Dinamika masyarakat
Seiring
Pertumbuan Pesantren di Indonesia
Fenomena
pondok pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan dan keagamaan di
daerah-daerah pedesaan di Indonesia yang tersebar luas di hampir seluruh tanah
air. Dewasa ini memang sedang terjadi proses perubahan dalam tumbuh kembang
pondok pesantren, baik perubahan karena pengaruh dari luar maupun dari dalam
pesantren. Hal yang patut dipertanyakan ialah apakah lembaga pendidikan yang
termasuk kategori lembaga pendidikan tradisional ini akan mampu bertahan
terhadap perubahan sosial dan arus modernisasi yang sedang mengejala.
Jawabannya tentu tergantung pada daya mampu dan tanggap lembaga itu sendiri
dalam menjawab tantangan tersebut.
Adalah
tidak berlebihan bahwa sampai dewasa ini di Indonesia masih dengan jelas dapat
dibedakan adanya dua pola kebudayaan yang masih hidup dan berkembang di
lingkungan masyarakat Indonesia. Pola kebudayaan itu, yaitu pola kebudayaan
santri dan non santri yang terkadang disebut sekuler, Abangan, dan Priyayi. Memang
secara nyata, perbedaan tersebut sangat sukar untuk dibuktikan. Namun
demikianbila diamati secara kultural tidak sulit untuk dibedakan. Perbadaan itu
antara lain terlihat dalam cara hidup mereka, cara mengatur waktu, cara
berfikir, cara bergaul, cara berekspresi dan lain sebagainya. Dalam
kenyataannya, memang tidak setajam seperti digambarkan tetapi pada dasarnya ada
perbedaan-perbedaan bahkan tidak jarang terjadi benturan nilai.
Sudah
lama kalangan peneliti mencari jawaban apa sebabnya di Indonesia berkembang
kelompok Santri, Abangan, dan Priyayi. Sebagaian dari mereka terburu mengambil
kesimpulan bahwa faktor agama yang membentuk kelompok-kelompok tersebut. Contoh
seperti Clifford Geertz menyebutnya dengan Santri Religion, Abangan Religion,
dan Priyayi Religion. Alasan itu dijelaskan bahwa agama Santri adalah Islam,
Abangan beragama Jawa asli sedangkan Priyayi lebih cenderung pada agama Budha
atau Hindu. Pendapat ini sepintas memang ada unsur kebenarannya. Tetapi
kenyataannya membuktikan bahwa perbedaan itutidak terletak pada perbedaan
agama, tetapi lebih banyak terletak pada orientasi kebudayaan yang dianutnya.
Sebab kelompok Santri yang dianggap sebagai pemeluk Agama Islam yang taat itu
tidak seluruhnya berorientasi pada budaya dan cara hidup yang berbau “padang
pasir”. Tidak sedikit mereka yang taat menjalankan ajaran Islam, namun cara
hidup dan pola kebudayaan yang dianut adalah cara hidup ala Barat dan cara
berfikir sekuler. Demikian pula mereka yang disebut kaum Abangan, mereka
melaksanakan ajaran-ajaran kebatinan mereka sebagian besar adalah pemeluk Agama
Islam. Begitu pula yang disebut kelompok Priyayi sama sekali tidak mengandung
konotasi keagamaan didalamnya. Ia lebih banyak merupakan klas atau strata
sosial tertentu berdasarkan keturunan Aristokrat, jenis pekerjaan atau pola
kebudayaan yang dihayati. Banyak juga Priyayi yang justru taat menjalankan
ajaran Islam namun berpola kebudayaan dan cara hidup Jawa asli yang umumnya
tidak dianut kalangan Santri. Sebagaimana pula tidak sedikit Priyayi yang beragama
Kristen, atau Priyayi penganut aliran Kepercayaan yang patuh namun tetap
mengaku Islam.
Polarisasi
kebudayaan seperti tersebut mungkin akan tetap berkembang dalam jangka waktu
yang masih cukup lama, lebih-lebih apabila tidak mendapat penanganan dan
pengarahan yang sungguh-sungguh dan bijaksana. Bagi mereka yang berpikir santai
mengganggap polarisasi kebudayaan semacam itu tidak perlu dirisaukan. Biarlah
masing-masing berkembang untuk memperkaya budaya Indonesia. Tetapi bagi mereka
yang merindukan kekhususan jatidiri sebagai bentuk identitas suatu daerah,
berpendapat polarisasi tersebut harus segera diakhiri. Sebab hal ini akan
melemahkan kekhususan identitas itu sendiri ditengah derasnya arus globalisasi
dengan membawa efek yang luar biasa disetiap sendi kehidupan.
Pada
perbincangan ini, penulis sependapat dengan pandangan kedua, bahwa polarisasi
kebudayaan harus segera dipecahkan. Hanya caranya yang bagaimana. Alternative
pertama tentunya secara drastis, keras dan dipaksa, semacam “Revolusi Kebudayaan”.
Tapi, cara ini akan banyak mengandung resiko, melanggar hak asasi, terjadi
disintegrasi, memicu pertentangan.
Memang
benar bahwa polarisasi kebudayaan menjadi sebab atau sumber yang mewarnai
kehidupan masyarakat saat sekarang maupun yang akan datang. Tetapi sebuah
kebenaran juga bahwa polarisasi sosial budaya yang dimiliki sekarang tidak lain
adalah hasil atau akibat dari sistem yang sudah diterapkan secara mapan. Di
Indonesia sudah sejak lama adanya dualisme pendidikan. Dualisme pendidikan
telah diterima sebagai kenyataan yang sudah berkembang di masyarakat. Dualisme
pendidikan ini dikenal dengan pertama sekolah
umum dan kedua sekolah agama
(termasuk didalamnya adalah pesantren).
Sudah
sejak lama dirasakan bahwa dari dua jenis lembaga pendidikan ini telah
menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang memiliki orientasi, cara hidup,
cara berpikir, dan cara menilai dan memcahkan sesuatu yang terkadang sama
tetapi tidak jarang terjadi perbedaan bahkan sering terjadi benturan. Kelompok
pertama dianggap modern, obyektif sekuler, inklusif. Sedangkan kelompok kedua
dianggap konservatif, emosional, eksklusif, subyektif. Kelompok pertama
mendapat kesempatan luas untuk mengatur negara di pemerintahan, sementara
kelompok kedua masuk ke dalam usaha-usaha mandiri atau berwiraswasta kecil dan
menengah. Namun sebagian besar kelompok kedua, memiliki pengaruh yang berakar
dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar