain, tetapi mungkin namanya “universitas” Krapak, Tremas,
Tebuireng, Rejoso, Lasem, Bangkalan, dan seterusnya. Kemungkinan itu ditarik
secara kasat mata atas pertumbuhan sistem pendidikan di negeri-negeri Barat.
Dimana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah
perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan.
C. Implementasi Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional
Disampaikan bahwa dalam implentasinya,
sistem pendidikan di Indonesia tidak lepas dari kondisi sosio kultural dan
politis Bangsa ini. Beuground historis menjadi landasan yang tidak
terpisahkan dalam prakteknya. Ketika memperhatikan sistem pendidikan di negara
Indonesia, dunia pendidikan sudah berkembang dalam sistem yang dualistik antara
pendidikan umum (nasional) di satu pihak dan pendidikan agama di lain pihak.
Apabila ditinjau dari segi
historisitasnya, dualisme itu pada awalnya sudah eksis sejak masa penjajahan
Belanda. Namun sebagai refleksi, eksistensi kedua lembaga pendidikan itu
merupakan pergumulan dari dua basis politik ---Islam dan Nasionalisme--- yang
sejak awal kemerdekaan Indonesia tidak bisa dielakkan untuk melebur kedalam
salah satu sistem pendidikan yang ada. Sampai pada puncaknya ---dalam sejarah
mencatat--- benturan yang cukup serius terjadi saat penentuan dasar dan bentuk
negara Indonesia. Meskipun dalam kenyataannya terjadi rekonsiliasi dalam
formula negara yang berdasarkan Pancasila. Tetapi implikasi dualisme ideologis
itu berdampak terhadap dunia pendidikan.
Fenomena itu tampaknya tidak bisa dihapuskan dalam masa pendek.
Disamping masalahnya cenderung bersifat instrumental, juga karena secara
realistik ---khususnya--- lembaga pendidikan berbasiskan Islam memiliki akar
historis yang sangat panjang di Indonesia, bahkan jauh lebih panjang dari
tradisi lembaga pendidikan berbasiskan umum yang di dominasi oleh pendidikan
nasional dewasa ini.
Atas berbagai fenomena dan faktor
historis yang ada tersebut, implementasi sistem pendidikan Indonesia dikelola
oleh dua Departemen. Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (saat ini
berganti nama menjadi Departemen Pendidikan Nasional) membawahi pelaksanaan pendidikan
yang di dominasi oleh pengajaran ilmu pengetahuan umum. Sementara di sisi yang
lain pelaksanaan pendidikan yang di dominasi pengajaran ilmu pengetahuan Agama
dikelola oleh Departemen Agama.
Usaha untuk memadukan sistem pendidikan
yang dualistik tersebut sebagaimana telah diusahakan di era pemerintah Orde
Baru. Namun usaha itu bukan merupakan sesuatu yang baru. Karena pada masa awal
abad ke-19 usaha ke arah itu sudah di mulai ketika gerakan modernis Islam.
Gerakan ini mencoba pada tahap usaha memperbaharui pendidikan Islam dengan
memasukkan mata-mata pelajaran baru (umum) dan memperkenalkan sistem didaktik
metodik ala “Barat”.Gagasan itu dilakukan mengingat ketertinggalan ilmu
pengetahuan umat Islam tertinggal jauh dengan Bangsa Barat. Akibat ketertinggalan
itu dikarenakan orientasi pendidikan umat Islam lebih mengarah pada
persoalan-persoalan ukhrowiyah (ke-akhirat-an), sementara pendidikan
dikalangan umat Islam mengabaikan pada penguasaan ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan hal-hal duniawiyah (ke-dunia-an). Gerakan modernisme
Islam mencoba melakukan penggabungan penguasaan ilmu pengetahuan dengan
mengorientasikan kepada dua hal itu (dunia dan akherat). Dasar pembaharuan
dalam pendidikan dikalangan umat Islam pun perlu dilakukan perombakan keorientasian.
Usaha pembaharuan itu diwujudkan dengan mencoba menggabungkan ilmu pengetahuan
yang berorientasi keduniaan dan ilmu pengetahuan yang berorientasi keagamaan
secara seimbang.
Disamping ketidakbaruan pemerintahan
Orde Baru dalam usaha penggabungan dualistik sistem pendidikan di Indonesia dan
juga tidak menuai hasil memuaskan karena usaha itu diorientasikan lebih
bersifat network. Padahal, kedua institusi itu memiliki orientasi yang
berbeda. Bisa dilihat pemberian materi pelajaran di lembaga pendidikan yang
dikelola oleh Diknas. Hingga saat ini, jam pelajaran keagamaan masih belum
sebanding dengan materi pelajaran lain, demikian juga sebaliknya. Juga terkait
dengan persoalan pembiayaan dan manajemen manajemen yang tidak seimbang.
Sebagai contoh dalam persoalan pendanaan di lembaga pendidikan yang di kelola
oleh Departemen Pendidikan Nasional memperoleh banyak kesempatan untuk
mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan. Berbeda dengan lembaga
pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama. Karena tanggung jawab Depag
cukup beragam selain menangani masalah pendidikan yang dikelolanya. Akibat
beragamnya tanggungjawab Depag berimbas pada perolehan dana yang dialokasikan
pengelolaan pendidikannya pun menjadi terbatas. Minimnya perolehan aliran dana
ke lembaga pendidikan yang berbasiskan ilmu pengetahuan keagamaan ini, lembaga
itu tidak bisa berbuat banyak untuk mengembangkan sarana dan prasarananya
secara maksimal. Maka, yang terjadi sebuah jurang pemisah yang sangat dalam dan
lebar antara lembaga pendidikan di bawah naungan Depag dengan lembaga
pendidikan di bawah naungan Diknas.
Usaha yang cukup monumental karena
boleh dinilai cukup revosioner adalah pada masa pemerintahan KH. Abdurrahman
Wahid. Di saat presiden Gus Dur (panggilan akrab KH. Abdurrahman Wahid)
menyusun Kabinetnya. Beliau berani mengubah salah satu nama Departemen yang
selama 32 tahun menangani tentang pelaksanaan pendidikan nasional yakni
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) diganti nama menjadi
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan berganti nama itu,
diharapkan juga akan berganti orientasi dalam mengelola pendidikan nasional.
Untuk itu banyak kalangan para pengamat menilai bahwa perubahan nama departemen
ini memiliki makna dan implementasi tertentu terhadap dunia pendidikan di
Indonesia. Boleh jadi implementasi pendidikan di Indonesia yang selama ini
masih dualistik dan memiliki orientasi yang berbeda dilebur dalam satu “atap”
atau satu Departemen.
Penilaian tersebut mungkin juga
mendekati kebenaran tatkala dalam berbagai kesempatan Presiden Gur Dur
menyampaikan pandangan untuk menempatkan apa yang disebut sebagai
sekolah-sekolah agama ke bawah sistem pendidikan nasional. Bisa jadi ide itu
mempertimbangkan kebutuhan Indonesia yang masih memerlukan perhatian serius tentang
rendahnya kualitas SDM apabila dibandingkan dengan kualitas SDM negara lainnya.
Disamping mempertimbangkan hal itu, juga terkait munculnya kepentingan global.
Sebab, kepentingan global mampu memberikan dampak yang cukup signifikan pada
pola kehidupan umat manusia diseluruh penjuru dunia tanpa terkecuali.
Kepentingan global menjadi perhatian
karena salah satu dampak yang ditimbulkan adalah terbangunnya jaring-jaring
komunikasi yang sangat intensif antar satu masyarakat dengan masyarakat lain.
Apalagi intensitas komunikasi ini ditunjang dengan kemajuan teknologi khususnya
kecanggihan teknologi komunikasi. Bisa jadi akibat dari intensitas komunikasi
akan menyebarnya kepentingan maupun misi-misi suatu kelompok atau negara
tertentu dengan mudah. Akibat mudahnya sosialisasi tersebut, menjadikan suatu
masyarakat apabila tidak memiliki SDM berkualitas maka bisa jadi akan terbawa
dan ikut arus dengan kepentingan tersebut. Untuk itu perlunya mempertegas
sistem pendidikan kondusif, sehingga mampu menghasilkan SDM yang berkualitas.
Disamping sistem kebijakan yang kondusif juga perlu suatu sistem pendidikan
progresif. Progresifitas pendidikan perlu menjadi pandangan agar orientasi
pendidikan mampu merespon perkembangan zamannya.
D. Orientasi Pendidikan Nasional
Mencermati dinamika perkembangan
masyarakat yang semakin kompleks akibat munculnya gerakan globalisasi yang
tengah mengejala di seluruh antreo jagad raya ini, dan Indonesia sebagai bagian
terkecil yang ada di alam jagad raya perlu adanya persiapan yang matang sehingga
tidak tergilas oleh ganasnya perubahan iklim sosial yang semakin kompetitif. Globalisasi
akan menjadi sebuah kebaikan sekaligus menjadi tantangan kehidupan umat
manusia.
Bila dikaji secara komperhensif, gerakan
globalisasi akan membawa implikasi positif dan negatif. Implikasi petama akan memicu
terciptanya masyarakat atau individu untuk selalu tampil secara lebih baik
dalam persaingan global. Sementara implikasi kedua akan menimbulkan munculnya
kapitalis internasional disamping itu bagi masyarakat yang tidak memiliki
kesiapan SDM, akan memicu budaya konsumeristik dan mengejalanya budaya
materialisme.
Dalam situasi yang demikian, keadaan oleh
Bangsa Indonesia masih dihadapkan pada tantangan lokal; seperti persoalan
disintegrasi, kondisi rendahnya kesejahteraan masyarakat, banyaknya tenaga
kerja tanpa disertai dengan langan kerja, rendahnya mutu pendidikan yang
berakibat turunnya kualitas SDM bila dibanding dengan negara-negara lain.
Sementara disisi lain bangsa Indonesia telah menyatakan untuk membuka diri bagi
perdagangan bebas di tingkat dunia. Dengan adanya kesepakatan AFTA yang telah
dimulai tahun 2003 dan juga APEC guna berbaur dalam perdagangan bebas dunia
pada tahun 2020.
Jelas dengan kesepakatan-kesepakatan itu
akan mendatangkan dan memperkuat adanya tiga situasi, yakni; pertama meningkatnya hubungan sosial
ekonomi secara global, kedua semakin ketatnya persaingan sumberdaya
antar bangsa dan ketiga semakin besar adanya kemungkinan terjadinya
eksploitasi dari negara yang lebih maju dan lebih siap bersaing dengan
negara-negara belum mampu atau belum siap bersaing (Kasih dan Suganda, 1999:5).
Apabila di cermati dan ditelaah lebih
dalam realitas tersebut, apakah bangsa Indonesia mampu menyelesaikan agenda
internal disamping menhadapi ancaman global? Padahal masih lemahnya kualitas
SDM yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal itu terbukti munculnya berbagai
persoalan internal bangsa Indsonesia. Pertanyaan itu merupakan dasar untuk
melakukan konstruk perbaikan bangsa yang penting untuk diperhatikan agar dapat survive
dengan negara-negara di dunia ditengah perubahan global. Yang tergambar dalam
setiap benak elemen bangsa jawabanya tidak lain adalah menyiapkan kualitas SDM
Indonesia merupakan agenda pertama dan utama untuk segelara dilakukan.
Penyiapan mutu SDM Indonesia yang
berkualitas tidak saja diminati sebagai mitra dalam melakukan hubungan
kerjasama tetapi juga mampu bersaing dan sumber daya dari berbagai manca
negara. Sehingga SDM Indonesia mampu menerobos pada jarin-jaring global yang
bertaraf internasional. Termasuk didalamnya adalah manusia-manusia Indonesia yang
mampu berkiprah dan eksis di negara-negara lain.
Dalam memasuki abad 21 yang identik
dengan bentuk masyarakat terbuka, komunikasi antar wilayah bahkan antara negara
dalam berbagai kehidupan akan bebas dari hambatan-hambatan yang dimunculkan
oleh sekat-sekat wilayah negara manapun. Sebagai contoh, dalam bidang bisnis hambatan-hambatan
berbagai izin semakin mudah dan bahkan mungkin seluruhnya akan dihilangkan.
Dalam bidang politik demokratisasi semakin menjadi idola di seluruh penjuru
negara, karena sifatnya yang fleksibel atas dasar kompromi bersama seluruh
elemen masyarakat dan transparan. Contoh kongkrit ideologi demokrasi menjadi
idola masyarakat dunia adalah hancurnya tembok Berlin yang melambangkan
kediktaktoran di Eropa, hancurnya faham komunisme dengan leburnya Uni Sovyet,
tersingkapnya tirai bambu dari Cina komunis yang menandai perubahan sistem
sosial politik yang lebih transparan dan tumbangnya ditaktor penguasa Orde Baru
di Indonesia. Dari sekian contoh itu menunjukkan bahwa proses demokratisasi
tidak dapat dibendung lagi. Dalam bidang budaya nampaknya ada suatu gelombang
besar berupa munculnya ide budaya global mengejala di seluruh penjuru
negara-negara di dunia. Terlebih, di dukung oleh perkembangan ilmu dan
teknologi khususnya kemajuan teknologi telekomunikasi. Tampaknya muncul
fenomena bahwa seolah wilayah suatu negara telah kabur atau boleh dikatakan
hilang tanpa memiliki sekat maupun daerah teritorial. Fenomena suatu negara
tanpa memiliki batasan teritorial itu, maka manusia akan lebih mengenal
kemampuan suatu bangsa, saling mengetahui kekayaan yang ada dan kebudayaan
suatu masyarakat tertentu. Sehingga manusia bebas memilih dan menentukan yang
lebih bermanfaat bagi hidupnya.
Seiring dengan fenomena tersebut juga
diimbangi semakin menguatnya pengakuan terhadap hak asasi manusia yang mulai ngetren
di berbagai belahan dunia. Sehingga dalam pandangan Tilaar fenomena seperti itu
menunjukkan bahwa era globalisasi telah menempatkan manusia pada titik sentral
dari seluruh proses kehidupan.
Apabila demikian yang terjadi, tentu
pembangunan yang dilaksanakan hendaknya berorientasi pada pembangunan dan
pengembangan sumber daya manusia itu sendiri. Sebab, manusia modern akan lebih
responsif dan tidak akan tinggal diam untuk turut serta dalam perubahan
dinamika sosial yang semakin kompleks. Mereka akan melayangkan pandangannya
dengan luas sehingga bisa melakukan pilihan-pilihan untuk menentukan
kehidupannya yang lebih baik. Disamping itu pula, kehidupan di era global
menuntut manusia untuk mampu menghasilkan karya yang lebih baik. Dengan
demikian, hanya manusia yang berkualitas saja yang mampu survive dalam
kehidupan global.
Di konteks global, apa sebenarnya sumber
daya manusia itu? menurut Ishomuddin menyampaikan bahwa sumber daya manusia
adalah para intelektual yang mampu menciptakan gagasan dan disertai mampu
mengerakkannya untuk mewujudkan gagasan itu secara nyata. Jadi manusia dalam
konteks SDM tidak saja memiliki pengetahuan atas kekayaan intektualitasnya
semata, tetapi seiring dengan pengetahuan yang dimilikinya mereka mampu
mengaktualisasikan diri dengan berbagai karya nyata yang dihasilkan.
Secara historis munculnya istilah sumber
daya manusia dimulai untuk keperluan kebutuhan industri yang saat itu tengah
mengejala di daratan benua Eropa. Kemudian istilah itu menjadi idelogi dalam
masyarakat industrialisme. Sumber daya manusia menjadi idelogi dari suatu visi
dan versi pandangan mengenai perkembangan dan kemajuan hidup. Sehingga titik
tekan dari ideologi ini memandang tentang makna SDM adalah tertuju pada
kemampuan manajerial disertai dengan kemampuan profesional (sofrware-nya)
dan dimbangi keterampilan kerja (hardwere-nya). Kedua hal itu, ditambah
dengan faktor-faktor psikologis yang secara khusus diperlukan oleh mekanisme
industri, yakni; etos kerja, disiplin, semangat untuk maju. Akhirnya konsep
sumber daya manusia mampu mengaksentuasikan diri pada kesanggupan untuk lebih
produktif.
Berangkat atas berbagai fenomena
tersebut, bangsa Indonesia perlu mempertegas untuk lebih konsisten dengan
pembangunan manusia. Dengan kata lain bahwa pembangunan kedepan adalah
pengembangan sumber daya manusia berkualitas. Upaya itu dilakukan agar terciptanya
masyarakat yang memiliki motifasi untuk maju yang sekaligus terwujudnya
mengembangkan potensi untuk mewujudkan demi kesejahteraannya secara lebih baik
dan daya integritas bangsa dimata dunia internasional.
Dalam mengupayakan pembangunan manusia
Indonesia menuju terwujudnya pengembangan SDM berkualitas, diperlukan sebuah
proses. Proses itu tidak serta merta ada dengan sendirinya tanpa adanya suatu
rekayasa. Rekayasa itu pun hendaknya di manaj dalam kawah candradimuka
yakni sebuah pendidikan yang benar-benar kondusif.
Bagaimanapun, pendidikan merupakan upaya
strategis dalam membentuk pribadi manusia ---khususnya peserta didik. Disamping
itu, pendidikan juga merupakan sebagai bentuk upaya ikhtiar dalam penyiapan
generasi muda untuk mempengarui kehidupan yang akan datang, dimana hal itu
sangat dibutuhkan oleh pembangunan (Marzuki Wahid, et al, 1999:32). Untuk itu
ketika Presiden Suharto membuka konfrensi Dewan Menteri-Menteri Pendidikan Asia
Tenggara (SEAMEC) ke -17 mengemukakan bahwa, pendidikan merupakan masalah
penting bagi setiap Bangsa, terlebih lagi bagi Bangsa yang sedang membangun
(Furchan, 1982: vii). Untuk itu kecenderungan pembangunan memerlukan sumber
daya manusia yang memiliki ilmu pengetahuan memadai sebagai instrumennya.
Secara
implementatif, Bangsa Indonesia sadar ketika kran demokratisasi terbuka lebar
di negeri ini. Ketika Runtuhnya pemerintahan Soeharto pada pertengahan tahun 1998
tepatnya tanggal 21 Mei lalu, merupakan babak baru dalam sejarah Bangsa
Indonesia yang selama 32 tahun di bawah sebuah rezim otoriter. Gerbang
reformasi mengantarkan masyarakat Indonesia pada proses demokrasi secara nyata
---meskipun pada awalnya hingga sekarang masih mencari bentuknya. Sebuah
fenomena sosial yang tidak saja menyangkut perubahan sistem politik, tetapi
juga menyangkut seluruh bidang kehidupan sosial, ekonomi, keamanan, dan bahkan
di bidang pendidikan masuk didalamnya sebagai bagian dari agenda reformasi.
Dalam
sistuasi demikian ---khususnya di bidang pendidikan--- Bangsa Indonesia
memberikan perhatian cukup besar terkait masalah-masalah sistem pendidikan
nasional. Sebab diakui secara obyektif bahwa krisis yang terjadi di negara
Indonesia akibat dari ketidak berhasilan bangsa dalam menatata sistem
pendidikan nasional secara lebih obyektif.maka, pembangunan nasional akan
diimbangi dengan penataan sistem pendidikan yang lebih baik. Sebagaimana
tergambarkan dalam amanat GBHN tertuang pada TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang
GBHN 1999-2004 dijelaskan dalam BAB I alinea ke-3 dan 4:
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan
kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan,
berdasarkan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam
pelaksanaannya mengacu pada kepribadian Bangsa dan nilai-nilai luhur yang
universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri,
berkeadilan, sejahtera, maju dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.
Pembangunan yang terpusat dan tidak merata yang
dilaksanakan selama ini ternyata hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi serta
tidak diimbangi kehidupan sosial, politik, ekonomi yang demokratis dan
berkeadilan. Fundamental pembangunan ekonomi yang rapuh, penyelenggaraan negara
yang sangat birokratis dan cenderung korup serta tidak demokratis telah menyebabkan
krisis moneter dan ekonomi, yang nyaris berlanjut dengan krisis moral dan
memprihatinkan. Hal tersebut kemudian menjadi penyebab timbulnya krisis
nasional yang berkepanjangan telah membahayakan persatuan dan kesatuan,
mengancam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, reformasi
disegala bidang dilakukan untuk bangkit kembali dan memperteguh kepercayaan
diri atas kemampuannya dan melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan,
pemantapan dan pengembangan pembangunan dengan paradigma baru Indonesia masa
depan yang berwawasan kesatuan dalam rangka mewujudkan cita-cita proklamasi
kemerdekaan 17 agustus 1945.
Hal
tersebut juga dipertegas dalam BAB II Bidang pendidikan alinea ke-14
menyebutkan bahwa:
Di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah
berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan
watak peserta didik yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan
makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta
pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk
menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak
memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan khususnya
dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.
Pengembangan dan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan
ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam
menghadapi kerja sama dan persaingan global.
Berdasarkan
atas pemikiran dan kondisi umum dari Amanat GBHN tersebut, maka lahirl visi
baru sistem pendidikan Indonesia yang
juga tertuang dalam GBHN yakni; terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat,
mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran
hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknolog, memiliki etos
kerja yang tinggi serta berkedisiplin. Untuk mengimplementasikan visi tersebut lahirlah
misi sebagai perwujudan atas visi yang dicapainya. Misi itu adalah; perwujudan
sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh
akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin
dan bertanggungjawab, berketarampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.
Berbekal
dengan visi dan misi diatas, tercipta arah kebijakan dalam menentukan langkah
demi terwujudnya idealitas Bangsa. Sehingga pada TAP MPR Nomor IV/MPR/1999
tentang GBHN di dalam arah kebijakan terkait dengan masalah pembangunan
pendidikan nasional menyebutkan:
1. Mengupayakan perluasa dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat
Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan upaya
peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan dan
profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan
sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam
peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa
lembaga dan tenaga kependidikan.
3. melakukan pembaharuan sistem pendidikan
termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi untuk melanyani
keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasionaldan lokal
sesuai dengan kepentingan setempat, serta diverifikasi jenis pendidikan secara
profesional.
4. memberdayakan lembaga pendidikan baik
sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan
kemampuan serta serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang di dukung
oleh sarana dan prasarana yang memadai.
5. Melakukan pembaharuan dan pemerataan
sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan
dan manajemen.
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan
sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
7. mengembangkan kualitas sumber daya
manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai
upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda
dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan
sesuai dengan potensinya.
8. meningkatkan penguasaan, pengembangan dan
manfaat ilmu pengetahuan serta teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri
dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengahdan koperasi guna meningkatkan
daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
Berdasarkan
kajian konstitusi yang tertuang dalam lembar negara sebagai landasan kebijakan
untuk menata langkah menuju Indonesia Baru yang lebih baik utamanya bidang
pendidikan, ini merupakan langkah berani. Keberanian langkah itu tidak pernah terjadi
pada suatu kebijakan pendidikan yang berterbuka di pemerintahan sebelumnya. Kenyataan
yang demikian menunjukkan perubahan padigma pendidikan secara lebih progresif
dengan mengutamakan dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
Progresifitas
sistem pendidikan nasional adalah hasil dari sekian akumulasi persoalan yang
dihadapi bangsa Indonesia. Pada waktu pemerintahan Orde Baru sistem pendidikan
dijalankan dengan paradigma strukturalis tertutup. Artinya semua kebijakan dan
pelaksanaan sistem pendidikan nasional diatur oleh pemerintah pusat. Sementara
paradigma tertutup terletak pada pengendalian yang demikian sentralistiknya.
Bisa dibayangkan, fenomena Indonesia yang terdiri dari berbagai macam ragam
suku bangsa, etnis, ras dan agama hanya dikendalikan satu titik di pemerintah
pusat. Aspirasi, kreatifitas, kebutuhan dipangkas dengan argumen demi menjaga
stabilitas Bangsa. Akhirnya hasil dari proses pendidikan hanya dinikmati dan
dirasakan oleh pemerintah pusat secara sefihak. Pemerintah daerah yang beragam
tidak dapat menuai dari pendidikan yang dijalankan. Padahal bila dikaji tentang
pendidikan dijalankan untuk merespons kebutuhan dan perkembangan masyarakat
sekitar. Akhirnya, banyak para pakar berpendapat bahwa pendidikan yang tengah
dijalankan oleh Bangsa Indonesia hanya sekedar untuk memuaskan penguasa pusat
dan jauh dari tujuan sebagaimana mestinya.
Sejak
pemerintahan Orde Baru berkuasa sistem pendidikan yang dijalankan sangat top
down sehingga sangat kecil kemungkinan untuk menyerap aspirasi dari bawah.
Ketika gerakan reformasi bergulir ---khususnya bidang pendidikan--- titik tekan
pelaksanaan pendidikan berdasarkan aspirasi dari bawah. Sistem yang batem
aup sebagaimana dalam kebijakan tersebut memberi ruang tertendiri bagi
daerah untuk berlomba meningkatkan kualitas pendidikan. Sehingga proses
pendidikan yang tengah dijalankan, hasilnya mampu dirasakan oleh daerah
masing-masing. Awalnya aturan itu tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 1999 yang
telah direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan
urusan dalam skala provinsi adalah penyelenggaraan pendidikan dan alokasi
sumber daya manusia potensial.
[1] Apabila dilihat dari faktor kesejarahan umat
manusia, dalam pandangan Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa pendidikan
merupakan suatu gerakan yang telah berumur sangat tua. Dalam bentuk sederhana
dapat dipahami pendidikan telah dijalankan sejak dimulainya (baca: awal)
manusia ada di muka bumi ini. Gambaran sederhananya untuk membuktikan pandangan
itu adalah penguasaan terhadap alam semesta bagi manusia sebagai salah satu contoh
yang nyata. Tidak mungkin manusia secara langsung dapat menundukkan (baca:
mengelola) alam semesta seperti saat ini dengan menggunakan alat yang bisa
dikata lebih canggih. Alat yang digunakan saat ini, dalam mengelola alam tidak
mungkin langsung secanggih sekarang.
Dapat dipastikan pengembangan pengunaan alat dalam mengelola alam
melalui proses panjang, yakni dari sangat sederhana ke sederhana menuju pada
kecanggihan. Baca Ahmad Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam dan Proses
Pemberdayaan Umat, Jurnal Pendidikan Islam, No. 2, (Yogyakarta: Fakultas
Tarbiyah UII, 1996), 6. Demikian halnya dalam pandangan Rusli Karim
menyampaikan bahwa karena pentingnya pendidikan bagi manusia, hal ini sekaligus
yang membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga “belajar” tetapi lebih
ditentukan oleh instink. Sedangkan bagi manusia, belajar berarti rangkaian
kegiatan menuju “pendewasaan” guna meraih kehidupan yang lebih berarti terutama
bagi pribadi (individu) manusia itu sendiri. M. Rusli Karim, Pendidikan
Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, Dalam editor Muslih Usa, Pendidikan
Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),
27.
[2] M. Natsir, Kapita Selecta Pendidikan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1980), 77. Demikian juga dalam pandangan Soewito yang mengutip
pendapatnya A. Malik Fadjar saat penggukuhan Guru Besar menyampaikan bahwa proses pendidikan juga dapat di
fahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Soewito,
Pendidikan yang Memberdayakan, Makalah Pidato Pengukuhan Guru
Besar Sejarah Pemikiran dan
Pendidikan Islam, (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 2002), 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar