PERKEMBANGAN TEORI MANAJEMEN PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Orang bijak berkata: “tidak ada
yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan.”
Perubahan menunjukkan bahwa kehidupan ini semakin dinamis. Begitu juga
dengan perjalanan teori. Bila merujuk pada teori atau paradigma Hegelian, di
mana lahirnya satu teori maka akan dibantah oleh teori yang datang sesudahnya.
Hal yang sama juga terjadi pada perkembangan teori manajemen. Lahirnya
teori-teori tersebut tentu tidak lepas dari situasi atau setting sosial yang
terjadi di saat munculnya konsep atau teori tersebut.
Perkembangan teori manajemen melahirkan peningkatan dan perbaikan kerja
di setiap segmen di mana konsep tersebut digunakan. Lahirnya teori ini juga
tidak lepas dari kepentingan perusahaan dalam rangka meningkatkan kinerja
perusahaan untuk keberlangsungan produktivitas dan kinerja personalianya. Maka
diperlukan perpaduan antara perpaduan konsep dengan manajemen, yaitu integrasi
manajemen dan ilmu. Berikut perkembangan teori manajemen, namun sebelum
berangkat pada perkembangannya, maka ada baiknya melihat sejenak pengertian
manajemen itu sendiri.
B. Pengertian
Sebelum kita melangkah kepada perkembangan teori manajemen, ada baiknya
kita memahami terlebih dahulu tentang apa yang disebut manajemen. Manajemen
oleh Sukiswa (1986: 13) didefinisikan sebagai suatu proses sosial, yang
direncanakan untuk menjamin kerjasama, partisipasi, intervensi dan keterlibatan
orang lain dalam mencapai sasaran terentu atau yang telah ditetapkan dengan
efektif.
Manajemen, sebagai suatu proses sosial, meletakkan bobotnya pada
interaksi orang-orang, baik orang-orang yang berada di dalam maupun di luar
lembaga-lembaga formal, atau yang berada di atas maupun di bawah posisi
operasional seseorang. Sedangkan manajer ialah seseorang yang ditempatkan dalam
suatu posisi yang harus menjamin perubahan-perubahan perilaku orang lain dengan
tujuan mencapai sasaran yang dipercayakan kepadanya. Manajemen merupakan seni
pembimbingan kegiatan-kegiatan sekelompok orang terhadap pencapaian sasaran
umum.
Stoner (dalam Sufyarma, 2003: 188-189) mendefinisikan manajemen sebagai
seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain. Selain itu, ia juga
mengemukakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pemimpinan dan pengendalian upaya anggota organisasi dan penggunaan semua
sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
efektif dan efisien. Artinya, manejemen bisa dikatakan seni dalam mengatur atau
mengelola suatu kegiatan, aktivitas, organisasi dalam rangka mencapai tujuan.
Manajemen merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mencapai sasaran
yang telah dirumuskan sebelumnya yang kegiatannya banyak terdapat pada
organisasi perusahaan, bisnis kesehatan dan pendidikan. Selanjutnya Durbin
(dalam Sufyarma, 2003: 189) mengemukakan bahwa manajemen memberi kemudahan
khusus dalam pengetahuan orang banyak secara efektif sesuai dengan tujuan dan
pencapaian hasil secara bersama yang telah ditetapkan.
Terkait dengan pengistilahan manajemen dan administrasi Forman dan Ryan
dalam Sutisna berpendapat bahwa antara administrasi dan manajemen tidak
memiliki perbedaan yang berarti, sehingga istilah tersebut dapat saja
disejajarkan penggunaannya. Karena istilah administrasi dan manajemen tidak ada
perbedaan menurut Formen dan Ryan maka Monroe, mengemukakan pengertian
administrasi sebagai berikut:
“Educational administration is the
direction, control and management of all matters pertaining to school affairs,
including business administrationsince all aspects of school affairs may be
considered as considered as carried on for educational end” (Sufyarma,
2003: 189).
Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa manajemen
pendidikan sebagai seluruh proses kegiatan bersama dan dalam bidang pendidikan
dengan memanfaatkan semua fasilitas yang ada, baik personal, material, maupun
spiritual untuk mencapai tujuan pendidikan. Manajemen dalam lingkungan
pendidikan adalah mendayagunakan berbagai sumber (manusia, sarana dan
prasarana, serta media pendidikan lainnya) secara optimal, relevan, efektif dan
efisien guna menunjang pencapaian tujuan pendidikan.
Selanjutnya Engkoswara dalam Sufyarma (2003: 190) menjelaskan bahwa
konsep administrasi pendidikan sejajar dengan konsep manajemen pendidikan
(pengelolaan pendidikan). Fungsi dan ruang lingkup manajemen pendidikan
diuraikan menjadi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Perencanaan
berkaitan dengan perumusan kebijakan kebijakan awal sebagai pedoman dalam
pelaksanaan. Pelaksanaan memerlukan pengawasan karena pengawasan atau penilaian
untuk mengetahui kekurangan atau kesenjangan (gap) termasuk kemajuan yang telah
dicapai. Keberhasilan pengelolaan
pendidikan memerlukan beberapa dukungan, terutama dukungan M = SDM (human resources) yang terdiri dari guru,
murid, atasan dan orang tua. Perlunya memiliki proses = sumber beajar (SB) yang
berintikan kurikulum, serta adanay F = WFD (waktu, fasilitas dan dana) yang
dibutuhkan. Kesemuanya itu mendukung upaya mengoptimalkan tercapainya tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien.
Adalah tugas Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) untuk mengelola unsur
manusia seefektif mungkin agar diperoleh suatu satuan tenaga kerja yang puas
dan memuaskan (a satisfied and
satisfactory working force). MSDM merupakan bagian dari manajemen umum yang
memfokuskan diri pada unsur sumber daya manusia. MSDM adalah perencanaan
pengorganisasian, pengarahan dan penguasaan atas pengadaan, pengembangan,
pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan
tenaga kerja dengan maksud untuk membantu mencapai tujuan perusahaan, individu
dan masyarakat (Tulus, 1996: 3).
C. Perkembangan Teori Manajemen
Kegiatan MSDM dimulai sejak sebelum Perang Dunia I sekitar tahun 1915.
Lahirnya teori manajemen tidak terlepas dengan peristiwa yang terjadi hampir di
seluruh belahan dunia, di mana peperangan hampir terjadi di mana-mana.
Industri, pabrik serta perusahaan dikembangkan dalam rangka mendukung kebutuhan
militer. Untuk itu, diperlukan suatu pengaturan, pengawasan bagaimana
keberlangsungan dari perusahaan tersebut. Selama Perang Dunia I, di Amerika,
angkatan perang mengembangkan suatu korps pengujian psikologi, suatu seksi
pengujian serikat buruh dan suatu seksi semangat kerja. Orang-orang yang telah
terlatih dalam praktek-praktek tersebut kemudian menjadi manajer personalia di
bidang industri. Mereka ini menerapkan pengalaman yang telah diperolehnya
selama perang. Tuntutan-tuntutan yang semakin meningkat di bidang personalia
menyebabkan tuntutan terhadap kualifikasi manajer personalia pun meningkat.
Bahkan tidak jarang banyak manajer personalia yang akhirnya menduduki posisi
pimpinan puncak perusahaan.
Munculnya kegiatan manajemen juga berkaitan erat perkembangan administrasi
di negara-negara maju. Kebutuhan industri yang mengharapkan laba (keuntungan
yang banyak) menuntut perbaikan da peningkatan kerja (kinerja) melalui berbagai
studi dan penelitian. Penelitian dilakukan terhadap model-model peningkatan
kerja, pendayagunaan sumber daya, tenaga, dana, sarana, dan prasarana, metode
dan system kerja. Sasaran akhir adalah efesiensi dan efektivitas kerja,
sehingga keuntungan menjadi lebih besar (Atmoduwirio: 2000, 1).
Seiring dengan itu, lahirlah berbagai teori yang mengilhami kerja-kerja
manajemen di lingkungan perusahaan, institusi pemerintah, lembaga-lembag public
lainnya. Perjalanan teori manajemen sejak latar belakang munculnya tidak
terlepas dari manajemen dalam perspektif dunia perusahaan (company),
namun lambat laun berkembang pada ranah-ranah yang lain, baik institusi,
organisasi serta layanan publik (public service) lainnya, termasuk dalam
lembaga pendidikan—sebagai lembaga pelayanan publik. Dengan pandangan tersebut
lahirlah beberapa teori majemen sesuai dengan masanya. Lahirnya teori-teori
manajemen adalah disebabkan hubungan antara industri dengan teori manajemen dan
perhatian terhadap metode, yaitu integrasi manajemen dan ilmu.
Ada sejumlah pandangan tentang tahap perkembangan teori manajemen
pendidikan. Para ahli manajemen mengkalsifikasikan perkembangan teori manejemen
sendiri dalam bentuk fase, ada juga berdasarkan tahap atau tahun, ada pula yang
berdasarkan pendekatan. Menurut Nanang Fatah (2000: 22-32), bahwa teori
manajemen dibagi menjadi tiga macam fase, yaitu:
1.
Teori Klasik
Teori klasik berasumsi bahwa para pekerja atau manusia
itu sifatnya rasional, berfikir logik, dan kerja merupakan suatu yang
diharapkan. Oleh karena itu, teori klasik berangkat dari premis bahwa
organisasi bekerja dalam proses yang logis dan rasional dengan pendekatan
ilmiah dan berlangsung menurut struktur/anatomi organisasi.
Teori klasik ini juga dipelopori oleh beberapa tokoh.
Salah satunya adalah Frederik Winslow Taylor (1856-1915), dia dikenal sebagai
pelopor manajemen ilmiah (scientific
management). Bapak manajemen ilmiah ini berpandangan bahwa yang menjadi
sasaran manajemen adalah mendapatkan kemakmuran maksimum bagi pengusaha dan
karyawannya. Untuk itu, manajemen harus melaksanakan prinsip-prinsip: 1)
perlunya dikembangkan ilmu bagi setiap tugas, 2) pemilihan karyawan yang tepat
sesuai dengan persyaratan kerja, 3) perlunya pelatihan dan pemberian
rangsangan, 4) perlunya dilakukan penelitian-penelitian dan
percobaan-percobaan. Taylor telah memuaskan perhatiannya pada lima langkah: seleksi
orang, menemukan metode kerja yang paling baik, merancang sarana kerja yang
cocok serta memanfaatkan, melatih dan
memotivasi karyawan (Tulus, 1996: 7-8).
Taylor mempersamakan manusia dengan mesin. Mesin akan
bekerja baik bila dipelihara dan dilumasi dengan baik, demikian pula halnya
dengan manusia. Bila mengkritisi apa yang menjadi konsep Taylor tentang
manajemen, maka ternyata Taylor telah kehilangan penglihatan terhadap hal-hal
yang esensial, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif, memiliki
perasaan, emosi, serta kecerdasan. Taylor memiliki perihal peranan manajemen
dan kebutuhan akan peningkatan produktivitas, namun dia tidak tahu bagaimana
menggugah semangat kerja para karyawan.
Pelopor manajemen klasik lainnya adalah Henri Fayol
(1916), di mana dia menerbitkan Administration
Industrielle et Generale yang berisi lima pedoman manajemen yaitu: 1)
perencanaan, yaitu mempelajari masa yang akan datang dan menyusun rencana kerja, 2) pengorganisasian,
pengorganisasian tenaga kerja dan bahan, 3) pengkomandoan, yaitu menjuruskan
para pegawai untuk melaksanakan pekerjaan mereka, 4) pengkoordinasian, yaitu
menyatukan dan mengkorelasi semua kegiatan, dan pengawasan yaitu memeriksa
bahwa segala sesuatu dikerjakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan dan instruksi-instruksi yang telah diberikan (Sukiswa, 1986: 14).
Teorinya ini kemudian dilengkapi oleh Gullick dan
Urwick (1930) dengan tujuh prinsip teorinya, yaitu Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgetting.
Di mana ketujuh istilah tadi merupakan sebuah proses dari kegiatan manajemen.
Di samping teori-teori di atas, masih banyak lagi
teori-teori manajemen klasik lainnya yang memaparkan konsep-konsep manajemen
yang menyatakan bahwa keterampilan manajemen dapat diterapkan pada sebuah jenis
kelompok kegiatan atau institusi formal lainnya. Dengan perkembangan waktu,
terjadi pergeseran nilai pengaruh dari globalisasi dimana organisasi-organisasi
semakin berkembang. Dengan demikian, teori klasik inipun, terdapat
kelemahan-kelemahan, seperti yang dikemukaan oleh Filley, Kerr, dan Hous
(1976), sebagai berikut:
a.
Teori klasik adalah teori yang terikat waktu. Teori ini
cocok diterapkan pada permulaan abad 20-an, karena motif pekerja waktu itu
terutama memenuhi kebutuhan fisiologis.
b.
Teori klasik mempunyai ciri-ciri deterministik. Teori
sangat menekankan pada prinsip-prinsip manajemen dan tidak memperhitungkan
berbagai dimensi dalam manajemen seperti motivasi, pengambilan keputusan dan
hubungan informal.
c.
Banyak asumsi yang lemah dan tidak lengkap secara
implisit terdapat dalam teori klasik itu, antara lain: efisiensi hanya diukur
oleh tingkat produktivitas yang hanya menyangkut penggunaan sumber secara
ekonomis tanpa memperhitungkan faktor manusiawi.
2.
Teori Neo-Klasik
Teori ini muncul sebagai respon atas kelemahan teori
klasik dengan asumsi, bahwa manusia itu makhluk sosial yang mempunyai pengaruh
besar terhadap produktivitas dalam dunia kerja. Dengan itu, kemudian Elton Mayo
melahirkan teorinya tentang studi hubungan antarmanusia (Human Relationship) atau tingkah laku manusia dalam situasi kerja
(Fatah, 2000: 25). Rekan Mayo juga seperti Roethlessberger dan Dickson dalam
serial experiment yang terkenal di Howtherne Work of the Western Electric
Company di Chicago menguraikan lebih luas lagi apa yang diinginkan
karyawan, sebagai berikut: 1) mereka bisa melaksanakan tugasnya dengan senang
dan merasakan bahwa tugasya penting bagi kemajuan perusahaan; 2) mereka ingin
diperlakukan secara baik oleh atasannya, adanya penghargaan atau pujian atas
pekerjaannya; 3) adanya suasana keterbukaan atas perubahan-perubahan yang
terjadi dan bisa terlibat di dalamnya; dan 4) menyangkut pembayaran mereka
lebih tertarik dengan system pembayaran paket daripada dengan total jumlah saja
(Dale dan Michelon: 26-28).
Seperti yang dikemukakan Chester L Barnad (1976), yang
menyatakan bahwa hakikat organisasi adalah kerjasama, yaitu kesediaan orang
saling berkomunikasi dan berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama. Artinya,
suatu manajemen dapat bekerja secara efisien dan tetap hidup jika tujuan
organisasi dan kebutuhan perorangan yang bekerja pada organisasi itu dijaga
seimbang (Fatah, 200: 25).
Tokoh dari aliran Neo-Klasik ini, menurut Filley, et.al., (dalam Fatah, 2000: 26) adalah Vromm dengan teori Harapan
(Ekspektasi) mendasarkan pada dua asumsi, berikut:
a.
Manusia biasanya meletakkan nilai kepada suatu yang
diharapkan dari hasil karyanya. Oleh karena itu ia mempunyai urutan kesenangan
(preferences) di antara sekian banyak
hasil ia diharapkan.
b.
Suatu usaha untuk menjelaskan tentang motivasi yang
terdapat pada seseorang selain harus mempertimbangkan hasil yang dicapai, juga
mempertimbangkan keyakinan orang bahwa yang dikerjakannya memberikan sumbangan
terhadap tujuan yang diharapkan.
McClelland juga dengan teori prestasinya mengemukakan,
pada dasarnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga kebutuhan, yaitu 1)
kebutuhan akan kekuasaan (need for power),
2) kebutuhan akan afiliasi (need for
affiliation) dan 3) kebutuhan akan keberhasilan (need for achievement). Teori ini berusaha menjelaskan tingkah laku
yang berorientasi kepada prestasi. Prestasi didefinisikan sebagai tingkah laku
yang diarahkan kepada tercapainya “standard
of exellent”. Menurut teori ini seseorang yang mempunyai needs achievement tinggi selalu
mempunyai pola berpikir tertentu ketika merencanakan untuk melaksanakan
sesuatu. Pekerjaan yang dilaksanakan baginya harus menantang. Ciri lain bagi
mereka yang mempunyai N Ach yang tinggi adalah kesediaannya untuk memikul
tangung jawab sebagai konsekuensi usaha mencapai prestasi. Demikian juga
keberanian untuk mengambil risiko, kesediaan untuk mencari informasi untuk
mengukur kemajuaanya, serta keinginan untuk mencapai kepuasan dari apa yang
telah dikerjakannya merupakan karakteristik dari orang yang mempunyai N Ach
tinggi (Fatah, 2000: 26-27).
Menurut Fallet dan Barnotd sebagaimana dikutip oleh
Stoner mengemu-kakan antara lain: 1) kepemimpinan tidak seharusnya datang dari
kekuatan otoritas formal, tetapi dari keahlian dan pengetahuan manajer yang
lebih tinggi, dan 2) organisasi dapat bekerja secara efisien bila kebutuhan
perorangan diperlukan. Pendekatan perilaku manusia muncul sebagai reaksi
terhadap pendekatan klasik yang tidak dicapai secara efisiensi produksi dan
keseragaman kerja yang sempurna. Selanjutnya produktivitas dapat ditingkatkan
dengan upaya antara lain: 1) menemukan pekerja yang terbaik dengan kualitas
mental yang berbeda terhadap pekerjaan tersebut, 2) menciptakan pekerjaan yang
ideal untuk mencapai produktivitas yang maksimum, dan 3) menggunakan pengaruh
psikologis untuk mendorong karyawan (Sufyarma, 2003: 198).
Dari model tersebut, secara jelas memberikan gambaran
yang lebih lengkap. Seorang manajer harus menilai dan mempertimbangkan struktur
imbalan dengan hati-hati melalui perencanan yang teliti, uraian yang jelas
tentang tugas-tugas ini tangung jawab melalui penstrukturan organisasi yang
baik. Sistem upaya, prestasi, imbalan, kepuasan hendaknya diintegrasikan ke
dalam seluruh sistem pengelolaan.
Sedangkan dalam perspektif psikologis-sosial
hubungannya dalam dunia kerja dan hubungan organisasi, menurut Marwan Asri,
perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu: 1) variabel
individual, mencakup faktor kemampuan dan keterampilan mental, fisik, latar
belakang keluarga, tingkat sosial, pengalaman, umur, dan jenis kelamin, 2) variabel
organisasi, terdiri dari faktor sumber daya yang tersedia, gaya kepemimpinan,
sistem imbalan, struktur oragnisasi, dan disain pekerjaan, dan 3) variabel
psikologis, terdiri atas beberapa faktor, berupa persepsi, sikap, kepribadian,
proses belajar, dan motivasi (Fatah, 2000: 28).
Sehubungan dengan hal itu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam hubungan antar manusiawi dalam suatu organisasi antara lain
sebagai berikut: 1) membina hubungan antar manusiawi yang baik dalam suatu
organisasi dapat merangsang kerja yang lebih baik yang keras, 2) harus
diperhatikan faktor-faktor sosial dan psikologis yang dapat mendorong
menciptakan hubungan antar manusiawi, 3) harus diperhatikan kesejahteraan
pekarja dan penyedia harus mempunyai perhatian khusus terhadap karyawan, 4)
harus diperhatikan kelompok kerja informal dalam lingkungan sosial karyawan
sangat berpengaruh terhadap produktivitas organisasi, dan 5) harus diperhatikan
sikap persahabatan dan keakraban dalam suatu organisasi yang dapat meningkatkan
produktivitas organisasi. (Sufyarma, 2003: 190)
3. Teori Modern
Teori manajemen modern bersifat situasional, maksudnya
adalah disesuaikan menurut situasi yang dihadapi dan kondisi lingkungan.
Menurut Murdick dan Ross, sistem itu terdiri dari individu, organisasi formal,
organisasi informal, gaya kepemimpinan dan perangkat fisik yang satu dan lain
saling berhubungan (Fatah, 2000: 28).
William A. Shrode dan D. Voich mendefinisikan sistem
sebagai berikut: A sistem is a set of
interrelated parts, working independently and jointly, in pursuit of common
objectives of the whole within a complecs environment. Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan oleh Fitz Gerald dan Stalling, sistem diartikan
sebagai berikut: A sistem can be defined
as a network of interrelated procedures that are joint together to perform
activities or to accomplish a specific objectives. It is, in effect, all
ingredient which make up the whole (Fatah,
2000: 29).
Dari pengertian tentang sistem dapat diidentifikasi
bahwa sistem mempunyai makna: 1) terdiri dari bagian-bagian yang saling
berkaitan satu dengan lainnya, 2) bagian-bagian yang saling berhubungan itu
dapat berfungsi dengan baik secara independen secara bersama-sama, 3)
berfungsinya bagian-bagian tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan umum secara
keseluruhan, dan 4) suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian itu beada
dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Secara eksplisit, uraian menunjukkan bahwa suatu
sistem itu lebih cenderung bersifat terbuka. Hal ini dinyatakan dengan adanya
aspek lingkungan yang berhubungan erat dengan bagian-bagian dari sistem yang
berperan.
Manajemen dipandang sebagai suatu sistem didasarkan
pada asumsi bahwa organisasi merupakan sistem terbuka, tujuan organisasi
mempunyai kebergantungan. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam manajemen
berdasarkan sistem, mencakup: 1) manajemen berdasarkan sasaran, 2) manajemen
berdasarkan teknik, 3) manajemen berdasarkan struktur, 4) manajemen berdasarkan
orang, dan 5) manajemen berdasarkan informasi (Fatah, 2000: 30).
Hubungan manajemen terbuka pada ranah pendidikan,
dimana pendekatan sistem merupakan suatu metode atau teknik yang secara khsusu
disebut analisis sistem (sistem analysis) terutama berfungsi dalam memecahkan
masalah (problem solving) dan pengambilan keputusan (decision making). Dalam
hal ini pendekatan sistem dikaitkan dengan metode-metode ilmiah. Analisis
sistem ini mencakup (1) menyadari adanya masalah, (2) mengidentifikasi variabel
yang relevan, (3) menganilisis dan mensistensiskan factor-faktor, dan (4) menentukan
kesimpulan dalam bentuk program kegiatan.
Pendekatan
sistem ini diperlukan dalam dunia pendidikan, dimana cara-cara tradisional dalam pengelolaan kurang efektif
karena semakin kompleksnya lembaga-lembaga pendidikan. Perubahan yang terjadi
dalam organisasi pendidikan semakin cepat, maka diperlukan pendekatan yang
dapat memecahkan masalah-masalah tersebut. Di samping itu kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pendidikan perlu ditingkatkan. Untuk itu diperlukan
pendekatan sistem agar efektivitas dan efesiensi juga meningkat. Maka manajemen
dengan pendekatan sistem terbuka ini memungkinkan untuk perbaikan pengelolaan
lembaga pendidikan ke depan.
Seperti yang dikemukakan Fattah (2000: 32) ada
beberapa keunggulan pendekatan sistem dalam mengelola pendidikan, antara lain:
a.
Misi, sasaran, dan tujuan lembaga pendidikan dapat
dijabarkan lebih jelas.
b.
Program-program yang dirumuskan selalu diarahkan pada
tujuan dan sasaran.
c.
Orientasi kegiatan diarahkan kepada hasil akhir.
d.
Perencanaan dipandang sebagi bagian integral dari
keseluruhan operasi lembaga atau organisasi pendidikan.
e.
Sumber-sumber daya dapat dialokasikan denagn lebih
efektif berdasarkan skala prioritas yang disusun menurut besarnya sumbangan
terhadap pencapaian tujuan.
f.
Informasi yang diperlukan untuk perencanaan dan
pengambilan keputusan dapat dirancang dan dikelola secara terpadu.
g.
Segala kegiatan dapat difokuskan pada pencapaian
sasaran, sehinga pemborosan dapat ditekan seminimal mungkin.
h.
Pimpinan pengelola dapat dinilai hasil pekerjaannya
secara objektif, karena sasaran pekerjaannya jelas.
i.
Pengelola dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam
batas kewenangan yang telah ditetapkan, sepanjang mereka tetap berorientasi
pada tujuan akhir.
j.
Akuntabilitas dapat dirumuskan secara jelas dan
operasional.
k.
Umpan balik dapat diperoleh pada semua tingkat otoritas
pendidikan, sehinga penyimpanan dalam usaha pencapaian tujuan dapat secara
cepat diidentifikasi.
l.
Komunikasi antarkomponen dapat terbina dengan lebih
baik sehingga kesalahpahaman dapat dikurangi.
m.
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dapat
dilaksanakan secara lebih baik.
Pendekatan sistem ini memandang organisasi sebagai
suatu sistem yang dipersatukan dan berguna, yang terdiri atas bagian-bagian
yang saling berkaitan. Pendekatan sistem tidak membahas bagian-bagian itu
secara terpisah, tetapi memberikan kepada manajer untuk melihat organisasi
secara keseluruhan atau holistik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pendekatan sistem antara lain sebagai berikut: 1) sub-sistem, berarti
bagian-bagian yang membentuk keseluruhan suatu sistem yang disebut dengan
sub-sistem dari kesatuan yang lebih besar, 2) sinergi, berarti keseluruhan itu
lebih besar daripada hasil penjumlahan bagian-bagiannya. Suatu sistem yang
bekerja sama dan salig berhubungan dalam berbagai sub-sistem dalam suatu
organisasi akan meningkatkan produktivitas, bila dibandingkan dengan mereka
bertindak sendiri-sendiri, 3) sistem terdiri dari: sistem terbuka dan sistem
tertutup. Sistem terbuka bila organisasi berhubungan dengan lingkungan. Sistem tertutup
bilaorganisasi tidak berhubungan dengan lingkungan, 4) batas sistem, setiap
sistem mempunyai batas yang memisahkannya dari lingkungannya. Dalam sistem
tertutup, batas sistem ini kaku. Dalam sistem terbuka batas sistem yang luwes,
dan 5) arus, suatu sistem mempunyai arus informasi, bahan dan energi (termasuk
manusia). Hal ini termasuk input, proses, output, dan feed-back.
Dalam fase manajemen modern, pendekatan yang dilakukan
sangat beragam dan memungkinkan lahirnya konsep-konsep baru tentang manajemen.
Di samping pendekatan system ada pula Pedekatan Kontijensi dan Pendekatan
Perspektif Terpadu. Dalam pendekatan kontijensi para manajer bertugas untuk
menetukan metode dan teknik yang tepat pada waktu dan situasi terpadu untuk
mencapai tujuan organisasi yang baik, para manajer pula mendorong para karyawan
untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Pendekatan ini berusaha memulihkan
faktor-faktor yang menentukan tugas atau masalah tertentu, dia menjelaskan
hubungan fungsional antara faktor-faktor yang saling berhubungan.
Dalam pendekatan Perspektif Terpadu, Engkoswara (1988:
31) mengemuka-kan tentang pendekatan perspektif terpadu disebut juga dengan
pendekatan integrative. Pendekatan ini berdasarkan kepada norma dan keadaan
yang berlaku, menelaah ke masa silam dan berorientasi ke masa depan secara
cermat dan terpadu dalam berbagai dimensi seperti pemerintah, swasta,
pengusaha, tenaga kerja, pendidik, ilmuwan, ulama, dan berbagai sector
pembangunan (Sufyarma, 2003: 199-200).
Pendekatan perspektif terpadu merupakan sintesis
terhadap kesan/fenomena bahwa penataan pendidikan di Indonesia pada saat ini
masih bersifat pragmatik dan belum terintegrasi dan saling menunjang dalam
suatu kurun waktu yang cukup jauh ke masa depan dan belum berjalan sebagaimana
mestinya. Melalui pendekatan ini pendidikan dapat menghasilkan manusia
terdidik, tetapi banyak yang tidak ke mana kelak bekerja. Jangan sampai
menghasilkan tenaga terdidik yang jenis dan jumlahnya jauh menyimpang dari
kebutuhan pembangunan (Sufyarma, 2003: 200).
Selanjutnya Engkoswara mengemukakan pentingnya
orientasi pada masa depan yaitu: 1) kehidupan masa depan cenderung semakin
kompleks dan cepat sekali berubah yang dapat menimbulkan masalah secara terus
menerus, 2) kehidupan masa depan bukanlah kehidupan yang mati, tapi suatu
kehidupan yang berkembang dan terbuka yang penuh kemungkinan, dan 3) kehidupan
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, tidak dapat melepaskan diri dari
dunia kawasan internasional (Sufyarma, 2003: 200).
Tilaar mengemukakan dalam kehidupan global dan milenium ketiga menuntut
kualitas sumber daya manusia yang tinggi antara lain manusia yang dapat
bersaing di dalam kehidupan global. Paradigma pendidikan di dunia maju sudah
bergeser pada pemahaman bahwa belajar tidak hanya di kelas, melakinkan juga di
luar sekolah. Pendidikan luar sekolah mengembangkan life skill and leadership skill education. Metode pendidikan luar
sekolah akan mengajarkan pada masyarakat bahwa pendidikan itu tidak terpisah
dari masyarakat bahwa sehingga pendidikan luar sekolah mudah menyesuaikan
dengan perkembangan yang terjadi. Pendidikan luar sekolah harus menjadi leading sektor, sehingga tercipta
kesempatan belajar secara countinue
dan menjadi learning society (Sufyarma,
2003: 200-201). Masyarakat dan bangsa kita dalam ancang-ancang memasuki tahap
pembangunan nasional yang penting, yaitu pembangunan nasional jangka panjang
kedua. Untuk itu, diperlukan pemikiran-pemikiran mengenai kebijakan yang perlu
dirumuskan dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, yang amat
strategis dan vital (Tilaar, 2002:xi).
Dalam perkembangan dan kemjuan dunia pendidikan di Indonesia telah
dilakukan perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975/1976 yang
berorientasi pada tujuan, kemudian disempurnakan pada 1984 dan 1994. Hal tersebut
dimaksudkan agar tercapai keselarasan
antara kurikulum dengan kebijakan baru di bidang pendidikan, meingkatkan
efesiensi dan efektivitas pengajaran serta meningkatkan mutu lulusan, juga
merelevansikan pendidikan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Prinsip-prinsip relevansi merupakan prinsip umum yang digunakan di Indonesia di
samping prinsip efesiensi dan efektivitas, kontinuitas, fleksibelitas program,
serta pendidikan seumur hidup (Iskandar, 1988: 137-139). Secara khusus
prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Prinsip berorientasi pada tujuan, dengan menetapkan
tujuan-tujuan yang harus dicapai peserta didik dalam mempelajari pelajaran.
2.
Prinsip efesiensi dan efektivitas dalam penggunaan
dana, daya, dan waktu dalam mencapai tujuan pendidikan.
3.
Prinsip fleksibelitas program, dalam pelaksanaan, suatu
program hendaknya mempertimbangkan factor-faktor ekosistem dan kemampuan
penyediaan fasilitas yang mendukung.
4.
Prinsip kontinuitas; dengan menyiapkan peserta didik
agar mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
5.
Prinsip pendidikan seumur hidup, yang memandang bahwa
pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi harus dilanjutkan dalam keluarga dan
masyarakat. Jadi, peserta didik perlu memiliki kemampuan belajar sebagai
persiapab belajar di masyarakat.
6.
Prinsip relevansi, suatu pendidikan akan bermakna
apabila kurikulum yang dipergunakan relevan (terkait) dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat.
Nasution (dalam Mulyasa, 2002: 9) mengemukakan bahwa dalam membica-rakan
relevansi pendidikan perlu dijawab beberapa pertanyaan antara lain relevansi
menurut siap, bagi siapa, dengan apa, dan pada saat mana. Dalam kerangka
pendidikan di Indonesia, telah terjadi pergeseran kebijakan, yaitu dari
pendidikan dengan konsep sentralistik kemudian berubah dengan Undang-undang No.
22 dan 25 tahun 1999. Undang-undang tersebut akan mengubah mekanisme
pengambilan kebijakan, jika selama ini dilakukan dari pusat, akan berubah dan
dilimpahkan menjadi kewenangan daerah kabupaten dan kota. Kebijakan tersebut
tampaknya merupakan paradigma baru yang lebih memungkinkan pelaksanaan
desentralisasi pendidikan untuk memperbaiki system sentralisasi yang terlalu
kaku. Desentralisasi memberikan kewenangan kepada sekolah dan masyarakat
setempat untuk mengelola pendidikan. Untuk itu, perlu dipahami fungsi-fungsi
pokok manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan.
Pelaksanaan manejemen sekolah yang efektif dan efesien menuntut
dilaksanakannya keempat fungsi pokok manajemen tersebut secara terpadu dan
terintegrasi dalam pengelolaan bidang-bidang kegiatan manajemen pendidikan.
Melalui manajemen sekolah yang efektif dan efesien tersebut, diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan seara
keseluruhan.
Kesimpulan
Dalam perkembangan manajemen,
setidak-tidaknya ada teori manajemen, yaitu: teori klasik, teori neo-klasik dan
teori modern. Teori klasik berpijak pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk
rasional dan mampu berpikir logis. Karenanya, manusia akan bekerja dalam proses
yang logis dan rasional sesuai dengan struktur organisasi. Kemudian, sebagai kritik atas teori klasik, teori neo-klasik
berpandangan bahwa manusia adalah makluk sosial selalu berinteraksi satu sama
lain. Dengan demikian, manajemen akan berhasil jika kebutuhan organisasi dan
individu sama-sama terpenuhi. Sedangkan teori modern berpandangan bahwa
organisasi adalah satu kesatuan sistem dengan tujuan tertentu atas
bagian-bagian yang saling berhubungan. Jadi, semua bagian yang ada dalam
organisasi sama-sama memiliki peran penting dalam pencapaian sebuah
tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar